Ilmu al yaqin
Adalah keyakinan akan keberadaan Allah swt berdasar ilmu pengetahuan tentang
sebab akibat atau melalui hukum kausalita, seperti keyakinan dari para ahli ilmu
kalam. Misalnya apa saja yang ada di alam semesta ini adalah sebagai akibat dari
sebab yang telah ada sebelumnya. Sedangkan sebab yang telah ada sebelumnya
yang juga merupakan akibat dari sebab yang sebelumnya lagi, sehingga sampai
pada satu sebab yang tidak diakibatkan oleh sesuatu sebab, yang disebabkan
penyebab pertama atau causa prima. Dan itulah Tuhan.
Ainu al yaqin
Keyakinan yang dialami oleh orang yang telah melewati tahap pertama, yaitu
ilmu al yaqin, sehingga setiap kali dia melihat sesuatu kejadian, tanpa melalui
proses sebab akibat lagi dia langsung meyakini akan wujud Allah; sebagaimana
ucapan:
Sayyidina Abu Bakar As Siddiq ra. :
ُﺖْﻳَﺃَﺭ ﺎَﻣ ﺎًﺌْﻴَﺷ َّﻻِﺇ ُﺖْﻳَﺃَﺭَﻭ َﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴِﻓ
"Tiadalah aku melihat sesuatu, kecuali aku melihat Allah pada sesuatu tersebut"
Ucapan Sayyidina Umar bin Khattab ra.:
ُﺖْﻳَﺃَﺭ ﺎَﻣ ًﺊْﻴَﺷ ُﺖْﻳَﺃَﺭَﻭ َّﻻِﺇ َﻪﻠﻟﺍ ُﻪَﻠْﺒَﻗ
"Tiadalah aku melihat sesuatu, kecuali aku melihat Allah sebelumnya"
Ucapan Sayyidina Usman bin Affan ra.:
ﺎَﻣ ُﺖْﻳَﺃَﺭ ﺎًﺌْﻴَﺷ َّﻻِﺇ ُﺖْﻳَﺃَﺭَﻭ ُﻩَﺪْﻌَﺑ َﻪﻠﻟﺍ
"Tiadalah aku melihat sesuatu, keculai aku melihat Allah sesudahnya".
Ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. :
ﺎَﻣ ُﺖْﻳَﺃَﺭ ﺎًﺌْﻴَﺷ َّﻻِﺇ ُﺖْﻳَﺃَﺭَﻭ ُﻪَﻌَﻣ َﻪﻠﻟﺍ
"Tiadalah aku melihat sesuatu, kecuali aku melihat Allah beserta sesuatu
tersebut".
Haqqul yaqin
Adalah keyakinan dimiliki oleh orang yang telah menyadari bahwa alam semesta
ini pada hakekatnya adalah bayangan dari Penciptanya, sehingga dia dapat
merasakan wujud yang sejati itu hanyalah Allah, sedangkan lainnya hanyalah
bukti dari wujud yang sejati tersebut, yaitu Allah swt.
Tingkatan keyakinan ini menurut para ulama terbagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama adalah tingkatan `ilmu yaqin. Tingkatan `ilmu yaqin ini adalah
tingkatan keyakinan seseorang yang berasal dari pengetahuan yang tidak akan
goyah dengan pendapat atau gangguan apapun. Keyakinan ini layaknya pohon
yang memiliki akar sangat kuat, sehingga pohon itu tak bergeming ketika diterpa
oleh angin bertubi-tubi . Hal ini seperti ucapan Ali bin Abu Thalib di atas, yang
menunjukkan keyakinannya tidak akan goyah dengan apapun. Begitu juga
sahabat Nabi, Haritsah bin an- Nu’man yang memiliki keyakinan kuat. Suatu
ketika Nabi Saw bertanya kepadanya, “Bagaimanakah keadaanmu hari ini wahai
Haritsah?” Beliau ra menjawab, “Aku berada di hari ini benar-benar dalam
keadaan beriman.” Lalu Nabi Muhammad Saw bersabda, “Perhatikanlah
ucapanmu itu, sesungguhnya setiap kebenaran memiliki hakikat.’ ‘Maka apakah
hakikat imanmu?” Beliau ra menjawab, “Nafsuku telah jemu terhadap dunia,
maka bagiku setara antara emas, batu, miskin dan kaya.’ ‘Karena itu aku bejaga
di malam hari, dan puasa di siang hari.’ ‘Seakan- akan kulihat arys Tuhanku
secara nyata, kulihat penduduk surga saling berkunjung dan mendapat nikmat di
dalam surga dan penduduk neraka berkerumun lalu mendapat azab di dalam
neraka.” Mendengar jawaban Haritsah, Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Haritsah adalah seorang hamba yang hatinya diberi cahaya oleh Allah. ’ ‘Kau
telah mengetahuinya maka pertahankanlah.” Karena keyakinannya kuat maka
mari kita lihat apakah harapan Haritsah? Beliau ra berkata, “Wahai Rasulullah,
mintakanlah kepada Allah agar aku mendapatkan mati syahid.” Maka beliau Saw
mendoakannya, dan doa beliau Saw diterima oleh Allah. Haritsah termasuk
sahabat yang pertama kali syahid pada waktu perang uhud. Ketika ibu haritsah
mendengar berita kematian anaknya, ia bergegas menuju Nabi Muhammad Saw
dan bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang anakku
Haritsah.’ ‘Jika ia berada di surga aku tak akan menangis atau meratap.’ ‘Tetapi
jika ia berada dalam tempat yang lain, maka aku akan menangis selama aku
hidup di dunia ini.” Maka Rasulullah Saw bersabda, “Apakah kau tak memahami
wahai ibu Haritsah?’ ‘Sesungguhnya surga itu memiliki banyak tingkatan, dan
sesungguhnya anakmu telah mencapai surga Firdaus yang tertinggi.” Maka ibu
Haritsah kembali dengan tersenyum sambil berkata, “Beruntung, beruntunglah
engkau wahai Haritsah.” (Hadits Riwayat Baihaqi)
Kedua adalah tingkatan `ainul yaqin, yaitu tingkatan keyakinan seseorang yang
telah menyaksikan apa yang selama ini ia yakini melalui ilmunya. Contohnya
seperti sebuah peristiwa yang disampaikan oleh Abdullah bin Abbas. Beliau
menceritakan bahwa pada suatu ketika terjadi gerhana matahari pada masa
Rasulullah Saw. Lalu beliau Saw melakukan shalat bersama para sahabatnya.
Beliau berdiri lama sepanjang bacaan surat al- Baqarah. Usai shalat beliau
berbalik, sedang matahari telah nampak. Beliau Saw bersabda, “Sesungguhnya
matahari dan bulan merupakan tanda- tanda kekuasaan Allah.’ ‘Tiadalah gerhana
terjadi karena kematian dan kehidupan seseorang.’ ‘Karena itu, jika kalian
melihatnya, maka sebutlah Allah” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami
melihatmu mengambil sesuatu di tempat berdirimu ini, lalu kami melihatmu
mundur ke belakang.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku melihat surga, maka
aku berusaha mengambil seikat buah-buahan .’ ‘Jika aku mengambilnya, niscaya
kalian akan dapat memakannya selama dunia ini masih ada.’ ‘Dan aku juga
melihat neraka. ’ ‘Tak pernah kulihat pemandangan yang lebih menyeramkan dari
pemandangan hari ini.’ ‘Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita.”
Para sahabat bertanya, “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Karena pengingkaran mereka”. Beliau Saw ditanya, “Apakah mereka
mengingkari Allah?” Nabi menjawab, “Mereka mengingkari suami, dan perbuatan
baik.’ ‘Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka
sepanjang waktu, lalu dia melihat suatu kekurangan darimu, niscaya dia akan
mengatakan, “Aku tidak pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu.”
Ketiga adalah tingkatan haq al-yaqin , tingkatan ini adalah kedudukan ketika
seseorang merasakan kehadiran sesuatu yang selama ini ia yakini. Inilah
pencapaian keyakinan yang tertinggi yang telah dicapai oleh para Rasul dan Nabi.
Mereka menerima wahyu dari Allah, berdialog dengan Allah. Mereka juga
berinteraksi dengan para malaikat Allah, atau bahkan bertemu dengan Allah.
Contohnya adalah peristiwa mi’ raj yang dialami oleh Rasul Saw dan dialog yang
terjadi di dalamnya. Pencapaian yang tertinggi ini menutup segala celah keraguan
di dalam hati seseorang. Seorang ulama menjelaskan tingkatan keyakinan di atas
dengan contoh yang sangat sederhana dan mengena. Ia menjelaskannya sebagai
berikut:
Jika kita menyambut kedatangan rombongan haji yang datang dari Mekah. Lalu
setiap orang yang datang mengatakan bahwa di Mekah terdapat Ka’bah .
Mungkinkah kita meragukan keberadaan Ka’bah di Mekah? Tentu saja tidak
mungkin kita meragukannya. Bagaimana mungkin seluruh rombongan itu
sepakat dalam kedustaan? Pada saat itu kita merasakan keyakinan akan
keberadaan Ka’bah di Mekah. Dan keyakinan kita tak mungkin digoyahkan oleh
pendapat-pendapat lain, walaupun kita belum pernah menyaksikannya. Seperti
inilah tingkatan `ilmu yaqin. Lalu ketika kita mendapat kesempatan untuk
menunaikan ibadah haji, maka kita pergi ke Mekah dan kita menyaksikan
langsung keberadaan Ka’bah dengan mata kepala kita sendiri. Maka lebih kuatlah
keyakinan kita. Dan seperti inilah kedudukan `ain al- yaqin. Setelah semua itu,
kita mendekati Ka’bah lalu menyentuhnya, maka pada posisi ini kita telah
merasakan keberadaan Ka’bah . Dan seperti itulah mereka yang telah mencapai
kedudukan haq al-yaqin .
Senin, Desember 05, 2011
ILMU YAQIN, AINUL YAQIN dan HAQQUL YAQQIIN
Published with Blogger-droid v2.0.1
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar