Rabu, Februari 29, 2012

Cara Nabi Menghadapi Perbedaan

Saat ini kadang dalam hal khilafiyyah/furu’iyah, meski masing-masing pihak punya
pegangan Al Qur’an dan Hadits, pihak yang lain mencaci yang lainnya. Dari
membid’ahkan pihak yang lain, hingga mengkafirkan. Berbagai caci-maki bahkan
fitnah dan kebohongan pun dilontarkan. Sungguh jauh dari ajaran Islam.
Sesungguhnya perbedaan pendapat itu hal yang biasa. Di antara Suami-Istri, Kakak-
Adik, para Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan
Imam Hambali saja biasa terjadi perbedaan pendapat. Bahkan para Nabi pun
seperti Nabi Daud dan Nabi Sulayman dijelaskan Allah dalam Surat Al Anbiyaa’ ayat
78 dan 79 berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan
pendapat itu jadi rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai. Tapi jika tidak bisa
menerima bahkan mencaci-maki pihak lain, yang jadi adalah pertengkaran,
perceraian, bahkan peperangan.
Bagaimana cara Nabi menghadapi perbedaan?
Kecuali menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i, Islam
dikenal sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan
dengan sangat indah kepada kita semua.
Dalam Shahih al-Bukhari , Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn
Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan
dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Umar. Setelah
Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu,
mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah
membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang
diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). “ Faqra’uu maa
tayassara minhu,” sabda Rasulullah s.a.w, “maka bacalah mana yang engkau anggap
mudah daripadanya.”
Lihat bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada
peristiwa Ahzab:
َﻻ َّﻦَﻴِّﻠَﺼُﻳ ٌﺪَﺣَﺃ َﺮْﺼَﻌْﻟﺍ َّﻻِﺇ ﻲِﻓ .َﺔَﻈْﻳَﺮُﻗ ﻲِﻨَﺑ َﻙَﺭْﺩَﺄَﻓ
َﺮْﺼَﻌْﻟﺍ ُﻢُﻬُﻀْﻌَﺑ ﻲِﻓ ،ِﻖْﻳِﺮَّﻄﻟﺍ َﻝﺎَﻘَﻓ :ْﻢُﻬُﻀْﻌَﺑ َﻻ
ﻲِّﻠَﺼُﻧ .ﺎَﻬَﻴِﺗْﺄَﻧ ﻰَّﺘَﺣ َﻝﺎَﻗَﻭ :ْﻢُﻬُﻀْﻌَﺑ ْﻞَﺑ ،ﻲِّﻠَﺼُﻧ ْﻢَﻟ
ْﺩِﺮُﻳ ﺎَّﻨِﻣ .َﻚِﻟَﺫ َﺮِﻛُﺬَﻓ َﻚِﻟَﺫ ِّﻲِﺒَّﻨﻠِﻟ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ
َﻢَّﻠَﺳَﻭ ْﻢَﻠَﻓ ﺍًﺪِﺣﺍَﻭ ْﻒِّﻨَﻌُﻳ ْﻢُﻬْﻨِﻣ

Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah
jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di
sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu
yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada
Rasulullah SAW namun beliau tidak mencela salah satunya.”
Sekali lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu
dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela
salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah
jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu
sebagaimana diperintahkan Allah dan RasulNya. Yang shalat belakangan di
perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu.
Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.
Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian
bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid.
Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan
syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi
Muhammad).’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan
melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda
Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau
menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya
Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa’i
[709] dan Ahmad [20928]).
Lihat saat Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-
muji Allah dan RasulNya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak
melarang atau mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.
Beda bukan dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang
berdzikir atau bersholawat sebelum waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad
tidak pernah melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit,
yaitu bersyair di Masjid sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski
Nabi tidak melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk
seperti Bid’ah, sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi
kalau berdzikir atau bersholawat!
Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada
yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:
Anas bin Maalik berkata: “Kami sedang bermusafir bersama dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semasa Ramadhan dan di kalangan
kami ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa
tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak
berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa. [ hadist riwayat Bukhari
and Muslim]
Perbedaan itu akan selalu ada. Namun sayangnya kelompok ekstrim seperti Salafi
Wahabi menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat
dengan mereka langsung disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan
sebagainya. Bahkan mereka mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat”
dengan “Persatuan adalah laknat”.
Meski tidak bersumber ke Nabi, namun berasal dari  Al-Qasim bin Muhammad, cucu
Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi
penguasa. Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat tahun
107 hijriyah.
Imam Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini adalah
perkataan Al-Qasim bin Muhammad. Demikian juga komentar dari Al-Imam As-
Suyuti sebagaimana yang kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah , lafadz ini
adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad.
Jangankan manusia biasa. Nabi yang dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat
dalam memutuskan satu hal. Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79 dijelaskan
bagaimana Nabi Daud dan Nabi Sulayman berbeda pendapat dalam memutuskan
satu hal:
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-
kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang
diberikan oleh mereka itu,
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum
(yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami
berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan
burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang
melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
[966]. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak
tanaman di waktu malam. maka yang empunya tanaman mengadukan hal ini kepada
Nabi Daud a.s. Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus
diserahkan kepada yang empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang
rusak. Tetapi Nabi Sulaiman a.s. memutuskan supaya kambing-kambing itu
diserahkan sementara kepada yang empunya tanaman untuk diambil manfaatnya.
Dan prang yang empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan
tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya,
mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan
Nabi Sulaiman a.s. ini adalah keputusan yang tepat.
Jelas orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an
dan Hadits secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya
pemikirannya jadi ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah
persatuan ummat Islam karena kejahilannya.
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)
Kadang ada kelompok yang menganggap kebenaran hanya 1, yaitu kelompoknya saja
sehingga bersikap ekstrim dalam menghadapi perbedaan:
“ Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk
neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai
Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para
sahabatku.” (HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-
Hakim).
Padahal berdasarkan contoh-contoh di atas, Nabi dan para Sahabat sangat toleran
dalam perbedaan selama belum keluar dari syariat Islam.
Mereka menganggap “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya
banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman terhadap hadits Rasulullah SAW :
Rasulullah SAW bersabda: “Inilah jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat
beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-
jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan
yang mengajak kearahnya” Kemudian beliau membaca ayat :
“ Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).
(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah
Bid’ah, hal. 47-48 ).

Padahal ayat di atas jika kita lengkapi dengan pemahaman Surat Al Fatihah yang
biasa kita baca, itu adalah Jalan Islam (orang-orang yang diberi nikmat Allah). Bukan
jalan orang yang dimurkai Allah (Yahudi) dan bukan pula jalan orang yang sesat
(Nasrani).

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak
terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk
merangkum masalah perbedaan pandangan. Kitab Al Mughni karya Imam Ibnu
Qudamah, adalah sebuah kitab yang menyangkut berbagai pandangan dan mazhab
dalam bidang hukum Islam. Bahkan tak hanya berlaku masalah hukum saja. Juga
menyangkut tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh,
qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.
Para Imam Madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Hanafie, dan Imam
Hambali berbeda pendapat. Namun mereka tidak saling membid’ah atau
menganggap sesat yang lain. Begitu pula para pengikutnya.
Dalam khasanah Islam, para ulama salaf dikenal dengan sikap kedewasaan,
toleransi, dan objektivitasnya yang tinggi dalam menyikapi perbedaan. Ucapan Imam
Imam Syafi’i yang sangat masyhur sebagi bentuk penghormatan perbedaan pada
pihak lain adalah, “Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah.
Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”
Kalau sekarang kan jangankan beda madzhab. Dalam satu sekte aliran itu pun saat
beberapa ulamanya berbeda pendapat, mereka saling memaki dan menyebut yang
lain sebagai “Ular” segala macam. Bagaimana kita bisa temukan akhlak Islam yang
mulia dari mereka?

Adab Berbeda Pendapat dalam Islam

Khilaf (perbedaan pendapat) di mana pun selalu ada. Di mana pun dan sampai
kapan pun. Jika tidak disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak menutup
kemungkinan akan melahirkan perpecahan, permusuhan, dan bahkan kehancuran.
Karena itu, Islam memberi arahan bagaimana cara menghadapi perbedaan
pendapat di antara kita semua. Di bawah ini adalah adab-adab yang harusnya
dilakukan kaum Muslim;

1. Ikhlas dan Lepaskan Diri dari Nafsu
Kewajiban setiap orang yang berkecimpung dalam ilmu dan dakwah adalah
melepaskan diri dari nafsu tatkala mengupas masalah-masalah agama dan syariah.
Mereka hendaknya tidak terdorong kecintaan mencari ketenaran serta menonjolkan
dan memenangkan diri sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, orang
yang mencari ilmu karena hendak mendebat para ulama, melecehkan orang-orang
yang bodoh, atau untuk mengalihkan perhatian manusia pada dirinya, maka dia
tidak akan mencium bau surga (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah).

2. Kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Ketika terjadi perbedaan pendapat, hendaklah dikembalikan pada Kitabullah dan
Sunnah Rasul. Keduanya dijadikan sebagai ukuran hukum dari setiap pendapat dan
pemikiran. “…Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits).” (An-Nisaa’: 59).

3. Tidak Menjelekkan
Masing-masing tetap mempunyai hak yang tidak bisa dihilangkan dan dilanggar,
hanya karena tidak sependapat dalam suatu masalah. Di antara haknya adalah
nama baik (kehormatan) yang tidak boleh dinodai, meski perdebatan atau
perbedaan pendapat semakin meruncing. Wilayah pribadi seperti itu tidak boleh
dimasukkan dalam materi perbedaan.

4. Cara yang Baik
”…Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125).
Berdialog harus dengan cara yang baik (menarik) sehingga bisa mendapatkan
simpati dan lawan bicara mau mendengarkan kebenaran yang dibawa. Cara seperti
ini terhindar dari sikap yang keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan
dan mengundang antipati.

Penyeru kebenaran adalah orang yang mementingkan dakwah, bukan kepentingan
pribadi. Jika bersikap keras dan kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi
sehingga berakibat orang menjauh dari dakwahnya.

5. Mendalami Nash Syariah dan Pendapat Ulama
Agar dapat keluar dari khilaf dengan membawa hukum yang benar, maka semua
nash syariah yang berkaitan dengan masalah itu harus dihimpun. Dengan demikian,
persoalan yang umum bisa dijelaskan dengan yang khusus, yang global bisa
diperjelas dengan yang terinci, serta yang kiasan bisa dijelaskan dengan yang
gamblang.

6. Bedakan antara Masalah yang Sudah Di-Ijma’ dan yang Diperselisihkan
Masalah-masalah yang sudah di-ijma’ (disepakati) sudah tidak perlu lagi
diperdebatkan dan dipertanyakan. Komitmen kepadanya merupakan keharusan
agama, seperti halnya terhadap Al-Qur’an dan Hadits.

7. Pertimbangkan Tujuan dan Dampaknya Orang yang mencari kebenaran kemudian salah, berbeda dengan orang yang memang sengaja mencari kebatilan lalu dia mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberikan satu pahala bagi hakim yang memutuskan perkara hukum, namun salah, karena niat dan keinginannya untuk mendapatkan kebenaran. Dan Allah tidak membebankan kewajiban kepada manusia kecuali
berdasarkan kemampuannya. (Al-Baqarah: 286). Wallahu Ta’ala a’lam.* [Sahid, dilengkapi cha/ www.hidayatullah.com]

Nabi saw. bersabda, “Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya
dan ahli bidah sesudah aku (Rasulullah saw.) tiada, maka tunjukkanlah sikap
menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan tentang mereka dan
kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam.
Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bidah mereka. Dengan
demikian, Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu
di akhirat.” (HR Ath-Thahawi).

“Dikatakan kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah, sesungguhnya fulanah menegakkan
salat lail, berpuasa di siang harinya, beramal dan bersedekah (tetapi) ia menyakiti
tetangganya dengan lisannya.” Bersabda Rasulullah saw., “Tidak ada kebaikan
padanya, dia termasuk ahli neraka.” Berkata (perawi), “Sedangkan fulanah (yang
lain) melakukan salat maktubah dan bersedekah dengan benaja kecil (tetapi) dia
tidak menyakiti seseorang pun.” Maka bersabda Rasulullah saw., “Dia termasuk ahli
surga.” (Silsilah Hadits as-Shahihah, no. 190).

Memang Allah memerintahkan kita untuk bersatu. Jika berselisih tentang sesuatu,
hendaknya kita kembali pada Al Qur’an dan Hadits. Para ulama hendaknya
melakukan Ijma’ untuk memutuskan hal yang diperselisihkan.

Namun jika terjadi perbedaan pendapat juga akibat beda dalam menafsirkan Al
Qur’an dan Hadits, hendaknya tidak saling cela/hina karena itu diharamkan Allah [Al
Hujuraat 11-12]. Sebab kadang perbedaan tak bisa dihindarkan sehingga para Nabi
saja seperti Nabi Daud dan Nabi Sulayman bisa berbeda pendapat [Al Anbiyaa'
78-79] demikian pula para sahabat dan para Imam Mazhab. Mereka semua sangat
faqih dalam memahami Kitab Suci dan Hadits.

Jika kita karena perbedaan tersebut mencela sesama Muslim dengan sebutan Ahlul
Bid’ah, Sesat, Kuffar, Musyrik, dsb sementara Jumhur Ulama tak berpendapat
demikian, maka kitalah yang sesat.

Referensi:
http://www.hidayatullah.com/read/10666/08/02/2010/hidayatullah.com f
http://islamqu.blogspot.com/2010/01/sikap-dalam-menghadapi-perbedaan.html
http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/10/11915/Ubudiyyah Dzikir_dan_Syair_sebelum_Shalat_Berjama__8217_ah.html
http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1183437220
http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=302&Itemid=53

Sumber: http://media-islam.or.id/2012/02/16/cara-nabi-menghadapi-perbedaan/?wpmp_tp=3

Published with Blogger-droid v2.0.4

Selasa, Februari 21, 2012

Pondok Syech dan Habib


Habib Abdul Qadir


Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Saqqafdilahirkan di Kota Seiwun, Hadhramaut pada tahun 1331/1911. Ayahanda beliau Habib Ahmad bin ‘Abdur Rahman as-Saqqaf adalah seorang ulama terkemuka di Hadhramaut yang menjadi pengganti kepada Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi, penyusun Simthudh Dhurar. Selain belajar daripada ayahandanya sendiri, beliau juga belajar dengan Syaikh Thaha bin ‘Abdullah Bahmid. Beliau juga belajar di Madrasah an-Nahdhatul Ilmiyyah dan telah menghafal al-Quran serta menguasai qiraah as-sab`ah daripada gurunya Syaikh Hasan bin ‘Abdullah Baraja`. Lihat bagaimana pemuka habaib menuntut ilmu bukan sahaja daripada kalangan mereka sahaja, tetapi kepada ulama lain yang alim walaupun tidak senasab dengan mereka. Aku pelik dengan sikap segelintir yang hanya mahu belajar daripada ulama yang sama senasab dengan mereka, jalan siapa yang kamu turuti sebenarnya. Sungguh para salaf kamu terdahulu menuntut ilmu daripada ulama tanpa melihat asal keturunan mereka hatta Imam al-Haddad mempunyai guru daripada kalangan masyaikh.
Antara guru-guru beliau lagi ialah Habib ‘Umar bin Hamid as-Saqqaf, Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi al-Habsyi, Habib ‘Umar bin ‘Abdul Qadir as-Saqqaf, Habib ‘Abdullah bin ‘Aidrus al-’Aidrus dan ramai lagi. Habib ‘Abdul Qadir adalah seorang ulama dan daie yang menjalankan dakwahnya dengan penuh kebijaksanaan. Akhlaknya yang tinggi mampu menawan hati sesiapa sahaja, ilmu, warak dan akhlaknya menyebabkan beliau dikasihi dan dihormati. Khabarnya Buya Hamka pernah ziarah kepada beliau sewaktu di Jeddah, dan setelah berbincang dengan beliau, akhirnya Buya Hamka mengakui bahawa Baitun Nubuwwah Bani Zahra` min ali ‘Ali masih wujud dan berkesinambungan dalam darah para saadah Bani ‘Alawi sebagaimana dijelaskan beliau dalam fatwanya yang antara lain menyatakan:-
“….Maka baik Habib Tanggul (yakni Habib Sholeh al-Hamid) dan almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin ‘Isa al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah ke Hadhramaut itu, dan Ahmad bin Isa tersebut adalah cucu tingkat ke 6 dari cucu Rasulullah, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kepada keturunan-keturunan itu semuanya kita berlaku hormat dan cinta, iaitu hormat dan cintanya orang Islam yang cerdas, yang tahu harga diri, sehingga tidak diperbodoh oleh orang-orang yang menyalahgunakan keturunannya itu ….. Kita ulangilah seruan dari salah seorang ulama besar ‘Alawiy yang telah wafat di Jakarta ini, iaitu Sayyid Muhammad bin ‘Abdur Rahman BinSyahab, agar generasi-generasi yang datang kemudian dari keturunan ‘Alawiy memegang teguh agama Islam, menjaga pusaka nenek moyang, jangan sampai tenggelam ke dalam peradaban Barat…..
…..Perhatikanlah kembali hadits-hadits yang telah kita salinkan di atas. Di sana tersimpul bahwa Nabi kita s.a.w. sangatlah mengasihi anak cucu keturunannya itu. Beliau meminta kepada kita umatnya ini supaya turut mengasihi cucu-cucunya itu. Beliau meminta agar kita memandang mereka sebagai anak beliau juga. Jika orang lain mengambil keturunan dari ayahnya, Rasulullah mengecualikan anak-anak Fatimah, agar dipandang sebagai anak keturunan beliau. Hal ini janganlah kita entengkan. Junjung tinggilah pengharapan Nabimu. Pernah saya mendengar seorang khatib yang lancang, berkhutbah di satu Jum`at, mengatakan bahwa Rasulullah tidak ada keturunan! Orang yang mengakui keturunan Rasulullah adalah tidak sah! Nyatalah bahwa khatib ini tidak mengetahui sopan santun Islam….
………Maka kalau ada orang yang mengatakan bahawa keturunan Rasulullah, bangsa Sayid, Syarif, Habib, itu dijamin masuk syurga sebab mereka keturunan Nabi, itu adalah karangan-karangan orang di belakang saja, untuk memperbodoh atau mencari keuntungan di kalangan orang awam. Sebaliknya demikian pula; iaitu orang yang memungkiri keturunan Nabi sendiri bahawa Hasan dan Husain anak Fatimah, diakui Nabi sebagai anak cucu atau keturunannya, sampai ada khatib Jum`at, yang tidak ada ilmu, memungkiri keturunan Nabi dalam khutbah Jum`at. Orang seperti itu bukan ilmunya yang bercakap, tetapi kerana belum mengetahui, maka sentimennyalah yang keluar.”
Berbalik kepada Habib ‘Abdul Qadir, dakwah beliau tidak terhad kepada bumi kelahirannya sahaja, tetapi beliau juga memperluaskan medan dakwahnya sehingga ke Singapura dan Indonesia. Akhirnya atas permintaan beberapa ulama Hejaz, beliau menetap di Hejaz dengan bermukim di Kota Makkah, Madinah dan Jeddah untuk mengasuh majlis-majlis ta’lim. Dalam usia yang sudah hendak mencapai seabad, beliau menghabiskan masanya di Jeddah dan masih menerima ziarahnya para penziarah. Mudah-mudahan Allah memberkahi usia dan segala usaha beliau dan membalasinya dengan sebaik-baik balasan.


http://pondokhabib.wordpress.com/page/65/?pages-list

Al-Habib Abdullah Ba’alawi Ibnul Ustadzul A’dzam

Beliau dikenali sebagai salah seorang ulama besar dan wali yang kenamaan di masanya. Tentang karamahnya pernah diceritakan bahawasanya pada suatu hari beliau melihat seorang minum Khamer di Mekkah. Beliau memperingatkan orang itu agar berhenti dari perbuatan mungkarnya. Namun peminum Khamer itu menjawab: “Aku adalah seorang penjahit, aku minum Khamer ini agar membantu daya khayalku dalam menjahit”. Tanya beliau: “Maka Allah memberimu kekayaan apakah anda akan mengulangi perbuatanmu yang semacam ini?” Jawab peminum itu: “Tidak”. Mendengar ucapan orang itu beliau segera mendoakan agar ia diberi kekayaan dan dibukakan jalan untuk bertaubat. Berkat doa beliau orang itu bertaubat dan Allah pun memberinya kekayaan yang berlimpah-limpah.
Sebahagian riwayat mengatakan bahawa Ahmad bin Abdullah Ba’amir pernah bercerita: “Aku pernah menitipkan wang beberapa Dirham kepada Muhammad Ba’ubaid. Kebetulan rumah Muhammad Ba’ubaid terbakar dan hartaku pun ikut terbakar sehingga aku sangat susah kerananya. Aku datang kepada guruku Sayid Abdullah Ba’alawi untuk kuadukan persoalanku tersebut. Narnun beliau tidak menanggapi persoalanku itu. Isterinya memohon pertolongan pada beliau agar beliau mau menolong padaku. Beliau mengatakan sesuatu pada pelayannya. Pelayan itu segera meninggalkan beliau. Tidak seberapa lama ia datang dengan membawa sebuah kantung yang berisi wang Dirham. Sekantung wang Dirham itu segera diserahkan padaku. Waktu kuperhatikan seluruh wang Dirham yang ada dalam kantung itu ternyata adalah wangku yang terbakar di rumah Muhammad Ba’ubaid”.
Diriwayatkan bahawasanya ada serombongan kaum fakir yang lapar datang kepada beliau. Beliau menyuruh pelayannya untuk pergi tempat penyimpanan kurma. lawab pelayannya: “Tempat penyimpanan kurma itu telah habis isinya”. Beliau tetap menyuruh pelayannya untuk pergi mengambil kurma dari tempat tersebut. Narnun pelayan itu tetap menjawab seperti jawabannya semula. Setelah itu beliau berkata: “Pergilah ke tempat penyimpanan kurma itu nanti kamu akan mendapatkan kurma di tempat tersebut”. Waktu pelayan itu pergi ke tempat penyimpanan kurma yang ditunjukkan oleh beliau ternyata ia dapatkan kurma dalam tempat itu cukup untuk memberi makan sekelompok kaum fakir yang berkumpul di rumah beliau. Bahkan setiap orang dari mereka pulang dengan perut kenyang dan membawa sisa kurma yang masih banyak itu ke rumahnya masing-masing.mendamaikannya dengan keluarga Bani Ahmad yang mengancam untuk merosak ladangnya. Beliau segera menunggang kudanya pergi ke tempat Bani Ahmad dan menganjurkan mereka untuk mengurungkan niat mereka. Namun mereka menolak anjuran beliau. Untuk merendahkan keterangan itu beliau berkata: “Ladang orang itu adalah milikku jangan kamu berani mengganggunya kalau ingin selamat”. Kemudian beliau pergi meninggalkan keluarga Bani Ahmad. Mendengar tentangan yang sedemikian itu sebahagian orang tua dari keluarga Bani Ahmad berkata: “Sebenarnya kamu telah mendengar apa yang diucapkan oleh Sayid Abdullah dan aku takut kamu akan merasakan akibatnya jika kamu sampai berani melaksanakan niat kamu, sebaiknya kamu kirimkan keldai kamu untuk makan dari hasil ladang petani itu, jika ia selamat maka kamu boleh melaksanakan niat kamu, namun jika ia terkena musibah maka kamu harus meninggalkan niat kamu”. Usul baik itu diterima dan segera mereka mengirirnkan keldai mereka untuk merosak tanaman dari ladang petani itu. Waktu keldai mereka makan sebahagian dari tanaman yang ada dalam ladang petani itu, dengan izin Allah keldai itu jatuh tersungkur mati seketika itu juga. Sehingga mereka tidak jadi melaksanakan niat mereka.
Diriwayatkan bahawa salah seorang murid beliau yang bernama Syeikh Muflih bin Abdillah bin Fahd pernah menceritakan tentang pengalamannya dengan beliau: “Di suatu tahun ketika aku akan berangkat ke Haji aku datang pada Sayid Abdullah bin Alwi untuk minta izin dan minta bantuan wang buat ongkos dalam perjalanan. Jawab beliau: “Apakah kamu mau menerimanya di sini ataukah aku pesankan pada salah seorang kawan kami yang berada di Mina untuk memberikan segala macam keperluanmu?” Jawabku: “Biar aku minta di Mina saja”. Jawab beliau: “Jika kamu telah sampai di Mina carilah si Fulan bin Fulan kelak ia akan memberikan segala apa yang kamu minta”. Tepat setelah selesai menjalankan ibadat Haji waktu kami tanyakan orang yang disebutkan oleh Sayid Abdullah itu, kami ditunjukkan ke tempatnya oleh orang yang mengenalnya. Setelah bertemu dengan orang yang kucari, aku terangkan apa yang dikatakan oleh Sayid Abdullah padaku. Orang tersebut menanyakan padaku dimanakah beliau sekarang berada?” Aku jawab: “Beliau kini sedang berada di kota Tarim (Hadramaut)”. Orang itu hanya meniawab: “Kelmarin di hari Wuquf beliau berkumpul dengan kami di Arafah sambil memakai pakaian ihram”. Kemudian orang itu memberikan apa yang kuminta padanya. Waktu aku tiba di kota Tarim beliau menyambut kedatanganku dari Haji sambil mengucapkan selamat. Jawabku: “Aku ucapkan selamat pula bagimu, aku dengar dari orang itu bahawa Sayid kelmarin berwuquf di Arafah juga”. Jawab beliau: “Jangan kamu beritahukan pada seorangpun tentang kehadiranku di Arafah selama aku masih hidup”.
Sayid Abdullah bin Alwi ini wafat di tahun 731 H, dalam usia sembilan puluh tiga tahun.Dipetik dari: Kemuliaan Para Wali – karangan Zulkifli Mat Isa, terbitan Perniagaan Jahabersa

Syaikh Abubakar bin Salim

Sumber : Rifa Freedom
“Kamilah raja sejati, bukan yang lain. Demi Allah, selain kami, tak diketemukan raja lain. Kekuasaan pada raja hanyalah istilah belaka. Namun mereka bangga dan membuat kerusakan di dunia. Kemuliaan tanpa Allah adalah kehinaan sejati. Dan merasa mulia dengan Allah adalah kemuliaan yang hakiki.”
(Syeikh Abu Bakar bin Salim – Aurad al-Awliya’)
Syeikh Abu Bakar bin Salim adalah syeikh Islam dan teladan manusia. Pemimpin alim ulama. Hiasan para wali. Seorang yang amat jarang ditemukan di zamannya. Da’i yang menunjukkan jalan Illahi dengan wataknya.
Pembimbing kepada kebenaran dengan perkataannya. Para ulama di zamannya mengakui keunggulannya. Beliau telah menyegarkan berbagai warisan pendahulu-pendahulunya yang sholeh. Titisan dari Hadrat Nabawi. Cabang dari pohon besar Alawi. Alim Rabbani. Imam kebanggaan Agama, Abu Bakar bin Salim Al-’Alawi, semoga Allah meredhainya.
Beliau lahir di Kota Tarim yang makmur, salah satu kota di Hadramaut, pada tanggal 13 Jumadi Ats-Tsani, tahun 919 H. Di kota itu, beliau tumbuh dengan pertumbuhan yang sholeh, di bawah tradisi nenek moyangnya yang suci dalam menghafal Al-Quran.
Orang-orang terpercaya telah mengisahkan; manakala beliau mendapat kesulitan menghafal Al-Quran pada awalnya. Ayahnya mengadukan halnya kepada Syeikh Al-Imam Syihabuddin bin Abdurrahman bin Syeikh Ali. Maka Syeikh itu bertutur: “Biarkanlah dia! Dia akan mampu menghafal dengan sendirinya dan kelak dia akan menjadi orang besar. Maka menjadilah dia seperti yang telah diucapkan Syeikh itu. Serta-merta, dalam waktu singkat, dia telah mengkhatamkan Al-Quran.
Kemudian beliau disibukkan dengan menuntut ilmu-ilmu bahasa Arab dan agama dari para pembesar ulama dengan semangat yang kuat, kejernihan batin dan ketulusan niat. Bersamaan dengan itu, beliau memiliki semangat yang menyala dan ruh yang bergelora. Maka tampaklah tanda-tanda keluhurannya, bukti-bukti kecerdasannya dan ciri-ciri kepimpinannya. Sejak itu, sebagaimana diberitakan Asy-Syilly dalam kitab Al-Masyra’ Ar-Rawy, beliau membolak-balik kitab-kitab tentang bahasa Arab dan agama dan bersungguh-sungguh dalam mengkajinya serta menghafal pokok-pokok dan cabang-cabang kedua disiplin tersebut. Sampai akhirnya, beliau mendapat langkah yang luas dalam segala ilmu pengetahuan.
Beliau telah menggabungkan pemahaman, peneguhan, penghafalan dan pendalaman. Beliau alim handal dalam ilmu-ilmu Syariat, mahir dalam sastra Arab dan pandai serta kokoh dalam segenap bidang pengetahuan. Dalam semua bidang tersebut, beliau telah menampakkan kecerdasannya yang nyata. Maka, menonjollah karya-karyanya dalam mengajak dan membimbing hamba-hamba Allah menuju jalan-Nya yang lurus.
Guru-guru beliau.
Para guru beliau antara lain; Umar Basyeban Ba’alawi, ahli fiqih yang sholeh, Abdullah bin Muhammad Basahal Bagusyair dan Faqih Umar bin Abdullah Bamakhramah. Pada merekalah dia mengkaji kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah. Syeikh Ma’ruf bin Abdullah Bajamal Asy-Syibamy dan Ad-Dau’any juga termasuk guru-guru beliau.
Hijrahnya dari Tarim.
Beliau beranjak dari Kota Tarim ke kota lain bertujuan untuk menghidupkan pengajian. memperbarui corak dan menggalakkan dakwah Islamiyah di jantung kota tersebut. Maka berangkatlah beliau ke kota ‘Inat, salah satu negeri Hadramaut. Beliau menjadikan kota itu sebagai kota hijrahnya. Kota itu beliau hidupkan dengan ilmu dan dipilihnya sebagai tempat pendidikan, pengajaran dan pembimbingan. Tinggallah di sana hingga kini, masjid yang beliau dirikan dan pemakaman beliau yang luas. Syahdan, berbondong-bondonglah manusia berdatangan dari berbagai pelosok negeri untuk menimba ilmunya. Murid-murid beliau mengunjunginya dari beragam tempat: Hadramaut, Yaman, Syam, India, Indus, Mesir, Afrika, Aden, Syihr dan Misyqash.
Para murid selalu mendekati beliau untuk mengambil kesempatan merasai gambaran kemuliaan dan menyerap limpahan ilmunya. Dengan merekalah pula, kota ‘Inat yang kuno menjadi berkembang ramai. Kota itu pun berbangga dengan Syeikh Imam Abu Bakar bin Salim Al-’Alawi. Karena berkat kehadiran beliaulah kota tersebut terkenal dan tersohor, padahal sebelumnya adalah kota yang terlupakan.
Tentang hal itu, Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Katsiry bersyair:
Ketika kau datangi ‘Inat, tanahnya pun bedendang
Dari permukaannya yang indah terpancarlah makrifat
Dahimu kau letakkan ke tanah menghadap kiblat
Puji syukur bagi yang membuatmu mencium tanah liatnya
Kota yang di dalamnya diletakkan kesempurnaan
Kota yang mendapat karunia besar dari warganya
Dengan khidmat, masuklah sang Syeikh merendahkan diri
Duhai, kota itu telah terpenuhi harapannya.
Akhlak dan kemuliaannya
Beliau adalah seorang dermawan dan murah hati, menginfakkan hartanya tanpa takut menjadi fakir. Beliau memotong satu dua ekor unta untuk para peziarahnya, jika jumlah mereka banyak. Dan betapa banyak tamu yang mengunjungi ke pemukimannya yang luas.
Beliau amat mempedulikan para tamu dan memperhatikan keadaan mereka. Tidak kurang dari 1000 kerat roti tiap malam dan siangnya beliau sedekahkan untuk fuqara’. Kendati beliau orang yang paling ringan tangannya dan paling banyak infaknya, beliau tetap orang yang paling luhur budi pekertinya, paling lapang dadanya, paling sosial jiwanya dan paling rendah hatinya. Sampai-sampai orang banyak tidak pernah menyaksikannya beristirahat.
Syeikh ahli fiqih, Abdurrahman bin Ahmad Bawazir pernah berkata:
“Syeikh Abu Bakar selama 15 tahun dari akhir umurnya tidak pernah terlihat duduk-duduk bersama orang-orang dekatnya dan orang-orang awam lainnya kecuali untuk menanti didirikannya sholat lima waktu (yaitu duduk seperti tahiyat akhir).”.
Syeikh sangat mengasihani orang-orang lemah dan berkhidmat kepada orang-orang yang menderita kesusahan. Beliau memperlihatkan dan menyenangkan perasaan mereka dan memenuhi hak-hak mereka dengan baik.
Diantara sekian banyak akhlaknya yang mulia itu adalah kuatnya kecintaan, rasa penghormatan dan kemasyhuran nama baiknya di kalangan rakyat. Selain murid-murid dan siswa-siswanya, banyak sekali orang berkunjung untuk menemuinya dari berbagai tempat; baik dari Barat ataupun Timur, dari Syam maupu Yaman, dari orang Arab maupun non-Arab. Mereka semua menghormati dan membanggakan beliau.
Ibadah dan pendidikannya
Seringkali beliau melakukan ibadah dan riyadhah. Sehingga suatu ketika beliau tidak henti-hentinya berpuasa selama beberapa waktu dan hanya berbuka dengan kurma muda berwarna hijau dari Jahmiyyah di kota Lisk yang diwariskan oleh ayahnya. Di abnar, beliau berpuasa selama 90 hari dan selalu sholat Subuh dengan air wudhu Isya’ di Masjid Ba’isa di Kota Lask. Dalam pada itu, setiap malamnya di berangkat berziarah ke makam di Tarim dan sholat di masjid-masjid kota itu. Di masjid Ba’isa tersebut, beliau selalu sholat berjamaah. Menjelang wafat, beliau tidak pernah meningalkan sholat Dhuha dan witr.
Beliau selalu membaca wirid-wirid thoriqoh. Beliau pribadi mempunyai beberapa doa dan sholawat. Ada sebuah amalan wirid besar miliknya yang disebut “Hizb al-Hamd wa Al-Majd” yang dia diktekan kepada muridnya sebelum fajar tiba di sebuah masjid. Itu adalah karya terakhir yang disampaikan ke muridnya, Allamah Faqih Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bawazir pada tanggal 8 bulan Muharram tahun 992 H.
Ziarah ke makam Nabi Allah Hud a.s adalah kelazimannya yang lain. Sehingga Al-Faqih Muhammad bin Sirajuddin mengabarkan bahawa ziarah beliau mencapai 40 kali.
Setiap malam sepanjang 40 tahun, beliau beranjak dari Lask ke Tarim untuk sholat di masjid-masjid kedua kota tersebut sambil membawa beberapa tempat minum untuk wudhu, minum orang dan hewan yang berada di sekitar situ.
Ada banyak pengajaran dan kegiatan ilmiah yang beliau lakukan. Beliau membaca kitab Al-Ihya’ karya Al-Ghazzali sebanyak 40 kali. Beliau juga membaca kitab Al-Minhaj-nya Imam Nawawi dalam fiqih Syafi’i sebanyak tiga kali secara kritis. Kitab Al-Minhaj adalah satu-satunya buku pegangannya dalam fiqih. Kemudian dia juga membaca Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah di depan gurunya, Syaikh Umar bin Abdullah Bamakhramah.
Karya-karyanya
Antara lain:
- Miftah As-sara’ir wa kanz Adz-Dzakha’ir. Kitab ini beliau tulis sebelum usianya melampaui 17 tahun.
- Mi’raj Al-Arwah membahas ilmu hakikat. Beliau memulai menulis buku ini pada tahun 987 H dan menyelesaikannya pada tahun 989 H.
- Fath Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan masalah-masalah ilmu hakikat. Dia memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan dalam tahun yang sama tangal 9 bulan Dzul-Hijjah.
- Ma’arij At-Tawhid
- Dan sebuah diwan yang berisi pengalaman pada awal mula perjalanan spiritualnya.
Kata Mutiara dan Untaian Hikmah
Beliau memiliki banyak kata mutiara dan untaian hikmah yang terkenal, antara lain:
Pertama:
Paling bernilainya saat-saat dalam hidup adalah ketika kamu tidak lagi menemukan dirimu. Sebaliknya adalah ketika kamu masih menemukan dirimu. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa engkau takkan mencapai Allah sampai kau fanakan dirimu dan kau hapuskan inderamu. Barang siapa yang mengenal dirinya (dalam keadaan tak memiliki apa pun juga), tidak akan melihat kecuali Allah; dan barang siapa tidak mengenal dirinya (sebagai tidak memiliki suatu apapun) maka tidak akan melihat Allah. Karena segala tempat hanya untuk mengalirkan apa yang di dalamnya.
Kedua:
Ungkapan beliau untuk menyuruh orang bergiat dan tidak menyia-nyiakan waktu: “Siapa yang tidak gigih di awal (bidayat) tidak akan sampai garis akhir (nihayat). Dan orang yang tidak bersungguh-sungguh (mujahadat), takkan mencapai kebenaran (musyahadat). Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berjuang di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami”. Siapa pun yang tidak menghemat dan menjaga awqat (waktu-waktu) tidak akan selamat dari berbagia afat (malapetaka). Orang-orang yang telah melakukan kesalahan, maka layak mendapat siksaan.
Ketiga:
Tentang persahabatan: “Siapa yang bergaul bersama orang baik-baik, dia layak mendapatkan makrifat dan rahasia (sirr). Dan mereka yang bergaul dengan para pendosa dan orang bejat, akan berhak mendapat hina dan api neraka”.
Keempat:
Penafsirannya atas sabda Rasul s.a.w: “Aku tidaklah seperti kalian. Aku selalu dalam naungan Tuhanku yang memberiku makan dan minum”. Makanan dan minuman itu, menurutnya, bersifat spiritual yang datang datang dari haribaan Yang Maha Suci”.
Kelima:
Engkau tidak akan mendapatkan berbagai hakikat, jika kamu belum meninggalkan benda-benda yang kau cintai (’Ala’iq). Orang yang rela dengan pemberian Allah (qana’ah), akan mendapt ketenteraman dan keselamatan. Sebaliknya, orang yang tamak, akan menjadi hina dan menyesal. Orang arif adalah orang yang memandang aib-aib dirinya. Sedangkan orang lalai adalah orang yang menyoroti aib-aib orang lain. Banyaklah diam maka kamu akan selamat. Orang yang banyak bicara akan banyak menyesal.
Keenam:
Benamkanlah wujudmu dalam Wujud-Nya. Hapuskanlah penglihatanmu, (dan gunakanlah) Penglihatan-Nya. Setelah semua itu, bersiaplah mendapat janji-Nya. Ambillah dari ilmu apa yang berguna, manakala engkau mendengarkanku. Resapilah, maka kamu akan meliht ucapan-ucapanku dlam keadaan terang-benderang. Insya-Allah….! Mengertilah bahawa Tuhan itu tertampakkan dalam kalbu para wali-Nya yang arif. Itu karena mereka lenyap dari selain-Nya, raib dari pandangan alam-raya melaluiKebenderangan-Nya. Di pagi dan sore hari, mereka menjadi orang-orang yang taat dalam suluk, takut dan berharap, ruku’ dan sujud, riang dan digembirakan (dengan berita gembira), dan rela akan qadha’ dan qadar-Nya. Mereka tidak berikhtiar untuk mendapat sesuatu kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan untuk mereka”.
Ketujuh:
Orang yang bahagia adalah orang yang dibahagiakan Allah tanpa sebab (sebab efesien yang terdekat, melainkan murni anugerah fadhl dari Allah). Ini dalam bahasa Hakikat. Adapun dalam bahasa Syari’at, orang bahagia adalah orang yang Allah bahagiakan mereka dengan amal-amal saleh. Sedang orang yang celaka, adalah orang yang Allah celakakan mereka dengan meninggalkan amal-amal saleh serta merusak Syariat – kami berharap ampunan dan pengampunan dari Allah.
Kelapan:
Orang celaka adalah yang mengikuti diri dan hawa nafsunya. Dan orang yang bahagia adalah orang yang menentang diri dan hawa nafsunya, minggat dri bumi menuju Tuhannya, dan selalu menjalankan sunnah-sunnah Nabi s.a.w.
Kesembilan:
Rendah-hatilah dan jangan bersikap congkak dan angkuh.
Kesepuluh:
Kemenanganmu teletak pada pengekangan diri dan sebaliknya kehancuranmu teletak pada pengumbaran diri. Kekanglah dia dan jangan kau umbar, maka engkau pasti akn menang (dalam melawan diri) dan selamat, Insya-Allah. Orang bijak adalah orang yang mengenal dirinya sedangkan orang jahil adalah orang yang tidak mengenal dirinya. Betapa mudah bagi para ‘arif billah untuk membimbing orang jahil. Karena, kebahagiaan abadi dapt diperoleh dengan selayang pandang. Demikian pula tirai-tirai hakikat menyelubungi hati dengan hanya sekali memandang selain-Nya. Padahal Hakikat itu juga jelas tidak erhalang sehelai hijab pun. Relakan dirimu dengan apa yang telah Allah tetapkan padamu. Sebagian orang berkata: “40 tahun lamanya Allah menetapkan sesuatu pada diriku yang kemudian aku membencinya”.
Kesebelas:
Semoga Allah memberimu taufik atas apa yang Dia ingini dan redhai. Tetapkanlah berserah diri kepada Allah. Teguhlah dalam menjalankan tatacara mengikut apa yang dilarang dan diperintahkan Rasul s.a.w. Berbaik prasangkalah kepada hamba-hamba Allah. Karena prasangka buruk itu bererti tiada taufik. Teruslah rela dengan qadha’ walaupun musibah besar menimpamu. Tanamkanlah kesabaran yang indah (Ash-Shabr Al-Jamil) dalam dirimu. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mengganjar orang-orang yang sabar itu tanpa perhitungan. Tinggalkanlah apa yang tidak menyangkut dirimu dan perketatlah penjagaan terhadap dirimu”.
Keduabelas:
Dunia ini putra akhirat. Oleh karena itu, siapa yang telah menikahi (dunia), haramlah atasnya si ibu (akhirat).
Masih banyak lagi ucapan beliau r.a. yang lain yang sangat bernilai.
Manaqib (biografi) beliau
Banyak sekali buku-buku yang ditulis mengenai biorafi beliau yang ditulis para alim besar. Antara lain:
- Bulugh Azh-Zhafr wa Al-Maghanim fi Manaqib Asy-Syaikh Abi Bakr bin Salim karya Allamah Syeikh Muhammad bin Sirajuddin.
- Az-Zuhr Al-Basim fi Raba Al-Jannat; fi Manaqib Abi Bakr bin Salim Shahib ‘Inat oleh Allamah Syeikh Abdullah bin Abi Bakr bin Ahmad Basya’eib.
- Sayyid al-Musnad pemuka agama yang masyhur, Salim bin Ahmad bin Jindan Al-’Alawy mengemukakan bahawa dia memiliki beberapa manuskrip (naskah yang masih berbentuk tulisan tangan) tentang Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di antaranya; Bughyatu Ahl Al-Inshaf bin Manaqib Asy-Syeikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah As-Saqqaf karya Allamah Muhammad bin Umar bin Shalih bin Abdurraman Baraja’ Al-Khatib.


Habib Hamid al-Kaaf - Khalifah Syaikh Yaasin

Di antara ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah bermazhab Syafi`i yang masih hidup dan berbakti menabur ilmu di Kota Suci Makkah al-Mukarramah adalahal-Habib Hamid bin `Alwi bin Salim bin Abu Bakar al-Kaaf al-Husaini asy-Syafi`i al-Makki hafizahullah. Beliau dilahirkan pada hari Ahad 25 Sya'baan 1345H di Banjarmasin, Kalimantan, Indonesia. Dibesarkan dalam keluarga mulia dan mula menuntut ilmu di bawah asuhan ayahanda beliau sendiri. Ayahanda wafat di Makkah ketika beliau masih kecil, lalu beliau meneruskan persekolahannya di Banjar sebelum pergi ke Surabaya untuk bersekolah di Madrasah al-Khairiyyah pada tahun 1360H. Di sana beliau belajar selama 3 tahun dan di antara guru beliau adalah Syaikh `Umar Baraja`, Habib Salim bin `Aqil dan lain-lainnya. Setelah 3 tahun di madrasah tersebut, beliau kembali ke Banjarmasin dan meneruskan pengajian di Ma'had Darus Salam ad-Diniyyah di Martapura. Antara guru beliau di sini adalah Syaikh Muhammad Sya'raani bin `Arif, Syaikh Husain Qudri dan Syaikh Abdul Qadir Hasan. Pada tahun 1367 beliau ke Makkah untuk menunaikan fardhu haji dan untuk menuntut ilmu di sana. Beliau menuntut di Masjidil Haram selama 4 tahun sebelum masuk ke Darul Ulum ad-Diniyyah pada tahun 1371 sehingga selesai pengajian di sana pada tahun 1373H. Setelah tamat pengajian, beliau mula mengajar berbagai ilmu seperti fiqh, usul, hadis, nahu, falak dan ilmu-ilmu alat, sehingga menjadi antara ulama yang mengajar dalam Masjidil Haram selain menjadi guru di Madrasah Ulum ad-Diniyyah, Makkah. Beliau juga pernah dilantik menjadi setiausaha Majlis Syura dan sehingga kini beliau menjadi ahli fatwa (mufti) Kedutaan Indonesia di Arab Saudi. Beliau juga terkenal sebagai seorang ulama yang mahir dalam ilmu-ilmu hadits dan falak sehingga beliau digelar sebagai al-`Allaamah al-Muhaddits al-Falaki.

Antara guru-guru beliau yang lain adalah Syaikh Muhammad Yaasin al-Fadani di mana beliau mempunyai ikatan yang erat dengan Syaikh Muhammad Yaasin sehingga beliaulah yang menjadi khalifah beliau dan kini beliau tetap terus mengajar di halaqah Syaikh Muhammad Yaasin pada setiap malam Rabu di Syari' Sittin. Semoga Allah memberikan umur yang panjang kepada beliau dalam sempurna kesihatan lagi banyak keberkatan.


Tanamkan Ikhlas dan Hindarkan Riya’



Secara khusus, saya memohon kepada para mubaligh agar ikhlas dalam setiap ceramah, tulisan, dan amal perbuatannya. Allah memberi pahala yang besar terhadap amal shalih yang dilakukan dengan ikhlas, walaupun amalan itu ringan. Sebaliknya, amal shalih tanpa keikhlasan tidak akan berpengaruh di dunia dan tidak akan menghasilkan pahala di akhirat. Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak memandang tubuhmu dan bentuk rupamu, tetapi Dia memandang hatimu.” (Muslim – At-Targhib).
Rasulullah saw. pernah ditanya mengenai arti iman, beliau menjawab, “Artinya ikhlas.” Di dalam kitab At-Targhib banyak ditulis riwayat tentang ikhlas, sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa ketika Mu’adz r.a. diutus ke Yaman sebagai hakim, ia meminta nasihat kepada Nabi saw.. Kemudian beliau bersabda, “Dalam setiap amalmu, jagalah keikhlasan, karena dengan keikhlasan, walaupun amal itu sedikit akan mencukupi.” Hadits lainnya menyebutkan, “Allah hanya akan menerima amal seorang hamba-Nya yang dilandasi dengan keikhlasan.” Sebuah hadits Qudsi menyebutkan:
“Akulah Yang Mahakaya dari seluruh sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang menyekutukan-Ku, akan Aku serahkan ia kepada sekutunya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku terlepas darinya, dan baginya apa yang ia lakukan.” (Muslim – Misykat).
Sebuah hadits menyebutkan, “Pada hari Kiamat akan terdengar pengumuman di padang Mahsyar, ‘Barangsiapa yang menyekutukan Allah dalam amalannya, hendaklah ia menuntut pahala dari sekutu itu, karena Allah tidak menghendaki satu sekutu pun bagi-Nya.’” Sebuah hadits lain menyebutkan:
“Barangsiapa shalat karena riya (ingin dilihat orang lain), sungguh ia telah syirik. Barangsiapa berpuasa karena riya, sungguh ia telah syirik. Dan barangsiapa bersedekah karena riya, sungguh ia pun telah syirik.” (Ahmad – Misykat).
Apabila seseorang beramal tanpa keikhlasan, yakni bukan untuk mencari ridha Allah tetapi berniat memamerkannya agar dihargai oleh manusia, secara tidak langsung ia telah menyekutukan Allah, sehingga seluruh amalnya tidak akan diterima oleh Allah swt.. Amal itu hanya akan sampai kepada orang yang ia harapkan pujian dan penghargaannya. Sebuah hadits berbunyi:
“Sesungguhnya orang yang pertama akan diadili pada hari Kiamat adalah orang yang telah mati syahid, ia akan dihadapkan kepada Allah. Maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengakui kenikmatan itu. Allah bertanya, “Apa yang kamu perbuat dengannya? Ia menjawab, “Aku berperang karena-Mu sehingga aku mati syahid.” Allah berfirman, “Kamu dusta! Kamu berperang karena ingin disebut pahlawan, dan itu telah kamu dapatkan.” Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir kemudian dicampakkan ke neraka. Kemudian seseorang yang belajar dan mengajar ilmu agama dan suka membaca Al-Quran dihadapkan kepada Allah, maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengenal nikmat tersebut. Allah bertanya, “Apa yang kamu perbuat dengannya?” Jawabnya, “Aku belajar dan mengajar ilmu dan membaca Al-Quran karena Engkau.” Allah berfirman, “Kamu dusta! Kamu belajar dan mengajar agar disebut ulama, dan kamu membaca Al-Quran agar disebut qari, dan itu telah kamu dapatkan.” Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir lalu dicampakkan ke neraka. Dan terakhir adalah seseorang yang dikaruniai kekayaan oleh Allah. Maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengenal kenikmatan itu. Lalu Allah bertanya, “Apa yang telah kamu perbuat dengan kekayaanmu itu?” Ia menjawab, “Aku tidak membiarkan satu jalan pun yang patut diberi infak kecuali aku infakkan hartaku karena Engkau.” Allah berfirman, “Kamu dusta! Kamu berbuat demikian agar disebut dermawan dan kamu telah mendapatkannya!” Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir lalu dicampakkan ke neraka.” (Muslim – Misykat).
Oleh sebab itu, sangat penting bagi para mubaligh agar selalu bertujuan mencari ridha Allah dalam menyampaikan kegiatannya dan dalam menyebarkan agama dengan mengikuti sunah Rasulullah saw.. Jangan sampai beramal untuk mencari ketenaran, mencari nama, atau agar dihargai orang lain. Jangan biarkan niat-niat tersebut ada di dalam hati kita. Jika terlintas dalam pikiran kita seperti itu, segeralah membaca, “Laa haula wala quwwata illa billah,” dan beristighfarlah sebagai upaya untuk memperbaiki diri kita.
Dengan kelembutan kasih sayang Allah, kebenaran Rasul-Nya, dan keberkahan Kalam-Nya, saya memohon semoga Allah memberikan taufik kepada saya dan para pembaca untuk dapat berbakti kepada agama-Nya sedaya upaya kita dengan ikhlas. Amin. Wallahu a’lam

Jumat, Februari 17, 2012

Hiasi Diri dengan Sifat Tawadhu’


Kategori: Akhlaq dan Nasehat


Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.
Memahami Tawadhu’
Tawadhu’ adalah ridho jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak (Lihat Adz Dzari’ah ila Makarim Asy Syari’ah, Ar Roghib Al Ash-fahani, 299). Ibnu Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341)
Keutamaan Sifat Tawadhu’
Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142)
Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.
Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.
Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).
Mencontoh Sifat Tawadhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)
Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memberi salam pada anak kecil dan yang lebih rendah kedudukan di bawah beliau. Anas berkata,
أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يزور الأنصار ويسلم على صبيانهم ويمسح رؤوسهم
Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth) Subhanallah … Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki.
Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya. Beliau membantu istrinya. Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat.
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”
Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu istri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa rasa malu membantu pekerjaan istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab,
كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676). Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika istri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.
Nasehat Para Ulama Tentang Tawadhu’
قال الحسن رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .
Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”
يقول  الشافعي: « أرفع الناس قدرا : من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا : من لا يرى فضله »
Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)
يقول بشر بن الحارث: “ما رأيتُ أحسنَ من غنيّ جالسٍ بين يدَي فقير”.
Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawadhu’.
قال عبد الله بن المبارك: “رأسُ التواضعِ أن تضَع نفسَك عند من هو دونك في نعمةِ الله حتى تعلِمَه أن ليس لك بدنياك عليه فضل [أخرجه البيهقي في الشعب (6/298)].
‘Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298)
قال سفيان بن عيينة: من كانت معصيته في شهوة فارج له التوبة فإن آدم عليه السلام عصى مشتهياً فاستغفر فغفر له، فإذا كانت معصيته من كبر فاخش عليه اللعنة. فإن إبليس عصى مستكبراً فلعن.
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam ‘alaihis salam bermaksiat karena nafsu syahwatnya, lalu ia bersitighfar (memohon ampun pada Allah), Allah pun akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong (lawan dari tawadhu’), khawatirlah karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah pun melaknatnya.”
قال أبو بكر الصديق: وجدنا الكرم في التقوى ، والغنى في اليقين ، والشرف في التواضع.
Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwaqona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah), kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”
قال عروة بن الورد :التواضع أحد مصائد الشرف، وكل نعمة محسود عليها إلا التواضع.
‘Urwah bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu’.”
قال يحيى بن معين :ما رأيت مثل أحمد بن حنبل!! صحبناه خمسين سنة ما افتخر علينا بشيء مما كان عليه من الصلاح والخير
Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki.”
قال زياد النمري :الزاهد بغير تواضع .. كالشجرة التي لا تثمر
Ziyad An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti pohon yang tidak berbuah.”[1]
Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.
اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ
Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).
Wallahu waliyyut taufiq.