Jumat, Desember 30, 2011

Hadits 1: Semua Amal Tergantung Niatnya | Bersama Dakwah

Hadits 1: Semua Amal Tergantung Niatnya | Bersama Dakwah

Tips Mengatasi Iman Ketika Lesu (Lemah)

Iman pada diri seorang muslim, adalah laksana naik turunnya gelombang ombak
di lautan. Suatu saat ombak itu menggunung tinggi sehingga perahu besarpun
lumat terkoyak karenannya. Namun diwaktu lain ombak itu hanya bergerak
landai hingga batu kerikilpun tak mampu digerakkannya. Ketika iman dalam
keadaan pasang, disaat itulah sebenarnya seseorang dalam kondisi terbaiknya.
Betapa tidak, dengan keimanan yang tangguh sebagai sebuah manifestasi dari
penetapan syahadah dalam dada, seseorang akan menjadi seorang pemberani
dan tiada lagi yang ditakuti selain Allah SWT.
Sebuah pengalaman empiris, yaitu tatkala Islam pertama kali melebarkan wilayah
ke daratan Eropa, dipimpin oleh seorang panglima perang gagah berani yang
kemudian kita kenal namanya Thariq bin Ziyad. Jumlah pasukan Islam waktu itu
kalah jauh dengan pasukan kaum kafir yang jumlahnya mencapai ribuan,
perlengkapan senjata Islam-pun hanya seadanya. Hanya bersandar kepada
keteguhan iman di dada dan kerinduan yang teramat sangat pada mati syahid,
akhirnya pasukan Islam mampu meraih kemenangan gemilang atas pasukan
kafir. Di sana, masih berdiri kokoh saksi bisu, yaitu bukit Jabal Thariq atau orang
barat menyebutnya Gibraltar, yang telah menyaksikan keperkasaan pasukan
Islam menaklukan kaum kafir.
Contoh di atas adalah sebuah contoh kecil betapa besar makna sebuah keimanan
yang terpatri dalam jiwa. Tentu, kita sebagai seorang muslim selalu menyimpan
harapan supaya iman di dada selalu bergelora dan stabil dalam setiap kondisi
dan situasi, sehingga mampu menuntun setiap langkah untuk setia di jalan-Nya
serta bisa menerangi setiap jengkal relung-relung jiwa untuk terhindar dari noda-
noda dosa.
Tetapi harapan tetaplah harapan, harapan tak jauh beda dengan impian, yang
terkadang harus berbenturan dengan realita nyata pahitnya kehidupan. Dalam
kenyataanya, iman dalam diri kita seringkali naik- turun ( al Imanu yazidu wa
yanqush), tinggi-rendah, serta berubah-ubah, bahkan dalam hitungan detik. Hal
ini terjadi tentu tidak lepas dari kaitan erat antara iman dan hati ( qolbu ),
mengingat qolbu bermakna yang selalu berbolak balik.
Tida heran jika kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda : “Sesungguhnya iman
itu diciptakan (diuji) di dalam diri kalian sebagaimana diciptakannya pakaian.
Maka, hendaklah kalian meminta kepada Allah agar memperbaharui iman di
dalam hati kalian.” (HR. Hakim dan Al Tabrani). Sudah menjadi fitrah bahwa
iman manusia ada kalanya menguat dan melemah dan ada kalanya begitu
bersemangat namun pada suatu saat mengalami kelesuan. Hal ini merupakan
tanda- tanda kebesaran Allah SWT. , serta menunjukan bahwa manusia adalah
makhluk ciptaan-Nya yang tidak bisa berdiri sendiri atau lemah. Namun
demikian, hal ini jangan dijadikan alasan ( apologi) sehingga menyebabkan kita
hanya berpangku tangan dan tidak mau berusaha untuk menemukan jalan keluar
dari setiap masalah yang dihadapi. Hadist tersebut dapat juga ditafsirkan sebagai
kritik bahwa kita sebagai hamba Allah SWT harus berhati-hati sehingga dapat
menjaga kestabilan iman kita.
Supaya tubuh kita kuat, haruslah diberi makan. Kalau sakit dan ingin sembuh,
maka berilah obat yang tepat. Begitu pula ketika rokhani sakit, haruslah diberi
obat yang tepat dan mujarab. Pertanyaan awal yang harus dijawab adalah
siapakah yang telah menciptaakan jiwa dan raga kita? Tentu Rabb Azza Wajalla.
Maka ketika jiwa atau iman kita sakit, obat terbaik tentu yang berasal dari
penciptanya, yaitu Allah SWT. Obat tersebut harus segera diperoleh karena
betapa meruginya orang-orang yang terjangkit penyakit kelesuan iman. Orang
yang tadinya banyak bersedekah, berpuasa, shalat- shalat sunnah, berangkat ke
Masjid di awal waktu, dan lidahnya hanya mengucapkan yang benar menjadi
malas melakukan ibadah itu tatkaala mangalami kelesuan iman.
Jangan biarkan keadaan itu terus berlarut. Harus cepat dicari obat penawarnya.
Sebab jika keadaan ini semakin berlanjut, maka syaitan tidak akan menyia-
nyiakan kesempatan ini untuk semakin menggelincirkan manusia kepada
kehinaan yang lebih besar. Tatapi, dalam hal ini perlu juga diingat bahwa lesu
atau dalam kata lain bosan ( futur ), adalah keadaan psikologis yang manusiawi,
bahkan tak jarang juga menimpa para ahli ibadah. Dalam sebuah hadis telah
dinyatakan, “ Setiap perbuatan ada puncaknya, dan setiap puncak akan futur
(lesu). Maka, barang siapa futurnya menuju sunnah sungguh sangat beruntung,
dan barang siapa futurnya tidak menuju sunnah sungguh akan hancur.” (HR.
Tirmidzi).
Diantara penyakit-penyakit qolb yang paling berat menimpa manusia adalah lesu
atau lemah iman dan merasa lemah untuk melaksanakan apa yang diwajibkan
oleh Allah SWT. Salah satu fase yang harus dilakukan dalam rangka proses
menuju iman yang istiqomah adalah mengetahui penyebab munculnya penyakit
lesu iman. Diantara penyebab munculnya penyakit lesu iman antara lain :
1. Tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk merubah diri menuju pribadi yang
tangguh.
2. Berteman dengan orang-orang yang dapat memperdaya kita kedalam
kemaksiatan.
3. Sibuk dengan urusan dunia dan keindahannya.
4. Berharap dalam kehidupan, melupakan mati, kubur, mahsyar, hisab, surga, dan
neraka.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah resep yang diberikan oleh Islam berkaitan
dengan lesu atau lemahnya iman ini? Allah telah berjanji berhubungan dengan
obat dari penyakit ini. Sabda Rasulullah “Allah tidak menurunkan suatu penyakit
kecuali menurunkan juga obatnya.” (HR. Ibnu Majah). Hadist ini menunjukan
bahwa Allah telah berjanji akan menurunkan obat begi setiap penyakit yang Allah
turunkan kepada makhluknya.
Ada beberapa obat bagi iman yang lesu supaya dapat kembali bersemangat
dalam menapaki kehidupan ini dengan menjalankan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya . Obat- obat tersebut antara lain :
1. Merasakan keagungan Allah dan kekuasaannya.
2. Merenungi ayat-ayat qauliah (tertulis) dan kauniah (tidak tertulis) .
3. Memperbanyak mengucapkan dzikir kepada Allah.
4. Bergaul dengan hamba- hamba Allah yang saleh.
5. Menjauhi dosa-dosa kecil.
6. Memperbanyak mengingat kematian.
7. Mengingat hari perhitungan, pahala, siksa, surga dan neraka.
Inilah beberapa obat untuk mengobati penyakit yang begitu sering menjangkiti
kita.
Obat penawar lain yang bisa jadi seringkali lepas dari lintasan pikiran kita yaitu
bahwa futur (rasa bosan) sering disebabkan oleh terlalu tegangnya kondisi
kejiwaan kita, seiring dengan menumpuknya berbagai harapan dan keinginan,
sehingga hati menjadi beku dan dingin bagaikan es, bibir terasa berat untuk
menyunggingkan senyum, badan menjadi terasa lemah, serta otak terasa sulit
untuk berpikir. Penawar yang diteladankan oleh Nabi kita adalah sebagaimana
dalam sabdanya berikut ini.
“ Demi zat yang diriku dalam kekuasaannya! Sesungguhnya andai kita disiplin
terhadap apa yang pernah kamu dengar ketika bersama aku dan juga tekun
dalam dzikir, niscaya malaikat akan bersamamu di tempat tidurmu dan di jalan-
jalanmu. Tetapi, Hai Handhalah, sa’atan -sa’ atan! (berguraulah sekedarnya saja!) .
Nabi mengulangi ucapan itu sampai tiga kali.” (HR. Muslim).
Hadist tersebut memberikan jalan keluar bagi kita ketika mengalami kejenuhan,
hati ini menjadi lesu dengan berbagai aktivitas dunia ataupun aktivitas yang
berorientasi pada akherat, maka Rasulullah memerintahkan sa’atan -sa’ atan!
(sekedarnya saja!) untuk bergurau, bercanda dengan teman kita. Tentunya
gurauan yang tidak mengandung ejekan atau hal-hal maksiat lainnya. Dengan
senda gurau ini hati kita akan menjadi fresh kembali.
Dilihat begitu pentingnya hal ini, maka sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa
bercanda yang baik hukumnya mubah (boleh). Para sahabat Rasulullah yang
saleh dan baik itu biasa bergurau, ketawa, bermain-main, dan berkata yang
ganjil-ganjil. Mereka mengetahui akan kebutuhan jiwanya dan ingin memenuhi
panggilan fitrah serta hendak memberikan hak hati untuk beristirahat dan
bergembira agar dapat melangsungkan perjalanan dalam menyusuri dinamika
kehidupan yang masih panjang.
Hal senada juga disabdakan oleh Rasulullah : “Janganlah terlalu membebani
jiwamu dengan segala kesungguhan hati. Hiburlah dirimu dengan hal- hal yang
ringan dan lucu. Sebab bila hati terus dipaksakan dengan memikul beban- beban
yang berat, ia akan menjadi buta.” (Sunan Abi Dawud).
Layaknya orang yang matanya buta, ia tak bisa meliahat apa yang ada di
sekelilingnya. Kalau ingin berjalan, ia harus meraba dan dengan pelan-pelan.
Besar kemungkinan ia akan terjatuh. Sementara itu, Azajjag berkata , “Senyuman
merupakan ketawanya kebanyakan para Nabi . ” Perlu diperhatikan juga bahwa
gurauan jangan sampai melanggar etika dalam tertawa. Seperti dicontohkan
Rasulullah Saw, yang dalam tertawanya hanya terlihat gigi serinya.
Pada suatu hari, Saudah binti Zum’ah Ummul Mukminin berkata kepada
Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah, aku shalat dibelakang Rasulullah, lalu mengikuti
ruku’ dan aku paksa memegangi hidungku, karena aku takut darah akan mengalir
dan menetes- netes.” Mendengar ucapan istri beliau, Rasulullah SAW tersenyum
dan tertawa. Rupanya menurut istri beliau, Rasulullah terlalu lama dalam ruku’
dan sujud.
Contoh yang disajikan tersebut memberikan petunjuk tentang diperbolehkannya
tertawa untuk menjadi pelipur hati yang lara dan jiwa yang sedang gundah-
gulana. Akhirnya urusan panjang lebar di atas bermuara pada satu tujuan, yaitu
agar iman dalam dada tetap istiqomah, yang lesu menjadi tegar dan yang sudah
mantap agar lebih terpatri, sehingga iman tetap kokoh dalam hati. Wallahua’lam
bisshoab.
Baca juga:
Mencermati Ayat- ayat Kauniah
Zoonosis Baru dan Hikmah Ayat Kauniyah
Ada Apa di Balik Petir
Published with Blogger-droid v2.0.2

Bertamu Dengan Cara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Saling berkunjung dan bertamu di antara kita
adalah hal yang biasa terjadi. Baik bertamu di antara sanak
famili, dengan tetangga, atau teman sebaya yang tinggal di kos. Namun,
banyak di antara kita yang melupakan atau belum mengetahui adab- adab
dalam bertamu, dimana syari’at Islam yang lengkap telah memiliki tuntunan
tersendiri dalam hal ini. Nah, alangkah indahnya jika setiap yang kita lakukan
kita niatkan ibadah kepada Allah ta’ala dan ittiba’ pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam , termasuk dalam hal adab bertamu ini.
1. Minta Izin Maksimal Tiga Kali
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita, bahwa
batasan untuk meminta izin untuk bertamu adalah tiga kali. Sebagaimana
dalam sabdanya,
ﻦﻋ ﻰﺑﺃ ﻰﺳﻮﻣ ّﻱﺮﻌﺷﻻﺍ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ ﻝﺎﻗ ﻪﻤﻋ : ﻝﻮﺳﺭ ﻝﺎﻗ ﻪﻠﻟﺍ ﻰّﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻭ
ﻢﻠﺳ: ُﻥﺍﺬﺌﺘﺳﻻﺍ ٌﺙﻼﺛ، ﻥﺎﻓ ﻥﺫﺃ ﻚﻟ ﻭ ّﻻﺍ ﻊﺟﺭﺎﻓ
Dari Abu Musa Al-Asy’ ary radhiallahu’anhu , dia berkata: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Minta izin masuk rumah itu tiga kali,
jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah!’” (HR.
Bukhari dan Muslim)
2. Mengucapkan Salam & Minta Izin Masuk
Terkadang seseorang bertamu dengan memanggil- manggil nama yang
hendak ditemui atau dengan kata-kata sekedarnya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan, hendaknya seseorang ketika bertamu
memberikan salam dan meminta izin untuk masuk. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
ﺎَﻬُّﻳَﺃ ﺎَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ﺎَﻟ ﺍﻮُﻠُﺧْﺪَﺗ ﺎًﺗﻮُﻴُﺑ ْﻢُﻜِﺗﻮُﻴُﺑ َﺮْﻴَﻏ ﻰَّﺘَﺣ ﺍﻮُﺴِﻧْﺄَﺘْﺴَﺗ ﻰَﻠَﻋ ﺍﻮُﻤِّﻠَﺴُﺗَﻭ ﺎَﻬِﻠْﻫَﺃ
ْﻢُﻜِﻟَﺫ ٌﺮْﻴَﺧ ْﻢُﻜَﻟ ْﻢُﻜَّﻠَﻌَﻟ َﻥﻭُﺮَّﻛَّﺬَﺗ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu)
ingat.” (QS. An-Nuur [24 ]: 27)
Sebagaimana juga terdapat dalam hadits dari Kildah ibn al-Hambal
radhiallahu’anhu , ia berkata,
“Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku masuk ke
rumahnya tanpa mengucap salam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Keluar dan ulangi lagi dengan mengucapkan
‘assalamu’ alaikum’, boleh aku masuk?’” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi
berkata: Hadits Hasan)
Dalam hal ini (memberi salam dan minta izin), sesuai dengan poin pertama,
maka batasannya adalah tiga kali. Maksudnya adalah, jika kita telah
memberi salam tiga kali namun tidak ada jawaban atau tidak diizinkan,
maka itu berarti kita harus menunda kunjungan kita kali itu. Adapun ketika
salam kita telah dijawab, bukan berarti kita dapat membuka pintu
kemudian masuk begitu saja atau jika pintu telah terbuka, bukan berarti kita
dapat langsung masuk. Mintalah izin untuk masuk dan tunggulah izin dari
sang pemilik rumah untuk memasuki rumahnya. Hal ini disebabkan, sangat
dimungkinkan jika seseorang langsung masuk, maka ‘aib atau hal yang tidak
diinginkan untuk dilihat belum sempat ditutupi oleh sang pemilik rumah.
Sebagaimana diriwayatkan dari Sahal ibn Sa’ad radhiallahu’ anhu bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺎﻤّﻧِﺍ ﻥﺍﺬﺌﺘﺳﻻﺍ ﻞﻌُﺟ ﻦﻣ ﺮﺼﺒﻟﺍ ﻞﺟﺃ
“Sesungguhnya disyari’atkan minta izin adalah karena untuk menjaga
pandangan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Ketukan Yang Tidak Mengganggu
Sering kali ketukan yang diberikan seorang tamu berlebihan sehingga
mengganggu pemilik rumah. Baik karena kerasnya atau cara mengetuknya.
Maka, hendaknya ketukan itu adalah ketukan yang sekedarnya dan bukan
ketukan yang mengganggu seperti ketukan keras yang mungkin
mengagetkan atau sengaja ditujukan untuk membangunkan pemilik rumah.
Sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik radhiallahu’anhu ,
ﻥﺇ ﺏﺍﻮﺑﺃ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﺖﻧﺎﻛ ﻉﺮﻘﺗ ﺮﻴﻓﺎﻇﻷﺎﺑ
“Kami di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetuk pintu dengan
kuku-kuku.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod bab Mengetuk Pintu)
4. Posisi Berdiri Tidak Menghadap Pintu Masuk
Hendaknya posisi berdiri tamu tidak di depan pintu dan menghadap ke
dalam ruangan. Poin ini juga berkaitan hak sang pemilik rumah untuk
mempersiapkan dirinya dan rumahnya dalam menerima tamu. Sehingga
dalam posisi demikian, apa yang ada di dalam rumah tidak langsung terlihat
oleh tamu sebelum diizinkan oleh pemilik rumah. Sebagaimana amalan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin Bisyr ia berkata,
ﻥﺎﻛ ﻝﻮﺳﺭ ﺍﺫﺇ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﺗﺃ ﺏﺎﺑ ﻡﻮﻗ ﻞﺒﻘﺘﺴﻳ ﻢﻟ ﺏﺎﺒﻟﺍ ﻦﻣ ﺀﺎﻘﻠﺗ ﻭ ﻪﻬﺟ ﻭ ﻦﻜﻟ ﺎﻬﻨﻛﺭ
ﻭﺃ ﻦﻤﻳﻷﺍ ﺮﺴﻳﻷﺍ ﻝﻮﻘﻳ ﻭ ﻡﻼﺴﻟﺍ ﻡﻼﺴﻟﺍ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﻢﻜﻴﻠﻋ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mendatangi pintu
suatu kaum, beliau tidak menghadapkan wajahnya di depan pintu, tetapi
berada di sebelah kanan atau kirinya dan mengucapkan assalamu’ alaikum…
assalamu’alaikum…” (HR. Abu Dawud, shohih – lihat majalah Al-Furqon)
5. Tidak Mengintip
Mengintip ke dalam rumah sering terjadi ketika seseorang penasaran
apakah ada orang di dalam rumah atau tidak. Padahal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat mencela perbuatan ini dan memberi ancaman
kepada para pengintip, sebagaimana dalam sabdanya,
ﻮﻟ ّﻥﺃ ﺃﺮﻣﺍ ﻚﻴﻠﻋ ﻊﻠﻃﺍ ﺮﻴﻐﺑ ﻥﺫﺇ ﻪﺘﻓﺬﺨﻓ ﺓﺎﺼﺤﺑ ﺕﺄﻘﻔﻓ ﻪﻨﻴﻋ ﻢﻟ ﻦﻜﻳ ﺡﺎﻨﺟ ﻚﻴﻠﻋ
“Andaikan ada orang melihatmu di rumah tanpa izin, engkau melemparnya
dengan batu kecil lalu kamu cungkil matanya, maka tidak ada dosa
bagimu.” (HR. Bukhari Kitabul Isti’dzan )
ْﻦَﻋ ِﺲَﻧَﺃ ﻚِﻟﺎَﻣ ِﻦْﺑ ﺎًﻠُﺟَﺭ َّﻥَﺃ َﻊَﻠَّﻃﺍ ْﻦِﻣ ِﺾْﻌَﺑ ِﺮَﺠُﺣ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻟِﺇ َﻡﺎَﻘَﻓ
ُّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ْﻭَﺃ ٍﺺَﻘْﺸِﻤِﺑ َﺺِﻗﺎَﺸَﻤِﺑ ﻲِّﻧَﺄَﻜَﻓ ِﻪْﻴَﻟِﺇ ُﺮُﻈْﻧَﺃ ُﻞِﺘْﺨَﻳ َﻞُﺟَّﺮﻟﺍ
ُﻪَﻨُﻌْﻄَﻴِﻟ
“Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu sesungguhnya ada seorang laki- laki
mengintip sebagian kamar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu nabi
berdiri menuju kepadanya dengan membawa anak panah yang lebar atau
beberapa anak panah yang lebar, dan seakan-akan aku melihat beliau
menanti peluang ntuk menusuk orang itu.” (HR. Bukhari Kitabul Isti’dzan)
6. Pulang Kembali Jika Disuruh Pulang
Kita harus menunda kunjungan atau dengan kata lain pulang kembali ketika
setelah tiga kali salam tidak di jawab atau pemilik rumah menyuruh kita
untuk pulang kembali. Sehingga jika seorang tamu disuruh pulang,
hendaknya ia tidak tersinggung atau merasa dilecehkan karena hal ini
termasuk adab yang penuh hikmah dalam syari’ at Islam. Di antara
hikmahnya adalah hal ini demi menjaga hak- hak pemilik rumah. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ﻮﻟ ّﻥﺃ ﺃﺮﻣﺍ ﻚﻴﻠﻋ ﻊﻠﻃﺍ ﺮﻴﻐﺑ ﻥﺫﺇ، ﻪَﺘْﻓّﺬَﺨﻓ ﺓﺎﺼَﺨﺑ ﺕﺄﻘَﻔﻓ ﻪﻨﻴﻋ ﻢﻟ ﻦﻜﻳ ﺡﺎﻨﺟ ﻚﻴﻠﻋ
“Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu
masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu:
Kembali (saja )lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nuur [24 ]: 28)
Makna ayat tersebut disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya,
“Mengapa demikian? Karena meminta izin sebelum masuk rumah itu
berkenaan dengan penggunaan hak orang lain. Oleh karena itu, tuan rumah
berhak menerima atau menolak tamu.” Syaikh Abdur Rahman bin Nasir As
Sa’di dalam Tafsir Al Karimur Rahman menambahkan, “Jika kamu di suruh
kembali, maka kembalilah. Jangan memaksa ingin masuk, dan jangan
marah. Karena tuan rumah bukan menolak hak yang wajib bagimu wahai
tamu, tetapi dia ingin berbuat kebaikan. Terserah dia, karena itu haknya
mengizinkan masuk atau tidak. Jangan ada perasaan dan tuduhan bahwa
tuan rumah ini angkuh dan sombong sekali.” Oleh karena itu, kelanjutan
makna ayat “Kembali itu lebih bersih bagimu. Dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” Artinya supaya hendaknya seorang tamu tidak
berburuk sangka atau sakit hati kepada tuan rumah jika tidak diizinkan
masuk, karena Allah- lah yang Maha Tahu kemaslahatan hamba- Nya.
(Majalah Al Furqon).
7. Menjawab Dengan Nama Jelas Jika Pemilik Rumah Bertanya
“Siapa?”
Terkadang pemilik rumah ingin mengetahui dari dalam rumah siapakah
tamu yang datang sehingga bertanya, “Siapa?” Maka hendaknya seorang
tamu tidak menjawab dengan “saya” atau “aku” atau yang semacamnya,
tetapi sebutkan nama dengan jelas. Sebagaimana terdapat dalam riwayat
dari Jabir radhiallahu’anhu , dia berkata,
ُﺖْﻴَﺗَﺃ َّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻲِﻓ ٍﻦْﻳَﺩ َﻥﺎَﻛ ﻰَﻠَﻋ ُﺖْﻘَﻗَﺪَﻓ ﻲِﺑَﺃ َﺏﺎَﺒْﻟﺍ َﻝﺎَﻘَﻓ ﺍَﺫ ْﻦَﻣ
ﺎَﻧَﺃ ُﺖْﻠُﻘَﻓ ﺎَﻧَﺃ ﺎَﻧَﺃ َﻝﺎَﻘَﻓ ُﻪَّﻧَﺄَﻛ ﺎَﻬَﻫِﺮَﻛ
“Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku
mengetuk pintu, lalu beliau bertanya, ‘Siapa?’ Maka Aku menjawab, ‘Saya. ’
Lalu beliau bertanya, ‘Saya, saya?’ Sepertinya beliau tidak suka.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Demikianlah beberapa poin yang perlu kita perhatikan agar apa yang kita
lakukan ketika bertamu pun sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dengan mengetahui adab- adab
yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga
membuat kita lebih lapang kepada saudara kita sebagai tuan rumah ketika
ia menjalankan apa yang menjadi haknya sebagai pemilik rumah. Wallahu
a’lam.
Published with Blogger-droid v2.0.2

Kamis, Desember 29, 2011

10 Nasihat Ibnul Qayyim Untuk Bersabar Agar Tidak Terjerumus Dalam Lembah Maksiat

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi
dan Rasul paling mulia. Amma ba’du .
Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai
kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat:
Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah
perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah
mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari
terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana
penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga
anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.
Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang
hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan
menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia
menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia
akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat
murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati
yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di
hadapan Allah…
Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan
mengingat- ingat perbuatan baik- Nya kepadamu……
Apabila engkau berlimpah nikmat
maka jagalah, karena maksiat
akan membuat nikmat hilang dan lenyap
Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah
kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.
Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya
Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok
yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh
lemahnya rasa cinta.
Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara
kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa
membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan
maksiat…
Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak
perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga
bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan
hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena
dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…
Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan
hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya
di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana
tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga
tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin
menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan
membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat
apa-apa.
Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan,
minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk
berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-
perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi
diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki…
karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa
kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang
bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang
berbahaya baginya.
Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di
atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati…
Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu
sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh
maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka
sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia
akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan
perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia
telah keliru.
***
(Diterjemahkan dari artikel berjudul ‘Asyru Nashaa’ih libnil Qayyim li Shabri
‘anil Ma’ shiyah, www.ar .islamhouse.com )
Published with Blogger-droid v2.0.2

Batasan Bermuamalah dengan Orang Kafir


Islam adalah agama yang syumuul atau lengkap.
Islam sudah menyediakan seperangkat aturan dan
petunjuk dalam menjalani kehidupan ini agar
selamat baik di dunia maupun di akhirat. Ajaran
Islam tak hanya mengatur hubungan antara seorang manusia
dengan Rabb-Nya ( hablum minallah ), melainkan juga telah mengatur
hubungan antara manusia dengan manusia yang lain (hablum minannaas).
Ini merupakan suatu anugrah dan kemudahan bagi manusia.
Dalam kehidupan bermasyarakat ini, tentunya seorang muslim tidak hanya
hidup di tengah sesama kaum muslimin. Di tengah- tengah kita juga ada
kaum kafir yang juga hidup bersama-sama dengan kita. Maka sungguh
indah ajaran Islam, karena Islam juga telah mengatur dan mengajarkan
bagaimana harusnya seorang muslim dalam bermuamalah dengan orang
kafir.
Tentunya tidak bisa disamakan sikap kita kepada sesama muslim dengan
sikap kita kepada orang kafir, karena perkara ini menyangkut perkara wala
wal bara’ (loyalitas dan permusuhan), ada beberapa kaidah tertentu yang
membatasai kita dalam bermuamalah dengan orang kafir.
Namun sebelum kita membahas apa saja yang boleh dan tidak boleh kita
lakukan dalam bermuamalah dengan orang kafir, kita perlu memperjelas
terlebih dahulu definisi orang kafir dan apa makna muamalah berikut
cakupannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia hanya untuk beribadah
kepada-Nya . Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para
rasul dengan membawa agama yang haq untuk membimbing manusia
menuju cara beribadah yang benar. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut
para rasul itu sebagai orang-orang Muslim. Maknanya, orang yang
menyerahkan diri, tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Itulah arti Islam secara umum, yaitu semua agama yang dibawa oleh para
nabi dan rasul semenjak Nabi Nuh ‘Alaihissallam sampai Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sementara itu, islam dengan makna khusus adalah agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala . Dengan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghapus seluruh agama
dan syariat sebelumnya. Maka, orang yang mendapati agama ini, namun
tidak memeluknya, maka dia kafir.
Wahai saudaraku,
Sesungguhnya orang kafir itu ada empat macam:
1. Kafir mu’ahid yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri dan
di antara mereka dan kaum muslimin terikat perjanjian damai.
2. Kafir dzimmi yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dan
sebagai gantinya mereka mengeluarkan jizyah (semacam upeti) sebagai
kompensasi perlindungan kaum muslimin terhadap mereka.
3. Kafir musta’man yaitu orang kafir masuk ke negeri kaum muslimin dan
diberi jaminan keamanan oleh penguasa muslim atau dari salah seorang
muslim.
4. Kafir muharib (orang-orang kafir yang memerangi umat Islam di negeri
yang saat itu sedang terjadi konflik antar-pemeluk agama), yaitu orang kafir
selain tiga jenis di atas. Kaum muslimin disyariatkan untuk memerangi
orang kafir semacam ini sesuai dengan kemampuan mereka.
Sungguh syariat Islam yang mulia ini telah mengatur bagaimana batasan-
batasan apa saja yang boleh dan yang tidak boleh pada saat kita
bermuamalah dengan orang kafir. Dalam pembahasan ini, tentu yang
dimaksudkan adalah perlakuan kita kaum muslimin kepada orang selain
kafir muharib . Adapun kepada kafir muharib maka kita disyariatkan untuk
memerunginya.
Berikut adalah batasan-batasan dalam bermuamalah dengan orang
kafir:
1.Tidak menyetujui keberadaannya di atas kekufuran dan tidak ridha
terhadap kekufuran. Karena ridha terhadap kekufuran orang lain termasuk
perbuatan kekafiran.
2. Membenci orang kafir, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala juga benci
mereka. Sebagimana halnya cinta karena Allah, begitu juga benci karena
Allah. Oleh karena itu, selama Allah Subhanahu wa Ta’ala membenci orang
kafir karena kekufurannya, maka seorang mukmin harus juga membenci
orang kafir tersebut.
3. Tidak memberikan wala’ (kedekatan, loyalitas, kesetiaan) dan kecintaan
kepada orang kafir. Allah Ta’ala berfirman :
ِﺬِﺨَّﺘَﻳ ﺎَّﻟ َﻥﻮُﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ َﻦﻳِﺮِﻓﺎَﻜْﻟﺍ َﺀﺎَﻴِﻟْﻭَﺃ ﻦِﻣ ِﻥﻭُﺩ َﻦﻴِﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
(teman akrab, pemimpin, pelindung, penolong) dengan meninggalkan
orang-orang mukmin.” (Qs. Ali Imran : 28)
Dan firman- Nya:
ُﺪِﺠَﺗ ﺎَّﻟ ﺎًﻣْﻮَﻗ ِﻪَّﻠﻟﺎِﺑ َﻥﻮُﻨِﻣْﺆُﻳ ِﻡْﻮَﻴْﻟﺍَﻭ ِﺮِﺧﺂْﻟﺍ َﻥﻭُّﺩﺍَﻮُﻳ ْﻦَﻣ َﻪَّﻠﻟﺍ َّﺩﺎَﺣ ُﻪَﻟﻮُﺳَﺭَﻭ ْﻮَﻟَﻭ ْﻢُﻫَﺀﺎَﺑﺁ ﺍﻮُﻧﺎَﻛ
ْﻭَﺃ ْﻢُﻬَﻧﺍَﻮْﺧِﺇ ْﻭَﺃ ْﻢُﻫَﺀﺎَﻨْﺑَﺃ ْﻢُﻬَﺗَﺮﻴِﺸَﻋ ْﻭَﺃ
“Kamu tidak akan mendapati satu kaum yang beriman pada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya , sekalipun orang-orang yang menentang itu asdalah bapak-
bapak, atau anak-anak atau saudara- saudara ataupun keluarga
mereka.” (Qs. Al-Mujadilah : 22)
4. Bersikap adil dan berbuat baik kepadanya, selama orang kafir tersebut
bukan kafir muhârib (orang kafir yang memerangi kaum Muslimin).
Berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla ,
ﺎَّﻟ ُﻢُﻛﺎَﻬْﻨَﻳ ُﻪَّﻠﻟﺍ ِﻦَﻋ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ْﻢَﻟ ْﻢُﻛﻮُﻠِﺗﺎَﻘُﻳ ِﻦﻳِّﺪﻟﺍ ﻲِﻓ ْﻢَﻟَﻭ ﻢُﻛﻮُﺟِﺮْﺨُﻳ ﻦِّﻣ ْﻢُﻛِﺭﺎَﻳِﺩ ْﻢُﻫﻭُّﺮَﺒَﺗ ﻥَﺃ
ﺍﻮُﻄِﺴْﻘُﺗَﻭ ْﻢِﻬْﻴَﻟِﺇ َّﻥِﺇ َﻪَّﻠﻟﺍ ُّﺐِﺤُﻳ َﻦﻴِﻄِﺴْﻘُﻤْﻟﺍ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.” (Qs. Al- Mumtahanah: 8)
Ayat yang mulia lagi muhkam (ayat yang maknanya jelas) ini membolehkan
bersikap adil dan berbuat baik kepada orang-orang kafir, kecuali orang-
orang kafir muharib . Karena Islam memberikan sikap khusus terhadap
orang-orang kafir muharib .
5. Mengasihi orang kafir dengan kasih sayang yang bersifat umum. Seperti
memberi makan jika dia lapar, memberi minum jika haus, mengobatinya
jika sakit, menyelamatkannya dari kebinasaan dan tidak mengganggunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺍﻮُﻤَﺣْﺭﺍ ْﻦَﻣ ِﺽْﺭَﺄْﻟﺍ ﻲِﻓ ْﻢُﻜْﻤَﺣْﺮَﻳ ْﻦَﻣ ﻲِﻓ ِﺀﺎَﻤَّﺴﻟﺍ
Kasihilah orang-orang yang berada di atas bumi, niscaya Dia (Allah) yang
berada di atas langit akan mengasihi kamu. (HR. At-Tirmidzi, no. 1924)
6. Tidak mengganggu harta, darah, dan kehormatan, selama dia bukan kafir
muhârib . Karena itu merupakan kezhaliman yang dilarang oleh Allah ‘Azza
wa Jalla , berdasarkan hadits qudsi berikut ini:
ْﻦَﻋ ٍّﺭَﺫ ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﺎَﻤﻴِﻓ ﻯَﻭَﺭ ْﻦَﻋ َﻙَﺭﺎَﺒَﺗ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَﻟﺎَﻌَﺗَﻭ َﻝﺎَﻗ ُﻪَّﻧَﺃ
ﻲِّﻧِﺇ ﻱِﺩﺎَﺒِﻋ ﺎَﻳ ُﺖْﻣَّﺮَﺣ َﻢْﻠُّﻈﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ ﻲِﺴْﻔَﻧ ُﻪُﺘْﻠَﻌَﺟَﻭ ﺎًﻣَّﺮَﺤُﻣ ْﻢُﻜَﻨْﻴَﺑ ﺍﻮُﻤَﻟﺎَﻈَﺗ ﺎَﻠَﻓ
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu , dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
beliau meriwayatkan dari Allah Ta’ala berfirman: “Wahai hamba- hambaKu,
sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku , dan Aku
menjadikannya sesuatu yang diharamkan di tengah kalian, maka janganlah
kalian saling menzhalimi”. (HR. Muslim, no. 2577)
7. Boleh memberikan hadiah kepadanya dan boleh juga menerima hadiah
darinya serta diperbolehkan memakan daging sembelihan ahli kitab .
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
ﺍﻮُﺗﻭُﺃ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ُﻡﺎَﻌَﻃَﻭ ٌّﻞِﺣ َﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ ْﻢُﻜَّﻟ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik . makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu.” (Qs. Al-Maidah : 5)
8. Tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki- laki kafir
(walaupun lelaki ini Ahli kitab) dan laki- laki muslim tidak boleh menikahi
wanita kafir, kecuali wanita ahli kitab.
Tentang larangan menikahkan wanita muslimah dengan lelaki kafir, Allah
‘Azza wa Jalla berfirman,
َّﻦُﻫ ﺎَﻟ ٌّﻞِﺣ ْﻢُﻬَّﻟ ْﻢُﻫ ﺎَﻟَﻭ َﻥﻮُّﻠِﺤَﻳ َّﻦُﻬَﻟ
“Mereka (perempuan- perempuan yang beriman) tidak halal bagi orang-
orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” (Qs.
Al-Mumtahanah : 10)
Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman,
ﺎَﻟَﻭ ﺍﻮُﺤِﻜﻨَﺗ ِﺕﺎَﻛِﺮْﺸُﻤْﻟﺍ ٰﻰَّﺘَﺣ ٌﺔَﻣَﺄَﻟَﻭ َّﻦِﻣْﺆُﻳ ٌﺔَﻨِﻣْﺆُّﻣ ٌﺮْﻴَﺧ ٍﺔَﻛِﺮْﺸُّﻣ ﻦِّﻣ ْﻮَﻟَﻭ ْﻢُﻜْﺘَﺒَﺠْﻋَﺃ ﺎَﻟَﻭ
ﺍﻮُﺤِﻜﻨُﺗ َﻦﻴِﻛِﺮْﺸُﻤْﻟﺍ ٰﻰَّﺘَﺣ ﺍﻮُﻨِﻣْﺆُﻳ ٌﺪْﺒَﻌَﻟَﻭ ٌﻦِﻣْﺆُّﻣ ٌﺮْﻴَﺧ ٍﻙِﺮْﺸُّﻣ ﻦِّﻣ ْﻮَﻟَﻭ ْﻢُﻜَﺒَﺠْﻋَﺃ َﻥﻮُﻋْﺪَﻳ َﻚِﺌَٰﻟﻭُﺃ
ﻰَﻟِﺇ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ ُﻪَّﻠﻟﺍَﻭ ﻮُﻋْﺪَﻳ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ ِﺓَﺮِﻔْﻐَﻤْﻟﺍَﻭ ِﻪِﻧْﺫِﺈِﺑ ِﻪِﺗﺎَﻳﺁ ُﻦِّﻴَﺒُﻳَﻭ ْﻢُﻬَّﻠَﻌَﻟ ِﺱﺎَّﻨﻠِﻟ َﻥﻭُﺮَّﻛَﺬَﺘَﻳ
”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin- Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat- Nya (perintah-perintah- Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.” (Qs. Al- Baqarah : 221)
Sedangkan tentang bolehnya menikahi wanita Ahli kitab, Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman,
ُﺕﺎَﻨَﺼْﺤُﻤْﻟﺍَﻭ َﻦِﻣ ِﺕﺎَﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ ُﺕﺎَﻨَﺼْﺤُﻤْﻟﺍَﻭ َﻦِﻣ ﺍﻮُﺗﻭُﺃ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ ﻦِﻣ ْﻢُﻜِﻠْﺒَﻗ َّﻦُﻫﻮُﻤُﺘْﻴَﺗﺁ ﺍَﺫِﺇ
َّﻦُﻫَﺭﻮُﺟُﺃ َﺮْﻴَﻏ َﻦﻴِﻨِﺼْﺤُﻣ َﻦﻴِﺤِﻓﺎَﺴُﻣ ﺎَﻟَﻭ ﻱِﺬِﺨَّﺘُﻣ ٍﻥﺍَﺪْﺧَﺃ
“(Dan dihalalkan mangawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi al- Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka, dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik .” (Qs. Al-
Maidah : 5)
9. Tidak mendahului orang kafir dalam mengucap salam. Jika orang kafir
tersebut mengucapkan salam terlebih dahulu, maka cukup dijawab dengan
”Wa ‘Alaikum” . Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َﻢَّﻠَﺳ ﺍَﺫِﺇ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ ٌﺪَﺣَﺃ ِﻞْﻫَﺃ ْﻦِﻣ ِﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋَﻭ ﺍﻮُﻟﻮُﻘَﻓ
“Jika salah seorang ahli kitab mengucapkan salam kepadamu, maka
jawablah dengan ‘Wa ‘Alaikum’ .” (HR. Ibnu Majah, no. 3697; dishahihkan
oleh al-Albani )
10. Mendoakannya jika ia bersin dengan memuji Allah, kita do’akan,
ُﻢُﻜﻳِﺪْﻬَﻳ ُﺢِﻠﺼُﻳَﻭ ُﻪﻠﻟﺍ ْﻢُﻜَﻟﺎَﺑ
“Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu, dan memperbaiki urusanmu.”
Karena orang yahudi pernah bersin di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian dia membaca hamdalah, dengan harapan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mendoakan, yarhamukallah.. “Semoga Allah
merahmatimu,” Namun, ternyata yang beliau baca adalah doa di atas.
11. Menyempitkan ruang geraknya jika bertemu dengannya di salah satu
jalan. Disempitkan ke jalan yang paling sempit, karena Rasulullah bersabda,
ﺎَﻟ َﺩﻮُﻬَﻴْﻟﺍ ﺍﻭُﺀَﺪْﺒَﺗ ﺎَﻟَﻭ ﻯَﺭﺎَﺼَّﻨﻟﺍ ِﻡﺎَﻠَّﺴﻟﺎِﺑ ﺍَﺫِﺈَﻓ ْﻢُﻫَﺪَﺣَﺃ ْﻢُﺘﻴِﻘَﻟ ﻲِﻓ ُﻩﻭُّﺮَﻄْﺿﺎَﻓ ٍﻖﻳِﺮَﻃ ﻰَﻟِﺇ
ِﻪِﻘَﻴْﺿَﺃ
Janganlah kamu memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nashara.
Dan jika kamu bertemu salah seorang dari mereka di jalan, maka desaklah
ia ke jalan yang paling sempit/pinggir . (HR. Muslim, no. 2167)
Ketika menjelaskan makna hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah
mengatakan : “Para sahabat kami mengatakan, orang kafir dzimmi tidak
dibiarkan berjalan di tengah jalan, namun dia didesak ke pinggirnya jika
umat Islam melewati jalan tersebut. Namun jika jalan itu sepi, tidak
berdesakan (di jalan itu) maka tidak mengapa”.
12. Kaum muslimin harus menyelisihi kebiasaan orang kafir dan tidak boleh
melakukan tasyabbuh (menyerupai atau meniru) mereka. Tasyabbuh
dengan orang kafir yang terlarang adalah meniru atau menyerupai orang
kafir dalam masalah keyakinan, ibadah, kebiasaan atau model-model
perilaku yang merupakan ciri khas mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْﻦَﻣ َﻪَّﺒَﺸَﺗ َﻮُﻬَﻓ ٍﻡْﻮَﻘِﺑ ْﻢُﻬْﻨِﻣ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk mereka.” (HR.
Abu Dawud, no. 4031)
Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hendaklah kalian tampil beda dengan orang-orang musyrik. Karena itu,
panjangkan jenggot, dan cukurlah kumis.” (Muttafaq Alaih).
Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan orang-orang
Kristen tidak mengubah warna uban mereka, maka bersikaplah tampil beda
dengan mereka.” (Diriwayatkan Al-Bukhari ).
Demikian beberapa batasan berkaitan dengan muamalah kepada orang
kafir. Lewat paparan singkat ini, kita dapat mengetahui sikap adil yang
diajarkan agama Islam dalam menyikapi orang-orang kafir secara umum.
Wallahu a’lam bisshawab .
***
Artikel Muslimah.or. id
Diadaptasi dari: Minhaajul Muslim, Abu Bakr Jabir al-Jazairi atau Ensiklopedi
Muslim: Minhajul Muslim, terj . Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm.
168- 172 oleh Ummu Sulaim Nurul Dwi Sabtia.
Muroja’ah: Ust. Ammi Nur Baits
Published with Blogger-droid v2.0.2

PENGERTIAN KAFIR DAN MUSYRIK

Pengertian Kafir
kafir bermakna orang yang ingkar,yang tidak beriman (tidak percaya)
atau tidak beragama Islam. Dengan kata lain orang kafir adalah orang
yang tidak mahu memperhatikan serta menolak terhadap segala hukum
Allah atau hukum Islam disampaikan melalui para Rasul (Muhammad
SAW) atau para penyampai dakwah/risalah. Perbuatan yang semacam
ini disebut dengan kufur.
Kufur pula bermaksud menutupi dan menyamarkan sesuatu perkara.
Sedangkan menurut istilah ialah menolak terhadap sesuatu perkara yang
telah diperjelaskan adanya perkara yang tersebut dalam Al Quran.
Penolakan tersebut baik langsung terhadap kitabnya ataupun menolak
terhadap rasul sebagai pembawanya.
‘Sesungguhnya orang kafir kepada Allah dan RasulNya, dan bermaksud
memperbezakan antara Allah dan RasulNya seraya (sambil)
mengatakan:’Kami beriman kepada yang sebahagian (dari Rasul itu /
ayat Al Quran) dan kami kafir (ingkar) terhadap sebahagian yang lain.
Serta bermaksud (dengan perkataanya itu) mengambil jalan lain
diantara yang demikian itu (iman dan kafir) . Merekalah orang kafir yang
sebenar-benarnya . Kami telah menyediakan untuk mereka itu seksaan
yang menghinakan” [Qs An Nisa, 150- 151]
Pembahagian Kafir.
1. Kafir yang sama sekali tidak percaya akan adanya Allah, baik dari segi
zahir dan
batin seperti Raja Namrud dan Firaun.
2. Kafir jumud (ertinya membantah) . Orang kafir jumud ini pada
hatinya
(pemikirannya) mengakui akan adanya Allah TAPI tidak mengakui
dengan lisannya,
seperti Iblis dan sebagainya.
3. Kafir ‘Inad .Orang kafir ‘Inad ini, adalah mereka pada hati (pemikiran)
dan
lisannya (sebutannya) mengakui terhadap kebenaran Allah, TAPI tidak
mahu
mengamalkannya , mengikuti atau mengerjakannya seperti Abu Talib.
4. Kafir Nifaq iaitu orang yang munafik. Yang mengakui diluarnya,pada
lisannya saja
terhadap adanya Allah dan Hukum Allah, bahkan suka mengerjakannya
Perintah Allah,
TAPI hatinya (pemikirannya) atau batinnya TIDAK mempercayainya.
Tanda Orang Kafir.
a.Suka pecah belahkan antara perintah dan larangan Allah dengan
RasulNya.
b.Kafir (ingkar) perintah dan larangan Allah dan RasulNya.
c.Iman kepada sebahagian perintah dan larangan Allah (dari Ayat Al
Quran),tapi
Mmenolak sebahagian daripadanya.
d.Suka berperang dijalan Syaitan (Thoghut) .
e.Mengatakan Nabi Isa AL Masihi adalah anak Tuhan.
f.Agama menjadi bahan senda gurau atau permainan .
g.Lebih suka kehidupan duniawi sehingga aktiviti yang dikerjakan hanya
mengikut hawa nafsu mereka, tanpa menghiraukan hukum Allah yang
telah diturunkan.
h.Mengingkari adanya hari Akhirat, hari pembalasan dan syurga dan
neraka.
i.Menghalangi manusia ke jalan Allah.
Hubungan Orang Kafir.
Berhubungan Muslim dengan Orang kafir adalah tidak dilarang, dicegah
bahkan dibolehkan oleh Islam, KECUALI adanya perhubungan
(bertujuan) yang memusuhi Allah dan RasulNya (Hukum Allah), termasuk
merosakkan aqidah Islam.
Pengertian Musyrik
Musyrik adalah orang yang mempersekutukan Allah, mengaku akan
adanya Tuhan selain Allah atau menyamakan sesuatu dengan Allah.
Perbuatan itu disebut musyrik. Syrik adalah perbuatan dosa yang paling
besar, kerana itu kita harus menjauhi perbuatan yang menjerumuskan
kepada syrik.
Firman Allah ; “Ingatlah Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia
memberi pelajaran kepadanya:’Hai anakku!janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah
benar-benar kezaliman yang besar’ “ [Qs Luqman:13 ]
Dengan demikian org musyrik disamping menyembah Allah
mengabdikan kepada Allah, juga mengabdikan dirinya kepada yang
selain Allah. JAdi org musyrik itu ialah mereka yg mempersekutukan
Allah baik dalam bentuk I’ tikad (kepercayaan), ucapan mahupun dalam
bentuk amal perbuatan. Mereka (org musyrik) menjadikan mahkluk yang
diciptakan Allah ini baik yang berupa benda mahupun manusia sebagai
Tuhan dan menjadikan sebagai An dad, Alihah, Thoughut dan Arbab…..
1. Alihah ialah suatu kepercayaan terhadap benda dan binatang yang
menurut
keyakinannya dapat memberikan manfaat serta dapat menolak bahaya.
Misalnya kita
memakai cincin merah delima, dan kita yakin bahawa dengan
memakainya dapat
menghindarkan bahaya. Adapun kepercayaan memelihara burung
Terkukur dapat
memberikan kemajuan dalam bidang perniagaannya. Dan itulah
dinamakan Alihah,
yakni menyekutukan Allah dengan binatang dan benda (Kepada
Makhluk).
2. Andad, sesuatu perkara yang dicintai dan dihormati melebihi daripada
cintanya
kepada Allah, sehingga dapat memalingkan seseorang dari
melaksanakan ketaatan
terhadap Allah dan RasulNya. Misalnya saja seorang yang senang
mencintai kepada
benda, keluarga, rumah dan sebagainya, dimana cintanya melebihi cintai
terhadap
Allah dan RasulNya, sehingga mereka melalaikan dalam melaksanakan
kewajiban
agama,karena terlalu cintanya terhadap benda tersebut (makhluk
tersebut).
3. Thoghut ialah orang yang ditakuti dan ditaati seperti takut kepada
Allah, bahkan
melebihi rasa takut dan taatnya kepada Allah, walaupun keinginan dan
perintahnya
itu harus berbuat derhaka kepadaNya.
4. Arbab, ialah para pemuka agama (ulama,ustad) yang suka
memberikan fatwa, nasihat
yang menyalahi ketentuan (perintah dan Larangan) Allah dan RasulNya,
kemudian
ditaati oleh para pengikutnya tanpa diteliti dulu seperti mentaati
terhadap Allah
dan RasulNya. Para pemuka agama itu telah menjadikan dirinya dan
dijadikan para
pengikutnya Arbab (Tuhan selain Allah).
Bentuk musyrik ini menyesatkan terhadap perilaku manusia. Dan dengan
memiliki aqidah seperti itu dapat menghilangkan Keimanan.
Published with Blogger-droid v2.0.2

Definisi Kafir

Kafir berasal dari bahasa Arab yang artinya menutupi sesuatu, atau
menyembunyikan kebaikan yang telah diterima atau tidak berterima kasih.
Bentuk jamak dari kafir adalah kafirun atau kuffar . Dalam al- Quran, kata kafir
dengan berbagai bentuk kata jadinya disebut sebanyak 525 kali.
Kata kafir digunakan dalam Al-Quran berkaitan dengan perbuatan yang
berhubungan dengan Tuhan, seperti :
mengingkari nikmat-nikmat Tuhan dan tidak berterima kasih kepada-Nya (QS .16:55, QS. 30:34),
lari dari tanggung jawab ( QS.14:22),
menolak hukum Allah (QS . 5;44),
meninggalkan amal soleh yang diperintahkan Allah (QS. 30:44 ).
Namun yang paling dominan, kata kafir digunakan dalam al-Quran adalah kata
kafir yang mempunyai arti pendustaan atau pengingkaran terhadap Allah Swt
dan Rasul-RasulNya, khususnya nabi Muhammad dan ajaran- ajaran yang
dibawanya.
Ditinjau dari segi bahasa, kata kafir tidak selamanya berarti non- muslim, karena
ada penggunaan kata kafir atau pecahan dari kata kafir seperti kufur, yang
bermakna inkar saja, tidak sampai mengeluarkan seseorang dari keislaman.
Contohnya kufur nikmat , yaitu orang yang tidak pandai/mensyukuri nikmat
Tuhan, atau dalam istilah lain disebut sebagai kufrun duna kufrin (kekufuran yang
tidak sampai membawa pelakunya kafir/keluar dari islam).
Secara istilah, kafir adalah orang yang menentang, menolak, kebenaran dari Allah
Swt yang di sampaikan oleh RasulNya. Atau secara singkat kafir adalah kebalikan
dari iman. Dilihat dari istilah, bisa dikatakan bahwa kafir sama dengan non-
muslim. Yaitu orang yang tidak mengimani Allah dan rasul-rasul -Nya serta
ajarannya.
Banyak Muslim yang mengatakan bahwa kata kafir tidak menghina, hanya
sekedar bentuk pembedaan dari kaum Muslim. Betulkah ?
Quran 98:6, Sesungguhnya orang -orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk)
ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk .
Anda tidak merasa terhina dicap sebagai seburuk-buruk mahluk alias mahluk
yang paling buruk? Baca dibawah ini seterusnya.
[ Faithfreedom ]
Menurut buku diatas, inilah 6 "DOKTRIN" yg perlu dilaksanakan para muallaf
(Muslim yg baru masuk Islam)supaya semakin ISLAMI
1. Penetapan kekufuran Yahudi dan Nashrani serta Bantahan terhadap Orang-
Orang yang Berpandangan, "Tidak Boleh Mengkafirkan Mereka" (atau Tidak
Boleh Menganggap Mereka Kafir)
2. Orang kafir bukan saudara bagi orang islam
3. Sedekah kepada Non-Muslim
4. Memperingati Hari-Hari Libur Yahudi dan Nashrani Tidak Boleh
5. Hukum Salam kepada Orang- Orang Kafir
6. Hukum Bercampur baur dengan Kafir
Cuplikan halaman 101 : Penetapan kekufuran Yahudi dan Nashrani serta
Bantahan terhadap Orang-Orang yang Berpandangan, "Tidak Boleh
Mengkafirkan Mereka"
Pertanyaan:
Di salah satu masjid di Eropa, ada salah seorang pemberi nasihat yang
memandang bahwa tidak boleh mengkafirkan Yahudi dan Nashrani.
Sebagaimana Syaikh ketahui, sebagian besar orang yang mendatangi masjid-
masjid di Eropa masih sangat sedikit ilmunya. Maka dikhawatirkan hal semacam
ini akan menyebar. Karenanya kami mengharap penjelasan untuk meluruskan
masalah ini.
Jawaban:
Saya katakan, "Perkataan yang keluar dari orang semacam ini adalah sesat, dan
bahkan bisa menjadi sebab kekafiran. ... Allah menjelaskan dalam ayat-ayat lain
secara lebih jelas tentang kekufuran mereka,
"Sungguh telah kafir orang -orang yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allah adalah salah satu dari yang
tiga.'" (QS.Al -Maidah:17)
"Sungguh telah kafir orang -orang yang mengatakan, "Allah adalah Al-Masih putra Maryam. " (QS.Al-
Maidah:73)
"Dilaknat orang-orang kafir dari bani Israil dengan lisan Daud dan putra Maryam." ( QS. Al-
Maidah: 78}
"Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang- orang musyrik berada di Neraka Jahannam.
Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. " (QS. Al-Bayyinah : 6)
Ayat- ayat dan hadis-hadis dalam masalah ini banyak sekali. Maka barangsiapa
yang mengingkari kekufuran Yahudi dan Nashrani, yang tidak mengimani
Muhammad & dan mendustakannya, maka ia telah mendustakan Allah.
Mendustakan Allah adalah kafir. Barangsiapa yang ragu-ragu akan kekufuran
mereka, maka tidak diragukan lagi ia telah kafir. Subhanallah!!
Syaikh Ibnu Utsaimin , Fatawa Islamiyyah, 1/87
Hlm : 118 Orang kafir bukan saudara bagi orang islam
Pertanyaan:
Saya tinggal di suatu daerah yang mayoritas penduduknya adalah saudara-
saudara Nashrani. Kami makan dan minum bersama dengan sebagian mereka,
maka apakah shalat saya batal? Apakah keberadaan saya bersama mereka
dilarang?
Jawaban:
Sebelum menjawab pertanyaan anda, saya ingin menyebutkan satu peringatan
dan saya berharap apa yang keluar dari lisan anda tidaklah disengaja, yaitu ketika
anda berkata, "Saya tinggal bersama saudara- saudara Nashrani." Karena tidak
ada persaudaraan antara kaum muslimin dan kaum Nashrani selamanya.
Persaudaraan adalah karena iman.
Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (QS.
Al- Hujurat: 10)
Jika kekerabatan nasab menjadi hilang karena perbedaan agama, bagaimana
mungkin anda menetapkan persaudaraan dengan orang-orang yang berlainan
agama dan tidak ada hubungan famili?
Tidak ada persaudaraan antara mukmin dan kafir, selamanya. Wajib bagi
mukmin untuk tidak menjadikan orang kafir sebagai teman setia.
Allah berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu mengambil musuh -Ku dan musuhmu menjadi teman-
teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih
sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu." (QS. Al-
Mumtahanah:1)
Siapakah musuh-musuh Allah? Musuh-musuh Allah adalah orang-orang
kafir. Allah berfirman,
"Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya , rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail,
maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir." ( QS. Al-Baqarah: 98 )
"Hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa
di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al-
Maidah:51)
Tidak halal bagi seorang muslim untuk mensifati orang kafir- apapun jenis
kekufurannya; Nashrani, Yahudi, Majusi ataupun ateis- dengan sifat "saudara",
selamanya. Hati-hatilah dengan ungkapan seperti ini, wahai saudaraku!!!
Adapun jawaban tentang pertanyaan anda, maka saya katakan bahwa
seyogyanya anda menjauh dari bercampur baur dengan non muslim, Karena
bercampur baur dengan mereka akan meng- hilangkan semangat keagamaan
dari dalam diri anda dan mungkin bisa menyebabkan anda mencintai mereka.
Pertanyaan :
Salah seorang nasrani tingal bersamaku dan berkata "Wahai saudaraku,kita
adalah bersaudara ." Dia makan dan minum bersama kami, maka apakah sikap
ini dibolehkan atau tidak?
Jawaban:
Orang kafir bukanlah saudara bagi orang Islam. Allah berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (QS. Al -Hujurat: 10)
Nabi bersabda, "Orang Islam adalah saudara bagi orang Islam lainnya." (HR.
Bukhari Muslim)
Orang kafir -Yahudi , Nashrani, Majusi, Komunis dan yang lainnya- bukanlah
saudara bagi orang Islam. Karena itu tidak boleh menjadikannya sebagai teman
atau sahabat. Tetapi jika makan bersamanya kadang-kadang dengan tidak
menjadikannya teman atau sahabat, seperti di resepsi umum, maka hal itu
tidaklah mengapa. Namun jika sampai menjadikannya sahabat, teman duduk
atau teman makan, maka hal ini tidak boleh. Karena Allah telah memutus
perwalian dan persahabatan antara kaum muslimin dan kaum kafirin.
Allah berfirman,
"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama
dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu
dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara
kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah
saja." (QS.Al-Mumtahanah :4)
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul- Nya, sekalipun orang-orang
itu bapak-bapak, atau anak -anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka ." (QS. Al-
Mujadaiah: 22)
Syaikh Muhammad bin Utsaimin , Fatawa islamiyyah, 1/123
Hlm : 136 Sedekah kepada Non-Muslim
Pertanyaan:
Apakah boleh bersedekah kepada non muslim?
Jawaban:
TIDAK BOLEH memberikan zakat kepada orang kafir. Dan makruh hukumnya
memberikan sedekah sunnah kepada non muslim. Karena hal itu akan
membantu di dalam kekufuran mereka.
Allah berfirman,
"Dan janganlah kamu saling tolong-menolong di dalam dosa dan permusuhan. '" (QS. Al- Maidah: 2)
Tetapi jika diharapkan ia masuk Islam, maka hal itu dibolehkan, agar lebih
memotivasinya masuk Islam. Dan jika dikhawatirkan mati kelaparan bila tidak
dibantu, maka boleh menyelamatkannya dari kernatian, sehingga dia mengetahui
kebaikan- kebaikan Islam.
Syaikh Abdullah bin Jibrin - hfizhahullah, Fatawa - Islamiyah, 1/125
Hlm : 137 Memperingati Hari-Hari Libur Yahudi dan Nashrani Tidak Boleh
Pertanyaan:
Sebagian kaum muslimin memperingati hari- hari libur Yahudi dan Nashrani.
Sehingga ketika tiba hari raya Yahudi dan Nashrani mereka meliburkan sekolah-
sekolah Islam karena bertepatan dengan hari raya mereka. Tetapi jika datang
hari raya Islam mereka, tidak meliburkan sekolah- sekolah Islam dan
mengatakan, "Sesungguhnya memperingati hari- hari libur Yahudi dan Nasrani
adalah sebagai upaya agar mereka masuk agama Islam". Kami mengharapkan
penjelasan hukum tsb.
Jawaban:
1) Yang sunnah adalah menampakkan syiar agama Islam di antara kaum
muslimin dan meninggalkan apa yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah .
Beliau bersabda, "Wajib atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah
Khulafaur Rasyidin yang telah mendapat petunjuk. " (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan
Ibnu Majah)
2) Orang Islam tidak boleh bergabung dengan orang-orang kafir di dalam hari-
hari raya mereka, tidak boleh menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan
dalam kesempatan tersebut, atau meliburkan pekerjaan, baik urusan agama atau
dunia. Karena hal itu merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (penyerupaan)
dengan musuh-musuh Allah yang diharamkan.
Rasulullah bersabda,
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka." (HR. Ahamd dan Abu Daud)
Kami nasihatkan anda untuk merujuk kitab "Iqtidha'us Shirathal Mustaqim" karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Kitab tersebut sangat ber-manfaat dalam
penjelasan tentang babini.
Lajnah Da'imah, Fatawa Islamiyah, 1/120
Hlm :130 Hukum Salam kepada Orang- Orang Kafir
Pertanyaan: Dengan apa kita menjawab orang-orang kafir yang mengucapkan
salam kepada kita?
Jawaban: Rasulullah & bersabda,
"Jangan kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani. Apabila kalian bertemu dengan
mereka di jalan, maka desaklah mereka sampai ke tempat yang sempit" (HR. Muslim)
Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Shahih- nya, Rasulullah bersabda,
"Jika ahlul kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka ucapkanlah , 'Wa'alaikum'" ( Muttafaq Alaih)
Ahlul kitab adalah Yahudi dan Nashrani. Hukum golongan-golongan kafir lainnya
dalam perkara ini adalah sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nashrani. Karena
tidak adanya dalil tentang golongan-golongan lain, sepanjang yang kami ketahui.
Kita tidak boleh memulai mengucapkan salam kepada orang kafir secara mutlak.
Ketika dia mulai mengucapkan salam, maka kita wajib menjawabnya dengan
ucapan 'Wa'alaikum', sebagaimana perintah Rasulullah.
Hlm :123 Hukum Bercampur baur dengan Orang Kafir
Pertanyaan:
Apa hukum bercampur baur dan bergaul dengan orang-orang kafir dengan
ramah dan lemah lembut, karena kita berharap agar dia masuk Islam?
Jawaban:
Tidak diragukan lagi, bahwa seorang muslim wajib membenci musuh- musuh
Allah dan berlepas diri dari mereka. Inilah jalan yang ditempuh para Rasul dan
pengikut mereka.
Allah berfirman,
"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama
dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu
dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara
kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah
saja." (QS. Al- Mumtahanah: 4)
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul- Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak- anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka." (QS. Al -Mujadaiah: 22)
Karena itu, tidaklah halal bagi seorang muslim jika di hatinya terdapat rasa cinta
dan kasih sayang kepada musuh-musuh Allah. Mereka adalah musuh Allah di
dalam realita.
Allah berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang;
padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..." (QS. Al-
Mumtahanah: 1)
Adapun jika seorang muslim bergaul dengan mereka secara ramah dan lemah
lembut, karena berharap agar mereka masuk Islam dan beriman, maka
tidaklah mengapa. Karena hal itu termasuk mendekatkannya kepada Islam. Akan
tetapi, apabila tidak bisa diharapkan masuk Islam maka berikanlah hak- hak
pergaulan yang menjadi hak mereka.
Masalah ini dibahas secara rinci di dalam kitab-kitab para ulama, terutama di
dalam kitab Ahkamu Ahlidz Dzimmah karya Ibnul Qayyim.
Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Lil Musafirin Wal Mughtaribin
Published with Blogger-droid v2.0.2

Musyrik Dan Ciri-ciri Orang Musyrik

Sejak kecil kita tentu pernah
mengaji dan atau tiap Muhamaram di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, kita
tentu pernah mendengar kisah perjuangan Rasulullah Saw dalam menegakkan
kalimat tauhid dan menghadapi ancaman serta perlawanan keras dari kaum kafir
Quraiys. Kaum Quraiys ini juga sering disebut sebagai Musyrikin Quraiys.
Definisi “Musyrik” sangatlah simpel, yakni menyekutukan Allah Swt dengan apa
pun. Musyrik secara literer merupakan antitesa dari “Tauhid ” yang memiliki arti:
Mengesakan Allah Swt. Dan “Orang- Orang Musyrik” adalah mereka yang
menyekutukan Allah Swt. Banyak sekali ayat Al- Qur’an Nur Kaiem yang
menyatakan hal itu. Saya yakin, Anda pun sesungguhnya telah mengetahuinya.
Namun, berhubung Anda bertanya di dalam rubrik ini, maka saya berhuznudhon
jika yang Anda maksud adalah “Definisi Musyrik di Dalam Dunia Kontemporer”, di
mana seringkali orang menyatakan jika di dunia kita sekarang ini, antara
kebenaran dengan kejahatan, antara al-haq dengan al-bathil , bahkan antara
ketauhidan dengan kemusyrikan, banyak wilayah abu-abu. Saya tidak sepandapat
dengan pandangan seperti itu. Islam adalah agama yang sederhana, jelas, dan
tegas. Sebagai agama yang dijamin Allah Swt sebagai agama yang paripurna, yang
paling sempurna, dan terjaga hingga akhir zaman maka Islam sangat terang
benderang. Tidak ada wilayah abu-abu sedikit pun dalam Islam. Dan
seharusnyalah, sebagai orang yang bersyahadat, kita juga tidak pernah ragu-ragu
dalam menjalankan agama Allah Swt ini.
Kehidupan dunia adalah medan peperangan antara Pasukan Allah Swt melawan
pasukan Iblis dan Dajjal. Sebuah peperangan antara para penyeru ketauhidan
melawan penyeru kemusyrikan. Dan kian berkembangnya usia dunia, maka
berkembang pula siasat, taktik, dan strategi kaum pengikut Iblis dan Dajjal untuk
menyesatkan umat manusia dari jalan lurus ketauhidan. Taktik dan srategi
mereka, manipulasi mereka, seakan kian maju dan kian canggih. Padahal
sebenarnya, bagi seorang Muslim yang selalu awas, hal itu bukan halangan yang
berarti.
Sejak dahulu hingga sekarang, kitab suci al-Qur ’an pun telah berkali-kali
memperingatkan, jika Yahudi merupakan musuh terbesar umat manusia. Allah
Swt telah memberi mereka berbagai label yang mencirikan sifat-sifat dasar
mereka, dari panggilan sebagai Kaum Kera dan Babi, hingga kaum yang fasik, suka
berdusta, gemar memutar- mutar lidah mempermainkan ayat-ayat Allah, sering
memberi kesaksian palsu, dan sebagainya.
Adalah kenyataan sejarah, jika kemudian orang-orang Yahudi ini tumbuh menjadi
satu bangsa yang sangat kuat dan berpengaruh di dunia sekarang. Mereka
menguasai jaringan media massa dunia, perbankan, militer, dan sebagainya.
Mereka juga menciptakan berbagai ideologi yang memecah-belah umat manusia
dari ketauhidan, antara lain Nasionalisme, Kapitalisme, Komunisme, dan lain- lain.
Demokrasi pun dibuat oleh mereka.
Ada kesadaran yang salah selama ini tentang demokrasi. Banyak kalangan
menyebut bahwa sistem pemerintahan buatan manusia ini berasal dari ajaran
Plato, seorang filsuf Yunani, yang tertuang dalam bukunya “La Republica”. Mereka
juga menganggap jika sistem pemerintahan Amerika Serikat sekarang, yang
disebut sebagai Panglima Demokrasi Dunia, mengadopsi demokrasi- nya Plato. Ini
salah besar! Sistem demokrasi sesungguhnya berasal dari Bani Israel, tatkala
mereka, 12 suku, mendiami wilayah Palestina setelah keluar dari Mesir. Bani
Israel telah menjalankan praktek ini berabad- abad sebelum Plato lahir.
Sejarahnya sangat panjang, antara lain bisa kita baca dalam penelitian Max I.
Dimont yang berjudul “Sejarah Yahudi”. Sistem demokrasi di Indonesia sekaran
pun, yang mengadopsi sistem demokrasi Amerika, juga berasal dari “Sunnah
Yahudi”.
Islam tidak mengenal demokrasi. Islam mengenal Syuro. Ini sangat berbeda
secara prinsipil. Dalam Demokrasi, “Suara seorang pelacur dianggap sama dengan
suara seorang Ustadz, masing- masing hanya dihitung satu suara”. Sedangkan
dalam Syuro, hal ini tentu tidak akan ditemui. Inilah yang dikerjakan bangsa
Indonesia sekarang, sehingga negara ini sampai 64 tahun setelah proklamasi
kemerdekaan, bukan malah membaik malah kian hancur tak keruan.
Demokrasi merupakan salah satu tools kaum musyrik untuk memalingkan umat
manusia dari petunjuk Allah Swt. Demokrasi inilah yang kemudian berhasil
menjadikan orang-orang yang tadinya shaleh, orang-orang yang tadinya sepenuh
hati memperjuangkan agama Allah Swt, orang-orang yang tadinya begitu berani
menyuarakan al- haq dan menentang al- bathil dihadapan penguasa sekali pun,
berubah menjadi orang-orang yang kelu lidahnya menyuarakan al- haq, menjadi
orang-orang yang malu dengan perjuangan Islam, menjadi orang-orang yang
membela kebathilan dan menyimpan al- haq rapat-rapat di dalam hatinya.
Demokrasi inilah yang telah mengubah orang yang tadinya kita kenal dengan
sangat baik, menjadi orang yang asing dan ‘aneh’ . Demokrasi inilah yang bisa
mengubah seorang yang sebenarnya faqih dalam ilmu ilmu agama, namun bisa-
bisanya menyepelekan perintah wajib menutup aurat para perempuan dengan
menyebut hal itu hanya sebagai “persoalan selembar kain” saja. Banyak yang
seperti ini sekarang. Bahkan ada yang tanpa malu menyatakan orang yang
memilih tidak ikut proses sunnah-Yahudi ini sebagai orang-orang yang mubazir
dan saudaranya setan.
Ini mengingatkan saya pada firman- firman Alah Swt, yang antara lain:
“Dan janganlah kamu campuradukan kebenaran dengan kebathilan dan
(janganlah) kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya” Al
Baqoroh : 42.
“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman mereka berkata ‘kami
telah beriman’ tetapi apabila mereka kembali kepada setan – setan (para
pemimpin) mereka, mereka berkata “sesungguhnya kami bersama kamu, kami
hanya berolok – olok” Al Baqoroh : 14
“Dan apabila dikatakan kepada mereka jangan berbuat kerusakan di muka bumi,
mereka menjawab ‘sesungguhnya kami justru orang – orang yang berbuat
kebaikan’. Ingatlah sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan tetapi
mereka tidak menyadari” Al Baqoroh : 11 -12
“Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka perdagangan
mereka itu tidak beruntung dan mereka tidak mendapat petunjuk” Al Baqoroh :
16
Padahal, ancaman Allah Swt terhadap orang-orang fasik sungguh tidak main-
main:
“Katakanlah (Muhammad ) “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang
yang lebih buruk pembalasannya dari orang fasik di sisi Allah? Yaitu orang- orang
yang di laknat dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan
babi dan (orang yang) menyembah thagut. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan
lebih tersesat dari jalan yang lurus” Al Maidah : 60
“Dan bacakanlah (Muhammad) kepada mereka, berita orang yang telah Kami
berikan ayat – ayat Kami kepadanya, kemudian dia melepaskan diri dari ayat –
ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan, maka jadilah dia termasuk orang – orang yang
tersesat. Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya kami tinggikan derajatnya
dengan (ayat – ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti
keinginannya yang rendah, maka perumpamaan mereka seperti anjing. Jika kamu
menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia tetap
menjulurkan lidahnya juga. Demikianlah perumpamaan orang – orang yang
mendustakan ayat – ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah – kisah itu agar mereka
berpikir” Al A’raf : 175 – 176.
Seorang Muslim seharusnya hanya tunduk pada Allah Swt dan Rasul-Nya .
Sedangkan terhadap manusia lainnya, apakah dia menyandang gelar doktor, atau
apa pun, selama dia menyeru pada ketauhidan maka ikutilah, namun jika dia
sudah mulai “aneh- aneh”, maka ingatkanlah. Jika sudah diingatkan ternyata masih
“Aneh”, maka tinggalkanlah. Inilah sebenar-benarnya tauhid.
Dalam zaman seperti sekarang, bertahan pada jalan ketauhidan memang jauh
dari hingar-bingar duniawi. Tauhid adalah jalan para Nabi Allah yang sunyi dan
banyak cobaan. Sebab itu, tidak banyak yang bisa bertahan meniti jalan ini dan
akhirnya tergoda pada kelezatan duniawi, salah satunya yang bernama
“Kekuasaan”. Semoga kita bukan termasuk orang-orang seperti ini. Amien Ya
Rabb al amien. Wallahu’alam bishawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Published with Blogger-droid v2.0.2

Syahwat, Hati, dan Otak

Syahwat itu letaknya di Perut dan di bawah Perut. Sedangkan Otak letaknya di
kepala, dan Hati letaknya di antara Otak dan Syahwat.
Di sinilah pentingnya peran hati, ia berada di tengah-tengah antara Otak dan
Syahwat, sehingga Hati berperan sebagai penyeimbang antara Otak dan
Syahwat. Dan Otak di simpen di atas itu biar bisa memimpin Syahwat yang
sukanya berproyeksi kemana-mana . Jadi, Otak berpikir bukan berdasarkan
kehendak syahwat, melainkan syahwat aktif berdasarkan kehendak dari sang
Otak yang sudah dibersihkan dalam ruku' dan sujud- sujud yang panjang.
Kenapa perlu ruku' dan sujud? Ketahuilah bahwa sejatinya Imam utama itu
adalah Hati, yang diwakili oleh kinerja Qolbu dan Fuad. Dan Hati yang baik itu
berimam kepada Ruh dan Wahyu dari Allah SWT. Ketika kita Ruku' maka
Syahwat, Hati, dan Otak berada dalam posisi SEJAJAR, sehingga saat itulah terjadi
proses BALANCING di kehidupan kita. Dan ketika bersujud, maka Otak yang
biasanya berada di atas tengah "mentawadhukan" dirinya sepenuhnya kepada
Allah untuk rela berada di bawah menempel dengan bumi, sehingga Sang
Syahwat (Perut, Kelamin, dan Pantat) lah yang berada di atas ketika kita sedang
bersujud, sedangkan Hati sebagai pusat Thowaf tetap berada di tengah menjadi
penengah yang bijak.
... ....
... ...
Itu sebabnya kita tidak boleh meremehkan RUKU dan SUJUD ini. Bahkan
Rasulullah saw pernah bersabda, “Pencuri yang paling buruk adalah yg mencuri
dalam shalatnya.”Para sahabat bertanya apakah yg dimaksud dgn mencuri
dalam shalat. Dijawabnya, “Yaitu orang yang tdk menyempurnakan ruku dan
sujud dalam shalatnya.” (HR.adDarami– atTarghib)
Artinya kita tidak boleh juga menjadi orang yang ANTI SYAHWAT dan mendewa-
dewakan logika. Termasuk juga tidaklah boleh kita mendewa- dewa kan Hati,
semua ada TAKARANNYA. Misalkan, mentang-mentang merasa dekat kepada
Allah lalu kita pun jadi tidak hobi lagi berhubungan sex dengan istri dan kita pun
menjadi pecandu puasa yang ekstrim. Mentang-mentang dekat kepada Allah
maka kita pun menjadi malas mencari ilmu dan dunia. Ingatlah, ada saatnya kita
pakai logika dan ada saatnya kita menggunakan syahwat, dan yang terpenting
adalah : HATI tetap di tengah menjaga keseimbangan hidup kita. Dengan
demikian, jadikanlah hati sebagai pusat rasa kita ketika kita beribadah kepada
Allah SWT dan di saat kita menjalani hidup yang fana ini.
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai HATI, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat- ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (di kepala mereka
yang bersinergi dengan otak, tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda- tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (di kepala
mereka yang bersinergi dengan otak, tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat- ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak (yang hampir
selalu berorientasi pada syahwat), bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai." (Q.S . 7 : 179)

Published with Blogger-droid v2.0.2

DUREN, dalam Ma'rifat, Hakikat, Syari'at, dan Thoriqot

Apa yang Anda bayangkan ketika seseorang menyebutkan nama Duren
atau Durian? (bukan Duren si Duda Keren ya.. .) ^_^
Ya, ketika kita denger Duren.. .. Hmmm... yummii.. . Apalagi Kalau orang tersebut
menawarkannya kepada Anda ... Free... makan sekenyangnya... waw.. tentu saja,
bagi Anda penggemar Duren sejati pasti langsung happy... atau bahkan bersujud
syukur kepadaNya.. .
Sekarang, Mari kita belajar dari Sang Duren.. ..
Kadang kalau diperhatikan, kita bisa belajar beragama Islam dengan benar dari
Karakter Duren tersebut. Sebelumnya mari kita kenali bahwa setidaknya ada
Empat Unsur Karakter pada Buah Duren...
1. Kulit Duren
2. Isi (Daging) Duren
3. Rasa Duren
4. Biji Duren
Kalau kita perhatikan, ternyata hari ini ada orang yang beragama Islam lalu
mereka hanya disibukkan mensyiarkan bahwa "Kulit Duren" itu harus
"ditegakkan". Mereka telah mengesankan bahwa Islam itu tajam, seram, dan
menakutkan seperti "Kulit Duren". Dengan kata lain, mereka sibuk
mempopulerkan bahwa Islam itu ibarat "Kulit Duren". Dan inilah golongan
orang-orang yang Menegakkan Islam di titik SYARIATnya saja, hukum- hukum
lahiriah saja.. .
Tapi di sisi lain, banyak juga orang yang berusaha mempopulerkan "Isi
Duren"nya, yakni sang buah duren yang berada di dalam kulit Duren tersebut.
Yap, Dagingnya!!! . Mereka berpandangan yang penting Daging Durennya. Buat
apa sibuk mempopulerkan/mensyiarkan Kulit Duren kalau toh ternyata Duren
tersebut tidak ada isi(daging )nya.. . waah pasti banyak yang kecewa. Nah, iniliah
golongan orang-orang yang hanya berkutat di titik HAKIKAT lalu ia meremehkan
SYARIAT. Bagi mereka "Yang penting isinya Bung !!! " Padahal, kalau kita ditanya,
apakah kita mau memetik Duren dari Pohon apabila Duren itu tidak berkulit?
Dan di sisi lain, ada juga yang terlalu fokus kepada “Rasa Duren” tersebut. Bagi
mereka, buat apa sibuk mikirin Kulit dan Isi Duren kalaulah ketika kita memakan
Buah Duren tersebut tetapi Rasa kita masih ingat kepada buah Jeruk atau
Lainnya. Sehingga, bagi mereka, yang terpenting adalah “Rasa Duren” tersebut.
Itu sebabnya kadang mereka meremehkan orang yang sibuk menikmati syariat
dan hakikat dari keberagamaan seseorang. Inilah orang yang "sukses" di titik
MA'RIFAT (kenal rasa) tapi kurang pas di titik-titik keberagamaan lainnya. Ma’rifat
itu artinya “Kenal”. Dia Mengenali Rasa Beragama tapi ia sendiri tidak menjalani
agama itu.
Nah, sahabat Duren Semesta, tentu saja Duren terbaik adalah Duren yang
RASAnya ENAK, ISInya AMPEG (Lebih besar Dagingnya dibandingkan Bijinya), dan
KULITnya kuat melindungi. Sebab Kualitas RASA juga sangat tergantung dari
Kualitas DAGING dan KULIT Duren tersebut.
Maka tidak indah jika kita hanya sibuk di tataran syariat tapi lupa "olah rasa", atau
kita sibuk di tataran Hakikat tapi lupa terhadap syariat, atau kita sibuk di tataran
Ma'rifat tapi kita meremehkan hakikat dan syariat, sebab jika demikian, maka kita
pun tidak TOTAL dalam "Mengenal Sang Duren".
Sehingga, yang terbaik adalal Ma'rifatud Duren secara TOTAL... baik dari sisi Kulit
(Syariat ), Bentuk Dagingnya (Hakikat), dan Rasanya (Ma'rifat ).. . nah setelah kita
“Mengenal Karakter Duren” secara total (atas petunjuk Allah SWT via Al- Quran
dan Sunnah) maka kita layak mempopulerkan Duren itu secara UTUH dan
mensyiarkannya ke semesta dengan cara menanam BIJI duren tersebut di kebun
kita dan di kebun-kebun saudara kita ...
ya hidup ini seperti berkebun ya sahabat ^_^
Lalu bagaimana dengan Thoriqot? Thoriqot itu berasal dari Kata Thoriq yang
berarti Jalan/Cara . Jadi, sebenarnya banyak CARA untuk mendapatkan DUREN itu
secara UTUH. Maka pilihlah CARA yang sesuai petunjuk Rosulullah saw, agar
Anda tidak hanya menikmati "DUREN" di kulitnya saja, atau di dagingnya saja,
atau di rasanya saja. Carilah Thoriqot yang KAAFFAAH/SYAMIL /MENYELURUH
/TOTAL/KONPREHENSIF.
Artinya, jika Anda ingin bergabung dengan THORIQOT tertentu silakan saja,
setelah Anda yakin bahwa itu THORIQOT yang SYAMIL. Hanya saja, Anda tidak
boleh menganggap bahwa orang-orang di luar Thoriqot Anda masih berada di
jalan kesesatan, kecuali terhadap orang-orang yang sudah jelas- jelas mengingkari
Al-Quran dan Sunnah. Sehingga, sekecil apapun kesombongan hadir dalam diri
orang yang berthoriqot, maka akan membuat ia semakin jauh dari SHIROOTHOL
MUSTAQIIM.. ..Jalan yang LURUS.. .
Artinya, jangan pernah merasa telah menemukan dan merasakan Duren
Terbaik , lalu meremehkan Buah Duren yang tengah dinikmati oleh saudara-
saudara kita, sebab, bukankah sebenarnya kita tengah menikmati DUREN yang
SAMA?

Sumber: http:/ /cahaya- semesta.com

Published with Blogger-droid v2.0.2

Antara Syari’at, Tarekat, Hakikat-Ma’rifat

Barangsiapa mengambil syari’at belaka tanpa hakikat, maka ia fasik; dan
barangsiapa mengambil hakikat belaka tanpa syari’at , maka ia kafir zindik.
– Imam al- Ghazali
Alkisah, ketika jasad manusia pertama diciptakan oleh Tuhan dengan kedua
tangan-Nya , ia bukan apa-apa. Setan yang telah lebih dulu eksis memeriksa isi
jasad makhluk baru yang kelak dinamakan Adam. “Kosong,” kata Setan,
“hanya tanah liat dengan rongga- rongga, gumpalan-gumpalan , cairan kental
dan tulang- tulang kokoh.” Tetapi lalu Tuhan meniupkan Ruh- Nya ke jasad itu
—dan hiduplah ia. Lantas diajarilah Adam “nama- nama segala hal” (Q. S.
2:31 ), dan sujudlah segala malaikat kepadanya atas perintah Tuhan, kecuali,
tentu saja, Iblis.
Manusia pertama-tama mengenal dirinya sendiri melalui narasi, kisah,
dongeng. Melalui “nama- nama segala hal”, Adam mengenal dirinya,
mengenal dunianya. Kita bisa berimajinasi banyak hal tentang apakah yang
diajarkan oleh Tuhan dalam “nama- nama segala hal” itu. Tetapi ada satu
pesan yang sangat jelas: melalui “nama- nama segala hal” itulah Adam
(manusia) ditempatkan lebih mulia ketimbang makhluk yang tak mengenal
“nama- nama segala hal” meski makhluk itu sesuci malaikat sekalipun! Karena
itulah manusia diangkat menjadi khalifah Allah di muka bumi — meskipun
pada mulanya ada keberatan dari para malaikat.
Nama-nama segala hal adalah kebenaran paripurna yang dipahami oleh
Adam. Ia berada di aras surgawi, ada dalam keabadian, atau, meminjam
istilah penyair dan mistikus besar Ibnu ‘Arabi, nama- nama segala hal berada
dalam a’yan tsabitah (entitas- entitas abadi dan lengkap dalam pengetahuan
Tuhan, yang bisa menjadi aktual tetapi juga bisa tidak). Saat Tuhan
menghendaki, maka ia akan maujud. Maka dari itu, entitas- entitas itu pada
hakikatnya adalah “kemungkinan mutlak”—kemungkinan yang senantiasa
hadir dalam kemutlakan Tuhan. Manusia, yang mewarisi “nama- nama segala
hal”, adalah salah satu manifestasi dari kemungkinan tersebut. Ini berarti
bahwa diri manusia beserta hakikatnya sendiri senantiasa hadir bersama
Tuhan, dan Tuhan senantiasa hadir dalam diri manusia, sebab ciptaan seisinya
adalah perwujudan dari “kemungkinan mutlak” dalam Diri Tuhan.
Implikasinya adalah: manusia menjadi “ahli waris” sifat-sifat Tuhan— karena
Tuhan Maha Mencipta, maka manusia juga mewarisi bakat untuk “mencipta”;
karena Tuhan adalah Maha Pengasih, maka manusia juga “memiliki” sifat
semacam ini, dan seterusnya—namun tentunya dalam kadar yang jauh lebih
kecil dan kurang sempurna.
Beberapa mistikus Islam mengatakan bahwa nama- nama segala hal adalah
Firman Tuhan; Firman atau “Kata” ilahi yang tak terpisah dari objek yang
dinamai. Segala pengetahuan berawal dari Firman—seperti dikatakan dalam
Perjanjian Baru: “Pada awalnya adalah Firman.” Dalam Al-Quran dinyatakan,
Tuhan berfirman “Kun! Fayakun (Jadilah! Maka terjadilah). ” “Kun” oleh para
mistikus Islam menjadi petunjuk penting untuk memahami penciptaan.
Kata Kun ditafsirkan bermacam- macam. Kerap dinyatakan bahwa dalam pra-
eksistensi (sebelum ciptaan terwujud—Peny .), nama dengan yang dinamai
bukanlah dua unsur yang terpisah— sebuah Firman, Kalam, yang “diucapkan”
Tuhan adalah keseluruhan eksistensial dari yang diacu oleh Kata tersebut.
Ketika Tuhan “berkata” petir maka kata itu adalah wujud petir itu sendiri,
dengan cahaya, ledakan, dan panasnya. Tetapi setelah manusia diturunkan ke
bumi, maka kata dipisahkan oleh Tuhan dari objek yang dikatakan.
Persoalannya sekarang adalah ketika “nama- nama segala hal” yang ada dalam
aras (tingkat) kekekalan itu diturunkan ke aras duniawi, ke aras manusia biasa
yang tak kekal (sebab manusia pasti mati di bumi), “nama- nama segala hal”
harus dikomunikasikan dengan cara yang sesuai dengan realitas bumi tempat
manusia berpijak. Dengan kata lain “nama” dengan “yang dinamai” terpaksa
“dipisahkan”, sebab dunia bukanlah sesuatu yang abadi, dan yang abadi tak
bisa ditampung oleh yang fana.
“Kata- kata,” yang membentuk “kalimat” yang bermakna, lantas menjadi
semacam label untuk objek yang diacu oleh kata itu. Maka ketika kita kini
menyebut angin, kata angin ini bukan hakikat angin itu sendiri, tetapi menjadi
semacam abstraksi dalam pikiran, dalam bayangan mental. Kata menjadi
sebentuk “syari’at ” yang memberikan informasi dari “hakikat” yang diacu kata-
kata.
Beberapa mistikus yang mendalami hakikat kata-kata— dengan metodenya
sendiri—berhasil “menyatukan kembali” kata (nama) dengan objek yang
dikatakan, menyatukan kembali “nama” dengan “yang dinamai”. Mereka yang
berhasil mencapai taraf itu dianggap mampu menciptakan sesuatu hanya
dengan kata. Kisah legenda Sunan Kalijaga yang mengubah tanah menjadi
emas hanya dengan mengucap adalah perlambang dari pandangan ini. Atau,
bisa dinyatakan bahwa “kata” dapat menimbulkan efek transformatif. Dengan
kata lain, kata “yang dihidupkan” menjadi sebentuk “jalan,” thariqah, yang
menghantarkan kita pada hakikat, haqiqah, dari apa-apa yang dirujuk oleh
kata itu.
Oleh karena itu, kata menjadi semacam kunci penting untuk membuka harta
karun pengetahuan “nama- nama segala hal” yang tersimpan utuh di dalam
aras keabadian. Barangkali inilah alasan Tuhan menganugerahi manusia
kemampuan untuk berkomunikasi, bercakap-cakap, menulis, dan menyatakan
pendapat melalui kata-kata. “Membaca” dalam pengertian yang paling luas,
adalah semacam anak tangga untuk menggapai “nama- nama segala hal.”
Dan karena “nama- nama segala hal” pada hakikatnya adalah pengetahuan
azali yang bersifat “mungkin secara mutlak”, maka manusia yang
mendapatkan sedikit saja dari kemungkinan itu bakal mendapatkan
pengetahuan yang mengandung kekuatan transformatif yang besar. Manusia
bisa mengoperasionalisasikan potensi kreatifnya melalui pengetahuan.
Dengan demikian, ringkasnya, secara teori, manusia yang terus membaca dan
menulis pengetahuan, akan lebih besar peluangnya mendapatkan sepercik
pengetahuan “nama- nama segala hal”, mendapatkan segala informasi yang
diperlukan. Dan ketika level yang harus dilewati ini sudah dikuasai, setelah ia
memahami “nama- nama segala hal”, maka pada titik tertentu ia akan
mengalami transformasi, dan pada gilirannya ia akan melampaui “nama-
nama segala hal”— yakni melampaui dunia kata-kata menuju ke dunia
penyaksian. Ia akan melampau level transformasi menuju afirmasi—yakni
pengetahuan tentang Tuhan yang hakiki. Inilah puncak pengetahuan, yakni
pengetahuan dari segala pengetahuan, atau inti/esensi dari segala
pengetahuan, atau dalam bahasa Sufi lebih dikenal sebagai haqiqah. Jadi,
demikianlah urutan suluk (perjalanan ruhani) manusia dalam ajaran Islam:
syari’ah (informasi), thariqah (transformasi) dan akhirnya haqiqah (afirmasi) .
Lalu Apakah haqiqah itu?
Esensi atau inti hakikat (haqiqah) akan terwujud ketika manusia memandang
dirinya bukan apa-apa, baik pada dirinya sendiri maupun dalam
pengetahuannya, kesadarannya, dan segenap sifat-sifatnya. Hanya syariat suci
dari para nabi dan rasul sajalah yang dapat selaras dengan realitas semacam
ini. Segala hal yang dibawa oleh nabi dan rasul mengandung kebenaran-
kebenaran tertentu yang dapat dijangkau akal, dan kebenaran-kebenaran lain
yang tak mungkin dijangkau dengan akal. Walau begitu, semua kebenaran ini
diakui oleh umat mukmin sebagai satu entitas tunggal, dan kesatuan
merekalah yang meniadakan segenap pemikiran dan pendapat manusia
(semata). Karena, kesatuan dari apa-apa yang dapat dimengerti dengan apa-
apa yang tak terjangkau akal manusia akan melahirkan realitas ketiga yakni
realitas yang tak dapat dimengerti (oleh akal pikiran) , tetapi sekaligus juga
tidak berada di luar pikiran, dan karenanya berada di luar kedua kategori ini;
karena bukan termasuk kategori- kategori ini, maka manusia, dengan
pengetahuan dan kesadarannya, bukanlah apa-apa di hadapan realitas ini.
Manusia (di dalam realitas ketiga ini) lalu menjadi seperti orang buta yang
ditunjuki jalan dan membiarkan dirinya dibimbing. Nah, begitulah hakikat itu.
—Ibnu Abbad Al-Rondi
Berdasarkan penjelasan yang menarik dari Ibnu Abbad itu, maka dapat
dikatakan, seperti ditulis oleh Mason (1995) , hakikat (haqiqat) adalah keadaan
di mana seseorang lebur di hadapan Dzat yang tak dapat diketahui, Dzat yang
tidak bisa dikenal, tak dapat dibayangkan, dan tak dapat diserupakan dengan
sesuatu. Untuk menjaga kemurnian iman terhadap keberadaan Dzat yang
nyata dan serba-meliputi (imanen ), namun sekaligus tak terbandingkan
(transendental), maka seseorang tidak boleh menyerupakan-Nya dengan
sesuatu yang lain. Kehadiran Dzat ini berada di luar keberadaan dan
jangkauan kemampuan pemahaman seluruh manusia, tetapi pada saat yang
sama keberadaan- Nya sangat dekat dengan keberadaan manusia. Di dalam
Al-Quran dinyatakan, “Dia lebih dekat ketimbang urat lehermu.” Dzat ini
membeda-bedakan sekaligus menyatukan segala sesuatu dalam realitas- Nya
yang tak dapat diketahui; dan karena itu Dia menjadi satu-satunya pusat dari
segala sesuatu. Dalam analisis terakhir, pandangan yang ekstrem ini akan
sampai pada konsep “kesatuan” antara Tuhan dan manusia—sebuah
keyakinan yang sulit dipahami karena dalam pandangan ini, jika dipahami
hanya dari perspektif tunggal, yakni perspektif lahiriah semata, maka akan
berisiko memunculkan pemahaman yang bisa memorak-porandakan sistem
ajaran Tauhid yang menyatakan adanya perbedaan antara Pencipta dan
ciptaan-Nya.
Dari sini muncul pertanyaan, apakah keyakinan “ekstrem” ini bisa dipahami?
Atau apakah “pengetahuan hakikat” semacam ini bisa dipahami? Apakah
kontroversi-kontroversi itu menunjukkan bahwa pengalaman semacam ini tak
lebih dari semacam “hipotesis”? Atau sekadar ilusi?
Menurut ajaran Sufi, hakikat adalah sebentuk pengetahuan pula yang bisa
diraih manusia. Karena ia adalah “pengetahuan untuk manusia” maka tentu
saja ia bisa dipahami. Tetapi pemahaman ini harus diletakkan pada level
hirarkis yang berbeda. Karena haqiqah berada pada level pengetahuan
tertinggi, maka seseorang tak bisa mencapainya dengan cara langsung
melompat ke level itu. Tentu saja ada pengecualian, seperti dalam kasus wali
jadzab (yang akan kami bahas lebih lanjut di bab tentang Wali Allah).
Hirarki itu, seperti telah dijelaskan di atas, adalah syari’ at, tarekat dan hakikat.
Dalam ajaran Islam, hal itu berhubungan langsung dengan tiga unsur utama
dalam agama Islam: Iman (percaya), Islam (pasrah) , dan Ihsan (kebajikan dan
penyaksian tertinggi). Dilihat dari perspektif ini, pertama-tama seseorang
harus percaya dan pasrah pada perintah dan tata- aturan Ilahi yang
diwartakan melalui Rasulullah Muhammad SAW. Itu berarti bahwa seseorang
harus merealisasikan premis dasar dari penciptaan dirinya: wa maa khalaqtul
jinna wal insana illa liya’budu (Aku tak ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menghambakan diri kepada- Ku: Q.S . adz-Dzariyat : 56). Dalam konteks ini
syariat adalah petunjuk awal untuk merealisasikan penghambaan dan tarekat
adalah proses realisasinya. Pada tingkat yang lebih tinggi, ayat itu juga
ditafsirkan sebagai perintah untuk mengenal (ma’rifat ) Allah: “Sesungguhnya
Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk ma’rifat kepada-
Nya” (tafsir Ibn Abbas). Karena Allah adalah al- Haqq (Kebenaran), maka
dibutuhkan keimanan dan tindakan yang benar untuk mencapai “Kebenaran
Tertinggi” (Haqiqah). Dalam praktiknya, seseorang harus melaksanakan semua
nilai kebenaran yang menyempurnakan, atau mengintensifkan dan
memperdalam aspek iman dan Islam melalui amal saleh (praktik ibadah yang
benar). Jadi, seseorang harus mengikatkan diri secara total kepada Kebenaran
dan kepatuhan (taat ) sepenuhnya pada Hukum Suci (syari’ at). Hal ini berarti,
di satu pihak, seseorang harus mengenal Kebenaran sepenuhnya (kaffah) , dan
di pihak lain mematuhi Hukum Suci dengan seluruh keberadaan kita. Jika
demikian halnya, seseorang harus beribadah dengan keyakinan mendalam
bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Benar secara Absolut al-Haqq ), Maha Tak
Terhingga (transenden) dan Maha Meliputi (imanen) . Karena Dia adalah Maha
Tak Terhingga dan Maha Meliputi, maka Dia niscaya “melihat” dengan
“Penglihatan” yang tak terhingga dan “Penglihatan” yang meliputi segala
sesuatu yang ada di seluruh semesta. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda:
“Beribadahlah engkau seolah- olah kamu melihat- Nya, dan jikalau engkau tak
melihatnya maka [ketahuilah] bahwa sesungguhnya Dia melihatmu.” Ini juga
adalah jawaban Rasulullah ketika beliau ditanya oleh Malaikat Jibril tentang
makna dari Ihsan.
Jadi, ihsan bertemu dengan haqiqah atau bahkan identik dengannya, sebab
berdasarkan hadits itu dapat disimpulkan bahwa ihsan adalah kepercayaan
yang benar dan amal yang benar, dan pada saat yang sama ihsan adalah inti
dari keduanya: Inti dari kepercayaan (keyakinan) yang benar adalah
kebenaran mistis (haqiqah ), dan amal yang benar adalah praktik ibadah yang
sesuai dengan petunjuk dari Tuhan, atau syari’at . Dalam analisis terakhir,
karena yang dituju adalah al-Haqq (Yang Maha Benar), maka dalam
perjalanan menuju kepada pengetahuan yang benar tentang Yang Maha Benar
(haqiqah) seseorang harus memiliki informasi yang benar (Syari’ ah atau
Hukum Suci yang bersumber dari Yang Maha Benar), sebab tanpa petunjuk
dan arah yang benar, seseorang bisa tersesat; dan kemudian seseorang harus
menempuh rute jalan yang benar (thariqah) berdasarkan petunjuk yang benar
itu. Jadi menurut Sufi, hanya melalui syari’at dan tarekat, seseorang baru akan
mendapatkan hakikat kebenaran, yang buahnya adalah pengetahuan Tuhan
sebagaimana seharusnya Dia dikenal (ma’ rifah). Mendapatkan perpaduan
hakikat kebenaran dan ma’rifat dalam terminologi Sufi juga disebut wushul
(sampai).
Jadi, jika kita sintesiskan, perjalanan sampai ke wushul (sampai ke hakikat-
ma’rifat) mesti melampaui tiga tahap dengan dua lapisan. Guru kami,
Syaikhuna Ahmad Shahibul Wafa’ Taj al- Arifin (Abah Anom) dari Suryalaya,
Tasikmalaya, meringkaskan tahap ini sebagai berikut:
Martabat wushul (sampai kepada Allah) adalah [melalui] tiga perjalanan: (1 )
Islam; (2 ) Iman; (3) Ihsan … Seorang hamba Allah yang sibuk dalam ibadah
[berarti] berada dalam maqam Islam atau Syari’at. Apabila amal itu
kemudian [meningkat dengan didasari oleh] hati yang bersih dan sunyi
daripada kejahatan, dipenuhi oleh kebajikan sempurna dan ikhlas, maka orang
itu berada dalam maqam Iman atau Tarekat. Apabila orang itu [meningkat
lagi] ke martabat ibadah yang sungguh-sungguh demi Allah semata (lillahi
ta’ala), yakni [saat ia beribadah] seolah- olah Allah melihat dirinya, maka ia
berada dalam maqam ihsan atau hakikat … Berkata Tuan Syekh Abdul Qadir
al-Jailani qaddasallahu sirrhu, “tiada lain tujuan ahli Tasawuf (Sufi) adalah
membersihkan batin dengan nur Tauhid dan menggapai ma’rifat .”
Wa Allahu a’lam bi ash-shawab.
———
Diambil dari Kitab Tentang Tasawuf karangan Tri Wibowo S.
Published with Blogger-droid v2.0.2

Senin, Desember 26, 2011

JALAN GOLONGAN YANG SELAMAT

1. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama ) Allah dan janganlah
kamu bercerai-berai ." (Ali Imran: 103)
"Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang memperse-kutukan Allah.
Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi
beberapa golongan. Tiap-tiap go-longan merasa bangga dengan apa yang ada
pada golongan me-reka ." (Ar- Ruum: 31- 32)
2. Nabi shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda:
"Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Allah, patuh dan ta'at,
sekalipun yang memerintahmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup
(lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena
itu, berpe-gang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin yang
(mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah ia se-kuat -kuatnya. Dan hati-
hatilah terhadap setiap perkara yang di-ada- adakan, karena semua perkara yang
diada-adakan itu ada-lah bid'ah , sedang setiap bid'ah adalah sesat (dan setiap
yang sesat tempatnya di dalam Neraka)." (HR. Nasa'i dan At-Tirmi -dzi , ia berkata
hadits hasan shahih).
3. Dalam hadits yang lain Nabi Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda:
"Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah
berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini
(Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua
golongan tem-patnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu
al-jama 'ah." (HR. Ahmad dan yang lain. Al-Hafidh menggo-longkannya hadits
hasan )
4. Dalam riwayat lain disebutkan:
"Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan
para sahabatku meniti di atasnya." (HR. At-Tirmidzi , dan di- hasan -kan oleh Al-
Albani dalam Shahihul Jami' 5219)
5. Ibnu Mas'ud meriwayatkan:
"Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam membuat garis dengan tangannya lalu
bersabda, 'Ini jalan Allah yang lurus.' Lalu beliau membuat garis-garis di kanan
kirinya, kemudian bersabda, 'Ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satu pun dari
jalan-jalan ini kecuali di dalamnya ter-dapat setan yang menyeru kepadanya.
Selanjutnya beliau mem-baca firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala , 'Dan bahwa
(yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus maka ikutilah dia janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mence- raiberaikan
kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintah-kan oleh Allah kepadamu agar
kamu bertakwa." (Al- An'am: 153) (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa'i)
6. Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah berkata, "... adapun
Golongan Yang Selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dan Ahlus Sunnah,
tidak ada nama lain bagi mereka kecuali satu nama, yaitu Ashhabul Hadits (para
ahli hadits)."
7. Allah memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada Al-Qur 'anul Karim.
Tidak termasuk orang-orang musyrik yang memecah belah agama mereka
menjadi beberapa golongan dan kelompok. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa
Salam mengabarkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani telah berpecah
belah menjadi banyak golongan, sedang umat Islam akan berpecah lebih banyak
lagi, golongan-golongan tersebut akan masuk Neraka karena mereka
menyimpang dan jauh dari Kitabullah dan Sunnah NabiNya. Hanya satu
Golongan Yang Selamat dan mereka akan masuk Surga. Yaitu Al- Jamaah , yang
berpegang teguh kepada Kitab dan Sunnah yang shahih, di samping melakukan
amalan para sahabat dan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam .
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk dalam golongan yang selamat ( Firqah
Najiyah) . Dan semoga segenap umat Islam termasuk di dalamnya. %
Published with Blogger-droid v2.0.2

MANHAJ (JALAN) GOLONGAN YANG SELAMAT

1. Golongan Yang Selamat ialah golongan yang setia mengikuti manhaj
Rasulullah dalam hidupnya, serta manhaj para sahabat sesudahnya.
Yaitu Al- Qur'anul Karim yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya , yang beliau
jelaskan kepada para sahabatnya dalam hadits-hadits shahih. Beliau
memerintahkan umat Islam agar berpegang teguh kepa-da keduanya:
"Aku tinggalkan padamu dua perkara yang kalian tidak akan ter- sesat apabila
(berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu Kita-bullah dan Sunnahku. Tidak akan
bercerai-berai sehingga kedua-nya menghantarku ke telaga (Surga) ." (Di - shahih-
kan Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami')
2. Golongan Yang Selamat akan kembali (merujuk) kepada Kalamullah dan
RasulNya tatkala terjadi perselisihan dan pertentangan di antara mereka,
sebagai realisasi dari firman Allah:
"Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembali-kanlah ia kepada
Allah (Al- Quran) dan Rasul (sunnahnya) , jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu ) dan lebih baik
akibat-nya. " (An-Nisaa' : 59)
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An- Nisaa': 65)
3. Golongan Yang Selamat tidak mendahulukan perkataan se-seorang atas
Kalamullah dan RasulNya, realisasi dari firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguh-nya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (Al- Hu-jurat: 1)
Ibnu Abbas berkata:
"Aku mengira mereka akan binasa. Aku mengatakan, 'Nabi r bersabda, sedang
mereka mengatakan, 'Abu Bakar dan Umar berkata'. " (HR. Ahmad dan Ibnu
'Abdil Barr)
4. Golongan Yang Selamat senantiasa menjaga kemurnian tauhid.
Mengesakan Allah dengan beribadah, berdo'a dan memohon per-tolongan –baik
dalam masa sulit maupun lapang–, menyembelih kur- ban, bernadzar, tawakkal,
berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dan berbagai bentuk ibadah
lain yang semuanya menjadi dasar bagi tegaknya Daulah Islamiyah yang benar.
Menjauhi dan membas-mi berbagai bentuk syirik dengan segala simbol-
simbolnya yang ba- nyak ditemui di negara- negara Islam, sebab hal itu
merupakan kon-sekuensi tauhid. Dan sungguh, suatu golongan tidak mungkin
menca- pai kemenangan jika ia meremehkan masalah tauhid, tidak memben-
dung dan memerangi syirik dengan segala bentuknya. Hal- hal di atas merupakan
teladan dari para rasul dan Rasul kita Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Salam.
5. Golongan Yang Selamat senang menghidupkan sunnah- sunnah Rasulullah,
baik dalam ibadah, perilaku dan dalam segenap hidupnya.
Karena itu mereka menjadi orang-orang asing di tengah kaum- nya, sebagaimana
disabdakan oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wa Salam:
"Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali
menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-
orang yang asing. " (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Dan keuntungan besar bagi orang-orang yang asing. Yaitu orang-orang yang
(tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak." (Al- Albani berkata, "Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Amr Ad-Dani dengan sanad shahih")
6. Golongan Yang Selamat tidak berpegang kecuali kepada Kalamullah dan
Kalam RasulNya yang maksum, yang ber-bicara dengan tidak mengikuti
hawa nafsu.
Adapun manusia selainnya, betapapun tinggi derajatnya, terka-dang ia
melakukan kesalahan, sebagaimana sabda Nabi saw:
"Setiap bani Adam (pernah) melakukan kesalahan, dan sebaik- baik orang yang
melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat." (Hadits hasan riwayat
Imam Ahmad)
Imam Malik berkata, "Tak seorang pun sesudah Nabi r melain- kan ucapannya
diambil atau ditinggalkan (ditolak) kecuali Nabi Shalallahu Alaihi Wa Salam (yang
ucapannya selalu diambil dan diterima)."
7. Golongan Yang Selamat adalah para ahli hadits.
Tentang mereka Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda:
"Senantiasa ada segolongan dari umatku yang memperjuangkan kebenaran, tidak
membahayakan mereka orang yang menghina-kan mereka sehingga datang
keputusan Allah." (HR. Muslim)
Seorang penyair berkata, "Ahli hadits itu, mereka ahli (keluarga) Nabi, sekalipun
mereka tidak bergaul dengan Nabi, tetapi jiwa mereka bergaul dengannya.
8. Golongan Yang Selamat menghormati para imam mujtahi-din , tidak
fanatik terhadap salah seorang di antara mereka.
Golongan Yang Selamat mengambil fiqih (pemahaman hukum- hukum Islam)
dari Al-Qur 'an, hadits-hadits yang shahih, dan pen-dapat -pendapat imam
mujtahidin yang sejalan dengan hadits shahih. Hal ini sesuai dengan wasiat
mereka, yang menganjurkan agar para pengikutnya mengambil hadits shahih,
dan meninggalkan setiap pendapat yang bertentangan dengannya.
9. Golongan Yang Selamat menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang mungkar.
Mereka melarang segala jalan bid'ah dan sekte- sekte yang meng- hancurkan
serta memecah belah umat. Baik bid'ah dalam hal agama maupun dalam hal
sunnah Rasul dan para sahabatnya.
10. Golongan Yang Selamat mengajak seluruh umat Islam agar berpegang
teguh kepada sunnah Rasul dan para sahabatnya.
Sehingga mereka mendapatkan pertolongan dan masuk Surga atas anugerah
Allah dan syafa'at Rasulullah –dengan izin Allah–.
11. Golongan Yang Selamat mengingkari peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh manusia apabila undang-undang tersebut bertentangan
dengan ajaran Islam.
Golongan Yang Selamat mengajak manusia berhukum kepada Kitabullah yang
diturunkan Allah untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Allah Maha
Mengetahui sesuatu yang lebih baik bagi mereka. Hukum-hukumNya abadi
sepanjang masa, cocok dan relevan bagi penghuni bumi sepanjang zaman.
Sungguh, sebab kesengsaraan dunia, kemerosotan, dan mundur- nya khususnya
dunia Islam, adalah karena mereka meninggalkan hukum- hukum Kitabullah dan
sunnah Rasulullah. Umat Islam tidak akan jaya dan mulia kecuali dengan kembali
kepada ajaran- ajaran Islam, baik secara pribadi, kelompok maupun secara
pemerintahan. Kembali kepada hukum- hukum Kitabullah, sebagai realisasi dari
firmanNya:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (Ar- Ra'ad: 11)
12. Golongan Yang Selamat mengajak seluruh umat Islam ber-jihad di jalan
Allah.
Jihad adalah wajib bagi setiap Muslim sesuai dengan kekuatan dan
kemampuannya. Jihad dapat dilakukan dengan:
Pertama , jihad dengan lisan dan tulisan: Mengajak umat Islam dan umat lainnya
agar berpegang teguh dengan ajaran Islam yang shahih, tauhid yang murni dan
bersih dari syirik yang ternyata banyak terdapat di negara-negara Islam. Rasu-
lullah Shalallahu Alaihi Wa Salam telah memberitakan tentang hal yang akan
menimpa umat Islam ini. Beliau bersabda:
"Hari Kiamat belum akan tiba, sehingga kelompok-kelompok da-ri umatku
mengikuti orang-orang musyrik dan sehingga kelom-pok- kelompok dari umatku
menyembah berhala- berhala." (Ha- dits shahih , riwayat Abu Daud, hadits yang
semakna ada dalam riwayat Muslim)
Kedua , jihad dengan harta: Menginfakkan harta buat penyebaran dan peluasan
ajaran Islam, mencetak buku- buku dakwah ke jalan yang benar, memberikan
san-tunan kepada umat Islam yang masih lemah iman agar tetap memeluk
agama Islam, memproduksi dan membeli senjata-senjata dan peralatan perang,
memberikan bekal kepada para mujahidin, baik berupa ma-kanan, pakaian atau
keperluan lain yang dibutuhkan.
Ketiga , jihad dengan jiwa:Bertempur dan ikut berpartisipasi di medan
peperangan untuk kemenangan Islam. Agar kalimat Allah ( Laa ilaaha illallah)
tetap jaya sedang kalimat orang-orang kafir (syirik) menjadi hina. Dalam hu-
bungannya dengan ketiga perincian jihad di atas, Rasulullah r meng- isyaratkan
dalam sabdanya:
"Perangilah orang-orang musyrik itu dengan harta, jiwa dan lisanmu." (HR. Abu
Daud, hadits shahih )
Adapun hukum jihad di jalan Allah adalah:
Pertama , fardhu 'ain: Berupa perlawanan terhadap musuh- musuh yang
melakukan ag-resi ke beberapa negara Islam wajib dihalau. Agresor- Agresor
Yahudi misalnya, yang merampas tanah umat Islam di Palestina. Umat Islam
yang memiliki kemampuan dan kekuatan –jika berpangku tangan– ikut berdosa,
sampai orang-orang Yahudi terkutuk itu enyah dari wilayah Palestina. Mereka
harus berupaya mengembalikan Masjidil Aqsha ke pangkuan umat Islam dengan
kemampuan yang ada, baik dengan harta maupun jiwa.
Kedua , fardhu kifayah: Jika sebagian umat Islam telah ada yang melakukannya
maka sebagian yang lain kewajibannya menjadi gugur. Seperti dakwah
mengembangkan misi Islam ke negara- negara lain, sehingga berlaku hukum-
hukum Islam di segenap penjuru dunia. Barangsiapa meng- halangi jalan dakwah
ini, ia harus diperangi, sehingga dakwah Islam dapat berjalan lancar.
Published with Blogger-droid v2.0.2