Sholat Tarawih
Syaikh Nashiruddin Al-Albani telah menjelaskan perincian tentang tata cara shalat
tarawih dalam kitab “Shalat Tarawih” (hal. 101- 105), kemudian disini diringkasnya
untuk mempermudah pembaca dan sebagai peringatan.
Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek,
2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’.
Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2
rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat
kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya,
kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.
Cara Kedua
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian
melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.
Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.
Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi
seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada
setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban
yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang
tiga rakaat tidak disyariatkan !.
Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang
kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada
Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam,
kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2
rakaat lagi sambil duduk.
Cara Keenam
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent)
kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi
wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.
Inilah tata cara yang terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam secara
jelas, dan dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu dengan dikurangi
pada setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki walaupun tinggal 1 rakaat
dalam rangka mengamalkan hadist Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam
yang telah lalu (“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat,
barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang
ingin,witirlah dengan 1 rakaat) [Faedah penting : Berkata Ibnu Khuzaimah
dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194 , setelah menyebutkan hadist Aisyah
dan yang lainnya pada sebagian cara-cara tersebut, maka dibolehkan shalat
dengan jumlah yang ana dari yang diasukai dari yang telah diriwayatkan daari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya tida larangan bagi siapapun
padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai dengan apa yang kita pilih
yang konsisten dengan jumlah yang shahih. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tidak menambahinya. Segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan
aku meminta Nya untuk menambahi keutamaan- Nya.] [1] .
Shalat 5 dan 3 rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk melakukannya
dengan 1 kali duduk (tasyahud –pent) dan satu kali salam sebagaimana pada
cara kedua, boleh. Dan jika ingin, bisa dengan salam pada setiap 2 rakaat
seperti pada cara ketiga dan yang lain dan itu lebih baik[2 ]. Adapun shalat
yang 5 dan 3 rakaat denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat
tanpa salam, kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi
wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam
ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya dengan sabda
beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib…” (diriwayatkan At-Thahawi
dan Daruquthni dan selain keduanya lihat “Shalatut Tarawih” hal 99- 110) .
Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari cara
penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :
1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat
kedua –pent).
(Dinukil dari terjemahan kitab “Qiyamu Ramadhan”, karya Syaikh Muhammad
Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi , Bab
“Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 – 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Bacaan pada witir yang Tiga rakaat
Diantara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah membaca pada
rakaat pertamanya surat Al-A ’la dan kedua membaca surat Al Kafirun dan
pada rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan terkadang menambahkan
dengan surat Al-Alaq dan An-Naas . Telah terdapat pula dalam riwayat yang
shahih bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada satu rakaat
witir dengan 100 ayat dari surat An-Nisa’ . (Riwayat An-Nasai dan Ahmad
dengan sanad yang shahih).
Doa Qunut witir dan tempatnya
Sesudah membaca bacaan (surat –pent) sebelum ruku’ terkadang beliau
melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ajarkan kepada cucunya Hasan bin Ali, yaitu :
َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ ْﻲِﻧِﺪْﻫﺍ ْﻦَﻤْﻴِﻓ َﺖْﻳَﺪَﻫ، ْﻲِﻨِﻓﺎَﻋَﻭ ْﻦَﻤْﻴِﻓ َﺖْﻴَﻓﺎَﻋ، ْﻲِﻨَّﻟَﻮَﺗَﻭ ْﻦَﻤْﻴِﻓ َﺖْﻴَّﻟَﻮَﺗ، ْﻙِﺭﺎَﺑَﻭ ْﻲِﻟ
ﺎَﻤْﻴِﻓ َﺖْﻴَﻄْﻋَﺃ، ْﻲِﻨِﻗَﻭ َّﺮَﺷ ﺎَﻣ َﺖْﻴَﻀَﻗ، َﻚَّﻧِﺈَﻓ ْﻲِﻀْﻘَﺗ َﻻَﻭ َﻚْﻴَﻠَﻋ ﻰَﻀْﻘُﻳ، ُﻪَّﻧِﺇ َﻻ ُّﻝِﺬَﻳ ْﻦَﻣ َﺖْﻴَﻟﺍَﻭ،
] َﻻَﻭ ُّﺰِﻌَﻳ ْﻦَﻣ َﺖْﻳَﺩﺎَﻋ ،] َﺖْﻛَﺭﺎَﺒَﺗ ﺖْﻴَﻟﺎَﻌَﺗَﻭ ﺎَﻨَّﺑَﺭ .
“Ya Allah! Berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri
petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai)
sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana
orang yang telah Engkau sayangi. Berilah berkah apa yang Engkau berikan
kepadaku, jauhkan aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan,
sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan qadha, dan tidak ada orang yang
memberikan hukuman kepadaMu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela
tidak akan terhina, dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia. Maha
Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi Engkau.” [HR. Empat
penyusun kitab Sunan, Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Al- Baihaqi. Sedang
doa yang ada di antara dua kurung, menurut riwayat Al-Baihaqi . Lihat Shahih
At-Tirmidzi 1/144 , Shahih Ibnu Majah 1/194 dan Irwa’ul Ghalil, oleh Al-
Albani 2/172 .]
Kemudian terkadang bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku’, juga menambah
melaknati orang-orang kafir, dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam serta mendoakan kaum muslimin pada pertengahan kedua dari
bulan ramadhan, karena telah ada yang demikian ini dimasa Umar
radhiyallahu ‘anhu, yang telah tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul
Qari’ : Dan mereka melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan
–pent)” :
“ ﻢﻬﻠﻟﺍ ﺎﻗ ﻞﺗ ﺓﺮﻔﻜﻟﺍ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻥﻭﺪﺼﻳ ﻦﻋ ﻚﻠﻴﺒﺳ ﻥﻮﺑﺬﻜﻳﻭ ﻚﻠﺳﺭ, ﻻﻭ ﻥﻮﻨﻣﺆﻳ ﻙﺪﻋﻮﺑ,
ﻒﻟﺎﺧﻭ ﻦﻴﺑ ﻢﻬﺘﻤﻠﻛ, ﻖﻟﺃﻭ ﻲﻓ ﻢﻬﺑﻮﻠﻗ ﺐﻋﺮﻟﺍ, ﻖﻟﺃﻭ ﻢﻬﻴﻠﻋ ﻙﺰﺟﺭ ﺍﺬﻋﻭ ﻚﺑ, ﺎﻳ ﻪﻟﺍ
ﻖﺤﻟﺍ”
“Ya Allah! Perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari jalan-Mu dan
mendustakan para Rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu . Cerai
beraikan persatuan mereka, lemparkan rasa takut pada hati mereka, dan
lemparkan adzab-Mu atas mereka wahai Illah yang haq.”
Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa
untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun
untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir
dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan
dengan membaca :
َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ َﻙﺎَّـﻳﺇ ُﺪُﺒْﻌَﻧ، َﻚَﻟَﻭ ْﻲِّﻠَﺼُﻧ ُﺪُﺠْﺴَﻧَﻭ ، َﻚْﻴَﻟِﺇَﻭ ﻰَﻌْﺴَﻧ ُﺪِﻔْﺤَﻧَﻭ، ْﻮُﺟْﺮَﻧ َﻚَﺘَﻤْﺣَﺭ، ﻰَﺸْﺨَﻧَﻭ
َﻚَﺑﺍَﺬَﻋ، َﻚَﺑﺍَﺬَﻋ َّﻥِﺇ َﻦْﻳِﺮِﻓﺎَﻜْﻟﺎِﺑ ٌﻖَﺤْﻠُﻣ . ﺎَّﻧِﺇ َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ َﻚُﻨْﻴِﻌَﺘْﺴَﻧ َﻙُﺮِﻔْﻐَﺘْﺴَﻧَﻭ، ْﻲِﻨْﺜُﻧَﻭ َﺮْﻴَﺨْﻟﺍ َﻚْﻴَﻠَﻋ، َﻻَﻭ
َﻙُﺮُﻔْﻜَﻧ، ُﻦِﻣْﺆُﻧَﻭ َﻚِﺑ، ُﻊَﻀْﺨَﻧَﻭ َﻚَﻟ، ُﻊَﻠْﺨَﻧَﻭ َﻙُﺮُﻔْﻜَﻳ ْﻦَﻣ .
“Ya Allah! KepadaMu kami menyembah. UntukMu kami melakukan shalat dan
sujud. KepadaMu kami berusaha dan melayani. Kami mengharapkan
rahmatMu, kami takut pada siksaanMu. Sesungguhnya siksaanMu akan
menimpa pada orang- orang kafir. Ya, Allah! Kami minta pertolongan dan
minta ampun kepadaMu, kami memuji kebaikanMu, kami tidak ingkar
kepada- Mu, kami beriman kepadaMu, kami tunduk padaMu dan berpisah
pada orang yang kufur kepadaMu.” [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra,
sanadnya menurut pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211 . Syaikh Al-
Albani dalam Irwa’ul Ghalil 2/ 170 berkata: Sanadnya shahih dan mauquf
pada Umar]
Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab
“Shahihnya” (2 /155- 156/1100 )).
Yang diucapkan di akhir witir
Termasuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengucapkan
pada akhir shalat witir sebelum atau sesudah salam :
َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ ْﻲِّﻧِﺇ َﻙﺎَﺿِﺮِﺑ ُﺫْﻮُﻋَﺃ ْﻦِﻣ َﻚِﻄَﺨَﺳ، َﻚِﺗﺎَﻓﺎَﻌُﻤِﺑَﻭ ْﻦِﻣ َﻚِﺘَﺑْﻮُﻘُﻋ، ُﺫْﻮُﻋَﺃَﻭ َﻚْﻨِﻣ َﻚِﺑ، َﻻ ْﻲِﺼْﺣُﺃ
َﺀﺎَﻨَﺛ َﻚْﻴَﻠَﻋ َﺖْﻧَﺃ َﺖْﻴَﻨْﺛَﺃ ﺎَﻤَﻛ ﻰَﻠَﻋ َﻚِﺴْﻔَﻧ .
“Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kerelaanMu dari
kemarahanMu, dan dengan keselamatanMu dari siksaMu. Aku berlindung
kepadaMu dari ancamanMu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan
sanjungan kepadaMu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan
kepada diriMu sendiri.” [HR. Empat peenyusun kitab Sunan dan Imam
Ahmad. Lihat Shahih At-Tirmidzi 3/180 dan Shahih Ibnu Majah 1/194 serta
kitab Irwa’ul Ghalil 2/175 . [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, sanadnya
menurut pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211 . Syaikh Al-Albani dalam
Irwa’ul Ghalil 2/170 berkata: Sanadnya shahih dan mauquf pada Umar]
Kemudian jika telah salam dari shalat witir mengucapkan :
َﻥﺎَﺤْﺒُﺳ ِﺱْﻭُّﺪُﻘْﻟﺍ ِﻚِﻠَﻤْﻟﺍ ] ِﺡْﻭُّﺮﻟﺍَﻭ ِﺔَﻜِﺋَﻼَﻤْﻟﺍ ِّﺏَﺭ ) [ ﺮﻬﺠﻳ ﺎﻬﺑ ﺪﻤﻳﻭ ﺎﻬﺑ ﻝﻮﻘﻳ ﻪﺗﻮﺻ 3 ﺕﺍﺮﻣ(
Subhaanal malikil qudduusi (rabbul malaaikati warruh) tiga kali, sedang yang
ketiga, beliau membacanya dengan suara keras dan panjang. [HR. An-Nasai
3/244 , Ad-Daruquthni dan beberapa imam hadis yang lain. Sedang kalimat
antara dua tanda kurung adalah tambahan menurut riwayatnya 2/31 .
Sanadnya shahih, lihat Zadul Ma’ ad yang ditahqiq oleh Syu’aib Al- Arnauth dan
Abdul Qadir Al-Arnauth 1/ 337.
Dua rakaat setelah witir
Dibolehkan shalat dua rakaat, karena telah terdapat dalil dari perbuatan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Muslim dan lain lihat “Shalat
Tarwih”hala :108- 109), bahkan beliau memerintahkan umatnya dengan
sabdanya :
“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah
melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak
keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih” nya
dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu
aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang
cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu
bahwa sabdanya : " ﺍﻮﻠﻌﺟﺍ ﺮﺧﺍ ﻼﺻ ﻢﻜﺗ ﺎﺑ ﻞﻴﻟ ﺍﺮﺗﻭ “Jadikanlah witir akhir shalat
kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan
kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 )
Dan disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al Zilzalah dan
surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah (1104,11050 dari hadist Aisyah
dan Anas radhiyallahu ‘anhum dengan dua sanad yang saling menguatkan)
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad
Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi , Bab
“Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Bagaimana Sholat Tarawih Sesuai Sunnah Rasulullah
Syaikh Salim bin Ied Al- Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
1 Pensyari'atannya
Shalat tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah
Radhiyallahu 'anha : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu
malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya,
dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak
orang, ketika beliau shalat, mereka- pun ikut shalat bersamanya, mereka
meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada
malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika
malam keempat masjid tidak mampu menampung jama'ah, hingga beliau
hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau
menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda (yang artinya) : “
Amma ba'du . Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam,
namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu
mengamalkannya". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam
keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara
berjama'ah" [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam
keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari’at ini telah tetap,
maka shalat tarawih berjama’ah disyari’ atkan karena kekhawatiran tersebut
sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya ‘illat itu berputar
bersama ma’lulnya , adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa’ ur Rasyidin Umar
bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian
oleh Abdurrahman bin Abdin Al- Qoriy[1] beliau berkata : “Aku keluar
bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu suatu malam di bulan
Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok [2 ] Ada yang
shalat sendirian dan ada yang berjama’ah , maka Umar berkata : “Aku
berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih
baik”. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama’ ah dengan
imam Ubay bin Ka’ab , setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam,
manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar- pun berkata, “Sebaik-
baik bid’ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu
manusia shalat di awal malam”. [Dikeluarkan Bukhari 4/ 218 dan
tambahannya dalam riwayat Malik 1/114 , Abdurrazaq 7733]
Footnote:
[1 ] Dengan tanwin (‘abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa
dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6 -7 karya Ibnul Atsir.
[2 ]Berkelompok- kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa’ ibil …
dan seterusnya
2. Jumlah raka’atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka’atnya, pendapat yang
mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah delapan raka’at
tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha (yang artinya) : “
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan
Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at” [Dikeluarkan oleh Bukhari
3/16 dan Muslim 736 Al- Hafidz berkata (Fath 4/ 54)]
Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau
menyebutkan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghidupkan malam
Ramadhan bersama manusia delapan raka’at kemudian witir [Dikeluarkan
oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman
108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana
syahidnya. ]
Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau
mengumpulkan manusia dengan sebelas raka’at sesuai dengan sunnah
shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad
yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata :
“Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari
untuk mengimami manusia dengan sebelas raka’at ”. Ia berkata : “Ketika itu
imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada
tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu’
fajar” [Furu' fajar : awalnya, permulaan].
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : “Dua
puluh raka’at” .
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena
Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid
tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah
tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari
riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul
Mughits (1 /199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424- 425.
Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan,
sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan
lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah ditetapkan dalam ilmu
ushul fiqh.
Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais
dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : “Bahwa Umar
mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka’at ,
membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar”
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf
dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka
riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat
mereka dua puluh raka’at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang
diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh
dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda , mirip dan sama, tapi
tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi
1/262 ]
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf
karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan.
Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari
illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena hadits tersebut
mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :
1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang,
diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari .
2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang
meriwayatkan Kitabus Shaum [Al- Mushannaf 4/153 ]
3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan- karangannya ketika
berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181 ]
4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan
seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181 ]
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq,
dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar,
sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan- kesalahan Ad-Dabari dan
tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul
I'tidal 1/181 ]
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari
dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya,
yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun
termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka’at
(menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui
bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul
I'tidal 1/181 ]
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga
tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang
diriwayatkan di dalam Al-Muwatha ’ 1/115 dengan sanad Shahih dari
Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.
[Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah:
a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali
Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali
Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar]
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan,
penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly , Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat
Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok
(PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir
1424 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar