Kamis, Desember 15, 2011

TIDAK ADA KESULITAN DALAN ISLAM

ِﻦَﻋ ِﻦْﺑﺍ ٍﺱﺎَّﺒَﻋ - َﻲِﺿَﺭ ﺎَﻤُﻬْﻨَﻋ ُﻪﻠﻟﺍ ،- ِﻦَﻋ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ُﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ، َﻝﺎَﻗ :
) َﻪﻠﻟﺍ َّﻥِﺇ َﻊَﺿَﻭ ْﻦَﻋ ﻲِﺘَّﻣُﺃ َﺄَﻄَﺨْﻟﺍ، َﻥﺎَﻴْﺴِّﻨﻟﺍَﻭ، ﺎَﻣَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﺍْﻮُﻫِﺮْﻜُﺘْﺳﺍ
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau bersabda : "Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku kekeliruan,
kealpaan dan apa-apa yang dipaksakan terhadap mereka".
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih.
Hadits dengan lafazh seperti di atas dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1/ 659 no.
2045). Dan dikeluarkan oleh al Baihaqi di dalam as Sunan al Kubra (7 /356 )
dengan sedikit perbedaan lafazh. Yakni, dengan mengganti lafazh ( َﻊَﺿَﻭ) dengan
lafazh ( ﻲِﻟ َﺯَﻭﺎَﺠَﺗ ). Kedua kata ini kurang lebih bermakna sama.
Hadits ini juga dikeluarkan oleh al 'Uqaili dalam adh- Dhu'afa (4 /145) , seluruhnya
dari jalan al Walid bin Muslim, dari al Auza'i, dari 'Atha, dari Ibnu 'Abbas, dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikh Salim bin 'Id al Hilali -hafizhahullah- berkata,"Sanad ini dha'if. 'Illahnya [1 ]
adalah, inqitha' (terputus) antara 'Atha dan Ibnu 'Abbas. Dan hal ini telah
diisyaratkan oleh al Bushiri dalam az Zawa-id, ia berkata,'Sanadnya shahih jika
selamat dari inqitha' (terputus). Dan tampaknya, sanad ini terputus. Dengan dalil,
adanya tambahan (seorang perawi yang bernama-Pen ) 'Ubaid bin 'Umair pada
jalannya yang kedua. Dan tidak mustahil, hilangnya perawi ini (yakni, tidak
disebutkannya perawi yang bernama 'Ubaid bin 'Umair pada sanad tersebut-
Red) berasal dari (perbuatan) al Walid bin Muslim [2] , karena ia seorang
mudallis'[3] . Yang ia (al Bushiri) maksud, adalah tadlisut-taswiyah [4] . Hal ini pun
telah diisyaratkan oleh al Baihaqi, ia mengatakan : 'Dan diriwayatkan oleh al
Walid bin Muslim dari al Auza'i, dan ia tidak menyebutkan 'Ubaid bin 'Umair
pada sanadnya".[ 5]
Adapun tentang jalur periwayatan kedua, yang disebutkan oleh al Bushiri -di
atas- dikatakan oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah- :
"Dikeluarkan oleh ath Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Atsar (3/ 95), ad Daruquthni
dalam Sunannya (4/ 170- 171), al Hakim dalam al Mustadrak (2/ 198), al Baihaqi
dalam al Kubra (7 /356), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (2045) , Ibnu Hazm
dalam al Ihkam (5/ 149). Seluruhnya dari jalan al Auza'i, dari 'Atha dari 'Ubaid
bin 'Umair dari Ibnu 'Abbas, secara marfu' (sanadnya bersambung sampai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam). Dan sanad hadits ini shahih…
Bagaimanapun, hadits ini memiliki syawahid (pendukung dan penguat dari
hadits-hadits lain- Pen). Hadits Ibnu 'Abbas ini memiliki banyak jalur periwayatan
yang menyebabkan derajatnya terangkat ke derajat shahih, dan telah dihasankan
oleh an Nawawi dalam Arba'in, pada hadits nomor 39" [6] .
Berkaitan dengan syawahid hadits yang disebutkan oleh Syaikh Masyhur bin
Hasan Alu Salman -hafizhahullah- di atas, Syaikh Salim bin 'Id al Hilali -
hafizhahullah- menjelaskan : "Hadits ini juga diriwayatkan dari beberapa sahabat,
di antaranya : Abu Dzar, Ibnu 'Umar, Abu Bakrah, Abu ad Darda', Abu Hurairah,
'Imran bin Hushain, dan Tsauban Radhiyallahu 'anhum. Lihat di Nashbur-Rayah
karya az Zaila'i (4 /64- 66) , juga at Talkhisul- Habir (1/ 281- 283). Juga telah
diterangkan secara panjang lebar oleh al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali
rahimahulllah [7] , dan (memang) seluruh jalur periwayatannya tidak luput dari
permasalahan. Namun, sebagiannya bisa menguatkan sebagian yang lain,
sebagaimana disebutkan oleh as Sakhawi dalam al Maqashidul-Hasanah,
halaman 371 : "Keseluruhan jalannya menunjukkan bahwa hadits ini memiliki
asal usul".
Hadits ini juga dishahihkan oleh Syaikh al Albani rahimahullah dalam Shahih
Sunan Ibnu Majah, Irwa-ul Ghalil (1 /123- 124 no. 82) , Misykatul- Mashabih
(3/1771 ), dan Shahihul- Jami' (1731, 1836, 3515, dan 7110) .
BIOGRAFI SINGKAT ABDULLAH BIN 'ABBASRADHIYALLAHU 'ANHU [9]
Beliau bernama 'Abdullah bin 'Abbas bin 'Abdul Muththalib bin Hasyim bin 'Abdu
Manaf. Beliau adalah anak paman (sepupu) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah. Beliau pun telah dido'akan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar Allah memberinya pemahaman
terhadap al Qur` an, dan Allah mengabulkan permohonan RasulNya. Dengan
sebab inilah beliau diberi julukan al Bahru (lautan ilmu) dan al Habru (pendeta
atau orang 'alim), karena keluasan ilmunya.
Umar Radhiyallahu 'anhu berkata,"Seandainya Ibnu 'Abbas menyamai usia-usia
kami, (maka) tidak ada seorang pun di antara kami yang mampu menandinginya,
walaupun hanya sepersepuluh ilmunya"[10 ].
Beliau meninggal pada tahun 68 H, di Tha-if , dan beliau tergolong sahabat yang
terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, salah
satu sahabat al 'abadilah [11] , dan salah satu ahli fiqih dari kalangan sahabat.
KEUTAMAAN HADITS
Berkaitan dengan keutamaan hadits ini, al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani
rahimahullah berkata,"Hadits ini sangat agung. Sebagian ulama mengatakan,
sudah selayaknya hadits ini dianggap separuh Islam. Karena, perbuatan itu
(terbagi menjadi dua-Pen) . (Yang pertama, perbuatan itu terjadi) disebabkan
oleh kesengajaan dan maksud (tertentu) , atau (yang kedua) tidak demikian. Yang
kedua ini, mencakup seluruh perbuatan yang dilakukan karena kekeliruan, lupa,
atau karena dipaksa. Perbuatan yang disebabkan kekeliruan, lupa, atau karena
dipaksa ini dimaafkan, sebagaimana telah adanya kesepakatan (para ulama).
Adapun yang diperselisihkan para ulama adalah, apakah yang dimaafkan itu
dosanya saja, ataukah hanya hukumnya saja? Atau mencakup keduanya? Dan
zhahir hadits ini menunjukkan yang terakhir [12] . Yaitu hukumnya saja.
PENJELASAN HADITS
Kosa Kata Hadits
Tentang makna hadits ini secara umum, al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali
rahimahullah berkata : "Maknanya adalah, sesungguhnya Allah telah mengangkat
(beban dosa dan hukum, Pen) dari umatku yang disebabkan oleh kekeliruan
mereka"[13 ].
Maksud dari umat pada hadits ini adalah umat Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam yang sudah menerima dakwah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan melaksanakan syari'at Islam. Mereka disebut juga ummatul-ijabah (ummat
yang menerima dakwah).
Syaikh Abdul Muhsin al 'Abbad al Badr -hafizhahullah- berkata : "Umat Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ada dua macam, yaitu ummatud-
da'wah dan ummatul-ijabah. Ummatud-da 'wah adalah seluruh manusia dan jin,
sejak beliau diutus hingga hari kiamat. Sedangkan ummatul-ijabah adalah orang-
orang yang telah diberi taufiq oleh Allah untuk memeluk agamanya yang lurus
ini, sehingga mereka menjadi muslim. Dan yang dimaksud dengan kalimat umat
pada hadits ini adalah ummatul-ijabah"[ 14].
Di antara dalil yang menunjukkan adanya ummatud- da'wah, yaitu hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
(( ْﻱِﺬَّﻟﺍَﻭ ُﺲْﻔَﻧ ِﻩِﺪَﻴِﺑ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ، َﻻ ْﻲِﺑ ُﻊَﻤْﺴَﻳ ٌﺪَﺣَﺃ ْﻦِﻣ ِﺔَّﻣُﻷﺍ ِﻩِﺬَﻫ، ٌّﻱِﺩْﻮُﻬَﻳ َﻻَﻭ ٌّﻲِﻧﺍَﺮْﺼَﻧ، َّﻢُﺛ ُﺕْﻮُﻤَﻳ
ْﻢَﻟَﻭ ْﻦِﻣْﺆُﻳ ْﻱِﺬَّﻟﺎِﺑ ُﺖْﻠِﺳْﺭُﺃ ِﻪِﺑ، َّﻻِﺇ َﻥﺎَﻛ ِﺏﺎَﺤْﺻَﺃ ْﻦِﻣ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ ))
"Demi (Dzat) yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seorang pun dari umat
ini, baik Yahudi ataupun Nashrani yang mendengarku, kemudian ia mati dalam
keadaan tidak beriman terhadap sesuatu yang aku bawa, melainkan ia pasti
termasuk penghuni neraka".[ 15]
Adapun makna al khatha' ( ﺄَﻄَﺨْﻟﺍ ), an nis- yan (ﻥﺎَﻴْﺴِّﻨﻟﺍ ), dan al istikrah ( ﻩﺍَﺮْﻜِﺘْﺳِﻻﺍ ),
adalah sebagaimana yang telah diterangkan para ulama berikut ini.
Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata,"Al khatha' ( ﺄَﻄَﺨْﻟﺍ ), yaitu
seseorang melakukan sebuah perbuatan karena tujuan tertentu, kemudian yang
terjadi berbeda dengan yang dimaksud. Seperti seorang yang bermaksud
membunuh orang kafir, tetapi yang ia bunuh ternyata muslim. Sedangkan an
nis-yan ( ﻥﺎَﻴْﺴِّﻨﻟﺍ ), yaitu seseorang ingat terhadap sesuatu (perbuatan terlarang,
Pen), lalu (akhirnya) ia melakukan perbuatan tersebut karena lupa. Kedua jenis
amalan ini dimaafkan. Maksudnya, ia tidak berdosa jika keadaannya seperti
demikian …".[16 ]
Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan : "Al
khatha' ( ﺄَﻄَﺨْﻟﺍ ), yaitu seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ia
sengaja. Adapun an nis-yan ( ﻥﺎَﻴْﺴِّﻨﻟﺍ ), yaitu lalai dan luputnya hati dari sesuatu
yang telah diketahui sebelumnya. Dan al istikrah ( ﻩﺍَﺮْﻜِﺘْﺳِﻻﺍ ), yaitu seorang yang
dipaksa oleh orang lain untuk mengerjakan perbuatan yang haram, sedangkan ia
tidak mampu untuk melawannya. Yakni, pemaksaan dan penekanan".[17 ]
Syaikh Abdul Muhsin al 'Abbad al Badr -hafizhahullah- berkata,"Al khatha' ( ﺄَﻄَﺨْﻟﺍ ),
yaitu seseorang berbuat sesuatu di luar yang ia maksudkan. Dan an nis-yan
(ﻥﺎَﻴْﺴِّﻨﻟﺍ ), yaitu seseorang ingat sesuatu, lalu terlupa manakala ia melakukan
sesuatu tersebut. Sedangkan al ikrah ( ﻩﺍَﺮْﻛِﻹﺍ ), yaitu pemaksaan terhadap suatu
perkataan atau perbuatan. Dosa yang terjadi karena tiga hal di atas diampuni dan
diangkat (oleh Allah SubhaEQ4nahu wa Ta'ala )" [18 ].
DALIL-DALIL DAN PENJELASAN ULAMA BERKAITAN DENGAN HADITS
Al Imam asy-Syathibi rahimahullah menjelaskan -yang kesimpulannya- bahwa
hukum yang lima [19] tersebut, seluruhnya berkaitan dengan perbuatan-
perbuatan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang (kedua hal ini) diiringi
dengan maksud-maksud. Apabila (keduanya) tidak diiringi dengan maksud-
maksud, maka ia tidak lagi berhubungan dengan hukum yang lima tersebut. Dalil
yang menunjukkan masalah ini ialah :
Pertama : Ttelah terbukti (adanya dalil yang menyatakan) bahwa, seluruh
perbuatan dianggap sah atau benar jika diiringi dengan niat. Demikian ini
merupakan hukum dasar yang telah disepakati (oleh para ulama) secara umum.
Kedua : Telah terbukti pula (adanya dalil yang menyatakan) bahwa, segala
perbuatan yang dilakukan oleh orang gila, orang yang sedang tidur, anak kecil,
dan orang yang tidak sadarkan diri (pingsan) adalah tidak dapat dianggap sah.
Dan keadaan seperti ini tidak ada hukumnya secara syari'at, sehingga, terhadap
perbuatan tersebut tidak bisa ditetapkan adanya penghukuman boleh, atau wajib,
atau terlarang, atau hukum lainnya . (Jadi), ini seperti halnya perbuatan yang
dilakukan oleh hewan-hewan ternak.
Ketiga : Telah disepakati oleh para ulama, pembebanan yang tidak dapat
diemabn, tidak mungkin terjadi pada syari'at ini. Sedangkan, pembebanan suatu
(perkataan atau perbuatan) yang tidak ada maksud dari pelakunya saat berbuat,
merupakan pembebanan yang tidak dapat dilakukan [20 ].
Dari penjelasan global al Imam asy-Syathibi rahimahullah ini, yang ditunjukkan
oleh hadits Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma ini adalah dalil kedua yang telah
beliau terangkan di atas. Begitu pula telah ditunjukkan oleh dalil- dalil lainnya dari
al Qur'an dan as Sunnah.
Berikut adalah di antara dalil yang menunjukkan, bahwa kesalahan, kekeliruan,
dan lupa merupakan sesuatu yang dimaafkan dan tidak dianggap oleh syari'at.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"…Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah…" [al Baqarah/2: 186].
"…dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi
(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu…" [al Ahzab/33 :5 ].
Hadits Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma, yang berkaitan dengan ayat ke- 286
surat al Baqarah di atas, beliau berkata:
ﺎَّﻤَﻟ ْﺖَﻟَﺰَﻧ ِﻩِﺬَﻫ ُﺔﻳﻵﺍ : )) ْﻥِﺇَﻭ ﺍْﻭُﺪْﺒُﺗ ﺎَﻣ ﻲِﻓ ْﻢُﻜِﺴُﻔْﻧَﺃ ْﻭَﺃ ُﻩْﻮُﻔْﺨُﺗ ْﻢُﻜْﺒِﺳﺎَﺤُﻳ ِﻪِﺑ ُﻪﻠﻟﺍ ،(( َﻝﺎَﻗ : َﻞَﺧَﺩ
ْﻢُﻬَﺑْﻮُﻠُﻗ ﺎَﻬْﻨِﻣ ٌﺀْﻲَﺷ ْﻢَﻟ ْﻞُﺧْﺪَﻳ ْﻢُﻬَﺑْﻮُﻠُﻗ ْﻦِﻣ ٍﺀْﻲَﺷ ، َﻝﺎَﻘَﻓ ُّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ:
)) ﺍﻮُﻟْﻮُﻗ ﺎَﻨْﻌِﻤَﺳ َﺎﻨْﻌَﻃَﺃَﻭ َﺎﻨْﻤَّﻠَﺳَﻭ ،(( َﻝﺎَﻗ : ﻰَﻘْﻟَﺄَﻓ ُﻪﻠﻟﺍ َﻥﺎَﻤْﻳِﻹﺍ ْﻲِﻓ ْﻢِﻬِﺑْﻮُﻠُﻗ، َﻝَﺰْﻧَﺄَﻓ ُﻪﻠﻟﺍ ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ:
)) َﻻ ُﻒِّﻠَﻜُﻳ ُﻪﻠﻟﺍ ًﺎﺴْﻔَﻧ ﺎَﻬَﻌْﺳُﻭ َّﻻِﺇ ﺎَﻬَﻟ ﺎَﻣ ْﺖَﺒَﺴَﻛ ﺎَﻬْﻴَﻠَﻋَﻭ ﺎَﻣ ْﺖَﺒَﺴَﺘْﻛﺍ َﺎﻨَّﺑَﺭ َﻻ ﺎَﻧْﺬِﺧﺍَﺆُﺗ ْﻭَﺃ ﺎَﻨْﻴِﺴَﻧ ْﻥِﺇ
ﺎَﻧْﺄَﻄْﺧَﺃ ،(( َﻝﺎَﻗ : ْﺪَﻗ ُﺖْﻠَﻌَﻓ، )) َﺎﻨَّﺑَﺭ َﻻَﻭ ْﻞِﻤْﺤَﺗ ًﺍﺮْﺻِﺇ ﺎَﻨْﻴَﻠَﻋ ُﻪَﺘْﻠَﻤَﺣ ﺎَﻤَﻛ ﻰَﻠَﻋ َﻦْﻳِﺬَّﻟﺍ ْﻦِﻣ ﺎَﻨِﻠْﺒَﻗ ،(( َﻝﺎَﻗ:
ْﺪَﻗ ُﺖْﻠَﻌَﻓ، )) ْﺮِﻔْﻏﺍَﻭ ﺎَﻨَﻟ ﺎَﻨْﻤَﺣْﺭﺍَﻭ َﺖْﻧَﺃ َﺎﻧَﻻْﻮَﻣ ،(( َﻝﺎَﻗ: ْﺪَﻗ ُﺖْﻠَﻌَﻓ .
Tatkala ayat ini turun : [ ْﻥِﺇَﻭ ﺍْﻭُﺪْﺒُﺗ ﺎَﻣ ﻲِﻓ ْﻢُﻜِﺴُﻔْﻧَﺃ ْﻭَﺃ ُﻩْﻮُﻔْﺨُﺗ ْﻢُﻜْﺒِﺳﺎَﺤُﻳ ِﻪِﺑ ُﻪﻠﻟﺍ (…Dan
jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu…)] , karena ayat ini, (ada kesedihan)[21 ] merasuk ke
dalam hati mereka, yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Hingga Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Katakanlah oleh kalian, kami mendengar,
kami taat, dan kami menerima," maka Allah pun menanamkan keimanan pada
hati-hati mereka, lalu Allah menurunkan ayat:
َﻻ ُﻒِّﻠَﻜُﻳ ُﻪﻠﻟﺍ ًﺎﺴْﻔَﻧ َّﻻِﺇ ﺎَﻬَﻌْﺳُﻭ ﺎَﻬَﻟ ﺎَﻣ ْﺖَﺒَﺴَﻛ ﺎَﻬْﻴَﻠَﻋَﻭ ﺎَﻣ ْﺖَﺒَﺴَﺘْﻛﺍ َﺎﻨَّﺑَﺭ َﻻ ﺎَﻧْﺬِﺧﺍَﺆُﺗ ْﻭَﺃ ﺎَﻨْﻴِﺴَﻧ ْﻥِﺇ
ﺎَﻧْﺄَﻄْﺧَﺃ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa) : Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah…
Allah berkata :"Aku telah lakukan".
َﺎﻨَّﺑَﺭ َﻻَﻭ ْﻞِﻤْﺤَﺗ ًﺍﺮْﺻِﺇ ﺎَﻨْﻴَﻠَﻋ ُﻪَﺘْﻠَﻤَﺣ ﺎَﻤَﻛ َﻦْﻳِﺬَّﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ ﺎَﻨِﻠْﺒَﻗ ْﻦِﻣ
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami…
Allah berkata : "Aku telah lakukan".
ْﺮِﻔْﻏﺍَﻭ ﺎَﻨَﻟ ﺎَﻨْﻤَﺣْﺭﺍَﻭ َﺖْﻧَﺃ َﺎﻧَﻻْﻮَﻣ
Ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami…
Allah berkata : "Aku telah lakukan" [22] .
Demikian pula hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda :
َﻊِﻓُﺭ ُﻢَﻠَﻘْﻟﺍ ْﻦَﻋ ؛ٍﺔَﺛَﻼَﺛ ِﻦَﻋ ِﻢِﺋﺎَّﻨﻟﺍ ﻰَّﺘَﺣ َﻆِﻘْﻴَﺘْﺴَﻳ ، ِﻦَﻋَﻭ ﻰَﻠَﺘْﺒُﻤْﻟﺍ ﻰَّﺘَﺣ َﺃَﺮْﺒَﻳ، ِﻦَﻋَﻭ ِّﻲِﺒَّﺼﻟﺍ ﻰَّﺘَﺣ
َﺮُﺒْﻜَﻳ .
Telah diangkat pena dari tiga orang (berikut) : dari orang yang tidur sampai ia
bangun, dari orang yang sakit jiwa (gila) sampai ia sembuh, dan dari anak kecil
sampai ia dewasa[23 ]
Adapun dalil- dalil yang menunjukkan karena terpaksa atau dipaksa merupakan
sesuatu yang dimaafkan dan tidak dianggap oleh syari'at, di antaranya ialah
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan
dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
adzab yang besar" [an Nahl / 16: 106].
Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin rahimahullah berkata,"Allah Azza wa
Jalla mengangkat hukum kekafiran dari seseorang yang dipaksa. Dan terlebih lagi
(menggugurkan dosa -Pen ) terhadap semua perbuatan maksiat, (yang
derajatnya) di bawah kekafiran" [24] .
Juga firmanNya :
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian,
niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu
terhadap diri (siksa)Nya . Dan hanya kepada Allah kembali(mu )". [Ali
'Imran/3 :28] .
BEBEBERAPA CONTOH APLIKASI HADITS TERSEBUT DALAM IBADAH
Berkenaan dengan aplikasi hadits ini dalam keseharian, Syaikh Muhammad bin
Shalih al 'Utsaimin rahimahullah telah memberi banyak contoh [26] . Di
antaranya dapat disebutkan berikut ini.
Contoh Pertama : Berkaitan dengan sebab al khatha'. Ada seseorang yang
berbicara di dalam shalatnya. Dia mengira, bahwa ketika sedang mengerjakan
shalat diperbolehkan berbicara. Karena orang ini jahil (tidak mengetahui
hukumnya) dan mukhthi' (keliru), maka shalatnya tidak batal. Dia telah
melakukan sebuah kesalahan, namun tanpa maksud yang disengaja.
Secara khusus, terdapat dalil yang menunjukkan perbuatan seperti ini. Yaitu
hadits Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami Radhiyallahu 'anhu, yang cukup
panjang, tentang diharamkannya berbicara ketika seseorang sedang shalat. Kisah
ringkasnya, tatkala Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami Radhiyalahu 'anhu shalat
berjama'ah bersama Rasulullah, ia mendengar orang bersin. Dan orang yang
bersin itu berkata "alhamdulillah," sehingga ia pun berkata (menjawab )
"yarhamukallah". Akhirnya, orang-orang di sekitarnya memandang kepadanya.
Dia pun berteriak. Lalu orang-orang di sekitarnya memukul-mukul paha mereka
sebagai isyarat agar ia diam. Maka Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami
Radhiyallahu 'anhu pun terdiam. Begitu shalat usai, manusia yang paling
berakhlak mulia (yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) memanggilnya.
Akhirnya, Mu'awiyah bercerita tentang akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam ketika mengajarkan dan membimbingnya:
... ﺎَﻣ ُﺖْﻳَﺃَﺭ ًﺎﻤِّﻠَﻌُﻣ ُﻪَﻠْﺒَﻗ َﻻَﻭ ُﻩَﺪْﻌَﺑ َﻦَﺴْﺣَﺃ ًﺎﻤْﻴِﻠْﻌَﺗ ُﻪْﻨِﻣ، ِﻪﻠﻟﺍَﻮَﻓ ﺎَﻣ ْﻲِﻧَﺮَﻬَﻛ َﻻَﻭ ْﻲِﻨَﺑَﺮَﺿ َﻻَﻭ
ْﻲِﻨَﻤَﺘَﺷ، َﻝﺎَﻗ : )) َّﻥِﺇ ِﻩِﺬَﻫ َﺓَﻼَّﺼﻟﺍ َﻻ ُﺢُﻠْﺼَﻳ ﺎَﻬْﻴِﻓ ٌﺀْﻲَﺷ ْﻦِﻣ ِﻡَﻼَﻛ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ، ﺎَﻤَّﻧِﺇ َﻮُﻫ ُﺢْﻴِﺒْﺴَّﺘﻟﺍ
ُﺮْﻴِﺒْﻜَّﺘﻟﺍَﻭ ُﺓَﺀﺍَﺮِﻗَﻭ ِﻥﺁْﺮُﻘْﻟﺍ )).. .
"…Aku belum pernah melihat seorang pendidikpun sebelumnya maupun
setelahnya yang lebih baik darinya. Demi Allah, ia tidak membentakku, tidak
memukulku, dan tidak mencaciku. (Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam) bersabda : “Sesungguhnya shalat ini tidak baik (jika) di dalamnya terdapat
pembicaraan orang, akan tetapi shalat itu adalah tasbih, takbir, dan bacaan al
Qur` an... " [27 ]
Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin rahimahullah berkata,"Sisi pendalilan
hadits ini adalah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan
kepadanya untuk mengulang shalatnya kembali…".
Contoh Kedua : Dengan sebab an nis- yan. Ada seseorang berpuasa, lalu ia
makan dan minum pada siang hari karena lupa. Maka puasanya tetap sah dan
tidak batal. Hal ini telah ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
ْﻦَﻣ َﻲِﺴَﻧ ٌﻢِﺋﺎَﺻ َﻮُﻫَﻭ، َﻞَﻛَﺄَﻓ َﺏِﺮَﺷ ْﻭَﺃ ، َّﻢِﺘُﻴْﻠَﻓ ُﻪَﻣْﻮَﺻ ، ُﻪَﻤَﻌْﻃَﺃ ﺎَﻤَّﻧِﺈَﻓ ُﻪﻠﻟﺍ ُﻩﺎَﻘَﺳَﻭ .
"Barangsiapa lupa, sedangkan ia sedang berpuasa, lalu ia makan atau minum,
maka sempurnakanlah puasanya. Karena sesungguhnya Allah telah memberinya
makan dan minum".[ 28]
Contoh Ketiga : Dengan sebab al ikrah. Ada seseorang yang dipaksa untuk makan
atau minum pada siang hari bulan Ramadhan, sehingga ia pun makan atau
minum karena terpaksa. Maka, puasanya tidak rusak dan tidak batal, karena ia
dipaksa.
Namun, yang perlu diperhatikan di sini, orang yang memaksanya tersebut,
disyaratkan memiliki kemampuan mewujudkan ancamannya kepada orang yang
ia paksa. Jadi, misalnya orang yang memaksa berkata, "Hai Fulan, makan buah
kurma ini, kalau tidak, saya pukul kamu," namun, jika ternyata orang yang
memaksa ini lebih lemah dari si orang yang berpuasa, maka hal ini tidak
termasuk ikrah (paksaan) yang dimaksud dalam hadits. Karena, orang yang
berpuasa tersebut (ternyata) mampu untuk melawannya, dan bisa untuk tidak
mentaati paksaan (yang ditujukan kepada)nya .
BEBERAPA PELAJARAN DAN FAIDAH HADITS
1. Luasnya rahmat, keutamaan, kebaikan, dan kelemahlembutan Allah l terhadap
seluruh hambaNya. Karena Allah telah mengangkat dosa dan memaafkan
seluruh kesalahan yang dilakukan dengan tiga sebab ini. Padahal, jika
berkehendak, Allah Maha Kuasa untuk menyiksa orang yang berbuat salah dalam
keadaan bagaimanapun.
2. Seluruh perbuatan haram, baik berkaitan dengan ibadah ataupun tidak,
apabila seseorang melakukannya karena lupa atau kebodohan, atau kekeliruan,
atau karena dipaksa, maka tidak ada dosa atasnya. Ini berlaku jika berkaitan
dengan hak- hak Allah. Namun, jika berkaitan dengan hak-hak manusia, ia
menggantinya dengan jaminan, walaupun dari sisi dosa, ia tetap dimaafkan.
3. Sesungguhnya kemudahan dan keringanan ini hanya Allah khususkan untuk
umat Islam, umat Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demikian pembahasan hadits ini secara ringkas. Mudah- mudahan bermanfaat
bagi kita, dan bisa menambah iman, ilmu, dan amal shalih kita. Amin.
Wallahu a'lam bish- Shawab.
Maraji' & Mashadir:
1. Al Qur` an dan terjemahnya, Cet. Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.
2. Shahihul- Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin al Mughirah al
Bukhari (194- 256 H), tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al
Yamamah, Beirut, cet III, th 1407 H/1987 M.
3. Shahih Muslim, Abu al Husain Muslim bin al Hajjaaj al Qusyairi an Naisaburi
(204- 261 H), tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut. .
4. Adh Dhu'afaa', Abu Ja'far Muhammad bin Umar bin Musa al 'Uqaili (322 H),
tahqiq Abdul Mu'thi Amin Qal'aji, Daar al Maktabah al 'Ilmiyah, Beirut-Libanon,
Cet. I, Th. 1404 H/ 1984 M.
5. Sunan al Baihaqi, Ahmad bin al Husain al Baihaqi (384- 458 H), tahqiq
Muhammad Abdul Qadir ‘Atha , Maktabah Daar al Baz, Mekah, Th. 1414 H/1994
M.
6. An Nihayah fi Gharibul-Hadits wal-Atsar , al Imam Majd ad Din Abi as Sa’adat
al Mubarak bin Muhammad al Jazari Ibnu al Atsir (544- 606 H), tahqiq Khalil
Ma’mun Syiha, Daar al Ma’ rifah, Beirut-Libanon, Cet. I, Th. 1422 H/ 2001 M.
7. Al Muwafaqat, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al Lakhmi asy
Syathibi (790 H), tahqiq Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, taqdim
Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Daar Ibnu 'Affan, Mesir, Cet. I, Th. 1421 H.
8. Jami’ul- 'Ulum wa al Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan min Jawami’il- Kalim,
Zainuddin Abu al Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin al Baghdadi Ibnu Rajab al
Hanbali (736- 795 H), tahqiq Thariq bin 'Awadhullah bin Muhammad, Daar Ibn al
Jauzi, Dammam, KSA, Cet. III, Th. 1422 H.
9. Fat- hul Bari, Ibnu Hajar al Asqalani (773 -852 H), tahqiq Muhibbuddin al
Khatib, Daar al Ma’rifah , Beirut.
10. Taqribut-Tahdzib , Ibnu Hajar al Asqalani (773- 852 H), tahqiq Abu al Asybal al
Bakistani, Daar Al ‘Ashimah, Riyadh, KSA, cet II, th 1423 H.
11. Shahih Sunan Abi Dawud, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332- 1420 H),
Maktabah Al Ma’ arif, Riyadh.
12. Shahih Sunan an Nasaa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332- 1420 H),
Maktabah al Ma’ arif, Riyadh.
13. Shahih Sunan Ibnu Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332- 1420
H), Maktabah al Ma’arif , Riyadh.
14. Shahihul- Jami’ ush- Shaghir, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332- 1420
H), Al Maktab al Islami.
15. Irwa-ul Ghalil fi Takhriji Ahaditsi Manarus- Sabil, Muhammad Nashiruddin al
Albani (1332- 1420 H), al Maktab al Islami, Beirut, Cet. II, Th. 1405 H/ 1985 M.
16. Syarhul-Arba'in an Nawawiyah, Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin (1421 H),
Daar ats Tsurayya, Riyadh, KSA, Cet. I, Th. 1424 H/ 2003 M.
17. Fat-hul Qawiyyil-Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatul-Khamsin , Abdul
Muhsin al 'Abbad al Badr, Daar Ibnul Qayyim & Daar Ibnu 'Affan, Dammam, KSA,
Cet. I, Th. 1424 H/ 2003 M.
18. Al Ahadits al Arba'in an Nawawiyah Ma'a Ma Zadaha Ibnu Rajab, Abdullah
bin Shalih al Muhsin, taqrizh Hammad bin Muhammad al Anshari, Cet. al Jami'ah
al Islamiyah, al Madinah an Nabawiyah, KSA, Th. 1411 H.
19. Iqazhul-Himam al Muntaqa min Jami'il- 'Ulumi wal Hikam, Salim bin 'Id al
Hilali, Daar Ibnul Jauzi, Dammam, KSA, Cet. V, Th. 1421 H.
20. Taisiru Mushthalahil-Hadits, DR. Mahmud Thahan, Maktabatul Ma’arif , Cet.
IX, Th 1417 H/ 1996 M.
21. At Ta'liqat al Atsariyah 'alal-Manzhumah al Baiquniyah, Ali bin Hasan bin Ali
bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibnul Jauzi, Dammam, KSA, Cet. III, Th.
1417 H/ 1997 M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427 H/2006M . Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo- Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016 ]
________
Footnote
[1] . 'Illah pada hadits, adalah sebuah sebab yang pelik dan tersembunyi, yang
membuat cacat keshahihan sebuah hadits, dan yang tampak pada hadits tersebut
adalah keshahihannya. Lihat at Ta'liqat al Atsariyah, halaman 31, dan Taisir
Mushthalahil-Hadits, halaman 35.
[2] . Al Hafizh Ibnu Hajar berkata tentangnya: "Tsiqah (terpercaya), namun
banyak melakukan tadlis dan taswiyah". Lihat Taqribut Tahdzib, halaman 1041,
nomor 7506.
[3] . Perawi mudallis, adalah seorang perawi yang berbuat tadlis. Yakni,
menyembunyikan aib atau cacat yang terdapat pada sanad sebuah hadits,
sekaligus membuatnya menjadi tampak baik dan selamat. Lihat at Ta'liqat al
Atsariyah, halaman 49.
[4] . Tadlisut-taswiyah , adalah periwayatan seorang perawi dari syaikhnya,
kemudian ia menghilangkan perawi dha'if yang terletak di antara dua perawi
tsiqah (terpercaya) yang keduanya pernah bertemu. Lihat at Ta'liqat al Atsariyah,
halaman 50, dan Taisir Mushthalahil-Hadits, halaman 81.
[5] . Iqazhul-Himam al Muntaqa min Jami'il- 'Ulumi wal Hikam, halaman
528-529 .
[6] . Lihat ta'liq (komentar) beliau ini di dalam kitab al Muwafaqat (1 /236- 237).
[7] . Dalam kitab beliau, Jami'ul Ulumi wal Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan
min Jawami'il-Kalim , halaman 694- 698
[8] . Iqazhul-Himam al Muntaqa min Jami'il- 'Ulumi wal Hikam, halaman 529.
[9] . Lihat Taqribut-Tahdzib, halaman 518, nomor 3431.
[10] . Lihat pula makna perkataan Umar bin al Khaththab z ini dalam an Nihayah
fi Gharibil- Haditsi wal Atsar (2 /209).
[11] . Al 'Abadilah adalah orang-orang yang bernama 'Abdullah. Yang dimaksud
dengan al 'Abadilah di sini hanya empat orang saja. Yaitu 'Abdullah bin 'Umar,
'Abdullah bin 'Abbas, 'Abdullah bin az Zubair, dan 'Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash.
Keistimewaan mereka, karena mereka sebagai ulama dan ahli fiqih yang
menonjol dari kalangan sahabat, yang meninggal di sekitar akhir masa kehidupan
para sahabat. Selain itu, ayah mereka adalah para sahabat besar (senior). Lihat
Taisir Mushthalahil-Hadits, halaman 200.
[12] . Fat-hul Bari (5 /161).
[13] . Jami'ul- 'Ulumi wal Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan min Jawami'il Kalim,
halaman 698.
[14] . Fat-hul Qawiyyil-Matin fi Syarhil-Arba 'in wa Tatimmatul-Khamsin , halaman
130.
[15] . HR Muslim (1/ 134 no. 153) dan lain-lain .
[16] . Jami'ul- 'Ulumi wal Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan min Jawami'il-Kalim,
halaman 700.
[17] . Syarhul-Arba'in an Nawawiyah, halaman 383.
[18] . Fat-hul Qawiyyil-Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatul-Khamsin , halaman
130.
[19] . Yakni; wajib, sunnah (mustahab), mubah, makruh, dan haram.
[20] . Disadur dari kitab beliau al Muwafaqat (1 /234- 237) secara ringkas.
[21] . Muslim, Tirmidzi dan Ahmad.
[22] . HR Muslim (1/ 116 no. 126) dan lain-lain .
[23] . Hadits shahih riwayat Abu Dawud (4/ 139 no. 4398), an Nasaa-i (6/ 156 no.
3432), Ibnu Majah (1/ 658 no. 2041), dan lain-lain . Dan ini lafazh Abu Dawud.
Dishahihkan oleh Syaikh al Albani t. Lihat Irwa-ul Ghalil (2/4 no.297 ), dan kitab-
kitab beliau lainnya.
[24] . Syarhul-Arba'in an Nawawiyah, halaman 383.
[25] . Contoh aplikasi hadits ini dalam ibadah- ibadah yang dilakukan oleh seorang
muslim dalam kesehariannya, sangatlah banyak dan panjang lebar, sebagaimana
yang telah diterangkan oleh para ulama. Kami persilahkan pembaca budiman -
jika ingin lebih mengetahui pembahasannya secara meluas- untuk merujuk
kepada kitab para ulama yang memuat keterangan hadits ini.
[26] . Silahkan baca Syarhul-Arba'in an Nawawiyah beliau, halaman 384 sampai
389.
[27] . HR Muslim (1/ 381 no. 537), dan lain-lain .
[28] . HR al Bukhari (2/628 no. 1831 dan 6/2455 no. 6292), Muslim (2/ 809 no.
1155), dan lain-lain . Dan ini lafazh Muslim.
Published with Blogger-droid v2.0.2
Sumber: http://almanhaj.or.id/content/3125/slash/0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar