Tawassul Dalam Perspektif Hadits
ﺎَﻬُّﻳَﺃ ﺎَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ﺍﻮُﻘَّﺗﺍ َﻪَّﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻟِﺇ ﺍﻮُﻐَﺘْﺑﺍَﻭ ﺍﻭُﺪِﻫﺎَﺟَﻭ َﺔَﻠﻴِﺳَﻮْﻟﺍ ﻲِﻓ ِﻪِﻠﻴِﺒَﺳ ْﻢُﻜَّﻠَﻌَﻟ َﻥﻮُﺤِﻠْﻔُﺗ
35. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada- Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya , supaya kamu
mendapat keberuntungan. (al- ma’idah :35 )
Tanbihun – Tawassul adalah berdoa
dengan perantara, sedari dulu ulama dipenjuru dunia memperbolehkan dan
mengamalkan tawassul baik dengan amal sholih, ataupun dengan pribadi dan
kedudukan nabi Muhammad SAW serta para auliya’. Hanya saja semenjak
datangnya gelombang pembaharuan yang dihembuskan oleh Muhammad Bin Abdul
wahhab, maka terjadi goncangan ditubuh umat Islam. Mereka yang mengamalkan
tawassul kepada Nabi dan para wali dicap sebagai biang Bid’ah dan Syirik. Bukan
cuma itu, sejumlah auliya’ Alloh dihujat habis-habisan mulai dari Syaikh Ahmad
Badawi sampai para wali songo di tanah jawa. ( Ada CD rekaman ceramah ustadz
mereka pada penulis ).
Sebenarnya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk mengambil perantara
antara kita dengan Allah. ( Lihat QS. Al Maidah : 35 di atas ) .Rasulullah saw adalah
sebaik baik perantara, dan beliau sendiri bersabda : “Barangsiapa yang mendengar
adzan lalu menjawab dengan doa : “Wahai Allah Tuhan Pemilik Dakwah yang
sempurna ini, dan shalat yang dijalankan ini, berilah Muhammad (saw) hak menjadi
perantara dan limpahkan anugerah, dan bangkitkan untuknya Kedudukan yang
terpuji sebagaimana yang telah kau janjikan padanya”. Maka halal baginya
syafaatku” (Shahih Bukhari hadits no. 589 dan hadits no.4442 )
Hadits ini jelas bahwa Rasul menunjukkan bahwa beliau tak melarang tawassul pada
beliau saw, bahkan orang yang mendoakan hak tawassul untuk beliau sudah
dijanjikan syafaat beliau dan hak untuk menjadi perantara ini tidak dibatasi oleh
keadaan beliau, baik ketika masih hidup ataupun di saat wafatnya.
Tawassul ini boleh kepada amal shalih, misalnya doa : “Wahai Allah, demi amal
perbuatanku yang telah aku lakukan saat itu kabulkanlah doaku”, sebagaimana telah
teriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam hadits yang panjang menceritakan tiga
orang yang terperangkap di dalam goa dan masing masing bertawassul pada amal
shalihnya.
Dan boleh juga tawassul pada Nabi saw atau orang lainnya, sebagaimana yang
diperbuat oleh Umar bin Khattab ra , bahwa Umar bin Khattab ra shalat istisqa lalu
berdoa kepada Allah dengan doa : “wahai Allah.. , sungguh kami telah mengambil
perantara (bertawassul) pada Mu dengan Nabi kami Muhammad saw agar kau
turunkan hujan lalu kau turunkan hujan, maka kini kami mengambil perantara
(bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas bin Abdulmuttalib ra) yang
melihat beliau sang Nabi saw maka turunkanlah hujan” maka hujanpun turun dg
derasnya. (Shahih Bukhari hadits no.964 dan hadits no.3507 ).
Riwayat diatas menunjukkan bahwa :
Para sahabat besar bertawassul pada Nabi saw dan dikabulkan Allah swt.
Para sahabat besar bertawassul satu sama lain antara mereka dan dikabulkan
Allah swt.
Para sahabat besar bertawassul pada keluarga Nabi saw (perhatikan ucapan
Umar ra : “Dengan Paman nabi” (saw) . Kenapa beliau tak ucapkan namanya
saja? , misalnya Demi Abbas bin Abdulmuttalib ra?, namun justru beliau tak
mengucapkan nama, tapi mengucapkan sebutan “Paman Nabi” dalam doanya
kepada Allah, dan Allah mengabulkan doanya, menunjukkan bahwa Tawassul
pada keluarga Nabi saw adalah perbuatan Sahabat besar, dan dikabulkan Allah.
Para sahabat besar bertawassul pada kemuliaan sahabatnya yang melihat Rasul
saw, perhatikan ucapan Umar bin Khattab ra : “dengan pamannya yang
melihatnya” (dengan paman nabi saw yang melihat Nabi saw) jelaslah bahwa
melihat Rasul saw mempunyai kemuliaan tersendiri disisi Umar bin Khattab ra
hingga beliau menyebutnya dalam doanya, maka melihat Rasul saw adalah
kemuliaan yg ditawassuli Umar ra dan dikabulkan Allah.
Dan boleh tawassul pada benda, sebagaimana Rasulullah saw bertawassul pada
tanah dan air liur sebagian muslimin untuk kesembuhan, sebagaimana doa beliau
ketika ada yang sakit : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur
sebagian dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin Tuhan kami”
(shahih Bukhari hadits no.5413 , dan Shahih Muslim hadits no. 2194), ucapan beliau:
“demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa beliau saw bertawassul
dengan air liur mukminin yang dengan itu dapat menyembuhkan penyakit, dengan
izin Allah swt tentunya, sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun
dengan izin Allah pula tentunya, juga beliau bertawassul dengan tanah,
menunjukkan diperbolehkannya bertawassul pada benda mati atau apa saja karena
semuanya mengandung kemuliaan Allah swt. Dalam riwayat lain diterangkan
َﻥﺎَﻤْﺜُﻋ ْﻦَﻋ ِﻦْﺑ ٍﻒْﻴَﻨُﺣ
َّﻥَﺃ َﺮﻳِﺮَﺿ ﺎًﻠُﺟَﺭ ِﺮَﺼَﺒْﻟﺍ ﻰَﺗَﺃ َّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﺎَﻘَﻓ َﻪَّﻠﻟﺍ ُﻉْﺩﺍ ﻲِﻨَﻴِﻓﺎَﻌُﻳ ْﻥَﺃ َﻝﺎَﻗ ْﻥِﺇ َﺖْﺌِﺷ
ُﺕْﻮَﻋَﺩ ْﻥِﺇَﻭ َﺖْﺌِﺷ َﺕْﺮَﺒَﺻ َﻮُﻬَﻓ ٌﺮْﻴَﺧ ْﻪُﻋْﺩﺎَﻓ َﻝﺎَﻗ َﻚَﻟ َﻝﺎَﻗ ُﻩَﺮَﻣَﺄَﻓ ْﻥَﺃ َﺄَّﺿَﻮَﺘَﻳ َﻦِﺴْﺤُﻴَﻓ ُﻩَﺀﻮُﺿُﻭ َﻮُﻋْﺪَﻳَﻭ
ﺍَﺬَﻬِﺑ ِﺀﺎَﻋُّﺪﻟﺍ َﻚُﻟَﺄْﺳَﺃ ﻲِّﻧِﺇ َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ُﻪَّﺟَﻮَﺗَﺃَﻭ َﻚِّﻴِﺒَﻨِﺑ َﻚْﻴَﻟِﺇ ِّﻲِﺒَﻧ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ ِﺔَﻤْﺣَّﺮﻟﺍ ﻲِّﻧِﺇ ُﺖْﻬَّﺟَﻮَﺗ َﻚِﺑ ﻰَﻟِﺇ ﻲِّﺑَﺭ
ﻲِﻓ ﻲِﺘَﺟﺎَﺣ ِﻩِﺬَﻫ ﻰَﻀْﻘُﺘِﻟ َﻲِﻟ َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ ُﻪْﻌِّﻔَﺸَﻓ َﻝﺎَﻗ َّﻲِﻓ ﻮُﺑَﺃ ﺍَﺬَﻫ ﻰَﺴﻴِﻋ ٌﺚﻳِﺪَﺣ ٌﻦَﺴَﺣ ٌﺢﻴِﺤَﺻ
ٌﺐﻳِﺮَﻏ
Dari ustman bin hanif sesungguhnya seseorang yang sakit mata datang kepada nabi
saw lalu berkata, berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku, Nabi
menjawab, jika kamu mau, maka aku akan berdoa (untukmu) dan jika kamu ingin,
maka bersabarlah dan itu lebih baik bagimu, lalu dia berkata, berdoalah. Ustman Bin
Hanif berkata, lalu Nabi memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik lalu
berdoa dengan doa ini, ya Allah sesungguhnya hamba mohon kepadaMu dan
hamba menghadap kepadaMu dengan NabiMu Muhammad Nabi pembawa rahmat,
sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku dengan engkau ya Rasuulullah
supaya hajatku ini dikabulkan, ya Alloh jadikanlah ia pemberi syafaat hajatku
untukku.
(Shahih Ibn Khuzaimah hadits no.1219 , Mustadrak ala shahihain hadits no.1180 dan
ia berkata hadits ini shahih dg syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim). Hadist ini
dishahihkan oleh Al hakim, Ibnu Khuzaimah dan disetujui oleh adz Dzahabi.
Hadits diatas ini jelas jelas Rasul saw mengajarkan orang buta ini agar berdoa
dengan doa tersebut, Rasul saw yang mengajarkan padanya, bukan orang buta itu
yang membuat buat doa ini, tapi Rasul saw yang mengajarkannya agar berdoa
dengan doa itu, sebagaimana juga Rasul saw mengajarkan ummatnya bershalawat
padanya, bersalam padanya.
Lalu muncullah pendapat saudara saudara kita, bahwa tawassul hanya boleh pada
Nabi saw, pendapat ini tentunya keliru, karena Umar bin Khattab ra bertawassul
pada Abbas bin Abdulmuttalib ra. Sebagaimana riwayat Shahih Bukhari diatas,
bahkan Rasul saw bertawassul pada tanah dan air liur.
Adapula pendapat mengatakan tawassul hanya boleh pada yang hidup, pendapat ini
ditentang dengan riwayat shahih berikut :
“telah datang kepada Utsman bin Hanif ra seorang yang mengadukan bahwa
Utsman bin Affan ra tak memperhatikan kebutuhannya, maka berkatalah Utsman
bin Hanif ra : “berwudulah, lalu shalat lah dua rakaat di masjid, lalu berdoalah
dengan doa ini : “: “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada
Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai
Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada
Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia
memberi syafaat hajatku untukku” (doa yang sama dengan riwayat diatas)”, nanti
selepas kau lakukan itu maka ikutlah dengan ku kesuatu tempat.
Maka orang itupun melakukannya lalu utsman bin hanif ra mengajaknya keluar
masjid dan menuju rumah Utsman bin Affan ra, lalu orang itu masuk dan sebelum ia
berkata apa apa Utsman bin Affan lebih dulu bertanya padanya : “apa hajatmu?”,
orang itu menyebutkan hajatnya maka Utsman bin Affan ra memberinya. Dan orang
itu keluar menemui Ustman bin Hanif ra dan berkata : “kau bicara apa pada Utsman
bin Affan sampai ia segera mengabulkan hajatku ya.. ??”, maka berkata Utsman bin
Hanif ra : “aku tak bicara apa-apa pada Utsman bin Affan ra tentangmu, Cuma aku
menyaksikan Rasul saw mengajarkan doa itu pada orang buta dan sembuh”.
(Majma’ zawaid Juz 2 hal 279), Imam Thabrani meriwayatkannya dalam Al Kabir
yang dalam sanadnya terdapat Rauh bin Sholah, Ibnu Hibban dan Al Hakim
menstiqahkannya ( Syarah Ibnu Majjah 1/99 ).
Ada juga sebuah hadist dari Malik ad Daar diriwayatkan dalam kitab Al Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah 12/31 Kitab Fadhail bab Fadhail Umar bin Khattab RA hadis no
32665 dan juga terdapat dalam Musnad Umar Bin Khottob Juz 25/388 .
َﺔَﻳِﻭﺎَﻌُﻣ ﻮُﺑَﺃ ﺎَﻨَﺛَّﺪَﺣ ِﺶَﻤْﻋَﻷﺍ ِﻦَﻋ ْﻦَﻋ ﻲِﺑَﺃ ٍﺢِﻟﺎَﺻ ْﻦَﻋ ِﻚِﻟﺎَﻣ ِﺭﺍَّﺪﻟﺍ , َﻝﺎَﻗ : َﻥﺎَﻛَﻭ َﻥِﺯﺎَﺧ َﺮَﻤُﻋ ﻰَﻠَﻋ
ِﻡﺎَﻌَّﻄﻟﺍ , َﻝﺎَﻗ : َﺏﺎَﺻَﺃ َﺱﺎَّﻨﻟﺍ ٌﻂْﺤَﻗ ِﻦَﻣَﺯ ﻲِﻓ َﺮَﻤُﻋ , ٌﻞُﺟَﺭ َﺀﺎَﺠَﻓ ﻰَﻟِﺇ ِﺮْﺒَﻗ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳﻭ , َﻝﺎَﻘَﻓ : ﺎَﻳ ِﻪﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ , ْﻢُﻬَّﻧِﺈَﻓ َﻚِﺘَّﻣُﻷ ِﻖْﺴَﺘْﺳﺍ ﺍﻮُﻜَﻠَﻫ ْﺪَﻗ , ﻰَﺗَﺄَﻓ َﻞُﺟَّﺮﻟﺍ ِﻡﺎَﻨَﻤْﻟﺍ ﻲِﻓ
َﻞﻴِﻘَﻓ ُﻪَﻟ : ِﺖْﺋﺍ َﺮَﻤُﻋ ُﻪْﺋِﺮْﻗَﺄَﻓ َﻡﻼَّﺴﻟﺍ , ُﻩْﺮِﺒْﺧَﺃَﻭ ْﻢُﻜَّﻧَﺃ ْﻞُﻗَﻭ َﻥﻮُﻤﻴِﻘَﺘْﺴُﻣ ُﻪَﻟ : ﻚْﻴَﻠَﻋ ُﺲْﻴَﻜْﻟﺍ , ﻚْﻴَﻠَﻋ
ُﺲْﻴَﻜْﻟﺍ , ﻰَﺗَﺄَﻓ ُﻩَﺮَﺒْﺧَﺄَﻓ َﺮَﻤُﻋ ﻰَﻜَﺒَﻓ ُﺮَﻤُﻋ , َﻝﺎَﻗ َّﻢُﺛ : ﺎَﻳ ِّﺏَﺭ ﻮُﻟﺁ َﻻ َّﻻﺇ ﺎَﻣ ﺕْﺰَﺠَﻋ ُﻪْﻨَﻋ .
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari
Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang makanan pada pemerintahan
Umar. Ia berkata “Orang- orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan
Umar. Kemudian seorang laki- laki datang ke makam Nabi SAW dan berkata “Ya
Rasulullah SAW mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa”.
Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah SAW dan dikatakan kepadanya
“datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya
mereka semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana,
bersikaplah bijaksana”. Maka laki- laki tersebut menemui Umar dan menceritakan
kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan
urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya”.
Hadis Malik Ad Daar ini juga diriwayatkan oleh Al Hafiz Abu Bakar Baihaqi dalam
Dalail An Nubuwah 7/ 47 hadis no 2974 dan Al Khalili dalam kitabnya Al Irsyad Fi
Ma’ rifah Ulama Al Hadits 1/313 . Keduanya dengan sanad masing-masing yang
bermuara pada ‘Amasy dari Abu Shalih dari Malik Ad Daar.
Hadist ini dishahihkan oleh Ibnu hajjar Al Asqolaniy dalam fathul Bari 3/441 Bab
dan juga oleh Ibnu Katsir dalam An Nihayahnya 7/106 . Meskipun Syaikh al Albani
mendhoifkannya dengan alasan yang dibuat-buatnya ( Suatu saat nanti dengan izin
Allah penulis akan menyangkal pernyataan Al Albani dalam At Tawassul 1/120 ).
Dengan demikian berdasarkan hadits tersebut, tawassul dengan Nabi Muhammad
baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafatnya adalah boleh dan bukan
perbuatan syirik.
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan
oleh Rasulullah saw, tak pula oleh ijma para Sahabat Radhiyallahu’anhum, tak pula
oleh para tabi’in dan bahkan oleh para ulama serta imam-imam besar Muhadditsin,
bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, sahabat
radhiyallahu’ anhum mengamalkannya.
Mereka berdoa dengan perantara atau tanpa perantara, tak ada yang
mempermasalahkannya apalagi menentangnya bahkan mengharamkannya atau
bahkan memusyrikan orang yang mengamalkannya.
Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati , karena
tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur
yg tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu
sendiri, dan tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian,
justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan
mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus
pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat,
sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi
manfaat apa apa kecuali karena Allah memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia
bisa memberi manfaat dihadapan Allah. Demi Allah bukan demikian, Tak ada
perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali
dengan izin Allah swt. Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin
Allah swt dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila memang di
kehendaki oleh Allah swt. (Lihat perkataan asy Syaukaniy yang dikutip oleh
Abdurrahman Al Mubarokfury dalam Tuhfatul Ahwadzi 8/476 )
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah swt atas orang yang mati
adalah kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat
Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah SWT. Ketakwaan mereka dan
kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.
Imam Asy Syaukaniy dalam Kitab Faidhul Qodir 2/170 berkata :
ﻝﺎﻗ ﻲﻜﺒﺴﻟﺍ ﻞﺳﻮﺘﻟﺍ ﻦﺴﺤﻳﻭ ﺔﻧﺎﻌﺘﺳﻻﺍﻭ ﻊﻔﺸﺘﻟﺍﻭ ﻲﺒﻨﻟﺎﺑ ﻪﺑﺭ ﻰﻟﺇ ﻢﻟﻭ ﺮﻜﻨﻳ ﻚﻟﺫ ﺪﺣﺃ ﻦﻣ
ﻒﻠﺴﻟﺍ ﻻﻭ ﻒﻠﺨﻟﺍ ﻦﻣ ﻰﺘﺣ ﺀﺎﺟ ﻦﺑﺍ ﺔﻴﻤﻴﺗ ﺮﻜﻧﺄﻓ ﻝﺪﻋﻭ ﻚﻟﺫ ﻦﻋ ﻁﺍﺮﺼﻟﺍ ﻢﻴﻘﺘﺴﻤﻟﺍ ﻉﺪﺘﺑﺍﻭ ﺎﻣ
ﻢﻟ ﻪﻠﻘﻳ ﻢﻟﺎﻋ ﻪﻠﺒﻗ
“ Imam Subuki berkata,tawassul , minta tolong dan minta syafaat kepada Alloh
melalui Nabi adalah baik dan tidak ada satupun ulama salaf dan kholaf yang
mengingkarinya, hingga datanglah Ibnu Taymiyyah yang mengingkarinya,
menganggapnya berpaling dari jalan yang lurus serta membid’ahkannya padahal
tidak ada seorang alim pun sebelumnya yang berkata seperti itu”.
Sebagian sahabat berusaha untuk menyangkal dibolehkannya tawassul dengan
mengkritik sanad sebuah hadist tentang tawasssulnya Nabi adam Alaihissalam
dengan kemuliaan Nabiyullah Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam hakim
dalam Mustadroknya, hadist tersebut berbunyi :
ﻮﺑﺃ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﺪﻴﻌﺳ ﻭﺮﻤﻋ ﻦﺑ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﻝﺪﻌﻟﺍ ﺭﻮﺼﻨﻣ ﺎﻨﺛ ﻦﺴﺤﻟﺍ ﻮﺑﺃ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﻕﺎﺤﺳﺇ ﻦﺑ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﺇ
ﻲﻠﻈﻨﺤﻟﺍ ﻮﺑﺃ ﺎﻨﺛ ﺪﺒﻋ ﺙﺭﺎﺤﻟﺍ ﻪﻠﻟﺍ ﻦﺑ ﻢﻠﺴﻣ ﻱﺮﻬﻔﻟﺍ ﺎﻨﺛ ﻞﻴﻋﺎﻤﺳﺇ ﻦﺑ ﺔﻤﻠﺴﻣ ﺄﺒﻧﺃ ﺪﺒﻋ ﻦﻤﺣﺮﻟﺍ ﻦﺑ
ﺪﻳﺯ ﻦﺑ ﻢﻠﺳﺃ ﻦﻋ ﻪﻴﺑﺃ ﻦﻋ ﻩﺪﺟ ﻦﻋ ﺮﻤﻋ ﻦﺑ ﺏﺎﻄﺨﻟﺍ ﻝﺎﻗ : ﻝﺎﻗ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ) ] ﺎﻤﻟ ﻑﺮﺘﻗﺍ ﻡﺩﺁ
ﻝﺎﻗ ﺔﺌﻴﻄﺨﻟﺍ : ﺎﻳ ﻚﻟﺄﺳﺃ ﺏﺭ ﻖﺤﺑ ﺪﻤﺤﻣ ﻻﺇ ﺕﺮﻔﻏ ﺎﻣ ﻲﻟ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ ﻰﻟﺎﻌﺗ : ﺎﻳ ﻡﺩﺁ ﻒﻴﻛ ﺖﻓﺮﻋ
ًﺍﺪﻤﺤﻣ ﻪﻘﻠﺧﺃ ﻢﻟﻭ ؟ ﻝﺎﻗ : ﺎﻳ ﺏﺭ ﺎﻤﻟ ﻚﻧﺇ ﻲﻨﺘﻘﻠﺧ ﺖﻌﻓﺭ ﺖﻳﺃﺮﻓ ﻲﺳﺃﺭ ﻰﻠﻋ ﻢﺋﺍﻮﻗ ﺵﺮﻌﻟﺍ
ًﺎﺑﻮﺘﻜﻣ )) ﻻ ﻪﻟﺇ ﻻﺇ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺪﻤﺤﻣ ﻪﻠﻟﺍ (( ﺖﻤﻠﻌﻓ ﻚﻧﺇ ﻢﻟ ﻒﻀﺗ ﻰﻟﺇ ﻚﻤﺳﺍ ﺐﺣﺃ ﻻﺇ ﻖﻠﺨﻟﺍ
ﻚﻴﻟﺇ ﻝﺎﻘﻓ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻟﺎﻌﺗ ﺖﻗﺪﺻ ﺎﻳ ﻡﺩﺁ ﻪﻧﺇ ﺐﺣﻷ ﺍﺫﺇﻭ ّﻲﻟﺇ ﻖﻠﺨﻟﺍ ﻲﻨﺘﻟﺄﺳ ﻪﻘﺤﺑ ﺪﻘﻓ ﻚﻟ ﺕﺮﻔﻏ
ﻻﻮﻟﻭ ﺪﻤﺤﻣ ﻚﺘﻘﻠﺧ ﺎﻣ ( ﻩﺍﻭﺭ ﻢﻛﺎﺤﻟﺍ ﻪﺤﺤﺻﻭ .(
Abu Said Amr bin Muhammad bin Manshur al- Adl menyampaikan hadits kepada
kami dari Abu Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim al- Hanzhali dari Abu al-
Harits Abdullah bin Muslim al-Fihri dari Ismail bin Maslamah dari Abdurrahman bin
Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Khathab bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Ketika Nabi Adam melakukan kesalahan, ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, aku
memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku.’ Maka
Allah berfirman, ‘Wahai Adam, bagaimana kamu mengetahui Muhammad dan aku
belum menciptakannya?’ Adam menjawab, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau
ketika menciptakanku, aku mengangkat kepalaku, lalu aku melihat tulisan di
penyangga- penyangga Arsy ‘Tidak ada tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah’ .
Maka aku tahu bahwa sesungguhnya Engkau tidak menyandingkan nama- Mu kecuali
kepada makhluk yang paling Engkau sukai.’ Allah berfirman, ‘Kamu benar wahai
Adam. Sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling aku sukai. Jika kamu meminta
kepadaku dengan haknya, maka aku mengampunimu. Jika bukan karena
Muhammad, aku tidak menciptakanmu.’”
Sepanjang pengetahuan penulis Abdurrahman Bin Zaid Bin Aslam adalah rawi yang
dilemahkan oleh para ulama hadits dan hampir semua kitab rijal hadits menjarhnya
bahkan Adz Dzahabi menganggapnya pemalsu hadist. Oleh karena itu secara kasat
mata hadits ini jelas gugur sebagai hujjah karena kedhoifan rawinya, sehingga tidak
perlu untuk diperbincangkan lagi. Akan tetapi kehujjahan tawassul tidak serta merta
gugur dengan runtuhnya hadits di atas, sebab hadist-hadist yang telah penulis
paparkan dimuka sudah sangat cukup untuk menegaskan kepada kita bahwa
tawassul kepada Nabi baik ketika beliau masih hidup atau sesudah wafatnya adalah
hal yang diperbolehkan.
Ibnu Katsir dalam Sirah Nabawiyyah 1/320 mengutip hadist ini dan mengatakan
bahwa Abdurrahman Bin Zaid Bin aslam ini diperbincangkan, sementara al baihaqi
mendhoifkannya.
Al Alamah Muhammad Bin Alwi Al Maliki meriwayatkannya dalam Mafahim Yajiibu
An Tushohah dan beliau mengikuti penshahihan al Hakim. Al Hafidz Al Qostholaniy
juga menshahihkan hadist ini dalam kitab Mawahib 2/392 . Penerimaan mutlak Al
Maliki terhadap penshahihan al hakim maupun al Qostholaniy ini bukanlah suatu
perbuatan tercela, sebab dalam ushulul hadist dijelaskan jika seorang hafidz
mu’tamad menghukumi shahih suatu hadist, maka diperbolehkan untuk
menerimanya secara mutlak. Hal ini pun diungkapkan oleh Syaikh Yusuf Qaradhawiy
ketika menanggapi kritikan al Albani dalam Ghayatul marom.
Oleh sebab itu, kritik terhadap cara penshahihan Al Maliki tersebut sangat tidak
tepat, namun mengkritisi sanad hadits riwayat Al Hakim di atas adalah terpuji. Sebab
bisa jadi ada yang tampak oleh ulama’ satu akan tetapi tersembunyi dari ulama’
lainnya.
Wallohu a’lam
Rabu, Desember 14, 2011
Tawassul Dalam Perspektif Hadits
Published with Blogger-droid v2.0.2
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar