Senin, Desember 12, 2011

HADIST TENTANG MEMBAYAR FIDYAH SEBAB MENINGGALKAN KEWAJIBAN

Alhamdulillah segala puji syukur senantiasa kami

panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

kerahmatan bagi kami semua berupa pendidikan yang bisa

membentuk kepribadian kami sehingga bisa menjadi muslim

yang sesungguhnya.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi

Muhammad saw yang senantiasa menjadi rahmatan lil alamin,

yang mengangkis kita dari alam kedoliman menuju alam yang

penuh nur ilahi.

Setelah kami mengumpulkan data-data yang terdapat

dibeberapa literatur, alhamdulillah kami dapat

menyelesaikan tugas akhir ini yang telah diberikan oleh

dosen kami ini yakni bapak Imam Syafi’i, S Ag., M.Pd.

walaupun sangat sulit bagi kami untuk mencernanya. Kami

harap kepada dosen pembimbing untuk memaklumi segala

kekurangan yang ada dalam makalah ini, karena kesalahan

memang milik manusia, sedangkan kesempurnaan hanyalah

milik Allah. Dikarenakan nomer absen kami lebih dari 40,

jadi saya memilih materi ini berdasarkan hati kami, dan

ketepatan sekali kami memilih materi hukum fidyah bagi

orang yang telah lalai akan kewajibannya.

Saran dan kritik selalu kami harapkan dari para pembaca

sekalian untuk lebih memperbaiki kekurangan yang ada

dalam makalah ini

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti apa yang telah kita ketahui, bahwasanya sekarang

kita telah hidup di zaman modern atau Di zaman era

globalisasi, hal ini telah banyak merubah pola fikir

manusia, sehingga banyak dari mereka saling bersaing

dalam bidang IPTEK atau pengetahuan umum. Hal ini

menyebabkan akan kelalaian bagi kewajiban mereka masing-

masing, dunia agamapun sudah dianggap hal yang tidak

terlalu penting bagi mereka. Pada akhirnya mereka lupa

bahwa ilmu agam khususnya ilmu hadis juga penting untuk

bekal kehidupannya agar tidak sesat. Sejak terlahirnya

kita kedunia ini, sebenarnya kita semua telah menyepakati

sebuah perjanjian dan sejak memulai sebuah kehidupan

kita, maka kita pun telah dikenai sebuah kewajiban-

kewajiban, oleh karena itu selain bersaing dalam ilmu

umum, masyarakat hendaknya juga bersaing dalam ilmu agama

sehingga tujuan kehidupan dapat berjalan dan terlaksana

dengan baik (seimbang). Apalagi ilmu agama itu menyangkut

tentang fidyah, sebagai hukuman ( denda ) bagi orang yang

telah lalai akan kewajibannya.

Dalam hal ini, maka diuraikan tentang fidyah. Sehingga

kita semua kususnya masyarakat pada umumnya dapat

mengetahui dan memahami dari betapa pentingnya belajar

ilmu hadis khususnya materi fidyah ini. Didalam makalah

ini kami akan mencoba untuk menguraikan bagaimana

sebenarnya apa fidyah itu, bagimana hukumnya, bagaimana

takaran fidyah tersebut, dan apa penyebab terkenainya

fidyah serta

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari fidyah ?

2. Bagaimana hukum dan ketentuan jumlah pembayaran

fidyah ?

3. Apa penyebab – penyebab dikenainya membayar fidyah ?

4. Bagaimana jika ada pelipatgandaan dari fidyah ?

1

C. Mamfaat dan Tujuan Penulisan

a. Mamfaat

Mamfaat dari penulisan makalah ini diharapkan dapat

memberikan :

1. Pemahaman tentang fidyah.

2. Pemahaman tentang bagaimana hukum dan takaran untuk

fidyah.

3. Gambaran tentang penyebab tentang terjadinya fidyah.

4. Sedikit penjelasan tentang pelipatgandaan fidyah.

b. Tujuan

Dari hasil pembahasan makalah ini diharapkan dapat

membantu dan berguna sebagai bahan pertimbangan dan

sebagai bahan evaluasi bagi masyarakat untuk lebih

memperhatikan semua kewajiban-kewajiban kita terhadap

Allah SWT…khusunya pada kewajiban kita untuk membayar

fidyah apabila kita telah lalai akan kewajiban kita. hal

ini sebagai bahan evaluasi untuk kehidupan kita pada masa

yang akan dating.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fidyah

Fidyah berasal dari bahasa Arab yaitu ﺪﻓ ﻪﻳ yang artinya

“barang penebus”. Jadi arti keseluruhan dala bahasa

Indonesia adalah hukuman yang berupa denda yang diberikan

bagi seseorang sebab ia meninggalkan kewajiban dengan

cara memberi makan orang miskin.

Di dalam definisi yang lain adalah pemberian bahan

makanan pokok atau makanan siap saji kepada orang miskin

(fakir atau miskin) karena meninggalkan puasa Ramadhan

dengan alasan yang dibenarkan oleh syariat. Adapun fidyah

yang berhubungan dengan ibadah haji adalah denda/ganti

atas tidak ditunaikannya tahallul karena sakit atau ada

luka di kepala. Atupun banyak lage kewajiban yang jika

kita lalai maka dikenakan membayar fidyah. Kewajiban ini

berkisar pada masalah puasa orang yang meninggalkan

kewajiban adalah orang yang berat menjalankan puasa

seperti orang tua renta, yang tidak mampu untuk berpuasa,

orang sakit, yang kesembuhannya mungkin tidak dapat

diharapkan lagi, orang yang hamil / menyusui, orang yang

meremehkan penggadaan puasa ramadhan.

Adapun hadistnya yang menjelaskan tentang hal ini sebagai

berikut :

ﻦﻋﻭ ﺎﻄﻋ ﺀ ﻊﻤﺳ ﻦﺑﺍ ﺎﺒﻋ ﺱ ﺀﺍﺮﻘﻳ ) ﻰﻠﻠﻋﻭ ﻦﻳﺪﻟﺍ ﻪﻧﻮﻘﻴﻄﻳ ﺔﻳﺪﻓ ﻡﺎﻌﻃ

ﻦﻴﻜﺴﻣ ( ﻝﺎﻗ ﻥﺍ ﺱﺎﺒﻋ : ﺖﺴﻴﻟ ﺔﺧﻮﺴﻨﻤﺑ ﻮﻫﻭ ﺦﻴﺸﻠﻟ ﺮﻴﺒﻜﻟﺍ ﺮﻤﻟﺍﻭ ﺓﺮﺒﻜﻟﺍ ﺓﺍ

ﻻﻭ ﻥﺎﻌﻄﺘﺴﻳ ﻮﺼﻳ ﻥﺍ ﺎﻣ ﻥﺎﻤﻌﻄﻴﻓ ﻥﺎﻜﻣ ﻞﻛ ﻮﻳ ﺎﻨﻴﻜﺴﻣ ) ﻩﺍﻭﺭ ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ

Artinya :

“Dan dari ‘atha’, ia mendengar ibnu abbas membaca ayat

“dan wajib atas orang-orang yang kuat berpuasa itu

membayar fidyah, memberi makan seorang miskin “ maka ibnu

‘abbas berkata : ayat ini tidak dimansukh, tetapi

terpakai untuk orang yang sudah tdak kuat puasa, maka

mereka ini harus memberikan makan seorang miskin setiap

hari sebagai gantinya .(HR. Bukhari)”

B. Hukum Fidyah

Dalam ketetapan syari’ah islam sudah dijelaskan bagaiman

hukum dari membayar fidyah jika kita telah lalai akan

kewajiban kita, adapun dari hukum fidyah adalah wajib.

Hal ini berdasarkan ayat al-Qur’an berikut :

     

  ) ﺓﺮﺒﻟﺍ : 183 (

Artinya:

“….Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya

(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):

memberi makan seorang miskin……(Q.S.Al – Baqarah : 184 )”

Adapun hadistnya yang menerangkan tentang fidyah telah

diriwayatkan oleh salamah bin akwa’ ra, yaitu :

ﺚﻳﺪﺣ ﺔﻤﻠﺳ ﻦﺑ ﻻﺍ ﻉﻮﻛ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﻝﺎﻗ: ﺎﻤﻟ ﺖﻟﺰﻧ ﻩﺬﻫ ﺔﻳﻻﺍ ) ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻰﻠﻋﻭ

ﻪﻧﻮﻘﻴﻄﻳ ﺔﻳﺪﻓ ﻡﺎﻌﻃ ﻦﻴﻜﺴﻣ ( ﻥﺎﻛ ﺩﺍﺭﺍ ﻥﺍ ﺮﻄﻔﻳ ﻯﺪﺘﻔﻳﻭ ﻰﺘﺣ ﺖﻟﺰﻧ ﺔﻳﻻﺍ

ﻰﺘﻟﺍ ﺎﻫﺪﺤﺑ ﺎﻬﺘﺨﺴﻨﻓ ) ﻦﻋﺎﻤﺠﻟﺍ ﻩﻭﺍﺭ ﻻﺍ ﺪﻤﺣ (

Artinya :

“Diriwayatkan dari salamah bin akwa’ radhiyalluhu ‘anhu,

dia telah berkata : ketika turun ayat : wa’alal ladzina

yuthiqunahu fidyatun tha’amu miskin = dan di wajibkan

bagi orang yang tidak berdaya melakukanya ( berpuasa)

agar membayar fidyah ( memberi ) makan kepada orang

miskin” menyebabkan ada seseorang yang ingin berbuka

(tidak berpuasa) dan membayar fidyah, sehingga kemudian

turunlah ayat berikutnya yang menasakhkannya (HR. Jama’ah

kecuali ahmad )”

Hadits diatas menerangkan tentang diwajibkannya berpuasa

atas orang yang mampu melakukanya. Ketika ayat di atas

turun, kata “yuthi qunahu = mampu melakukanya,”

mengacaukan pemahaman, sehingga ada orang yang mampu

berpuasa, tetapi ingin membayar fidyah sebagai ganti

puasa. Namun kemudian turun ayat berikutnya :

ﻦﻤﻓ ﺪﻬﺛ ﻦﻣ ﻢﻛ ﻪﻤﺼﻴﻠﻓ ﺮﻬﺜﻟﺍ

Artinya :

“Maka barang siapa diantara kamu bertemu dengan bulan

ramadhan, maka harus berpuasa pada bulan itu”.

Dengan adanya hadis dan ayat-ayat sebagai penjelas ini

maka semakin jelas dan tegas, bahwa yang diperbolehkan

membayar fidyah adalah orang yang sudah tidak mampu

melakukan puasa. Sedang bagi yang mampu, maka harus

berpuasa. Hal ini dipertegas dengan hadis berikut :

ﻦﻋﻭ ﺪﺒﻋ ﻦﻤﺣﺮﻟﺍ ﻦﺑ ﻰﺑﺍ ﻰﻠﻴﻟ ﻦﻋ ﺎﻌﻣ ﻦﺑﺩ ﻞﺒﺟ ﻮﻨﺑ ﺚﻳﺪﺣ ﺔﻤﻠﺳ ﻪﻴﻓﻭ :ﻢﺷ

ﻝﺰﻧﺍ ﻪﻠﻟﺍ )ﻦﻤﻓ ﺪﻬﺷ ﻢﻜﻨﻣ ﺮﻬﺸﻟﺍ ﻪﻤﺼﻴﻠﻓ ( ﺖﺒﺷﺎﻓ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻣﺎﻴﺻ ﻰﻠﻋ ﻢﻴﻘﻤﻟﺍ

ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ ﺺﺧﺭﻭ ﻪﻴﻓ ﺮﻤﻠﻟ ﺾﻳ ﺮﻓﺎﺴﻤﻟﺍﻭ ﺖﺒﺷﻭ ﻻﺍ ﻡﺎﻌﻃ ﺮﻴﺒﻜﻠﻟ ﻯﺪﻟﺍ ﻻ ﺢﻴﻄﺘﺴﻳ

ﻡﺎﻴﺼﻟﺍ ) ﻩﺍﻭﺭ ﻻﺍ ﻲﺑﺍﻭ ﺪﻤﺣ ﺩﻭﺍﺩ )

Artinya :

“Dan dari abdul rahman bin abi laila, dari mu’adz bin

jabal ( meriwayatkan ) seperti hadis salamah, tetapi

disitu terdapat kalimat sebagai berikut : kemudian allah

menurunkan ayat “ maka barang siapa diantara kamu yang

menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa”, maka

allah menetapkan berpuasa bagi orang muqim yang sehat dan

memberikan keringanan (rukhshah) kepada orang yang sakit

dan musafir serta membayar fidyah bagi orang yang sudah

lanjut usia tidak kuat berpuasa (HR. Ahmad dan Abu

Daud )”

b.1 Ukuran Fidyah

Ukuran fidyah adalah satu ukuran sekali makan untuk

setiap hari puasa yang ditinggalkan tersebut. Ukurannya

adalah ½ sha’ atau satu mud.

Satu Sha' jika dikonversikan dengan kilogram adalah

antara 2,2 kg atau 2,5 kg, atau 3 kg (perbedaan ini

menurut perbedaan tarjih para ulama). Sedangkan satu mud

sama dengan 1/4 sha' nabawy atau 1/5 sha' penduduk Qashim

(satu wilayah di Saudi Arabia) sekarang.

Khusus untuk fidyah untuk haji adalah ada tiga

alternatif:

1. Berpuasa 3 hari;

2. Memberi makan 6 orang miskin;

3. Menyembelih hewan ternak.

Adapun dalilnya adalah:

Firman Allah:

ﺎًﻣﺎَّﻳَﺃ ٍﺕﺍَﺩﻭُﺪْﻌَﻣ ْﻦَﻤَﻓ َﻥﺎَﻛ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ْﻭَﺃ ﺎًﻀﻳِﺮَﻣ ﻰَﻠَﻋ ٍﺮَﻔَﺳ ٌﺓَّﺪِﻌَﻓ ْﻦِﻣ ٍﻡﺎَّﻳَﺃ َﺮَﺧُﺃ ﻰَﻠَﻋَﻭ

َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ُﻪَﻧﻮُﻘﻴِﻄُﻳ ٌﺔَﻳْﺪِﻓ ُﻡﺎَﻌَﻃ ٍﻦﻴِﻜْﺴِﻣ ْﻦَﻤَﻓ َﻉَّﻮَﻄَﺗ ﺍًﺮْﻴَﺧ َﻮُﻬَﻓ ٌﺮْﻴَﺧ ُﻪَﻟ ْﻥَﺃَﻭ ﺍﻮُﻣﻮُﺼَﺗ

ٌﺮْﻴَﺧ ْﻢُﻜَﻟ ْﻥِﺇ ْﻢُﺘْﻨُﻛ َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﺗ

Artinya:

“ (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang

siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan

(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)

sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang

lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat

menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar

fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang

siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,

maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih

baik bagimu jika kamu mengetahui”

Dengan turunnya ayat tersebut maka Rasulullah bersabda:

“Siapa yang meninggal dunia sedangkan ia memiliki hutang

puasa, maka hendaklah diberikan makanan kepada seorang

miskin per hari untuk orang tersebut.” HR. Ibn Majah dari

Ibn Umar, Tirmidzi mengatakan: “Yang shahih/benar tentang

hadits Ibn Umar adalah mauquf.”

Dari Aisyah, ia berkata:

“Memberikan makan atas nama orang yang meninggal tersebut

sebagai qadha atas puasa Ramadhannya, dan tidak

dipuasakan.”

Dan Ibn Abbas ketika ditanya tentang seorang laki-laki

yang meninggal, sementara ia memiliki hutang nadzar puasa

satu bulan dan hutang puasa Ramadhan 1 bulan, maka ia

menjawab: “Adapun puasa ramadhan yang terhutang, maka

lunasilah dengan membayarkannya dalam bentuk makanan,

adapun nadzarnya, maka puasakanlah untuknya.” HR. Al-

Atsram dalan Al-Sunan.

Apabila seseorang tidak bisa mengqadha puasanya karena

udzur yang dibenarkan syariat, hingga ia meninggal dunia,

maka tidak ada beban apapun atasnya. Hal ini karena puasa

adalah hak Allah, ia diwajibkan berdasarkan syariat, akan

tetapi ia meninggal sebelum tertunaikan kewajibannya.

Maka, siapapun yang

diwajibkan dari sesuatu sebelum ada kemampuan maka

gugurlah kewajiban itu tanpa harus menggantinya, seperti

misalnya juga haji. (Jika seseorang tidak mampu

menunaikan haji, walaupun ia rukun Islam kelima, namun

seseorang tidak ada kewajiban apapun atas rukun Islam ini

kecuali kalau memiliki kemampuan.

Namun, jika ia meninggal dan belum menunaikan qadha puasa

tanpa udzuar, maka hendaklah ditunaikan qadhanya berupa

pemberian makan kepada seorang miskin per hari sesuai

jumlah hari yang ditinggalkannya. Hal ini berdasarkan

hadis Ibn Umar, Aisyah, dan Ibn Abbas.

Siapa yang tidak berpuasa ramadhan karena sudah tua-

renta, ataupun sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya,

maka hendaklah ia memberi makan kepada seorang miskin

untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya.

Adapun dalil fidyah dalam urusan haji adalah firman

Allah:

ﺍﻮُّﻤِﺗَﺃَﻭ َّﺞَﺤْﻟﺍ َﺓَﺮْﻤُﻌْﻟﺍَﻭ ِﻪَّﻠِﻟ ْﻥِﺈَﻓ ْﻢُﺗْﺮِﺼْﺣُﺃ ﺎَﻤَﻓ َﺮَﺴْﻴَﺘْﺳﺍ َﻦِﻣ ِﻱْﺪَﻬْﻟﺍ ﻻَﻭ ﺍﻮُﻘِﻠْﺤَﺗ

ْﻢُﻜَﺳﻭُﺀُﺭ ﻰَّﺘَﺣ َﻎُﻠْﺒَﻳ ُﻱْﺪَﻬْﻟﺍ ُﻪَّﻠِﺤَﻣ ْﻦَﻤَﻓ َﻥﺎَﻛ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ﺎًﻀﻳِﺮَﻣ ْﻭَﺃ ِﻪِﺑ ﻯًﺫَﺃ ْﻦِﻣ ِﻪِﺳْﺃَﺭ

ٌﺔَﻳْﺪِﻔَﻓ ْﻦِﻣ ٍﻡﺎَﻴِﺻ ْﻭَﺃ ٍﺔَﻗَﺪَﺻ ْﻭَﺃ ٍﻚُﺴُﻧ ﺍَﺫِﺈَﻓ ْﻢُﺘْﻨِﻣَﺃ ْﻦَﻤَﻓ َﻊَّﺘَﻤَﺗ ِﺓَﺮْﻤُﻌْﻟﺎِﺑ ﻰَﻟِﺇ ِّﺞَﺤْﻟﺍ

ﺎَﻤَﻓ َﺮَﺴْﻴَﺘْﺳﺍ َﻦِﻣ ِﻱْﺪَﻬْﻟﺍ ْﻦَﻤَﻓ ْﻢَﻟ ْﺪِﺠَﻳ ُﻡﺎَﻴِﺼَﻓ ِﺔَﺛﻼَﺛ ٍﻡﺎَّﻳَﺃ ﻲِﻓ ِّﺞَﺤْﻟﺍ ٍﺔَﻌْﺒَﺳَﻭ ﺍَﺫِﺇ

ْﻢُﺘْﻌَﺟَﺭ َﻚْﻠِﺗ ٌﺓَﺮَﺸَﻋ ٌﺔَﻠِﻣﺎَﻛ َﻚِﻟَﺫ ْﻦَﻤِﻟ ْﻢَﻟ ْﻦُﻜَﻳ ُﻪُﻠْﻫَﺃ ﻱِﺮِﺿﺎَﺣ ِﺪِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ ِﻡﺍَﺮَﺤْﻟﺍ ﺍﻮُﻘَّﺗﺍَﻭ

َﻪَّﻠﻟﺍ ﺍﻮُﻤَﻠْﻋﺍَﻭ َّﻥَﺃ َﻪَّﻠﻟﺍ ُﺪﻳِﺪَﺷ ِﺏﺎَﻘِﻌْﻟﺍ

Artinya:

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah.

Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena

sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan

jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di

tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit

atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka

wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau

bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa)

aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah

sebelum haji (di dalam bulan haji), wajiblah ia

menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia

tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka

wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari

(lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh

(hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar

fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada

(di sekitar) Masjidilharam

(orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan

bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah

sangat keras siksaan-Nya.. Q.S. Al-Baqarah: 196.”

Dalil kedua adalah hadits ibn Ujrah yang terluka di

kepalanya, maka Rasulullah bersabda: “Maka fidyahnya

adalah puasa 3 hari, atau memberi makan 6 orang miskin,

atau menyembelih kambing”. HR. Muttafaq Alaih

Apa yang diberikan dan berapa?

Tidak ada ketentuan atau batasan yang jelas, maka hal ini

kita kembalikan kepada kebiasaan. Anas ibn Malik ketika

sudah tua pernah mengumpulkan 30 orang fakir dan memberi

mereka makan dengan roti beserta lauknya HR. Bukhari

dalam tafsirnya 3/197.

Maka jika seseorang memberi makan siang atau makan malam

kepada seorang miskin, maka itu sudah cukup untuk disebut

sebagai fidyahnya atas puasa yang ia tinggalkan itu.

Sebagian ulama mengatakan: “Cara demikian tidak sah, yang

benar adalah memberi bahan makanan pokok. Oleh karena

itu, mereka mengatakan: tidak boleh tidak, harus memberi

dalam bentuk 1 mud gandum atau ½ sha’ bahan makanan

pokok. (1 sha’ adalah 3 kg; 1 mud adalah ¼ sha’. Lihar

detailnya dalam kamus zakat di www.siwakz.net). Sebagian

ulama lainnya mengatakan ½ sha’ dari bahan makanan pokok

apapun.

Apa yang dimaksud dengan ½ sha’?

Apakah ½ sha’ ini ukuran yang dikenal menurut masyarakat

setempat ataukah menurut ukuran di zaman Nabi SAW?

Jawaban kami adalah: “tidak ada seorang pun sepengetahuan

kami dari seluruh ulama, yang mengatakan ukuran sha’

adalah menurut masyarakat setempat”. Jadi yang benar

adalah menurut ukuran sha’ di zaman Nabi SAW. Dari sini

sudah jelas bagaimana ukuran sha’ yang sebenarnya.

Sebagian ulama ada yang membolehkan ukuran dengan ukuran

sha’ daerah qashim, namun tatkala kami lihat ukurannya,

ternyata 1 sha’ daerah qashim lebih banyak dari 1 sha’

zaman Nabi sebanyak 0,25-nya, sebab sha’ kita (Qashim)

ternyata 5 mud, sedangkan sha’ nabawy hanya 4 mud.

Ketentuan tentang jumlah pembayaran fidyah yaitu,

sebanyak setengah sha’ biji gandung atau uang senilai

itu. Fidyah, baru boleh dilakukan jika orang yang

bersangkutan tidak mampu berpuasa sepanjang hidupnya.

Adapun fidyah boleh berupa satu mud makanan yang

mengenyangkan untuk setiap hari. Dan banyaknya fidyah

disesuaikan dengan jumlah puasa yang tidak dilakukan oleh

orang tersebut.

C. Penyebab dikenai denda (Fidyah)

Dari semua penjelasan diatas maka terdapat beberapa

penjelasa tentang penyebab – penyebab terjadinya fidyah,

antara lain :

a) Tidak mampu berpuasa, orang yang tidak mampu berpuasa

wajib mengeluarkan fidyah seperti orang tua renta yang

merasa berat berpuasa atau puasa akan membuatnya

menderita kesulitan yang sangat berat orang tua renta

yang tidak mampu berpuasa ini boleh berbuka, dan sebagai

tebusan, dia harus memberi makan seorang miskin untuk

tiap hari. Adapun tercantum dalam hadist yang

diriwayatkan oleh Dar al-Quthni dan al-hakim yang

mengatakan :

ﺺﺧﺭ ﺦﻴﺸﻠﻟ ﺮﺒﻜﻟﺍ ﻥﺍ ﻢﻄﻔﻳ ﻢﺤﻄﻳﻭ ﻦﻋ ﻞﻛ ﺎﻨﻌﻜﺴﻣ ﻡﻮﻳ ﻻﻭ ﺀﺎﻀﻗ ﻪﻴﻠﻋ

) ﻭﺭﺩ ﻂﻗ ﻲﻧ ﻢﻴﻜﻬﻟﺍﻭ )

Artinya :

“Diberi keringanan orang tua renta untuk berbuka dan

memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya dan

tidak ada kewajiban qadha atasnya . (HR. Daraquthni dan

hakim ) ”

Orang tua renta (hamm) menanggung bebanya sendiri. Jika

dia tidak mampu memberi makan orang miskin. Dia tidak

berkewajiban apapun, hal ini berdasarkan ayat berikut :

      …...) ﺓﺮﺒﻟﺍ : 286)

Artinya :

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan

kesanggupannya. ( QS. 2 : 286”)

Orang tua yang tidak mampu berpuasa dan tidak mampu

memberi makan itu hendaknya meminta ampun kepada allah

dan memohon agar allah menerima dirinya. Maksudnya, agar

orang tadi meminta ampunan kepada allah atas

ketidakmampuannya memenuhi hak allah. Adapun orang sakit

yang mati tidak berkewajiban memberi makan. Karena jika

pemberian makan itu di wajibkan kepadanya, berarti

membebani orang mati dengan kewajiban. Lain halnya, jika

orang tersebut sebelum kematiannya memiliki kemampuan

untuk berpuasa tetapi tidak melakukan sampai akhir

hayatnya. Kewajiban memberi makan ini disandarkan

kepadanya ketika dia masih hidup

b) fidyah diwajibkan atas orang sakit yang kesembuhannya

tidak bisa diharapkan. Sebab, sebagaimana telah

dijelaskan diatas, orang sakit seperti ini sudah tidak

berkewajiban berpuasa lagi. Yakni berdasarkan ayat

berikut :

..... ﻞﻌﺟ ﺎﻣﻭ ﻰﻓ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﻦﻳﺪﻟﺍ ﻦﻣ ﺝﺮﺣ ........

Artinya :

“dia sekali – kali tidak menjadikan untuk kamu dalam

agama suatu kesulitan ( Q.S.22 : 78 )”

serta berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh imam

ahmad ibn hambal yang artinya :

“ orang sakit yang tiada diharapkan sembuh, dan orang

yang telah sangat tua, tidak dikenankan puasa atasnya,

hanya diwajibkan fidyah saban hari satu mud” (HR.Imam

ahmad )

c) Orang yang mengandung atau orang yang sedang hamil

Fidyah juga diwajibkan bersamaan dengan qadha kepada

perempuan hamil atau perempuan menyusui yang

menghawatirkan dirinya ( tanpa anaknya). Telah

diriwayatkan dari imam ahmad dan asy

syafi’I, bahwa apabila wanita hamil dan wanita yang

menyusui anaknya itu khawatir atas anaknya saja, dan

mereka meninggalkan puasa ( berbuka), maka wajiblah

mereka mengqadha dan membayar fidyah. Namun apabila hanya

khawatir atas dirinya saja, atau khawatir atas dirinya

dan sekaligus anaknya, maka mereka hanya wajib

mengqadha’, tidak lainnya .adapun wanita hamil dan wanita

yang menyusui maka mereka tergolong orang – orang yang

mempunyai udzur ( halangan) mendadak yang sewaktu-waktu

sirna. Maka mereka di wajibkan mengqadha’ .

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari anas bin

malik al- ka’bi berikut :

ﻥﺍ ﻪﻠﻟﺍ ﺢﺿﻭ ﻦﻋ ﻰﻓ ﺎﺴﻤﻟﺍ ﺮﻄﺷ ﺓﻼﺼﻟﺍ ﻦﻋﻭ ﺮﻓﺎﺴﻤﻟﺍ ﺢﺿﺮﻤﻟﺍﻭ ﻡﻮﺼﻟﺍ

ﻪﻠﻟﺍﻭ ﺎﻗﺪﻘﻟ ﻢﻬﻟ ﻪﻠﻟﻻﻮﺳﺭ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ﺩﺍ ﺎﻤﻫﺭ ﻭﺍ ﺎﻤﻬﻴﻠﻛ ) ﻩﺍﻭﺭ

ﺱﺎﻨﻟﺍ

ﻦﺑﺍ ﻚﻟﺎﻣ ﻰﺒﻌﻜﻟﺍ )

Artinya :

“Sesungguhnya allah meletakkan setengah shalat dari

musafir serta puasa dari perempuan hamil dan perempuan

menyusui. Demi allah, kedua pernyataan ini telah

disabdakan oleh rasulluh SAW, baik salah satunya maupun

keduanya. (HR. Anas bin malik Al-Ka’bi )”

ﻦﻋﻭ ﺮﻜﻋ ﺔﻣ ﻥﺍ ﻦﺑﺍ ﻝﺎﻗ ﺱﺎﺒﻋ : ﺖﺘﺒﺷﺍ ﻰﻠﺒﺤﻠﻟ ﺮﻤﻟﺍﻭ ﻊﺿ ) ﻮﺑﺍ ﻩﺍﻭﺭ ﺩﻭﺍﺩ

Artinya :

“Dari ikrimah sesungguhnya ibnu ‘abbas berkata : bahwa

ayat tersebut ditetapkan untuk perempuan hamil dan yang

sedang menyusui ( HR. Abu Daud )”

Adapun wanita hamil dan wanita menyusui, yang keduanya

mengkhawatirkan anaknya, boleh berbuka tetapi mereka

harus memberi makan fakir miskin.

Hal ini dipertegas pada hadist rasulullah SAW yang

menyatakan :

ﻥﺍ ﻪﻠﻠﻟﺍ ﺰﻋ ﻞﺟﻭ ﻊﺿﻭ ﻰﻠﻋ ﻰﻓﺎﺴﻤﻟﺍ ﺓﻼﺼﻟﺍﺮﻄﺷﻭ ﻡﻮﺼﻟﺍ

ﻦﻋﻭ ﻰﻠﺒﺤﻟﺍ ﻊﺿﺮﻤﻟﺍﻭ ﻡﻮﺼﻟﺍ ) ﻩﺍﻭﺭ ﺔﺴﻤﺨﻠﻟﺍ ﻦﻋ ﻰﺒﺴﻧﺍ ﻚﻟﺎﻣ ﻰﺠﻜﻟﺍ )

Artinya :

“Sungguh allah ‘azza wa jalla telah membebaskan puasa dan

separoh sholat bagi orang yang berpergian, serta

membebaskan puasa dari orang yang hamil dan menyusui.

(HR.Lima ahli hadist dari anas bin malik ka’bi)”

ﻦﻋ ﻦﺑﺍ ﺱﺎﺒﻋ ﻪﻧﺍ ﻝﺎﻗ : ﺖﺒﺷﺍ ﻰﻠﺒﺤﻠﻟ ﺢﻀﻤﻟﺍﻭ ﻥﺍ ﺍﺮﻄﻔﻳ ﺎﻤﻌﻄﻳﻭ ﻞﻛ

ﻡﻮﻳ ﺎﻨﻴﻜﺴﻣ ) ﻩﺍﻭﺭ ﺩﻭﺍﺩﻮﺑﺍ ﻦﻋ ﺱﺎﺒﻋ ﻦﺑﺍ )

Artinya :

“Dari ibnu abbas, bahwa ia berkata, “ditetapkan bagi

orang yang mengandung dan menyusui untuk berbuka (tidak

puasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang

miskin setiap harinya “ (HR. Abu dawud dari ibnu abbas,

r.a )”

Alasan lainnya, karena mereka membatalkan puasanya demi

seseorang yang lemah yang masih berada dalam proses

pembentukan oleh karena itu, keduanya wajib membayar

fidyah, seperti halnya orang tua yang sudah renta.

d) Orang yang meremehkan pengqadhaan puasa ramadhan.

Fidyah bersama qadha juga diwajibkan kepada orang yang

meremehkan pengqadhaan puasa ramadhan. Misalnya, orang

yang menangguhkan pengqadhaan puasanya sampai ramadhan

berikutnya tiba. Jumlah fidyah ini disesuaikan dengan

jumlah puasa yang ditinggalkan. Pewajiban fidyah kepada

orang seperti ini, berdasarkan pengiasan kepada orang

yang membatalkan puasa secara sengaja. Keduanya

meremehkan kesucian puasa. Kafarat tidak diwajibkan

kepada orang yang uzurnya terus berlangsung, baik uzur

berupa sakit,

melakukan perjalanan, gila, mengeluarkan darah haid

maupun mengeluarkan darah nifas. Adapun hadisnya antara

lain yang artinya “ Anak kecil yang belum sanggup

berpuasa dan orang gila yang terus –menerus, tidak

diberatkan puasa atasnya (H.R. Imam Mujtahidin) dan hadis

yang artinya “ tidak wajib atas orang gila mengqadhai

puasa yang ketinggalan selama gilanya itu” (H.R Abu

Hanifah )

D. Pelipat Gandaan Fidyah

Fidayah yang ditangguhkan sampai bulan ramadhan

berikutnya tiba tidak melahirkan pelipat gandaan sesuai

dengan jumlah penundaan tahunnya. Fidyah itu seperti

halnya budud yang bias dilakukan kapan saja. Sedangkan,

menurut pendapat madzab syafi’I, fidyah yang

dipertangguhkan sampai bulan ramadhan berikutnya tiba

akan melahirkan kewajiban baru. Karena, hak-hak material

tidak bias dilakukan pada sembarang waktu.

Adapun ayat Al-Qur’an menerangkan bahwa :

ْﻦَﻤَﻓ َﻥﺎَﻛ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ﺎًﻀﻳِﺮَﻣ ْﻭَﺃ ﻰَﻠَﻋ ٍﺮَﻔَﺳ ٌﺓَّﺪِﻌَﻓ ْﻦِﻣ ٍﻡﺎَّﻳَﺃ َﺮَﺧُﺃ ﻰَﻠَﻋَﻭ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ُﻪَﻧﻮُﻘﻴِﻄُﻳ

ٌﺔَﻳْﺪِﻓ ُﻡﺎَﻌَﻃ ٍﻦﻴِﻜْﺴِﻣ ْﻦَﻤَﻓ َﻉَّﻮَﻄَﺗ ﺍًﺮْﻴَﺧ َﻮُﻬَﻓ ٌﺮْﻴَﺧ ُﻪَﻟ ْﻥَﺃَﻭ ﺍﻮُﻣﻮُﺼَﺗ ٌﺮْﻴَﺧ ْﻢُﻜَﻟ ْﻥِﺇ

ْﻢُﺘْﻨُﻛ َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﺗ

Artinya:

“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau

dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah

baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu

pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang

berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)

membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.

Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan

kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan

berpuasa lebih baik bagimu jika kamu

mengetahui..”(Q.S.Al- baqarah : 184 )

Dengan demikian, pengqadhaan puasa boleh dilakukan secara

lambat bahkan seseorang boleh melakukan puasa tathawwu’.

Sebelum puasa wajibnya selesai di qadha. Dengan kata

lain, orang yang menangguhkan pengqadhaan puasanya tidak

berkewajiban apa-apa. Lagi pula, pengiasan dalam kafarat

tidak bias dilakukan meskipun demikian.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fidyah adalah denda yang diberikan bagi seseorang sebab

ia meninggalakn kewajiban dengan cara memberi makan orang

miskin. Fidyah Adalah pemberian bahan makanan pokok atau

makanan siap saji kepada orang miskin (fakir atau miskin)

karena meninggalkan puasa Ramadhan dengan alasan yang

dibenarkan oleh syariat Ukuran fidyah adalah satu ukuran

sekali makan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan

tersebut. Ukurannya adalah ½ sha’ atau satu mud.

Satu Sha' jika dikonversikan dengan kilogram adalah

antara 2,2 kg atau 2,5 kg, atau 3 kg (perbedaan ini

menurut perbedaan tarjih para ulama). Sedangkan satu mud

sama dengan 1/4 sha' nabawy atau 1/5 sha' penduduk Qashim

(satu wilayah di Saudi Arabia) sekarang.

Khusus untuk fidyah untuk haji adalah ada tiga

alternatif:

1. Berpuasa 3 hari;

2. Memberi makan 6 orang miskin;

3. Menyembelih hewan ternak.an .

Penyebab fidyah diantaranya :

- Orang tua renta yang tidak mampu untuk berpuasa

- Orang sakit yang kesembuhannya tidak dapat diharapkan

- Orang yang mengandung / orang yang sedang hamil

- Orang yang merehkan pengqadhaan puasa ramadhan

Dari ini semua sudah jelaslah bahwasanya kita sejak lahir

sudah dikenai kewajiban-kewajiban, dan jika lalai ada

hukumnya tersendiri, salah satunya ialah membayar denda.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz, Bin, Faisal, 1993, Muhtasar Nailul Authar 3

Himpunan Hadits –Hadits Hukum. Bina Ilmu, Surabaya

Effendi, Agus, 1995, Puasa dan Itikaf Kajian Berbagai

Madzab, Remaja Rosda Karya, Bandung

MZ, Labib, Ust. 1997, Bukhari dan Muslim. Amanah. Jawa

Timur

Syarifuddin, Amir, Prof.Dr, 2003, Garis – Garis Besar

Fiqih. Prenada Media, Jakarta

Kamal, Dr, Mustafa, Dkk, 2000, Fikih Islam, Citra Karya

Mandiri. Jakarta

hasbi, prof. Dr. 1991 Hukum – Hukum Fikih Islam. Bulan

Bintang, Jakarta

ali ash – shabuni. Muhammad, Syaikh, 1993. Rawai’ul

Bayan, CV. Asy –Syifa’. Semarang

Mansyur, kahar, kh, 1992. Bulughul maram. Rineka Cipta,

Jakarta

s. Praja, Juhaya. Prof .dr, 2000. Tafsir Hikmah. Remaja

Rosda Karya. Bandung

Mahalli, Mudjab, Ahmad, KH. 2003, Hadis-Hadis Mutafaq’

Alaih, Prenada Media, Jakarta


Published with Blogger-droid v2.0.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar