Senin, Desember 05, 2011

ILMU YAQIN, AINUL YAQIN dan HAQQUL YAQQIIN

Ilmu al yaqin

Adalah keyakinan akan keberadaan Allah swt berdasar ilmu pengetahuan tentang

sebab akibat atau melalui hukum kausalita, seperti keyakinan dari para ahli ilmu

kalam. Misalnya apa saja yang ada di alam semesta ini adalah sebagai akibat dari

sebab yang telah ada sebelumnya. Sedangkan sebab yang telah ada sebelumnya

yang juga merupakan akibat dari sebab yang sebelumnya lagi, sehingga sampai

pada satu sebab yang tidak diakibatkan oleh sesuatu sebab, yang disebabkan

penyebab pertama atau causa prima. Dan itulah Tuhan.

Ainu al yaqin

Keyakinan yang dialami oleh orang yang telah melewati tahap pertama, yaitu

ilmu al yaqin, sehingga setiap kali dia melihat sesuatu kejadian, tanpa melalui

proses sebab akibat lagi dia langsung meyakini akan wujud Allah; sebagaimana

ucapan:

Sayyidina Abu Bakar As Siddiq ra. :

ُﺖْﻳَﺃَﺭ ﺎَﻣ ﺎًﺌْﻴَﺷ َّﻻِﺇ ُﺖْﻳَﺃَﺭَﻭ َﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴِﻓ

"Tiadalah aku melihat sesuatu, kecuali aku melihat Allah pada sesuatu tersebut"

Ucapan Sayyidina Umar bin Khattab ra.:

ُﺖْﻳَﺃَﺭ ﺎَﻣ ًﺊْﻴَﺷ ُﺖْﻳَﺃَﺭَﻭ َّﻻِﺇ َﻪﻠﻟﺍ ُﻪَﻠْﺒَﻗ

"Tiadalah aku melihat sesuatu, kecuali aku melihat Allah sebelumnya"

Ucapan Sayyidina Usman bin Affan ra.:

ﺎَﻣ ُﺖْﻳَﺃَﺭ ﺎًﺌْﻴَﺷ َّﻻِﺇ ُﺖْﻳَﺃَﺭَﻭ ُﻩَﺪْﻌَﺑ َﻪﻠﻟﺍ

"Tiadalah aku melihat sesuatu, keculai aku melihat Allah sesudahnya".

Ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. :

ﺎَﻣ ُﺖْﻳَﺃَﺭ ﺎًﺌْﻴَﺷ َّﻻِﺇ ُﺖْﻳَﺃَﺭَﻭ ُﻪَﻌَﻣ َﻪﻠﻟﺍ

"Tiadalah aku melihat sesuatu, kecuali aku melihat Allah beserta sesuatu

tersebut".

Haqqul yaqin

Adalah keyakinan dimiliki oleh orang yang telah menyadari bahwa alam semesta

ini pada hakekatnya adalah bayangan dari Penciptanya, sehingga dia dapat

merasakan wujud yang sejati itu hanyalah Allah, sedangkan lainnya hanyalah

bukti dari wujud yang sejati tersebut, yaitu Allah swt.

Tingkatan keyakinan ini menurut para ulama terbagi menjadi tiga tingkatan.

Pertama adalah tingkatan `ilmu yaqin. Tingkatan `ilmu yaqin ini adalah

tingkatan keyakinan seseorang yang berasal dari pengetahuan yang tidak akan

goyah dengan pendapat atau gangguan apapun. Keyakinan ini layaknya pohon

yang memiliki akar sangat kuat, sehingga pohon itu tak bergeming ketika diterpa

oleh angin bertubi-tubi . Hal ini seperti ucapan Ali bin Abu Thalib di atas, yang

menunjukkan keyakinannya tidak akan goyah dengan apapun. Begitu juga

sahabat Nabi, Haritsah bin an- Nu’man yang memiliki keyakinan kuat. Suatu

ketika Nabi Saw bertanya kepadanya, “Bagaimanakah keadaanmu hari ini wahai

Haritsah?” Beliau ra menjawab, “Aku berada di hari ini benar-benar dalam

keadaan beriman.” Lalu Nabi Muhammad Saw bersabda, “Perhatikanlah

ucapanmu itu, sesungguhnya setiap kebenaran memiliki hakikat.’ ‘Maka apakah

hakikat imanmu?” Beliau ra menjawab, “Nafsuku telah jemu terhadap dunia,

maka bagiku setara antara emas, batu, miskin dan kaya.’ ‘Karena itu aku bejaga

di malam hari, dan puasa di siang hari.’ ‘Seakan- akan kulihat arys Tuhanku

secara nyata, kulihat penduduk surga saling berkunjung dan mendapat nikmat di

dalam surga dan penduduk neraka berkerumun lalu mendapat azab di dalam

neraka.” Mendengar jawaban Haritsah, Nabi Muhammad Saw bersabda,

“Haritsah adalah seorang hamba yang hatinya diberi cahaya oleh Allah. ’ ‘Kau

telah mengetahuinya maka pertahankanlah.” Karena keyakinannya kuat maka

mari kita lihat apakah harapan Haritsah? Beliau ra berkata, “Wahai Rasulullah,

mintakanlah kepada Allah agar aku mendapatkan mati syahid.” Maka beliau Saw

mendoakannya, dan doa beliau Saw diterima oleh Allah. Haritsah termasuk

sahabat yang pertama kali syahid pada waktu perang uhud. Ketika ibu haritsah

mendengar berita kematian anaknya, ia bergegas menuju Nabi Muhammad Saw

dan bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang anakku

Haritsah.’ ‘Jika ia berada di surga aku tak akan menangis atau meratap.’ ‘Tetapi

jika ia berada dalam tempat yang lain, maka aku akan menangis selama aku

hidup di dunia ini.” Maka Rasulullah Saw bersabda, “Apakah kau tak memahami

wahai ibu Haritsah?’ ‘Sesungguhnya surga itu memiliki banyak tingkatan, dan

sesungguhnya anakmu telah mencapai surga Firdaus yang tertinggi.” Maka ibu

Haritsah kembali dengan tersenyum sambil berkata, “Beruntung, beruntunglah

engkau wahai Haritsah.” (Hadits Riwayat Baihaqi)

Kedua adalah tingkatan `ainul yaqin, yaitu tingkatan keyakinan seseorang yang

telah menyaksikan apa yang selama ini ia yakini melalui ilmunya. Contohnya

seperti sebuah peristiwa yang disampaikan oleh Abdullah bin Abbas. Beliau

menceritakan bahwa pada suatu ketika terjadi gerhana matahari pada masa

Rasulullah Saw. Lalu beliau Saw melakukan shalat bersama para sahabatnya.

Beliau berdiri lama sepanjang bacaan surat al- Baqarah. Usai shalat beliau

berbalik, sedang matahari telah nampak. Beliau Saw bersabda, “Sesungguhnya

matahari dan bulan merupakan tanda- tanda kekuasaan Allah.’ ‘Tiadalah gerhana

terjadi karena kematian dan kehidupan seseorang.’ ‘Karena itu, jika kalian

melihatnya, maka sebutlah Allah” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami

melihatmu mengambil sesuatu di tempat berdirimu ini, lalu kami melihatmu

mundur ke belakang.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku melihat surga, maka

aku berusaha mengambil seikat buah-buahan .’ ‘Jika aku mengambilnya, niscaya

kalian akan dapat memakannya selama dunia ini masih ada.’ ‘Dan aku juga

melihat neraka. ’ ‘Tak pernah kulihat pemandangan yang lebih menyeramkan dari

pemandangan hari ini.’ ‘Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita.”

Para sahabat bertanya, “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,

“Karena pengingkaran mereka”. Beliau Saw ditanya, “Apakah mereka

mengingkari Allah?” Nabi menjawab, “Mereka mengingkari suami, dan perbuatan

baik.’ ‘Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka

sepanjang waktu, lalu dia melihat suatu kekurangan darimu, niscaya dia akan

mengatakan, “Aku tidak pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu.”

Ketiga adalah tingkatan haq al-yaqin , tingkatan ini adalah kedudukan ketika

seseorang merasakan kehadiran sesuatu yang selama ini ia yakini. Inilah

pencapaian keyakinan yang tertinggi yang telah dicapai oleh para Rasul dan Nabi.

Mereka menerima wahyu dari Allah, berdialog dengan Allah. Mereka juga

berinteraksi dengan para malaikat Allah, atau bahkan bertemu dengan Allah.

Contohnya adalah peristiwa mi’ raj yang dialami oleh Rasul Saw dan dialog yang

terjadi di dalamnya. Pencapaian yang tertinggi ini menutup segala celah keraguan

di dalam hati seseorang. Seorang ulama menjelaskan tingkatan keyakinan di atas

dengan contoh yang sangat sederhana dan mengena. Ia menjelaskannya sebagai

berikut:

Jika kita menyambut kedatangan rombongan haji yang datang dari Mekah. Lalu

setiap orang yang datang mengatakan bahwa di Mekah terdapat Ka’bah .

Mungkinkah kita meragukan keberadaan Ka’bah di Mekah? Tentu saja tidak

mungkin kita meragukannya. Bagaimana mungkin seluruh rombongan itu

sepakat dalam kedustaan? Pada saat itu kita merasakan keyakinan akan

keberadaan Ka’bah di Mekah. Dan keyakinan kita tak mungkin digoyahkan oleh

pendapat-pendapat lain, walaupun kita belum pernah menyaksikannya. Seperti

inilah tingkatan `ilmu yaqin. Lalu ketika kita mendapat kesempatan untuk

menunaikan ibadah haji, maka kita pergi ke Mekah dan kita menyaksikan

langsung keberadaan Ka’bah dengan mata kepala kita sendiri. Maka lebih kuatlah

keyakinan kita. Dan seperti inilah kedudukan `ain al- yaqin. Setelah semua itu,

kita mendekati Ka’bah lalu menyentuhnya, maka pada posisi ini kita telah

merasakan keberadaan Ka’bah . Dan seperti itulah mereka yang telah mencapai

kedudukan haq al-yaqin .


Published with Blogger-droid v2.0.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar