Kamis, Maret 29, 2012

Status Anak Hasil Zina

Tidak dapat dipungkiri lagi musibah perzinaan sudah mulai merebak di negara ini. Kata ‘zina’ mulai

disamarkan dengan istilah yang samar dan agak menarik, WIL (Wanita Idaman Lain), PIL (Pria

Idaman Lain), PSK (Penjaja Seks Komersial), Gadis Pendamping dan yang sejenisnya yang

mengesankan permasalahan ini mulai dianggap ringan oleh sebagian kaum muslimin di negeri ini.

Ditambah lagi dengan ditinggalkannya syariat islam secara umum dan khususnya hukuman bagi

para pezina. Sehingga hal-hal ini mendukung tersebarnya penyakit ini dilingkungan kaum muslimin.

Padahal semaraknya perzinaan membuahkan banyak permasalahan. Tidak hanya pada kedua

pelakunya namun juga pada buah hasil perbuatan tersebut. Gelaran anak zina sudah cukup

membuat sedih anak tersebut, apalagi kemudian muncul masalah lainnya, seperti nasab, warisan,

perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya yang tidak mungkin lepas darinya.

Realita seperti ini tentunya tidak lepas dari sorotan syari’at Islam yang sempurna dan cocok untuk

semua zaman. Tinggal kita melihat kembali bagaimana fikih Islam memandang status anak zina

dalam keluarganya. Hal ini menjadi lebih penting dan mendesak dengan banyaknya realita status

mereka yang masih banyak dipertanyakan masyarakat. Tentunya ini semua membutuhkan

penjelasan fikih islam walaupun dalam bentuk yang ringkas, agar masyarakat menyadari implikasi

buruk zina dan tidak salah dalam menyikapi anak-anak yang lahir dari perzinaan.

Hal ini semakin penting untuk diketahui dengan adanya sikap salah dari sebagian masyarakat

dalam menghukumi mereka. Apalagi dengan adanya sebagian kaum lelaki yang mengingkari janin

yang dikandung istrinya atau anak yang lahir dari istrinya itu adalah hasil hubungan dengannya.

Atau juga sengaja menikahi wanita hamil di luar nikah, kemudian untuk menutupi aib keluarga dan

menasabkan anak tersebut sebagai anaknya.

Nasab anak zina

Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan

kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya [lihat Al Mughni

9/123]. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan tentang anak zina:

??????? ??????? ???? ???????

Artinya: “Untuk keluarga ibunya yang masih ada…” [HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi

Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu

Dawud no. 1983]

Juga menasabkan anak dari Mula’anah kepada ibunya, sebagaimana dijelaskan Ibnu Umar

Radhiallahu’anhuma dalam penuturannya:

??????? ??????? ???? ???????

?????? ??? ???? ?????? ?????? ????????????? ? ?????????? ???? ????????? ? ????????? ??????????? ? ?????????? ????????? ?????????????

Artinya: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan mula’anah antara seorang dengan istrinya.

Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya.” [HR. Bukhari, Kitab Ath-

Thalaq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah lihat Fathu al Baari 9/460]

Inilah salah satu konsekuensi mula’anah. Ibnu al-Qayyim ketika menjelaskan konsekuensi

mula’anah menyatakan: “Hukum yang ke enam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang

bapak, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan untuk tidak dipanggil anak

tersebut dengan nasab bapak, inilah yang benar dan ia adalah pendapat mayoritas ulama.” [Zaad

al-Ma’ad 5/357]

Syaikh Musthafa Al’Adawi Hafizhahullah menyatakan: “Inilah pendapat mayoritas ulama bahwa

nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya karena Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam

menetapkan tidak dinasabkan kepada bapaknya. Inilah pendapat yang benar.” [Jaami’ Ahkaam an-

Nisaa` 4/232]

Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menyatakan: “Anak zina

diciptakan dari sperma tanpa pernikahan, sehingga tidak dinasabkan kepada seorangpun baik

kepada lelaki yang menzinahinya atau kepada suami wanita tersebut apabila ia bersuami, karena ia

tidak memiliki bapak yang syar’i.” [Syarhu al-Mumti’, Tahqiq Kholid al-Musyaiqih, 4/255]

Nasab anak hasil selingkuh atau perzinahan, apabila dilihat kepada status ibunya, maka dapat

dikategorikan menjadi dua :

1. Berstatus istri seorang suami.

Seorang wanita bersuami yang terbukti selingkuh kemudian melahirkan anaknya, maka tidak lepas

dari dua keadaan:

Sang suami tidak mengingkari anak tersebut dan mengakuinya sebagai anaknya.

Apabila terlahir anak dari seorang wanita resmi bersuami dan sang suami tidak mengingkari anak

tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah

hasil selingkuh dengannya, dasarnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam

hadits A’isyah Radhiallahu’anha :

???????? ??????????? ? ????????????? ?????????

Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum” [HR Al-Bukhari

kitab Al-Faraa’id, Bab Man idda’a Akhanat au Ibna Akhi, lihat Fathul Bari 12/52 ]

Yang dimaksud dengan kata al-Firaasy disini adalah lelaki yang memiliki istri atau budak wanita

yang sudah pernah digaulinya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah

Radhiallahu’anhu yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah

bersabda:

????????? ????????? ??????????

Artinya: “Anak yang lahir adalah milik sang pemilik kasur (suami)” [HR al-Bukhori dalam itab al-

Faraaid, Bab al-Walad Lil Firaasy Hurratan kaanat au Amatan, lihat Fathul Baari, 12/32 ]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah menyatakan: “Kapan saja seorang wanita

telah menjadi firaasy baik sebagai istri atau budak wanita, lalu lahirlah darinya seorang anak, maka

anak itu milik pemilik firaasy” [al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 552]. Beliaupun menambahkan: “Dengan

Firasy ini maka tidak dianggap keserupaan fisik atau pengakuan seorang dan tidak juga yang

lainnya” [al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 553].

Sang suami mengingkarinya

Apabila sang suami mengingkari anak tersebut, maka sang wanita (sang istri) berada dalam satu

dari dua keadaan:

Mengakui kalau itu memang hasil selingkuh atau terbukti dengan persaksian yang sesuai syari’at,

maka dihukum dengan rajam dan anaknya adalah anak zina. Dengan demikian maka nasab anak

tersebut dinasabkan kepada ibunya.

Wanita itu mengingkari anak tersebut hasil selingkuh, maka pasangan suami istri itu saling

melaknat (mula’anah) lalu dipisahkan dan digagalkan ikatan pernikahan keduanya selama-lamanya.

Anak tersebut menjadi anak mula’anah bukan anak zina. Namun demikian tetap dinasabkan

kepada ibunya.

2. Tidak menjadi istri seseorang.

Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah lalu

melahirkan anak, maka anak tersebut memiliki dua keadaan:

Bila tidak ada seorangpun yang menzinainya yang meminta anak tersebut dinasabkan kepadanya,

maka hukumnya tidak dinasabkan kepada lelaki dan dinasabkan kepada ibunya.

Bila ada yang mengaku menzinai wanita tersebut dan mengakui anak tersebut adalah anaknya,

maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dalam dua pendapat:

Pendapat pertama menyatakan Anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya.

Inilah pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (imam empat madzhab) [Lihat Ikhtiyaraat Ibnu

Taimiyah, Ahmad al-Muufi 2/828] dan pendapat Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiriyah [Lihat al-

Muhalla 10/323]. Pendapat ini dirajihkan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.

Dasar pendapat ini adalah:

Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

???????? ??????????? ? ????????????? ?????????

Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” [HR Bukhari]

Dalam hadits yang mulia ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menjadikan anak tersebut

dinasabkan kepada selain suami ibunya. Menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina

menyelisihi tuntutan hadits ini.

Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:

????? ???????? ????????? ??? ???????? ??? ???????????? ?????? ?????? ??????????????? ????????? ??????????? ????????????? ?????????.

Artinya: “Seorang berdiri seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak saya,

saya dulu di zaman Jahiliyah menzinahi ibunya’. Maka Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam

menjawab: ‘Tidak ada pengakuan anak dalam islam, telah hilang urusan jahiliyah. Anak adalah milik

suami wanita (al-Firaasy) dan pezina dihukum’.”[HR. Abu Dawud, Kitab Ath-Thalaq, Bab Al-Walad Lil

Firasy no. 2274 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih sunan Abu Dawud dan Shahih al-jaami’

no. 2493]

Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

?? ???? ?????? ??? ??????????????? ?????? ?????? ???????????? ?????? ??????? ??????? ???? ?????? ???????? ????? ?????? ????? ???????

Artinya: “Tidak ada perzinaan dalam islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan

kepada kerabat ahli warisnya (Ashobah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak

mewarisi dan tidak mewariskan.” [HR. Abu Dawud no. 2264 dan di- dhoif-kan Al-Albani dalam

Dho’if al-Jaami dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zaad al-Ma’ad 5/382]

Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiallahu’anhu yang berbunyi :

????? ??????????

?? ???????? ???? ????? ?????? ?????? ????? ??????? ??????? ???? ???? ????????? ?????? ?????? ???????? ???? ??????? ????? ???? ??????.

Artinya: “Sungguh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ingin memutuskan bahwa setiap anak yang

dinasabkan setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli

warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak yang dimilikinya (sang

majikan) pada waktu digauli (hubungan suami istri), maka dinasabkan kepada yang meminta

penasabannya dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan sebelum

(dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya. Tidak

dinasabkan (kepada sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila

dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinainya, maka anak tersebut

tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang

mengklaimnya, karena ia anak zina baik dari wanita merdeka atau budak sahaya.” [HR Abu daud

no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-

Arna`uth dalam tahqiq Zaad al-Ma’ad 5/383]

Ibnu al-Qayyim menyatakan: “Hadits ini membantah pendapat Ishaaq dan yang sepakat

dengannya.” [Zaad al-Ma’ad 5/384]

Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

???????? ?????? ??????? ????????? ???? ?????? ??????????? ?????? ????? ? ??? ?????? ????? ????????

Artinya: “Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak

zina, tidak mewarisi dan mewariskan.” [HR At-Tirmidzi, kitab al-Fara`idh 4/428 dan dishahihkan al-

Albani dalam Shahih Sunan At-tirmidzi dan Shohih al-Jaami’ no. 2723]

Ibnu Qudamah Rahimahullah menyampaikan alasannya bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada

bapaknya apabila tidak diminta penasabannya, sehingga menunjukkan anak itu tidak dianggap

anak secara syar’I sehingga tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali. [Al-Mughni 7/129-130

dinukil dari Ikhtiyaraat Ibnu Taimiyah 2/828]

Pendapat kedua menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina apabila ia meminta

penasabannya. Inilah pendapat Ishaaq bin Rahawaih, ‘Urwah bin az-Zubeir, Sulaiman bin Yasaar

dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.

Ibnu Taimiyah menyatakan: “Ada dua pendapat ulama dalam masalah pezina meminta anak

zinanya dinasabkan kepadanya apabila wanita yang dizinahi tersebut tidaklah bersuami. Nabi

Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

???????? ??????????? ? ????????????? ?????????

Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.”

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan anak tersebut miliki suami (al-Firaasy) tidak kepada

pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firaasy) maka tidak masuk dalam hadits ini.” [Majmu’

Fatawa 32/112-113]

Ibnu Taimiyah berargumen dengan perbuatan Khalifah Umar bin Al-Khathab sebagaimana

diriwayatkan imam Malik dalam al-Muwaththa’ dengan lafadz:

????? ?????? ???? ??????????? ????? ???????? ????????? ??????????????? ?????? ??????????? ??? ??????????? .

Artinya: “Umar bin al-Khaththab Radhiallahu’anhu dahulu menasabkan anak-anak jahiliyah kepada

yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam.” [Al-Muwaththa’ 2/740]

Demikian juga berargumen dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah salah satu pasangan

berzina tersebut. Apabila dinasabkan kepada ibunya dan mewarisinya serta adanya nasab antara

anak tersebut dengan kerabat ibunya padahal ia berzina dengan lelaki (bapaknya) tersebut. Anak

itu ada dari air kedua pasangan tersebut dan berserikat padanya dan keduanya sepakat itu adalah

anaknya, lalu apa yang mencegah dinasabkan anak tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya

tidak mengakuinya? Ini adalah qiyas murni [Zaad al-Ma’ad 5/381].

Yang rajih, Wallahu A’lam , adalah pendapat jumhur dengan shahihnya dalil kedua dan keempat

yang merupakan dalil yang jelas menguatkan pendapat jumhur.

Ibnu al-Qayyim setelah membahas perbedaan pendapat dalam masalah ini dan menyampaikan

hadits keempat dari dalil pendapat pertama, menyatakan: “Apabila hadits ini shohih maka wajib

berpendapat dengan isi kandungannya dan mengambilnya. Apabila tidak (shahih) maka pendapat

(yang rojih) adalah pendapat Ishaaq dan yang bersamanya.” [Zaad al-Ma’ad 5/381]

Anak Zina dan Warisan

Hukum dalam warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak

mula’anah karena terputusnya nasab mereka dari sang bapak [Lihat al-Mughni 9/122]. Masalah

waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi nasabnya.

1. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.

Hubungan waris mewaris antara anak zina dengan bapaknya ada dengan adanya sebab pewarisan

(Sabaab al-Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’I kepada lelaki tersebut

maka tidak ada waris mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian maka anak zina tersebut

tidak mewarisi dari orang tersebut dan kerabatnya dan juga lelaki tersebut tidak mewarisi harta

dari anak zina tersebut.

2. Anak zina dengan ibunya

Sedangkan dengan ibunya maka terjadi saling mewarisi dan anak zina tersebut sama seperti anak-

anak ibunya yang lainnya, karena ia adalah anaknya sehingga masuk dalam keumuman firman

Allah Ta’ala :

ُﻢُﻜﻴِﺻﻮُﻳ ُﻪَّﻠﻟﺍ ْﻢُﻛِﺩﻻْﻭَﺃ ﻲِﻓ ُﻞْﺜِﻣ ِﺮَﻛَّﺬﻠِﻟ ِّﻆَﺣ ِﻦْﻴَﻴَﺜْﻧﻷﺍ ًﺀﺎَﺴِﻧ َّﻦُﻛ ْﻥِﺈَﻓ َﻕْﻮَﻓ َّﻦُﻬَﻠَﻓ ِﻦْﻴَﺘَﻨْﺛﺍ ﺎَﻣ ﺎَﺜُﻠُﺛ َﻙَﺮَﺗ ْﻥِﺇَﻭ ًﺓَﺪِﺣﺍَﻭ ْﺖَﻧﺎَﻛ

ﺎَﻬَﻠَﻓ ِﻪْﻳَﻮَﺑﻷَﻭ ُﻒْﺼِّﻨﻟﺍ ﺎَﻤُﻬْﻨِﻣ ٍﺪِﺣﺍَﻭ ِّﻞُﻜِﻟ ُﺱُﺪُّﺴﻟﺍ ﺎَّﻤِﻣ َﻙَﺮَﺗ َﻥﺎَﻛ ْﻥِﺇ ُﻪَﻟ ْﻥِﺈَﻓ ٌﺪَﻟَﻭ ْﻢَﻟ ْﻦُﻜَﻳ ُﻪَﻟ ُﻩﺍَﻮَﺑَﺃ ُﻪَﺛِﺭَﻭَﻭ ٌﺪَﻟَﻭ ِﻪِّﻣﻸَﻓ

ُﺚُﻠُّﺜﻟﺍ ْﻥِﺈَﻓ ُﻪَﻟ َﻥﺎَﻛ ِﻪِّﻣﻸَﻓ ٌﺓَﻮْﺧِﺇ ْﻦِﻣ ُﺱُﺪُّﺴﻟﺍ ِﺪْﻌَﺑ ٍﺔَّﻴِﺻَﻭ ﻲِﺻﻮُﻳ ﺎَﻬِﺑ ٍﻦْﻳَﺩ ْﻭَﺃ ْﻢُﻛُﺅﺎَﺑﺁ ْﻢُﻛُﺅﺎَﻨْﺑَﺃَﻭ ﻻ ْﻢُﻬُّﻳَﺃ َﻥﻭُﺭْﺪَﺗ ُﺏَﺮْﻗَﺃ

ْﻢُﻜَﻟ ﺎًﻌْﻔَﻧ َﻦِﻣ ًﺔَﻀﻳِﺮَﻓ َّﻥِﺇ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻥﺎَﻛ َﻪَّﻠﻟﺍ ﺎًﻤﻴِﻜَﺣ ﺎًﻤﻴِﻠَﻋ

Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :

bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu

semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;

jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang

ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu

mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-

bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa

saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah

dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan

anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi

Maha Bijaksana.” [QS. An-Nisaa` 4: 11]

Sebab anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan nasab adalah sebab pewarisan. Demikian juga

anak zina tersebut statusnya dalam hal ini sama dengan anak mula’anah yang dijelaskan dalam

hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam

memutuskan perkara mula’anah, Sahl bin Sa’ad Radhiallahu’anhu berkata:

?????? ???????? ??????? ????????? ? ????? ?????? ?????????? ??? ??????????? ???? ????????? ? ???????? ?????? ??? ?????? ??????? ?????

Artinya: “Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mula’anah. Wanitanya

tersebut dalam keadaan hamil, lalu suaminya mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan

kepada wanita tersebut, kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut

mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya tersebut sesuai

dengan ketetapan Allah” [HR Al-Bukhari, Kitab At-Tafsir no. 4746 lihat Fathul Baari 8/448 dan

Muslim dalam kitab al-Li’an, lihat Syarh An-Nawawi 10/123 ]

Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: “Seorang lelaki apabila melakukan mula’anah terhadap

istrinya dan menolak anaknya dan hakim telah memisahkan antara keduanya, maka nak tersebut

lepas darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mula’anah

tersebut, sehingga ia tidak mewarisinya dan tidak juga seorangpun ahli waris (‘Ashobah)nya.

Ibunya dan dzawu al-Furudh darinya yang mewarisinya saja. Juga waris mewaris antara pasangan

suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal

ini.” [Al-Mughni 9/114]

Mahromkah anak zina terhadap keluarga lelaki yang menzinai ibunya?

Telah lalu dijelaskan menurut pendapat yang rajih adalah anak zina terputus nasab dan hak

warisnya dari lelaki yang menzinai ibunya (bapaknya). Dengan dasar ini maka anak zina tersebut

bukanlah mahrom bagi keluarga lelaki tersebut, sebab status mahrom didapatkan dengan tiga

sebab yaitu nasab, persusuan dan perkawinan dan ketiga sebab ini tidak ada pada anak zina. Oleh

karena itu ia bukanlah mahram bagi lelaki tersebut, saudara dan anak-anak lelaki tersebut yang

dilahirkan dari pernikahan yang sah. Konsekuensinya seluruh hukum-hukum yang berhubungan

dengan kebolehan melihat, khalwat dan safar dilarang diantara mereka.

Melihat hal ini, mungkin akan muncul pertanyaan:

Bolehkah lelaki tersebut menikahinya?

Permasalahan ini pernah ditanyakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beliau jawab dengan

penjelasan sebagai berikut: “Tidak boleh ia menikahinya menurut mayoritas ulama besar muslimin

hingga imam Ahmad mengingkari adanya perbedaan pendapat dalam hal ini dikalangan salaf.

Beliau menyatakan: ‘Siapa yang berbuat demikian maka dihukum bunuh’. Disampaikan kepada

beliau dari Imam Maalik bahwa beliau membolehkannya, maka imam Ahmad mendustakan

penukilan dari imam Maalik tersebut. Pengharaman hal ini adalah pendapat Abu Hanifah dan

pengikutnya, Ahmad dan pengikutnya, Maalik dan mayoritas pengikutnya dan juga pendapat

banyak dari pengikut madzhab Syafi’i. beliau juga mengingkari berita imam Syafi’I berpendapat

yang berbeda dengan ini. Para ulama berkata:  ‘Syafi’I hanya menyatakan tentang anak

perempuan dari susuan bukan anak zna hasil perzinahannya’.” [Majmu’ Fatawa 32/143]

Ibnu Taimiyah juga ditanya tentang seorang yang menzinahi seorang wanita, lalu lelaki tersebut

meninggal dunia. Apakah anak lelaki tersebut diperbolehkan menikahi wanita tersebut?

Beliau menjawab: “Ini dilarang dalam madzhab Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu dari dua

pendapat dalam madzhab Maalik dan dalam pendapat kedua beliau membolehkan. Dan ini juga

madzhab Syafi’i.” [Majmu’ Fatawa 32/143]

Dengan demikian jelaslah status anak zina dalam nasab, warisan dan mahrom. Mudah-mudahan

penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.

Wabillahit Taufiq.


http://ustadzkholid.com/fiqih/status-anak-zina/


Published with Blogger-droid v2.0.4

Minggu, Maret 25, 2012

Muhammad bin Abdul Wahhab: Mujaddid atau Fitnah dari Najd?

http://syiarislam.wordpress.com/2012/03/23/muhammad-bin-abdul-wahhab-mujaddid-atau-fitnah-dari-najd/#more-2141


Published with Blogger-droid v2.0.4

File

<iframe src="http://www.stafaband.info/embed-25129.html" width=100% height=70 scrolling="no" frameborder=0></iframe>


Published with Blogger-droid v2.0.4

Selasa, Maret 20, 2012

Rahasia Sunnah Tidak Diperbolehkannya Meniup Air Yang Masih Panas

Makan dan minum bagi seorang muslim sebagai

sarana untuk menjaga kesehatan badannya supaya

bisa manegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa

Ta'ala . Karenanya dia berusaha agar makan dan

minumnya mendapatkan pahala dari Allah. Caranya,

dengan senantiasa menjaga kehalalan makanan dan

minumanya serta menjaga adab-adab yang

dituntunkan Islam.

Makan dan minum seorang muslim tidak sebatas

aktifitas memuaskan nafsu, menghilangkang lapar dan dahaga semata. Karenanya, seorang

muslim apabila tidak lapar maka dia tidak makan dan apabila tidak haus, dia tidak minum. Hal ini

seperti yang diriwayatkan dari seorang sahabat,

ُﻦْﺤَﻧ َﻻ ٌﻡْﻮَﻗ ُﻞُﻛْﺄَﻧ َﻉْﻮُﺠَﻧ ﻰَّﺘَﺣ ﺍَﺫِﺇَﻭ َﻻ ﺎَﻨْﻠَﻛَﺃ ُﻊَﺒْﺸَﻧ

“ Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum

kenyang.“

Dari sini, maka seorang muslim dalam makan dan minumnya senantiasa memperhatikan adab

Islam yang telah dicontohkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam agar bernilai ibadah. Dan di

antara adabnya adalah tidak bernafas dan meniup minuman. Hal ini didasarkan pada beberapa

hadits, di antaranya dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian

minum maka janganlah bernafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan

Muslim no. 263)

Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk bernafas atau

meniup wadah air minum.” (HR. Al-Tirmidzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, dan hadits ini

dishahihkan oleh Al-Albani)

Dan juga hadits Abu Sa'id al-Khudri radliyallah 'anhu, Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

melarang untuk meniup di dalam air minum." (HR. al-Tirmidzi no. 1887 dan beliau

menyahihkannya)

Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan, “Larangan bernafas dalam wadah air

minum adalah termasuk etika karena dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau

menimbulkan bau yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung yang

jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu."

Dalam Zaadul Ma'ad IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup

minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak

enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup

tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu

akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupnya.

Apa Hikmahnya?

Apa hikmahnya, sering menjadi pertanyaan kita sebelum mengamalkannya. Padahal dalam

menyikapi tuntunan Islam hanya sami'na wa atha'na (kami mendengar dan kami taat), tanpa

harus terlebih dahulu mengetahui hikmahnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Umar

bin al-Khathab sesudah mencium hajar Aswad, "Sesungguhnya aku tahu engkau hanya seonggok

batu yang tidak bisa menimpakan madharat dan tidak bisa mendatangkan manfaat. Kalau

seandainya aku tidak melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menciummu, pasti aku tidak akan

menciummu." (HR. Al-Bukhari no. 1494 dan Muslim no. 2230)

Namun yang jelas bahwa setiap yang disyariatkan dan dituntunkan oleh Islam pasti

mendatangkan kebaikan dan setiap yang dilarangnya pasti mendatangkan madharat. Dan

apabila seorang muslim mengetahui hikmah dari sebuah syariat, maka dia akan semakin mantap

dalam mengamalkannya. Dan apabila belum mampu menyingkapnya, maka keterangan dari Al-

Qur'an dan Sunnah sudah mencukupi.

Di antara hikmah larangan meniup minuman yang masih panas adalah karena nanti struktur

molekul dalam air akan berubah menjadi zat asam yang membahayakan kesehatan.

Sebagaimana yang diketahui, air memiliki nama ilmiah H20. ini berarti di dalam air terdapat 2

buah atom hidrogen dan satu buah atom oksigen yang mana 2 atom hidrogen tersebut terikat

dalam satu buah atom oksigen. Dan apabila kita hembus napas pada minuman, kita akan

mengeluarkan karbon dioksida (CO2). Dan apabila karbon dioksida (CO2) bercampur dengan air

(H20), akan menjadi senyawa asam karbonat (H2CO3). Zat asam inilah yang berbahaya bila

masuk kedalam tubuh kita.

senyawa H2CO3 adalah senyawa asam yang lemah sehingga efek terhadap tubuh memang

kurang berpengaruh tapi ada baiknya kalau kita mengurangi masuknya zat asam kedalam tubuh

kita karena dapat membahayakan kesehatan. (Dikutip Dari : Apa Aja: Bahaya Meniup Minuman

Panas Kerja Sama Dengan blog-apa-aja.blogspot.com)

Dari sini juga semakin jelas hiikmah dari larangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam agar

ketika minum seteguk demi seteguk, jangan langsung satu gelas sambil bernapas di dalam gelas.

Hal ini karena ketika kita minum langsung banyak, maka ada kemungkinan kita akan bernapas di

dalam gelas, yang akan menyebabkan reaksi kimia seperti di atas.


Sumber : http://www.addakwah.com/2010/06/larangan-meniup-minuman-dan-bahayanya.html


Meniup makanan dan minuman dalam kondisi masih panas bisa jadi kerap kita lakukan sewaktu

mau makan dengan segera, disebabkan karena rasa lapar yang berlebih atau tergesa-gesa dengan

sesuatu hal.

Meniup makanan ini dimaksudkan agar makanan tersebut cepat dingin dan dapat disantap dengan

segera sehingga waktu kita tidak tersita.

Tahukah anda bahaya meniup makanan dan minuman disaat masih panas? Nah seandainya sudah

mengetahuinya bahaya meniup makanan di saat masih panas tentu anda akan berpikir seribu kali

untuk melakukannya.

Mengapa Meniup Makanan Di saat Masih Panas Tidak di Perbolehkan?

Berikut penjelasanya :

Jika kita meniup makanan yang masih panas, maka kita akan mengeluarkan gas CO2 dari dalam

mulut. menurut reaksi kimia, apabila uap air bereaksi dengan karbondioksida akan membentuk

senyawa asam karbonat (carbonic acid) yang bersifat asam.

H2O + CO2 => H2CO3

Perlu kita tahu bahwa didalam darah itu terdapat H2CO3 yang berguna untuk mengatur pH

(tingkat keasaman) di dalam darah. Darah adalah Buffer (larutan yang dapat mempertahankan

pH) dengan asam lemahnya berupa H2CO3 dan dengan basa konjugasinya berupa HCO3-

sehingga darah memiliki pH sebesar 7,35 – 7,45 dengan reaksi sebagai berikut: CO2 + H20 HCO3- +

H+

Tubuh menggunakan penyangga pH (buffer) dalam darah sebagai pelindung terhadap perubahan

yang terjadi secara tiba-tiba dalam pH darah. Adanya kelainan pada mekanisme pengendalian pH

tersebut, bisa menyebabkan salah satu dari 2 kelainan utama dalam keseimbangan asam basa,

yaitu asidosis atau alkalosis.

Asidosis adalah suatu keadaan dimana darah terlalu banyak mengandung asam (atau terlalu

sedikit mengandung basa) dan sering menyebabkan menurunnya pH darah.

Sedangkan Alkalosis adalah suatu keadaan dimana darah terlalu banyak mengandung basa (atau

terlalu sedikit mengandung asam) dan kadang menyebabkan meningkatnya pH darah.

Kembali lagi ke permasalahan awal, dimana makanan kita tiup, lalu karbondioksida dari mulut kita

akan berikatan dengan uap air dari makanan dan menghasilkan asam karbonat yang akan

mempengaruhi tingkat keasaman dalam darah kita sehingga akan menyebabkan suatu keadaan

dimana darah kita akan menjadi lebih asam dari seharusnya sehingga pH dalam darah menurun,

keadaan ini lebih dikenal dengan istilah asidosis.

Seiring dengan menurunnya pH darah, pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat sebagai

usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah dengan cara menurunkan jumlah

karbon dioksida.

Pada akhirnya, ginjal juga berusaha mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara

mengeluarkan lebih banyak asam dalam air kemih.

Tetapi kedua mekanisme tersebut tidak akan berguna jika tubuh terus menerus menghasilkan

terlalu banyak asam, sehingga terjadi asidosis berat. Sejalan dengan memburuknya asidosis,

penderita mulai merasakan kelelahan yang luar biasa, rasa mengantuk, semakin mual dan

mengalami kebingungan. Bila asidosis semakin memburuk, tekanan darah dapat turun,

menyebabkan syok, koma dan bahkan kematian.

Nah itulah alasan mengapa kita tidak diperbolehkan meniup makanan dalam kondisi masih panas,

yang ternyata sangat membahayakan jiwa kita.

Hal tersebut dalam Islam sendiri jelas sangat dilarang selain kurang etis (kelihatan serakah) juga

tidak menunjukan kesabaran kita dalam menghapapi sebuah hidangan.

Meski terkadang berat “sabar” merupakan kunci dari sebuah keberhasilan, hal ini jika kita bisa

aplikasikan maka kita akan terhindar dari sifat-sifat negatif sehingga imun meningkat dan

membuat kita kebal terhadap serangan penyakit. Coba kita bercermin dari orang yang sabar pasti

kelihatan muda dan sehat selalu.

Bagaimana dengan anda ? Masih meniup juga jika tersedia hidangan panas ?

www.laksanaberita.info/2012/03/alasan-mengapa-tidak-boleh-meniup.html?m=0


Published with Blogger-droid v2.0.4

Senin, Maret 19, 2012

Tentang “memusuhi orang kafir” dalam Islam

Sekalipun ada sejumlah karya ilmiah dan kabar berita yang

menyatakan sebaliknya, banyak orang masih mempunyai anggapan keliru

bahwa Muslim tidaklah bisa toleran, hidup berdampingan, atau bekerja sama

dengan para penganut agama lain. Ini salah satunya karena para ekstremis

Muslim sendiri sering menyalahgunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk

membenarkan aksi-aksi kekerasan terhadap non-Muslim.

Tafsiran-tafsiran itu keliru. Nyatanya banyak ayat dalam al-Qur’an menyerukan

persahabatan, perlakuan adil dan kerja sama dengan non-Muslim. Namun ayat-

ayat ini diabaikan oleh mereka yang ingin menciptakan perpecahan untuk

menyulut bara dalam sekam.

Ayat-ayat al-Qur’an yang disalahgunakan itu misalnya: “Janganlah orang

beriman menjadikan orang kafir sebagai sekutu atau pelindung, melainkan

orang beriman” (3:28) dan “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah

kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai sekutumu; mereka

bersekutu satu sama lain. Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka

sekutu, sesungguhnya dia termasuk golongan mereka” (5:51).

Ayat-ayat ini haruslah dilihat sebagai ayat-ayat yang memberikan dukungan

yang diperlukan untuk mempertahankan dan menyatukan komunitas Muslim

awal—Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang hijrah ke Madinah—yang

masih belum kokoh dan berada di lingkungan yang tidak bersahabat.

Dengan kata lain, al-Qur’an saat itu tengah menasihati komunitas Muslim di

Arab abad ke-7 itu untuk berhati-hati dalam membuat aliansi politik. Dan

memang saat itu mereka dikhianati oleh beberapa dari sekutu Yahudi mereka.

Ayat-ayat ini diwahyukan terutama karena beberapa Muslim, demi keuntungan

pribadi, ingin membentuk atau mempertahankan aliansi dengan non-Muslim

meski dengan mengorbankan saudara seagama sendiri dan masyarakat yang

baru saja dibentuk. Karena itu ayat-ayat ini memerintahkan kaum Muslim awal

itu untuk mandiri dan tidak bergantung pada perlindungan orang lain demi

menciptakan sebuah komunitas yang kuat dan bisa bertahan lama.

Seperti ayat-ayat tadi, ayat-ayat yang lain juga dikutip keluar dari konteksnya,

sehingga dengan mudah menyesatkan para pembaca yang minim informasi dan

tidak memahami al-Qur’an dengan baik. Ayat seperti, “Dan bunuhlah mereka di

mana kamu temui mereka …” (2:191) sering dikutip oleh banyak ekstremis

Muslim dan juga non-Muslim untuk menunjukkan adanya kebencian Islam

terhadap non-Muslim.

Namun, ayat ini juga dipahami lepas dari konteksnya, karena ayat sebelum dan

sesudahnya justru menyatakan bahwa Muslim tidak seharusnya menjadi

agresor dan semestinya hanya melindungi diri dari penganiayaan. Konteksnya

kemudian menjadi jelas: ayat ini diwahyukan atas sebuah kejadian khusus

terkait dengan kaum musyrik Arab yang melanggar perdamaian dan

mengingkari gencatan senjata pada waktu itu. Dengan kata lain, perintah ini

hanya bisa berlaku untuk peristiwa khusus itu.

Syekh Yusuf al-Qaradawi, seorang cendekiawan muslim terkemuka dari Mesir,

menunjukkan bahwa ayat-ayat ini bukanlah tidak bersyarat, dan tentu tidak

bisa diterapkan ke setiap orang Yahudi, Kristen atau non-Muslim. Dengan

melepaskan ayat-ayat itu dari konteks spesifiknya yang berkaitan dengan

peristiwa sejarah Muslim di masa lalu, mereka sebenarnya melanggar perintah

lain dalam al-Qur’an yang menyerukan perbuatan baik kepada mereka yang

tidak menyakiti kaum Muslim.

Baik Muslim maupun non-Muslim harus membedakan ayat-ayat al-Qur’an yang

khusus terkait dengan konteks tertentu dari ayat-ayat yang universal dengan

juga membaca ayat-ayat yang membingkai ayat-ayat yang diperselisihkan itu.

Penting untuk mengingat bahwa pesan penghormatan bagi kebebasan beragama

juga tersebar di banyak tempat dalam al-Qur’an, di antaranya: “Tidak ada

paksaan dalam agama” (2:256); “Sesungguhnya orang-orang yang beriman

(kepada yang diwahyukan kepadamu, Muhammad), dan orang-orang Yahudi,

Nasrani, serta Sabiin—siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir,

dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhan mereka, dan

tak perlu ada rasa takut pada mereka, dan tidak perlu mereka bersedih” (2:62).

Bahkan hubungan ideal antara Muslim dan non-Muslim digambarkan secara

amat baik dalam dua ayat al-Qur’an (60:8-9). Ayat-ayat ini—yang menasihati

Muslim untuk memperlakukan penganut agama lain secara adil—menggunakan

sebuah kata yang berasal dari akar kata birr , yang merujuk pada jenis kebaikan

dan keadilan yang sudah mengakar. Al-Qur’an menganjurkan agar birr menjadi

dasar hubungan antara Muslim dan non-Muslim—perintah yang juga al-Qur’an

berikan menyangkut hubungan dengan orangtua kita.

Kini, ketika para ekstremis mengutip ayat-ayat tadi keluar dari konteksnya

untuk membenarkan terorisme, menjadi penting untuk memahami al-Qur’an

secara lebih seksama. Semua Muslim perlu memadukan pembacaan kitab suci

dengan pemahaman mendalam tentang perintah-perintahnya. Karena

mayoritas Muslim tidak bicara dalam bahasa Arab, yakni bahasa yang

digunakan al-Qur’an, mereka perlu merujuk pada sumber-sumber tafsir dan

terjemahan yang terpercaya dan tidak mengikuti tafsiran yang keliru dan tak

berdasar. Ini tentu dapat membuka jalan untuk memberantas kesalahpahaman

dan penyalahgunaan al-Qur’an untuk tujuan-tujuan kekerasan, dan alih-alih,

mendorong visi universal al-Qur’an: toleransi setulus hati dan keberdampingan

damai semua manusia.

###

* Dr. Maher Y. Abu-Munshar ialah dosen tamu di Jurusan Sejarah dan

Peradaban Islam, Universiti Malaya, Malaysia, dan penulis Islamic Jerusalem and

its Christians: A History of Tolerance and Tensions (IB Tauris, 2007). Artikel ini

adalah bagian dari seri mitos Islam sebagai agama kekerasan yang ditulis untuk

Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 4 Desember 2009,

www.commongroundnews.org

Dipersilahkan untuk mengutip artikel ini dengan menyebutkan sumber.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Sabtu, Maret 17, 2012

Sembuhkan Sakit dengan Sedekah


Pada zaman ini berbagai penyakit semakin menyebar dan banyak macamnya. Bahkan beberapa penyakit tidak bisa ditangani oleh dokter dan belum ditemukan obatnya, seperti Aids (HIV) dan semisalnya, meskipun sebenarnya obat penyakit tersebut ada. Allah Ta’ala tidak menciptakan suatu penyakit, melainkan ada obatnya. Namun obat tersebut belum diketahui, karena suatu hikmah tertentu yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala.


Salah satu penyebab utama banyaknya penyakit adalah merebaknya kemaksiatan yang dilakukan dengan terang-terangan tanpa malu. Kemaksiatan yang menyebar di tengah masyarakat dapat membinasakan mereka. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri”. (QS. asy-Syura: 30).


Di antara hikmah penyakit yang diderita seorang hamba adalah sebagai ujian dari Allah

Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Dunia merupakan tempat berseminya berbagai musibah,

kesedihan, kepedihan, dan penyakit.


Ketika saya melihat orang sakit bergulat dengan rasa sakitnya dan menyaksikan orang yang

membutuhkan pertolongan dengan menahan rasa perihnya, mereka telah melakukan berbagai macam ikhtiar namun mereka melewatkan sebab penyembuhan yang hakikatnya dari Allah ‘Azza wa Jalla, maka saya tergerak menulis risalah ini untuk semua orang yang sedang sakit, agar rasa duka dan sedihnya lenyap, dan penyakitnya dapat terobati (insya Allah).


Wahai anda yang sedang sakit menahan lara, yang sedang gelisah menanggung duka, yang

tertimpa musibah dan bala, semoga keselamatan selalu tercurah kepadamu, sebanyak kesedihan yang menimpamu, sebanyak duka nestapa yang kau rasakan.


Penyakitmu telah memutuskan hubunganmu dengan manusia, menggantikan kesehatanmu

dengan penderitaan. Orang lain mampu tertawa sedang engkau menangis. Sakitmu tidak

kunjung reda, tidurmu tidak nyenyak, engkau berharap kesembuhan walau harus membayar

dengan semua yang engkau punya.


Saudaraku yang sedang sakit! Saya tidak ingin memperparah lukamu, namun saya akan

memberimu obat mujarab dan membuatmu terlepas dari derita yang menahun. Obat ini

didapat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Obatilah orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah”. (HR. Abu Dawud, dihasankan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’).


Benar saudaraku, obatnya adalah sedekah dengan niat mencari kesembuhan. Mungkin engkau telah banyak sedekah, namun tidak engkau niatkan agar Allah Ta’ala menyembuhkanmu dari penyakit. Cobalah sekarang dan hendaknya engkau yakin bahwasanya Allah Ta’ala akan menyembuhkanmu. Berilah makan orang fakir, atau tanggunglah beban anak yatim, atau wakafkanlah hartamu, atau keluarkanlah sedekah jariahmu.


Sungguh sedekah dapat menghilangkan penyakit dan kesulitan, musibah atau cobaan. Mereka yang diberi taufik oleh Allah Ta’ala telah mencoba resep ini. Akhirnya mereka mendapatkan obat ruhiyah yang lebih mujarab daripada obat jasmani. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengobati dengan obat ruhiyah sekaligus obat ilahiyah.


Para salafush shalih juga mengeluarkan sedekah yang sepadan dengan penyakit dan musibah yang menimpa mereka. Mereka mengeluarkan harta mereka yang paling mereka cintai. Jangan kikir untuk dirimu sendiri, jika engkau memang memiliki harta dan kemudahan. Inilah kesempatannya telah datang!


* Dikisahkan bahwa Abdullah bin Mubarak pernah ditanya oleh seorang laki-laki tentang penyakit yang menimpa lututnya semenjak tujuh tahun. Ia telah mengobati lututnya dengan berbagai macam obat. Ia telah bertanya kepada para dokter, namun tidak menghasilkan apa-apa.


Ibnu al-Mubarak pun berkata kepadanya, “Pergi dan galilah sumur, karena manusia sedang

membutuhkan air. Saya berharap akan ada mata air dalam sumur yang engkau gali dan dapat menyembuhkan sakit di lututmu. Laki-laki itu lalu menggali sumur dan ia pun sembuh”. (Kisah ini terdapat dalam “Shahih at-Targhib”).


* Kisah lain, orang yang mengalami peristiwa ini menceritakan kepadaku, “Anak perempuan saya yang masih kecil menderita penyakit di tenggorokan. Saya membawanya ke beberapa rumah sakit. Saya menceritakan panyakitnya kepada banyak dokter, namun tidak ada hasilnya. Dia belum juga sembuh, bahkan sakitnya bertambah parah.

Hampir saja saya ikut jatuh sakit karena sakit anak perempuan saya yang mengundang iba

semua keluarga. Akhirnya dokter memberinya suntikan untuk mengurangi rasa sakit, hingga

kami putus asa dari semuanya kecuali dari rahmat Allah Ta’ala. Hal itu berlangsung sampai

datangnya sebuah harapan dan dibukanya pintu kelapangan.


Seorang shalih menghubungi saya dan menyampaikan sebuah hadits Rasulullah shallallahu

‘alaihi wasallam, “Obatilah orang sakit di antara kalian dengan sedekah”. (HR. Abu Dawud,

dihasankan oleh al-Albani). Saya berkata, “Saya telah banyak bersedekah”. Ia pun menjawab,

“Bersedekahlah kali ini dengan niat untuk kesembuhan anak perempuanmu”.


Saya pun mengeluarkan sedekah sekedarnya untuk seorang fakir, namun tidak ada perubahan.

Saya kemudian mengabarinya dan ia berkata, “Engkau adalah orang yang banyak mendapatkan nikmat dan karunia Allah Ta’ala, bersedekahlah sebanding dengan banyaknya hartamu”.


Saya pun pergi pada kesempatan kedua, saya penuhi isi mobil saya dengan beras, ayam dan

bahan-bahan sembako dan makanan lainnya dengan menghabiskan uang yang cukup banyak.

Saya lalu membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan dan mereka senang dengan sedekah saya.


Demi Allah saya tidak pernah menyangka bahwa setelah saya mengeluarkan sedekah itu, anak saya tidak perlu disuntik lagi, anak saya sembuh total, walhamdulillah. Saya yakin bahwa faktor (yang menjadi sebab) paling besar yang dapat menyembuhkan penyakit adalah sedekah.


Sekarang sudah berlalu tiga tahun, ia tidak merasakan penyakit apapun.

Semenjak itu saya banyak mengeluarkan sedekah khususnya berupa wakaf. Setiap saat saya

merasakan hidup penuh kenikmatan, keberkahan, dan sehat sejahtera baik pada diri pribadi

maupun keluarga saya.


Saya mewasiatkan kepada semua orang sakit agar bersedekah dengan harta mereka yang paling mereka cintai, dan mengeluarkan sedekah terus menerus, niscaya Allah Ta’ala akan

menyembuhkannya walaupun hanya sebagian penyakit. Saya yakin kepada Allah Ta’ala dengan apa yang saya ceritakan. Sungguh Allah Ta’ala tidak melalaikan balasan untuk orang yang berbuat baik.


Marilah saudaraku, pintu telah terbuka, tanda kesembuhan telah tampak di depanmu,

bersedekahlah dengan sungguh-sungguh dan percayalah kepada Allah Ta’ala. Jangan seperti

orang yang melalaikan resep yang mujarab ini, hingga ia tidak mengeluarkan sebagian hartanya untuk bersedekah lagi. Padahal bertahun-tahun ia menderita sakit dan mondar-mandir ke dokter untuk mengobati panyakitnya, dengan merogoh banyak uang dari sakunya.

Jika engkau telah mencoba resep ini dan engkau sembuh, jadilah orang yang selalu menolong

orang lain dengan harta dan usahamu. Jangan engkau membatasi diri dengan sedekah untuk

dirimu sendiri, namun obatilah penyakit orang-orang yang sakit dari keluargamu dengan

sedekah. Jika engkau tidak sembuh total, maka ketahuilah bahwa engkau sebenarnya telah

disembuhkan walaupun sedikit. Keluarkan sedekah lagi, perbanyak sedekah semampumu. Jika engkau masih belum sembuh, mungkin Allah Ta’ala memperpanjang sakitmu untuk sebuah hikmah yang dikehendakiNya atau karena kemaksiatan yang menghalangi kesembuhanmu. Jika demikian cepatlah bertaubat dan perbanyak doa di sepertiga malam terakhir.


Sedangkan bagi anda yang diberikan nikmat sehat oleh Allah Ta’ala, jangan tinggalkan sedekah dengan alasan engkau sehat. Seperti halnya orang yang sakit bisa sembuh maka orang yang sehat pun bisa sakit. Sebuah pepatah mengatakan, “Mencegah lebih baik dari mengobati”.


Sumber : http://www.alsofwah.or.id/cetakannur.php?id=541

Keutamaan Iffah dan Bersabar

Abu Sa’id al-Khudri z menyampaikan sabda Rasulullah n yang mulia:

ْﻒِﻔْﻌَﺘْﺴَﻳ ْﻦَﻣَﻭ ،ُﻪﻠﻟﺍ ُﻪَّﻔِﻌُﻳ ِﻦْﻐَﺘْﺴَﻳ ْﻦَﻣَﻭ ،ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪِﻨْﻐُﻳ ْﻦَﻣَﻭ ْﺮَّﺒَﺼَﺘَﻳ ،ُﻪﻠﻟﺍ ُﻩْﺮِّﺒَﺼُﻳ ﺎَﻣَﻭ َﻲِﻄْﻋُﺃ ٌﺪَﺣَﺃ ﺍًﺮْﻴَﺧ ًﺀﺎَﻄَﻋ َﻦِﻣ َﻊَﺳْﻭَﺃَﻭ

ِﺮْﺒَّﺼﻟﺍ

“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi

untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah

(kehormatan diri). Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/

merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki). Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l

akan menjadikannya sabar. Tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas

daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 2421)

Hadits yang agung ini terdiri dari empat kalimat yang singkat, namun memuat banyak faedah lagi

manfaat.

Pertama: Ucapan Nabi n:

ُﻪﻠﻟﺍ ُﻪَّﻔِﻌُﻳ ْﻒِﻔْﻌَﺘْﺴَﻳ ْﻦَﻣَﻭ

“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi

untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah.”

Kedua: Ucapan Nabi n:

ْﻦَﻣَﻭ ِﻦْﻐَﺘْﺴَﻳ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪِﻨْﻐُﻳ

“Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan

dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).”

Dua kalimat di atas saling terkait satu sama lain, karena kesempurnaan seorang hamba ada pada

keikhlasannya kepada Allah l, dalam keadaan takut dan berharap serta bergantung kepada-Nya

saja. Adapun kepada makhluk, tidak sama sekali. Oleh karena itu, seorang hamba sepantasnya

berupaya mewujudkan kesempurnaan ini dan mengamalkan segala sebab yang mengantarkannya

kepadanya, sehingga ia benar-benar menjadi hamba Allah l semata, merdeka dari perbudakan

makhluk.

Usaha yang bisa dia tempuh adalah memaksa jiwanya melakukan dua hal berikut.

1. Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan menjaga kehormatan diri

sehingga tidak berharap mendapatkan apa yang ada di tangan mereka, hingga ia tidak meminta

kepada makhluk, baik secara lisan (lisanul maqal) maupun keadaan (lisanul hal).

Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda kepada Umar z:

ﺎَﻣ َﻙﺎَﺗَﺃ ْﻦِﻣ ﺍَﺬﻫ ُﺮْﻴَﻏ َﺖْﻧَﺃَﻭ ِﻝﺎَﻤْﻟﺍ ٍﻑِﺮْﺸُﻣ َﻻَﻭ ,ُﻩْﺬُﺨَﻓ ٍﻞِﺋﺎَﺳ َﻻ ﺎَﻣَﻭ َﻼَﻓ َﻚَﺴْﻔَﻧ ُﻪْﻌِﺒْﺘُﺗ

“Harta yang mendatangimu dalam keadaan engkau tidak berambisi terhadapnya dan tidak pula

memintanya, ambillah. Adapun yang tidak datang kepadamu, janganlah engkau/menggantungkan

jiwamu kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 2402)

Memutus ambisi hati dan meminta dengan lisan untuk menjaga kehormatan diri serta menghindar

dari berutang budi kepada makhluk serta memutus ketergantungan hati kepada mereka,

merupakan sebab yang kuat untuk mencapai ‘iffah.

2. Penyempurna perkara di atas adalah memaksa jiwa untuk melakukan hal kedua, yaitu merasa

cukup dengan Allah l, percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa yang bertawakal kepada Allah l, pasti

Allah l akan mencukupinya. Inilah yang menjadi tujuan.

Yang pertama merupakan perantara kepada yang kedua ini, karena orang yang ingin menjaga diri

untuk tidak berambisi terhadap yang dimiliki orang lain, tentu ia harus  memperkuat

ketergantungan dirinya kepada Allah l, berharap dan berambisi terhadap keutamaan Allah l dan

kebaikan-Nya, memperbaiki persangkaannya dan percaya kepada Rabbnya. Allah l itu mengikuti

persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka baik, ia akan beroleh kebaikan. Sebaliknya,

bila ia bersangka selain kebaikan, ia pun akan memperoleh apa yang disangkanya.

Setiap hal di atas meneguhkan yang lain sehingga memperkuatnya. Semakin kuat ketergantungan

kepada Allah l, semakin lemah ketergantungan terhadap makhluk. Demikian pula sebaliknya.

Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi n:

َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ َﻚُﻟَﺄْﺳَﺃ ﻲِّﻧِﺇ ﻯَﺪُﻬْﻟﺍ َﻑﺎَﻔَﻌْﻟﺍَﻭ ﻰَﻘُّﺘﻟﺍَﻭ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍَﻭ

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah, dan kecukupan.” (HR. Muslim no.

6842 dari Ibnu Mas’ud z)

Seluruh kebaikan terkumpul dalam doa ini. Al-huda (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat ,

ketakwaan adalah amal saleh dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Hal ini membawa

kebaikan agama.

Penyempurnanya adalah baik dan tenangnya hati, dengan tidak berharap kepada makhluk dan

merasa cukup dengan Allah l. Orang yang merasa cukup dengan Allah l, dialah orang kaya yang

sebenarnya, walaupun sedikit hartanya. Orang kaya bukanlah orang yang banyak hartanya. Akan

tetapi, orang kaya yang hakiki adalah orang yang kaya hatinya.

Dengan ‘iffah dan kekayaan hati sempurnalah kehidupan yang baik bagi seorang hamba. Dia akan

merasakan kenikmatan duniawi dan qana’ah/merasa cukup dengan apa yang Allah l berikan

kepadanya.

Ketiga: Ucapan Nabi n:

ْﻦَﻣَﻭ ْﺮَّﺒَﺼَﺘَﻳ ُﻪﻠﻟﺍ ُﻩْﺮِّﺒَﺼُﻳ

“Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar.”

Keempat: Bila Allah l memberikan kesabaran kepada seorang hamba, itu merupakan pemberian

yang paling utama, paling luas, dan paling agung, karena kesabaran itu akan bisa membantunya

menghadapi berbagai masalah. Allah l berfirman:

“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (Al-Baqarah: 45)

Maknanya, dalam seluruh masalah kalian.

Sabar itu, sebagaimana seluruh akhlak yang lain, membutuhkan kesungguhan (mujahadah) dan

latihan jiwa. Karena itulah, Rasulullah n mengatakan: ْﻦَﻣَﻭ ْﺮَّﺒَﺼَﺘَﻳ “memaksa jiwanya untuk

bersabar”, balasannya: ُﻪﻠﻟﺍ ُﻩﺮِّﺒَﺼُﻳ “Allah l akan menjadikannya sabar.”

Usaha dia akan berbuah bantuan Allah l terhadapnya.

Sabar itu disebut pemberian terbesar, karena sifat ini berkaitan dengan seluruh masalah hamba

dan kesempurnaannya. Dalam setiap keadaan hamba membutuhkan kesabaran.

Ia membutuhkan kesabaran dalam taat kepada Allah l sehingga bisa menegakkan ketaatan

tersebut dan menunaikannya.

Ia membutuhkan kesabaran untuk menjauhi maksiat kepada Allah l sehingga ia bisa

meninggalkannya karena Allah l.

Ia membutuhkan sabar dalam menghadapi takdir Allah l yang menyakitkan sehingga ia tidak

menyalahkan/murka terhadap takdir tersebut. Bahkan, ia pun tetap membutuhkan sabar

menghadapi nikmat-nikmat Allah l dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa sehingga tidak membiarkan

jiwanya bangga dan bergembira yang tercela. Ia justru menyibukkan diri dengan bersyukur kepada

Allah l.

Demikianlah, ia membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaan. Dengan sabar, akan diperoleh

keuntungan dan kesuksesan. Oleh karena itulah, Allah l menyebutkan ahlul jannah (penghuni

surga) dengan firman-Nya:

Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan),

“Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.

(Ar-Ra’d: 23—24)

Demikian pula firman-Nya:

“Mereka itulah yang dibalasi dengan martabat yang tinggi dalam surga karena kesabaran

mereka….” (Al-Furqan: 75)

Dengan kesabaranlah mereka memperoleh surga berikut kenikmatannya dan mencapai tempat-

tempat yang tinggi.

Seorang hamba hendaklah meminta keselamatan kepada Allah l, agar dihindarkan dari musibah

yang ia tidak mengetahui akibatnya. Akan tetapi, bila musibah itu tetap menghampirinya, tugasnya

adalah bersabar. Kesabaran merupakan hal yang diperintahkan dan Allah l-lah yang menolong

hamba-Nya.

Allah l menjanjikan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya bahwa orang-orang yang bersabar

akan beroleh ganjaran yang tinggi lagi mulia.

Allah l berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan, menyertai mereka dengan penjagaan,

taufik dan pelurusan-Nya, mencintai dan mengokohkan hati serta telapak kaki mereka.

Allah l akan memberikan ketenangan dan ketenteraman, memudahkan mereka melakukan banyak

ketaatan.

Dia juga akan menjaga mereka dari penyelisihan.

Dia memberikan keutamaan kepada mereka dengan shalawat, rahmat, dan hidayah ketika tertimpa

musibah.

Dia mengangkat mereka kepada tempat-tempat yang paling tinggi di dunia dan akhirat.

Dia berjanji menolong mereka, memudahkan menempuh jalan yang mudah, dan menjauhkan

mereka dari kesulitan.

Dia menjanjikan mereka memperoleh kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan.

Dia juga akan memberi mereka pahala tanpa hitungan.

Dia akan mengganti apa yang luput dari mereka di dunia dengan ganti yang lebih banyak dan lebih

baik daripada hal-hal yang mereka cintai yang telah diambil dari mereka.

Allah l pun akan mengganti hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa mereka dengan ganti yang

segera, banyaknya berlipat-lipat daripada musibah yang menimpa mereka.

Sabar itu pada mulanya sulit dan berat, namun pada akhirnya mudah lagi terpuji akibatnya. Ini

sebagaimana dikatakan dalam bait syair berikut.

ِﻪِﻤْﺳﺍ ُﻞْﺜِﻣ ُﺮْﺒَّﺼﻟﺍَﻭ ُﻪُﺘَﻗﺍَﺬَﻣ ٌّﺮُﻣ

َّﻦِﻜَﻟ ُﻪَﺒِﻗﺍَﻮَﻋ ﻰَﻠْﺣَﺃ َﻦِﻣ ِﻞَﺴَﻌْﻟﺍ

Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya

Akan tetapi, akibatnya lebih manis daripada madu.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Diterjemahkan Ummu Ishaq al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil

Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, hadits ke-33, hlm. 9l—93, Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman

ibnu Nashir as-Sa’di t)


www.asysyariah.com/keutamaan-iffah-dan-bersabar.html


Published with Blogger-droid v2.0.4

Selasa, Maret 13, 2012

Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat Berjama'ah

 

   HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN SHALAT BERJAMA’AH


Shalat berjama’ah memiliki adab dan hukum-hukum yang terkait. Semua ini karena kedudukannya memiliki arti penting dalam Islam. Sementara itu, banyak kaum muslimin yang belum mengetahui hal ini. Banyak dijumpai dalam shalat berjama’ah, mereka kurang memperhatikan adab dan hukum yang terkait. Menyebabkan mereka terjerumus ke dalam kesalahan dan dosa, bahkan kebid’ahan.

BATASAN MINIMAL PESERTA SHALAT BERJAMA’AH
Batasan minimal untuk shalat jama’ah ialah dua orang. Seorang imam dan seorang makmum. Jumlah ini telah disepakati para ulama.

Ibnu Qudamah menyatakan,“Shalat jama’ah dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kami belum menemukan perbedaan pendapat dalam masalah ini.”[1]

Demikian juga Ibnu Hubairoh menyatakan,“Para ulama bersepakat, batasan minimal shalat jama’ah ialah dua orang. Yaitu imam dan seorang makmum yang berdiri di sebelah kanannya.” [2]

Shalat jama’ah dianggap sah, walaupun makmumnya seorang anak kecil atau wanita. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:

بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَقُمْتُ أُصَلِّي مَعَهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِرَأْسِي فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ

Aku tidur di rumah bibiku, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bangun mengerjakan shalat malam. Lalu aku turut shalat bersamanya dan berdiri disamping kirinya. Kemudian beliau meraih kepalaku dan memindahkanku ke samping kanannya. [3]

Demikian juga hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا

Sesungguhnya Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat mengimami dia dan ibunya. Anas berkata, “Beliau menempatkanku di sebelah kanannya dan wanita (ibunya) di belakang kami.” [4]

Semakin banyak jumlah makmum, maka semakin besar pahalanya dan semakin disukai Allah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Shalat bersama orang lain lebih baik daripada shalat sendirian. Shalat bersama dua orang lebih baik daripada shalat bersama seorang. Semakin banyak (yang shalat) semakim disukai Allah Azza wa Jalla. [5]

Hadits ini jelas menunjukkan, bahwa semakin banyak jumlah jama’ahnya semakin lebih utama dan lebih disukai Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Demikian juga seorang anak kecil yang telah mumayiz, boleh menjadi imam menurut pendapat yang rajih. Hal ini berdasarkan hadits Amru bin Salamah Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:

فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ

Ketika terjadi penaklukan kota Makkah, setiap kaum datang menyatakan keislaman mereka. Bapakku datang menyatakan keislaman kaumku. Ketika pulang beliau berkata,“Demi Allah, aku membawakan kepada kalian kebenaran dari sisi Rasulullah,” lalu berkata,“Shalatlah kalian, shalat ini pada waktu ini dan shalatlah ini pada waktu ini. Jika telah masuk waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan dan orang yang paling banyak hafalan Qur’annya yang menjadi imam.” Lalu mereka mencari (imam). Ternyata tidak ada seorangpun yang lebih banyak dariku hafalan Al Qur’annya. Lalu mereka menunjukku sebagai imam dan aku pada waktu itu berusia enam atau tujuh tahun.[6]

KAPAN DIKATAKAN MENDAPATI SHALAT BERJAMA’AH?
Gambaran permasalahan ini ialah seseorang datang ke masjid untuk shalat berjama’ah. Kemudian mendapati imam bertasyahud akhir, lalu bertakbiratul ihram. Apakah masbuq tersebut dikatakan mendapatkan pahala berjama’ah bersama imam, ataukah dianggap sebagai shalat sendirian (munfarid)?

Dalam permasalahan ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat yang berbeda.

Pertama : Shalat Jama’ah Didapatkan Dengan Takbir Sebelum Imam Salam.
Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
J
ika shalat telah iqamat, maka janganlah mendatanginya dengan berlari. Datangilah dengan berjalan. Kalian harus tenang. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah dan yang terlewatkan sempurnakanlah.[7]

Dalam hadits ini dinyatakan, orang yang mendapatkan imam dalam keadaan sujud atau duduk tasyahud akhir sebagai orang yang mendapatkan shalat jama’ah, lalu menyempurnakan yang terlewatkan. Sehingga orang yang bertakbir ihram sebelum imam salam, dikatakan mendapatkan shalat jama’ah.

Kedua : Membedakan Antara Jum’at Dan jama’ah. Jika Shalat Jum’at, Melihat Kepada Raka’at Dan Jama’ah Melihat Kepada Takbir.
Bermakna, dalam shalat Jum’at, seseorang dikatakan mendapatkan shalat Jum’at bersama imam, bila mendapatkan satu raka’at bersama imam. Dikatakan mendapatkan jama’ah, bila bertakbir sebelum imam mengucapkan salam. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab Syafi’i.[8]

Ketiga : Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjama’ah, Bila Mendapatkan Satu Raka’at Bersama Imam.
Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah, Imam Ghazali dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Muhammad bin Abdil Wahab dan Abdurrahman bin Nashir Assa’di telah merajihkannya.[9]

Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Siapa yang mendapatkan raka’at dari shalat, maka telah mendapatkan shalat.[10]

Dan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Rasulullah bersabda,“Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat Jum’at atau selainnya, maka telah mendapatkan shalat.” [11]

Sedangkan raka’at dilihat dari ruku’nya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah yang marfu’ :

إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Jika kalian berangkat shalat dan menemukan kami sedang sujud, maka bersujudlah dan jangan dihitung sebagai rakaat. Barangsiapa yang mendapatkan raka’at, maka telah mendapatkan shalat.[12]

Mereka menyatakan, “Orang yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at atau selainnya, maka (dianggap) mendapatkan shalat. Demikian juga shalat jama’ah, tidak dianggap mendapatkannya, kecuali dengan mendapat satu raka’at.” [13]

Pendapat ini dirajihkan Syaikhul Islam dalam pernyataan beliau: Yang benar ialah pendapat ini, karena hal berikut:
1. Menurut syari’at, -dalam hal ini- takbir tidaklah berkaitan dengan hukum apapun. Tidak berkaitan dengan waktu dan tidak pula dengan Jum’at atau jama’ah atau yang lainnya. Takbir disini, adalah sifat yang tidak terkait dengan hukum apapun (washfun mulgha) dalam tinjauan syari’at. Maka dari itu, tidak boleh menggunakannya sebagai hujjah.

2. Syari’at hanya mengaitkan status mengenai bisa-tidaknya shalat berjama’ah dengan mendapati raka’at. Kaitannya dengan takbir akan meniadakannya … …

3. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaitkan tentang dapatnya shalat berjama’ah bersama imam dengan raka’at. Ini adalah nash permasalahan.

4. Jum’at tidak bisa didapatkan oleh seseorang, kecuali bila mendapatkan raka’at. Demikianlah fatwa sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, diantaranya: Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Anas dan yang lainnya. dalam hal ini, tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi mereka. Bahkan sebagian ulama menyatakan, hal ini merupakan ijma’ sahabat. Pemisahan hukum Jum’at dengan jama’ah disini tidak benar. Oleh karena itu, Abu Hanifah meninggalkan ushul-nya dan membedakan keduanya. Tapi hadits dan atsar sahabat membatalkan pendapat beliau.

5. Bila tidak mendapatkan satu raka’atpun bersama imam, maka tidaklah dianggap mendapatkan jama’ah. Karena ia menyelesaikan seluruh bagian shalatnya dengan sendirian. Ia tidak terhitung mendapatkan satupun bagian shalat bersama imam. Seluruh bagian shalat dikerjakannya sendirian.[14]

Pendapat ini adalah pendapat yang rajih. Wallahu a’lam bish shawab.

HUKUM BERJAMA’AH DALAM SHALAT NAFILAH[15]
Shalat nafilah (shalat tathawu’) sangat penting bagi seorang muslim. Bahkan merupakan pelengkap dan penyempurna shalat fardhu. Melihat pentingnya permasalahan ini, maka perlu diketahui secara jelas hukum seputar berjama’ah dalam shalat nafilah.

Ditinjau dari pensyari’atan berjama’ah pada shalat nafilah, maka terbagi menjadi dua.

Pertama. Shalat nafilah yang disyari’atkan mengamalkannya dengan berjama’ah. Terdiri dari:
1. Shalat Kusuf (shalat gerhana matahari). Shalat ini disunnahkan berjama’ah berdasarkan kesepakatan para fuqaha’. Sedangkan shalat gerhana bulan, terdapat perselisihan para ulama tentangnya. Imam Abu Hanifah dan Malik menyatakan, tidak disunnahkan. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ahmad menyatakan, sunnahnya.
2. Shalat Istisqa’(shalat minta hujan), disunnahkan berjama’ah. Demikian menurut madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah dan dua murid Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhamamd bin Hasan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat tidak disunnahkan berjama’ah.
3. Shalat Ied, disunnahkan berjama’ah secara ijma’ kaum muslimin.
4. Shalat Tarawih

Kedua : Shalat nafilah yang tidak disyari’atkan berjama’ah.
Shalat yang disyari’atkan melakukannya secara sendirian (tidak berjama’ah) sangat banyak sekali. Diantaranya ialah: shalat rawatib, shalat sunnah mutlaqah dan yang disunnahkan pada setiap malam dan siang.

Tentang hukum melakukan shalat-shalat tersebut secara berjama’ah, terjdapat peselisihan diantara para ulama. Madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah memperbolehkan berjama’ah. Madzhab Hanafiyah memakruhkannya; dan madzhab Malikiyah membolehkan berjama’ah, kecuali sunnah rawatib sebelum subuh. Mereka menyatakan hal itu, menyelisihi yang lebih utama, selebihnya boleh dengan syarat jama’ahnya tidak banyak dan tidak di tempat yang terkenal, karena takut terjadi riya’ dan munculnya anggapan bahwa hak itu wajib.

Akan tetapi, yang benar ialah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau pernah melakukan kedua-duanya. Pernah melakukan shalat sunnah tersebut dengan berjama’ah dan sendirian. Sebagaimana riwayat berikut ini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, beliau menyatakan, bahwa neneknya yang bernama Mualikah mengundang Rasulullah makan-makan yang dibuatnya. Lalu Rasulullah memakannya dan berkata, “Bangkitlah kalian, aku akan shalat berjama’ah bersama kalian.” Anas berkata,”Aku mengambil tikar kami yang telah berwarna hitam karena lamanya pemakaian, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit. Aku dan seorang anak yatim membuat shaf di belakang beliau, sedangkan orang-orang tua wanita berdiri di belakang kami. Rasulullah shalat dua raka’at kemudian pergi.”[16]

عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ فِي مَنْزِلِهِ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ لَكَ مِنْ بَيْتِكَ قَالَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى مَكَانٍ فَكَبَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْنَا خَلْفَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Dari ‘Utban bin Malik, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya di rumahnya, lalu berkata,“Dimana dari rumahmu ini yang engkau suka aku shalat untukmu?” Lalu aku tunjukkan satu tempat. Kemudian beliau bertakbir dan kami membuat shaf di belakangnya. Beliau shalat dua raka’at.[17]

Demikian juga Syaikh Shalih As Sadlan merajihkan pendapat dibolehkannya dengan syarat, sebagaimana pernyataan beliau,“Yang benar dari yang telah kami sampaikan, nafilah boleh dilakukan dengan berjama’ah. Baik nafilahnya merupakan sunnah rawatib atau sunnah mustahabbah atau tathawu’ mutlaq. Tapi dengan syarat, tidak menjadikannya sebagi satu kebiasaan, tidak ditampakkan secara terang-terangan, dan dilakukan karena satu sebab. Seperti diminta tuan rumah atau kerena bersamaan dalam menunaikan sunah. Misalnya, tamu ketika bertamu. Seandainya dia dan tuan rumahnya shalat witir berjama’ah, dengan syarat tidak timbul kebid’ahan atau perkara yang tidak dibolehkan oleh syari’at. (Tetapi), jika satu dari yang telah disebutkan itu terjadi, maka tidak disyari’atkan berjama’ah.” [18]

Kesimpulannya, dibolehkan melaksanakan shalat sunnah dengan berjama’ah, selama tidak menimbulkan kebid’ahan atau pelanggaran syari’at serta dibutuhkan untuk hal itu. Wallahu a’lam.

UDZUR YANG MEMPERBOLEHKAN TIDAK MENGHADIRI SHALAT BERJAMA’AH
Diperbolehkan tidak menghadiri shalat berjama’ah dengan sebab-sebab tertentu. Diantara sebab-sebab tersebut ialah sebagai berikut:

1. Dingin dan hujan.
Berdasarkan hadits dari Nafi’, beliau berkata.

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ ذَاتُ بَرْدٍ وَمَطَرٍ يَقُولُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ

Sesungguhnya Ibnu Umar beradzan untuk shalat pada malam yang dingin dan berangin kencang, kemudian berkata, “Ala shallu fi rihalikum (Shalatlah kalian di rumah kalian).” Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan muadzin, jika malam dingin dan berhujan mengatakan, ‘Ala shallu fi rihal’.” [Mutafaqun ‘alaihi].

2. Sakit yang memberatkan penderitanya menghadiri jama’ah.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu. [Al Hajj:78].

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika sakit dan tidak bisa mengimami shalat beberapa hari:

مُرُوْا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ

Perintahkanlah Abu Bakr agar mengimami manusia. [19]

Ibnu Hazm berkata,“Ini tidak diperselisihkan.” [20]

3. Kondisi tidak aman yang dapat membahayakan diri, harta dan kehormatannya.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [Al Baqarah:286].

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya, kecuali karena udzur [21]. Dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan tafsir udzur disini, dengan sakit atau rasa takut (situasi tidak aman).[22]

4. Saat makanan telah dihidangkan dan menahan hajat kecil atau besar.
Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

Tidak boleh shalat saat makanan dihidangkan dan tidak pula ketika menahan buang hajat kecil dan besar. [23]

5. Ketiduran.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِ الْأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا

Bukanlah ketiduran tafrith (tercela), akan tetapi tafrith hanya pada orang yang tidak shalat sampai datang waktu shalat yang lainnya. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka hendaklah shalat ketika sadar.[24]

Demikianlah sebagian perkara penting yang berkaitan dengan shalat jama’ah. Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Al Mughni 3/7.
[2]. Al Ifshah An Ma’anish Shihah, 1/155. Dinukil dari Shalatul Jama’ah, karya Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan, hal. 47. Lihat juga pernyataan kesepakatan ini dalam Raudhatun Nadiyah, karya Shidiq Hasan Khan, 1/308.
[3]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab: Ma Ja’a Fil Witri, no. 937.
[4]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi’ Shalat, Bab: Jawazu Al Jama’ah Fin Nafilah Wash Shalat Ala Hashir Wa Khamrah, no. 1056.
[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Fi Fadhli Shalatul Jama’ah, no.467, An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Imamah, Bab: Al Jama’ah Idza Kana Itsnaini, no.834, Ahmad dalam Musnad-nya no.20312 dan Al Hakim dalam Mustadrak-nya, 3/269. Hadits ini dishahihkan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, 2/366-367 no. 1477.
[6]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Maghazi, no. 3963.
[7]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
[8]. Lihat Majmu’ Fatawa 23/331.
[9]. Lihat Shalatul Jama’ah, hal. 50. Tentang tarjih mereka ini dapat dilihat dalam kitab Adab Al Masyi Ila Shalat, hal. 29 dan Al Mukhtarat Al Jaliyah Fil Masail Al Fiqhiyah (dalam Al Majmu’ah Al Kamilah Li Mualafat, Syaikh Abdurrahman bin Nashir Assa’di, 2/109.
[10]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Mawaqitus Shalat, Bab: Man Adraka Minas Shalat Raka’at, no. 546 dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi’ Shalat, Bab: Man Adraka Minas Shalat Raka’at Faqad Adraka Shalat, no. 954.
[11]. Diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Mawaqit, Bab: Man Adraka Rak’atan Minas Shalat, no. 554; Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Iqamatush Shalat Was Sunnah Fiha, Bab: Ma Ja’a Fiman Adraka Minal Jum’at Rak’atan, no.1113 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya 3/173.
[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Fi Rajuli Yudrikul Imam Sajidan Kaifa Yasna’, no. 759.
[13]. Lihat Shalatul Jama’ah, hal. 51.
[14]. Majmu’ Fatawa 23/331-332 dengan sedikit pemotongan.
[15]. Diringkas dari Shalatul Jama’ah, karya Syaikh Shalih As Sadlan, hal. 74-78 dengan beberapa perubahan
[16]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi’ Shalat, Bab: Jawazu Al Jama’ah Fin Nafilah Was Shalat Ala Hashir Wa Khamrah, no. 1053.
[17].Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Idza Dahala Baitan Haitsu Sya, no. 406.
[18]. Shalatul Jama’ah, hal. 77-78.
[19]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
[20] Muhalla, 4/351.
[21]Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masajid Wal Jama’ah, Bab: At Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631.
[22]. Dibawakan oleh penulis kitab Shalat Jama’ah, hal. 199 dan dinisbatkan kepada Sunan Kubra Baihaqi 1/185.
[23]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi Shalat, Bab: Karahatus Shalat Bi Hadhratith Tha’am, no. 869.
[24]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi Shalat, Bab: Qadha’ Shalat Fawait, no. 1099.

Cara Memakai Busana Muslimah / Jilbab yang Baik

 

Alhamdulillah saat ini banyak wanita muslim yang mengenakan busana muslimah/jilbab. Ada yang sudah berpakaian sesuai tuntunan agama. Ada pula yang meski sudah memakai jilbab, namun masih jauh dari ajaran Islam.
Sebagai contoh, ada yang memakai jilbab, namun jilbabnya tidak menutupi dada. Parahnya lagi, dia memakai kaus dan celana yang ketat sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Akhirnya timbul keanehan, memakai jilbab tapi kok terlihat seksi ya?
Nah tulisan ini bukan bermaksud untuk mengecam. Tapi untuk memberikan pencerahan agar kita tahu cara berpakaian yang benar menurut ajaran Islam.
Pakaian Islam harus menutup seluruh aurat.
AURAT lelaki menurut ahli hukum ialah daripada pusat hingga ke lutut. Aurat wanita pula ialah seluruh anggota badannya, kecuali wajah, tapak tangan dan tapak kakinya. Rasulullah SAW bersabda bermaksud: “Paha itu adalah aurat.” (Bukhari)
Pakaian Islam tidak boleh menampakkan tubuh atau jarang.
Dari Saidatina Aisyah bahawa satu hari kakaknya, Asma binti Abu Bakar datang mengadap Rasulullah SAW sedang ia berpakaian tipis (jarang). Melihatkan keadaan itu, Rasulullah SAW terus berpaling muka.” [HR Abu Daud]
Kadang ada pakaian yang meski menutup seluruh tubuh, namun serat kainnya begitu jarang persis seperti kain kasa atau transparan seperti plastik. Akibatnya tubuh atau warna kulit pun terlihat jelas seolah-olah telanjang.
Rasulullah SAW bersabda: “Dua golongan ahli neraka yang belum pernah aku lihat ialah, satu golongan memegang cemeti seperti ekor lembu yang digunakan bagi memukul manusia dan satu golongan lagi wanita yang memakai pakaian tetapi telanjang dan meliuk-liukkan badan juga kepalanya seperti bonggol unta yang tunduk. Mereka tidak masuk syurga dan tidak dapat mencium baunya walaupun bau syurga itu dapat dicium daripada jarak yang jauh.” (Muslim)
Pakaian juga tidak boleh ketat sehingga bentuk tubuh terlihat jelas.
Pakaian juga tidak boleh untuk bermegah-megahan atau bermewah-mewahan.
”Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” [At Takaatsur 1]
Pakaian tidak boleh berlebihan sehingga menimbulkan perasaan sombong atau congkak ketika memakainya. Contohnya sering kita melihat para bangsawan yang bajunya begitu mewah dan panjang sehingga terseret-seret di lantai sementara dagunya menghadap ke atas dengan rasa sombong.
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Allah tidak akan memandang orang yang menyeretkan pakaiannya dengan sombong. (Shahih Muslim No.3887)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Ia melihat seorang lelaki menyeret kainnya, ia menghentakkan kakinya ke bumi, lelaki itu adalah pangeran Bahrain. Ia berkata: Pangeran datang, pangeran datang! Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan memandang orang yang menyeretkan kainnya dengan kecongkakan. (Shahih Muslim No.3893)
Jadi kalau ada yang memakai pakaian mahal misalnya dengan harga 5 dinar ke atas atau Rp 5 juta ke atas sambil membanggakan kepada temannya, ini aku beli seharga Rp 5 juta, niscaya itu sudah tidak Islami lagi.
Seharusnya yang sederhana saja dan tidak berlebihan sehingga sisa uangnya bisa dipakai untuk sedekah membantu fakir miskin.
Pakaian Lelaki harus berbeda dengan pakaian wanita. Tidak boleh lelaki berpakaian wanita dan wanita berpakaian lelaki meski mungkin itu hanya untuk memancing tawa/lelucon.
Rasulullah SAW bersabda: “Allah mengutuk wanita yang meniru pakaian dan sikap lelaki, dan lelaki yang meniru pakaian dan sikap perempuan.” (Bukhari dan Muslim)
Baginda juga bersabda bermaksud: “Allah melaknat lelaki berpakaian wanita dan wanita berpakaian lelaki.” (Abu Daud dan Al-Hakim).
Wanita boleh pakai sutera. Namun lelaki tidak boleh.
Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu memakai sutera, sesungguhnya orang yang memakainya di dunia tidak dapat memakainya di akhirat.” (Muttafaq ‘alaih)
Hendaknya saat keluar rumah para wanita mengenakan jilbabnya.
”Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al Ahzab 59]
Hendaknya kerudung dipakai hingga menutupi dada.
”Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” [An Nuur 31]
Di bawah contoh pemakaian busana muslim yang tidak sesuai menurut Islam. Jangan sampai pakaian istri, anak-anak perempuan, atau pun saudara-saudara perempuan kita termasuk dalam contoh-contoh tersebut. Terakhir ada contoh berpakaian muslimah yang benar.
Gambar 1
Kesalahan pada gambar ini :
Kerudung tidak menutupi dada
Allah S.W.T berfirman dalam surat An Nur ayat 31 ” .. dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya … “
Gambar 2
Kesalahan pada gambar ini :
  • Kerudung tidak menutupi dada
  • Rok yang dipakai kurang panjang
Menurut riwayat Imam Tarmizi dan Nasa’i, dari Ummu Salamah r.a. “Ya Rasulullah, bagaimana perempuan akan berbuat kain-kain mereka yang sebelah bawah?
Sabda Rasulullah S.A.W : “Hendaklah mereka memanjangkan barang sejengkal dan janganlah menambahkan lagi keatasnya
Gambar 3
Kesalahan pada gambar ini :
 Pakaian ketat dan menampakkan bentuk tubuh
Rasulullah bersabda ” hendaklah kamu meminjamkan dia baju yang panjang dan longgar itu
 Make up yang sangat tebal
Allah SWT berfirman dalam surat Al’Araf ayat 31 : ” Wahai anak cucu Adam. Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap memasuki mesjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan ”

Gambar 4
Kesalahan pada gambar ini :
 Kerudung tidak menutupi dada
 Lengan blus pendek
 Rok yang dipakai pendek
 Tidak memakai kaos kaki
Dan katakanlah kepada para perempuan beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasan (auratnya) kecuali yang bisa terlihat….” Surat An Nur, ayat 31
Gambar 5
Kesalahan pada gambar ini :
 Lengan blus pendek
 Tidak memakai kaos kaki
  • Rok yang dipakai berbelah di depan
Barang siapa yang memakai pakaian yang mencolok mata, maka Allah S.W.T akan memberikan pakaian kehinaan di hari akhirat nanti “ [HR Ahmad, Abu Daud, An Nasa'i dan Ibn Majah]
Gambar 6
Kesalahan pada gambar ini :
  • Kerudung tidak menutupi dada
  • Pakaian ketat menampakkan lekuk tubuh
  • Blus yang dipakai pendek
  • Tidak memakai kaos kaki
Sesungguhnya sebilangan ahli neraka ialah perempuan-perempuan yang berpakaian tapi yang telanjang yang condong kepada maksiat dan menarik orang lain untuk melakukan maksiat. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya” [Bukhari dan Muslim]
Apakah cara berpakaian anda meski sudah menutup kepala masih banyak salahnya?
Lalu bagaimana contoh berpakaian yang benar?
Silahkan lihat di bawah ini.
Rasulullah S.A.W telah bersabda :
Bahwa anak perempuan apabila telah cukup umurnya, maka mereka tidak boleh dilihat akan dia melainkan mukanya dan kedua telapak tangannya hingga pergelangan” (H.R. Abu Daud)
Memang berat untuk mengenakan busana Muslimah yang baik dan sesuai ajaran Islam. Seperti pengalaman pribadi yang dituturkan oleh satu penulis sumber ini. Mungkin busana muslim yang baik itu seperti ibu-ibu, tidak modis, tidak seksi, dan sebagainya. Tapi itulah yang benar.
Dan menurut dia banyak juga kok saat ini busana Muslim yang baik tapi tetap terlihat modis dan anggun.
Jika anda membeli busana Muslimah sebaiknya busana yang anda beli sesuai petunjuk di atas. Di bawah adalah tempat penjualan busana Muslimah online:
Sumber :