Selasa, Desember 06, 2011

Tata cara shalat tarawih dan Cara Shalat Witir

Sholat Tarawih

Syaikh Nashiruddin Al-Albani telah menjelaskan perincian tentang tata cara shalat

tarawih dalam kitab “Shalat Tarawih” (hal. 101- 105), kemudian disini diringkasnya

untuk mempermudah pembaca dan sebagai peringatan.


Cara Pertama

Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek,

2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’.

Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2

rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat

kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya,

kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.

Cara Kedua

Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian

melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.

Cara Ketiga

Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.

Cara Keempat

Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi

seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada

setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban

yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang

tiga rakaat tidak disyariatkan !.

Cara Kelima

Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang

kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada

Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam,

kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2

rakaat lagi sambil duduk.

Cara Keenam

Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent)

kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi

wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.

Inilah tata cara yang terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam secara

jelas, dan dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu dengan dikurangi

pada setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki walaupun tinggal 1 rakaat

dalam rangka mengamalkan hadist Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam

yang telah lalu (“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat,

barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang

ingin,witirlah dengan 1 rakaat) [Faedah penting : Berkata Ibnu Khuzaimah

dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194 , setelah menyebutkan hadist Aisyah

dan yang lainnya pada sebagian cara-cara tersebut, maka dibolehkan shalat

dengan jumlah yang ana dari yang diasukai dari yang telah diriwayatkan daari

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya tida larangan bagi siapapun

padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai dengan apa yang kita pilih

yang konsisten dengan jumlah yang shahih. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

sallam dan tidak menambahinya. Segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan

aku meminta Nya untuk menambahi keutamaan- Nya.] [1] .

Shalat 5 dan 3 rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk melakukannya

dengan 1 kali duduk (tasyahud –pent) dan satu kali salam sebagaimana pada

cara kedua, boleh. Dan jika ingin, bisa dengan salam pada setiap 2 rakaat

seperti pada cara ketiga dan yang lain dan itu lebih baik[2 ]. Adapun shalat

yang 5 dan 3 rakaat denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat

tanpa salam, kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi

wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam

ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya dengan sabda

beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib…” (diriwayatkan At-Thahawi

dan Daruquthni dan selain keduanya lihat “Shalatut Tarawih” hal 99- 110) .

Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari cara

penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :

1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.

2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat

kedua –pent).

(Dinukil dari terjemahan kitab “Qiyamu Ramadhan”, karya Syaikh Muhammad

Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi , Bab

“Tata Cara Shalat Tarawih”

Hal : 60 – 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)

Bacaan pada witir yang Tiga rakaat

Diantara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah membaca pada

rakaat pertamanya surat Al-A ’la dan kedua membaca surat Al Kafirun dan

pada rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan terkadang menambahkan

dengan surat Al-Alaq dan An-Naas . Telah terdapat pula dalam riwayat yang

shahih bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada satu rakaat

witir dengan 100 ayat dari surat An-Nisa’ . (Riwayat An-Nasai dan Ahmad

dengan sanad yang shahih).

Doa Qunut witir dan tempatnya

Sesudah membaca bacaan (surat –pent) sebelum ruku’ terkadang beliau

melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

sallam ajarkan kepada cucunya Hasan bin Ali, yaitu :

َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ ْﻲِﻧِﺪْﻫﺍ ْﻦَﻤْﻴِﻓ َﺖْﻳَﺪَﻫ، ْﻲِﻨِﻓﺎَﻋَﻭ ْﻦَﻤْﻴِﻓ َﺖْﻴَﻓﺎَﻋ، ْﻲِﻨَّﻟَﻮَﺗَﻭ ْﻦَﻤْﻴِﻓ َﺖْﻴَّﻟَﻮَﺗ، ْﻙِﺭﺎَﺑَﻭ ْﻲِﻟ

ﺎَﻤْﻴِﻓ َﺖْﻴَﻄْﻋَﺃ، ْﻲِﻨِﻗَﻭ َّﺮَﺷ ﺎَﻣ َﺖْﻴَﻀَﻗ، َﻚَّﻧِﺈَﻓ ْﻲِﻀْﻘَﺗ َﻻَﻭ َﻚْﻴَﻠَﻋ ﻰَﻀْﻘُﻳ، ُﻪَّﻧِﺇ َﻻ ُّﻝِﺬَﻳ ْﻦَﻣ َﺖْﻴَﻟﺍَﻭ،

] َﻻَﻭ ُّﺰِﻌَﻳ ْﻦَﻣ َﺖْﻳَﺩﺎَﻋ ،] َﺖْﻛَﺭﺎَﺒَﺗ ﺖْﻴَﻟﺎَﻌَﺗَﻭ ﺎَﻨَّﺑَﺭ .

“Ya Allah! Berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri

petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai)

sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana

orang yang telah Engkau sayangi. Berilah berkah apa yang Engkau berikan

kepadaku, jauhkan aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan,

sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan qadha, dan tidak ada orang yang

memberikan hukuman kepadaMu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela

tidak akan terhina, dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia. Maha

Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi Engkau.” [HR. Empat

penyusun kitab Sunan, Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Al- Baihaqi. Sedang

doa yang ada di antara dua kurung, menurut riwayat Al-Baihaqi . Lihat Shahih

At-Tirmidzi 1/144 , Shahih Ibnu Majah 1/194 dan Irwa’ul Ghalil, oleh Al-

Albani 2/172 .]

Kemudian terkadang bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku’, juga menambah

melaknati orang-orang kafir, dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi

wa sallam serta mendoakan kaum muslimin pada pertengahan kedua dari

bulan ramadhan, karena telah ada yang demikian ini dimasa Umar

radhiyallahu ‘anhu, yang telah tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul

Qari’ : Dan mereka melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan

–pent)” :

“ ﻢﻬﻠﻟﺍ ﺎﻗ ﻞﺗ ﺓﺮﻔﻜﻟﺍ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻥﻭﺪﺼﻳ ﻦﻋ ﻚﻠﻴﺒﺳ ﻥﻮﺑﺬﻜﻳﻭ ﻚﻠﺳﺭ, ﻻﻭ ﻥﻮﻨﻣﺆﻳ ﻙﺪﻋﻮﺑ,

ﻒﻟﺎﺧﻭ ﻦﻴﺑ ﻢﻬﺘﻤﻠﻛ, ﻖﻟﺃﻭ ﻲﻓ ﻢﻬﺑﻮﻠﻗ ﺐﻋﺮﻟﺍ, ﻖﻟﺃﻭ ﻢﻬﻴﻠﻋ ﻙﺰﺟﺭ ﺍﺬﻋﻭ ﻚﺑ, ﺎﻳ ﻪﻟﺍ

ﻖﺤﻟﺍ”

“Ya Allah! Perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari jalan-Mu dan

mendustakan para Rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu . Cerai

beraikan persatuan mereka, lemparkan rasa takut pada hati mereka, dan

lemparkan adzab-Mu atas mereka wahai Illah yang haq.”

Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa

untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun

untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir

dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan

dengan membaca :

َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ َﻙﺎَّـﻳﺇ ُﺪُﺒْﻌَﻧ، َﻚَﻟَﻭ ْﻲِّﻠَﺼُﻧ ُﺪُﺠْﺴَﻧَﻭ ، َﻚْﻴَﻟِﺇَﻭ ﻰَﻌْﺴَﻧ ُﺪِﻔْﺤَﻧَﻭ، ْﻮُﺟْﺮَﻧ َﻚَﺘَﻤْﺣَﺭ، ﻰَﺸْﺨَﻧَﻭ

َﻚَﺑﺍَﺬَﻋ، َﻚَﺑﺍَﺬَﻋ َّﻥِﺇ َﻦْﻳِﺮِﻓﺎَﻜْﻟﺎِﺑ ٌﻖَﺤْﻠُﻣ . ﺎَّﻧِﺇ َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ َﻚُﻨْﻴِﻌَﺘْﺴَﻧ َﻙُﺮِﻔْﻐَﺘْﺴَﻧَﻭ، ْﻲِﻨْﺜُﻧَﻭ َﺮْﻴَﺨْﻟﺍ َﻚْﻴَﻠَﻋ، َﻻَﻭ

َﻙُﺮُﻔْﻜَﻧ، ُﻦِﻣْﺆُﻧَﻭ َﻚِﺑ، ُﻊَﻀْﺨَﻧَﻭ َﻚَﻟ، ُﻊَﻠْﺨَﻧَﻭ َﻙُﺮُﻔْﻜَﻳ ْﻦَﻣ .

“Ya Allah! KepadaMu kami menyembah. UntukMu kami melakukan shalat dan

sujud. KepadaMu kami berusaha dan melayani. Kami mengharapkan

rahmatMu, kami takut pada siksaanMu. Sesungguhnya siksaanMu akan

menimpa pada orang- orang kafir. Ya, Allah! Kami minta pertolongan dan

minta ampun kepadaMu, kami memuji kebaikanMu, kami tidak ingkar

kepada- Mu, kami beriman kepadaMu, kami tunduk padaMu dan berpisah

pada orang yang kufur kepadaMu.” [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra,

sanadnya menurut pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211 . Syaikh Al-

Albani dalam Irwa’ul Ghalil 2/ 170 berkata: Sanadnya shahih dan mauquf

pada Umar]

Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab

“Shahihnya” (2 /155- 156/1100 )).

Yang diucapkan di akhir witir

Termasuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengucapkan

pada akhir shalat witir sebelum atau sesudah salam :

َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ ْﻲِّﻧِﺇ َﻙﺎَﺿِﺮِﺑ ُﺫْﻮُﻋَﺃ ْﻦِﻣ َﻚِﻄَﺨَﺳ، َﻚِﺗﺎَﻓﺎَﻌُﻤِﺑَﻭ ْﻦِﻣ َﻚِﺘَﺑْﻮُﻘُﻋ، ُﺫْﻮُﻋَﺃَﻭ َﻚْﻨِﻣ َﻚِﺑ، َﻻ ْﻲِﺼْﺣُﺃ

َﺀﺎَﻨَﺛ َﻚْﻴَﻠَﻋ َﺖْﻧَﺃ َﺖْﻴَﻨْﺛَﺃ ﺎَﻤَﻛ ﻰَﻠَﻋ َﻚِﺴْﻔَﻧ .

“Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kerelaanMu dari

kemarahanMu, dan dengan keselamatanMu dari siksaMu. Aku berlindung

kepadaMu dari ancamanMu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan

sanjungan kepadaMu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan

kepada diriMu sendiri.” [HR. Empat peenyusun kitab Sunan dan Imam

Ahmad. Lihat Shahih At-Tirmidzi 3/180 dan Shahih Ibnu Majah 1/194 serta

kitab Irwa’ul Ghalil 2/175 . [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, sanadnya

menurut pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211 . Syaikh Al-Albani dalam

Irwa’ul Ghalil 2/170 berkata: Sanadnya shahih dan mauquf pada Umar]

Kemudian jika telah salam dari shalat witir mengucapkan :

َﻥﺎَﺤْﺒُﺳ ِﺱْﻭُّﺪُﻘْﻟﺍ ِﻚِﻠَﻤْﻟﺍ ] ِﺡْﻭُّﺮﻟﺍَﻭ ِﺔَﻜِﺋَﻼَﻤْﻟﺍ ِّﺏَﺭ )  [ ﺮﻬﺠﻳ ﺎﻬﺑ ﺪﻤﻳﻭ ﺎﻬﺑ ﻝﻮﻘﻳ ﻪﺗﻮﺻ 3 ﺕﺍﺮﻣ(

Subhaanal malikil qudduusi (rabbul malaaikati warruh) tiga kali, sedang yang

ketiga, beliau membacanya dengan suara keras dan panjang. [HR. An-Nasai

3/244 , Ad-Daruquthni dan beberapa imam hadis yang lain. Sedang kalimat

antara dua tanda kurung adalah tambahan menurut riwayatnya 2/31 .

Sanadnya shahih, lihat Zadul Ma’ ad yang ditahqiq oleh Syu’aib Al- Arnauth dan

Abdul Qadir Al-Arnauth 1/ 337.

Dua rakaat setelah witir

Dibolehkan shalat dua rakaat, karena telah terdapat dalil dari perbuatan Nabi

Shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Muslim dan lain lihat “Shalat

Tarwih”hala :108- 109), bahkan beliau memerintahkan umatnya dengan

sabdanya :

“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah

melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak

keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih” nya

dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu

aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang

cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu

bahwa sabdanya : " ﺍﻮﻠﻌﺟﺍ ﺮﺧﺍ ﻼﺻ ﻢﻜﺗ ﺎﺑ ﻞﻴﻟ ﺍﺮﺗﻭ “Jadikanlah witir akhir shalat

kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan

kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 )

Dan disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al Zilzalah dan

surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah (1104,11050 dari hadist Aisyah

dan Anas radhiyallahu ‘anhum dengan dua sanad yang saling menguatkan)

(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad

Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi , Bab

“Tata Cara Shalat Tarawih”

Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)

Bagaimana Sholat Tarawih Sesuai Sunnah Rasulullah

Syaikh Salim bin Ied Al- Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid

1 Pensyari'atannya

Shalat tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah

Radhiyallahu 'anha : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu

malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya,

dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak

orang, ketika beliau shalat, mereka- pun ikut shalat bersamanya, mereka

meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada

malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika

malam keempat masjid tidak mampu menampung jama'ah, hingga beliau

hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau

menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda (yang artinya) : “

Amma ba'du . Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam,

namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu

mengamalkannya". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam

keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara

berjama'ah" [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam

keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari’at ini telah tetap,

maka shalat tarawih berjama’ah disyari’ atkan karena kekhawatiran tersebut

sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya ‘illat itu berputar

bersama ma’lulnya , adanya atau tidak adanya.

Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa’ ur Rasyidin Umar

bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian

oleh Abdurrahman bin Abdin Al- Qoriy[1] beliau berkata : “Aku keluar

bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu suatu malam di bulan

Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok [2 ] Ada yang

shalat sendirian dan ada yang berjama’ah , maka Umar berkata : “Aku

berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih

baik”. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama’ ah dengan

imam Ubay bin Ka’ab , setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam,

manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar- pun berkata, “Sebaik-

baik bid’ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu

manusia shalat di awal malam”. [Dikeluarkan Bukhari 4/ 218 dan

tambahannya dalam riwayat Malik 1/114 , Abdurrazaq 7733]

Footnote:

[1 ] Dengan tanwin (‘abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa

dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6 -7 karya Ibnul Atsir.

[2 ]Berkelompok- kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa’ ibil …

dan seterusnya

2. Jumlah raka’atnya

Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka’atnya, pendapat yang

mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah delapan raka’at

tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha (yang artinya) : “

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan

Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at” [Dikeluarkan oleh Bukhari

3/16 dan Muslim 736 Al- Hafidz berkata (Fath 4/ 54)]

Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau

menyebutkan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghidupkan malam

Ramadhan bersama manusia delapan raka’at kemudian witir [Dikeluarkan

oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman

108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana

syahidnya. ]

Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau

mengumpulkan manusia dengan sebelas raka’at sesuai dengan sunnah

shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad

yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata :

“Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari

untuk mengimami manusia dengan sebelas raka’at ”. Ia berkata : “Ketika itu

imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada

tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu’

fajar” [Furu' fajar : awalnya, permulaan].

Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : “Dua

puluh raka’at” .

Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena

Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid

tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah

tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari

riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul

Mughits (1 /199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424- 425.

Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan,

sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan

lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah ditetapkan dalam ilmu

ushul fiqh.

Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais

dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : “Bahwa Umar

mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka’at ,

membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar”

Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf

dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.

Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka

riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat

mereka dua puluh raka’at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.

Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang

diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh

dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda , mirip dan sama, tapi

tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi

1/262 ]

Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf

karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan.

Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari

illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena hadits tersebut

mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :

1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang,

diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari .

2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang

meriwayatkan Kitabus Shaum [Al- Mushannaf 4/153 ]

3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan- karangannya ketika

berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181 ]

4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan

seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181 ]

5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq,

dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar,

sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan- kesalahan Ad-Dabari dan

tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul

I'tidal 1/181 ]

Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari

dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya,

yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun

termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka’at

(menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui

bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul

I'tidal 1/181 ]

Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga

tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang

diriwayatkan di dalam Al-Muwatha ’ 1/115 dengan sanad Shahih dari

Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.

[Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah:

a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali

Hasan Abdul Hamid

b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali

Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar]

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan,

penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly , Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.

Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat

Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok

(PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir

1424 H


Published with Blogger-droid v2.0.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar