Kamis, Desember 15, 2011

Tanwir al Halak



Kitab Tanwir Al Halak karangan Imam Suyuti

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah, dan keselamatan bagi hamba- hambaNya yang pilihan. Wa

ba'du. Begitu banyaknya pertanyaan yang diajukan mengenai ru'yah atau

melihat arbabi al-akhwal Nabi saw dalam keadaan terjaga. Meski ada

sekelompok orang pada masa kini yang tidak memiliki pengetahuan akan hal

tersebut, terlalu dini memvonis serta mengingkarinya, menganggap aneh dan

menganggapnya sebagai peristiwa yang mustahil.

Maka saya mengarang tulisan ini dan saya beri judul Tanwir al- Halak fi Imkani

Ru'yatin Nabiyyi Jihdran wal Malak. Saya memulainya dengan Hadis shahih yang

menjelaskan hal tersebut, di mana Hadis itu dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim,

dan Abu Dawud dari Abu Hurairah ra, ia berkata:

"Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa melihatku sewaktu tidur, maka dia akan

melihatku dalam keadaan terjaga. Dan setan tidak bisa menyerupai diriku."

Thabrani juga mengeluarkan Hadis yang semisal ini dari Abu Qatadah.

Thabrani mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai makna

sabda beliau "fasayaranifil yaqzhati" (dia akan melihatku dalam keadaan

terjaga)". Dikatakan, artinya bahwa dia akan melihatku (Nabi) di Yanmil Qiyamali.

Namun hal ini dibantah. Sebab, mengingat tidak adanya faedah pengkhususan ini

(melihat Nabi). Dengan alasan bahwa seluruh ummatnya akan melihat beliau di

Hari Kiamat, baik itu ummat yang telah melihatnya (sahabat) atau yang belum.

Pendapat lain mengatakan, yang dimaksud hadis di atas adalah orang yang

beriman kepada beliau, namun belum pernah melihat beliau semasa hidupnya,

maka dia akan diberikan kegembiraan yakni pasti melihat beliau dalam keadaan

yaazhah (jaga) sebelum ia meninggal.

Ada juga segolongan orang yang berpendapat secara zhahir nya (apa adanya)

hadis; "Barangsiapa yang melihat beliau saat tidur, maka semestinya ia melihat

beliau dalam keadaan jaga (dengan kedua matanya), dan dikatakan pula, dengan

keyakinan di dalam hatinya." Kedua hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh

al-Qadhi Abu Bakar bin al- Arabi.[1 ]

Al-Imam Abu Muhammad bin Abi Jumrah dalam ta'liq nya mempunyai

pandangan mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan hal tersebut. Semisal ia

mengambil dari al-Bukhari : "Hadis ini menunjukkan bahwa barangsiapa melihat

Nabi saw pada saat tidur, maka ia akan melihat beliau ketika jaga."

Ditanyakan, apakah hadis ini bersifat umum, baik itu ketika beliau masih hidup

ataukah sesudah wafatnya? Ataukah hadis ini berlaku semasa hidup beliau? Dan

apakah hal itu mutlak untuk semua orang yang melihat beliau, ataukah khusus,

yakni orang-orang tertentu saja yang memiliki kekhususan serta mengikuti

sunnah Nabi saw?

Lafal hadis di atas menunjukkan kepada umum, dan barangsiapa menduga

kekhususan hal itu, tanpa adanya pengkhususan dari Nabi saw, adalah orang

yang berbuat aniaya.

Imam Abu Muhammad bin Abi Jumrah juga mengatakan: " Ada sebagian orang

yang tidak membenarkan tentang keumuman hadis di atas dan berpendapat

sesuai dengan pemahaman akalnya; bagaimana mungkin orang yang telah

meninggal bisa dilihat oleh orang yang masih hidup di alam nyata? "

Imam Abu Muhammad bin Abi Jumrah berkata: "Dalam permasalahan ini ada

dua hal yang tampak. Pertama, tidak adanya tashdia (pembenaran) dengan

sabda Nabi saw (al- shadia) yang tidak berucap dari hawa (keinginannya). Kedua,

bodoh atau jahil dengan kemampuan (dzat yang Maha Kuasa), dan seakan-akan

ia tidak pernah mendengar cerita sapi betina dalam surat al-Baqarah

sebagaimana Allah SWT berfirman:

"Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu. Demikianlah Allah

menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati," (QS. al-Baqarah : 73) .

Dan juga kisah Nabi Ibrahim as mengenai empat bagian dari burung dan kisah

Nabi 'Uzair as. Maka Dzat yang menjadikan pukulan kepada mayat dengan

sebagian anggota sapi sebagai sebab hidupnya, dan menjadikan doa Nabi

Ibrahim as menjadi sebab hidupnya burung, dan menjadikan takjubnya 'Uzair

menjadi sebab matinya dia dan keledainya, kemudian menghidupkannya setelah

selang seratus tahun, tentu juga mampu untuk menjadikan melihat Rasulullah

saw dalam keadaan tidur menjadi sebab melihat Rasulullah saw dalam keadaan

jaga.

Dituturkan dari sebagian sahabat†”saya menduga Ibn 'Abbas— bahwasanya ia

melihat Nabi saw pada saat tidur, kemudian ia teringat akan hadis ini, ia

termangu memikirkan hal itu. Kemudian ia menemui sebagian istri-istri Nabi saw

— saya menduga Maimunah, selanjutnya ia menceritakan perihal mimpinya

kepada Maimunah. Maimunah kemudian bangkit dan mengeluarkan kaca

Rasulullah saw. Ibn 'Abbas kemudian berkata: "Aku memandang ke arah kaca

tersebut, aku melihat di cermin itu gambar Nabi saw dan aku tidak melihat

gambarku di sana".

Dituturkan dari ulama salaf dan khalaf serta seterusnya, mengenai sebagian

jamaah atau golongan yang pernah bermimpi berjumpa dengan Rasulullah saw,

dan mereka adalah orang-orang yang membenarkan hadis ini, kemudian mereka

melihat Rasulullah saw dalam keadaan jaga. Bahkan, mereka menanyakan

berbagai hal yang sulit bagi mereka kepada Nabi. Kemudian Nabi memberikan

jalan keluar dengan berbagai macam segi arahan yang bisa menjadi solusi atas

permasalahan mereka. Begitulah keterangannya tanpa menambah atau

mengurangi.

Ia menuturkan: "Adapun orang yang mengingkari hai ini tidaklah terlepas dari;

apakah ia membenarkan tentang karomah-karomah para wali atau

mendustakannya. Jika orang tersebut termasuk golongan orang yang

mendustakannya, tentulah tidak ada faedahnya membahas masalah ini

bersamanya. Sebab, ia telah mendustakan hal yang telah ditetapkan oleh sunnah

dengan argumen (dalil- dalil) yang jelas. Dan jika orang tersebut termasuk orang

yang membenarkan terhadap karamah para wali, segi inilah yang dicari. Sebab,

para wali adalah orang-orang yang telah mengalami ketersingkapan tirai

kehidupan (kasyaf ) dan sanggup melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan

(khariqnl 'adah) dalam segala hal yang bermacam- macam, baik itu alam atas

(ulwa ) atau alam bawah ( sufla). Dia tidak mengingkari hal tersebut, tapi

membenarkannya. Begitulah pendapat Ibn Abi Jamrah.

Adapun mengenai pendapat bahwa yang bisa melihat itu adalah bersifat umum,

tidaklah ada pengkhususan hanya kepada orang-orang yang memiliki keahlian

dan mengikuti sunnah Nabi saw, maknanya adalah bahwa terjadinya ru'yah yang

terulang dalam keadaan jaga †”meski sebelumnya hanya dalam mimpi—

meski hanya sekali saja adalah sesuatu yang nyata ( haqq). Sebab, hal itu sesuai

dengan janji Nabi yang mulia, yang tiada pernah mengingkari janjinya. Dan

kebanyakan hal itu terjadi bagi umumnya orang sebelum meninggal. Tidaklah

ruhnya keluar dari badan sehingga ia melihat Rasulullah saw sebagaimana

penunaian janji Nabi.

Adapun selain mereka, ada yang bisa melihati ( ru'yah ) sepanjang hidup mereka,

baik itu dalam kadar yang banyak atau sedikit, tergantung kesungguhan mereka

dan juga penjagaan mereka terhadap sunnah. Sebab, melanggar sunnah

merupakan penghalang yang dominan.

Imam Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan dari Mathraf: Mathraf berkata:

'Imran bin Husein berkata kepadaku: "Ada malaikat yang' mengucapkan salam

kepadaku sampai aku melakukan al- kayyu ; membakar dengan cap besi

(menyetrika) , kemudian (malaikat itu) meninggalkanku. Lalu aku tinggalkan hal

tersebut, barulah malaikat kembali lagi."

Imam Muslim dalam riwayat lain meriwayatkan dari Mathraf. Mathraf berkata:

"Aku menemui 'Imran bin Husein ra yang sedang sakit sehingga menyebabkan

dia meninggal. 'Imran bin Husein berkata kepadaku, "Aku akan bercerita

kepadamu, jika aku sehat maka sembunyikanlah hal itu. Namun jika aku mati,

ceritakanlah hal itu kalau engkau mau. Sesungguhnya malaikat itu bersalam

kepadaku."

Imam al-Nawawi ketika menjelaskan makna hadis yang pertama, ia mengatakan:

"Bahwa 'Imran bin Husein menderita penyakit bawasir, dan dia bersabar

menanggung penderitaan tersebut, lalu malaikat bersalam kepadanya. Kemudian

'Imran bin Husein mencap tanda besi (al- kayyu , menyetrika), maka tidaklah

malaikat itu bersalam lagi kepadanya. Akhirnya dia tidak lagi menggunakan cap

tanda besi, dan malaikat itu kembali lagi bersalam kepadanya.

Adapun dalam hadis yang kedua dinyatakan: "Jika aku hidup, maka

sembunyikanlah hal itu," memiliki arti bahwa dia sebenarnya ingin memberitahu

kalau malaikat bersalam kepadanya, hanya saja dia khawatir cerita itu akan

tersebar padahal ia masih hidup. Sebagai antisipasi timbulnya fitnah, berbeda

dengan jika ia sudah meninggal.

Imam Qurthubi [2] menjelaskan mengenai hadis yang diriwayatkan Muslim di

atas: "Bahwasanya malaikat bersalam kepada 'Imran bin Husein sebagai bentuk

penghormatan, dan melarangnya melakukan cap besi. Ketika Imran bin Husein

melakukannya, malaikat meninggalkan salam kepadanya. Dalam hal ini tampak

jelas tentang karamah para wali."

Dalam Mustadrak nya, al-Hakim [3] menganggapnya sahih, dari riwayat Mathraf

bin Abdillah bin Imran bin Husein ra, ia ('Imran bin Husein) berkata: "Ketahuilah

olehmu wahai Mathraf, bahwasanya malaikat bersalam kepadaku dari sisi

kepalaku, dari sisi rumah, dan dari sisi pintu kamar. Ketika aku (berobat) dengan

cap besi, salam tersebut hilang. Dan ketika aku tidak lagi (berobat) dengan

mencap besi, salam itu kembali lagi." Mathraf mengatakan: "Kemudian 'Imran

bin Husein sesudah sembuh ia berkata: "Ketahuilah olehmu, wahai Mathraf,

bahwa hal -yang aku sembunyikan (melihat Malaikat)- itu kembali lagi,

sembunyikanlah hal itu sampai aku meninggal."

Lihatlah! Bagaimana 'Imran bin Husein terhijab dari mendengar salam malaikat

sebab ia (berobat) dengan mencap besi — padahal dalam keadaan terpaksa—

sebab perbuatan itu menyalahi sunnah.

Imam al-Baihaqi [4 ] dalam kitab Syu'ubil al- Iman menyatakan: "Sekiranya

(berobat) mencap dengan besi itu merupakan hal yang jelas haram, tentulah

'Imran bin Husein tidak akan melakukannya, sebab ia mengetahui pelarangan hal

tersebut. Dia hanya melakukan hal yang dimakruhkan, namun malaikat yang

biasanya bersalam kepadanya telah meninggalkannya. Kemudian Imran bin

Husein bersedih. Selanjutnya, Baihaqi berkata: "Ucapan ini sudah ditakdirkan,

dan sepertinya malaikat kembali lagi sebelum Imran bin Husein meninggal. "

Ibn Atsir [5] dalam kitab al-Nihayah berpendapat bahwa malaikat bersalam

kepadanya, ketika Imran bin Husein iktawa (mencap dengan besi atau

menyetrika) disebabkan oleh sakitnya, para malaikat meninggalkan salam

kepadanya sebab mencap dengan besi menghilangkan kepasrahan dan

penyerahan diri (taslim) kepada Allah SWT dan menjauhi kesabaran atas hal yang

menimpa hamba. Adapun mencari obat sebagai usaha seorang hamba tidaklah

jelek dalam hal diperbolehkannya mencap dengan besi. Namun, menurut

kacamata ketawakalan, hal tersebut tidaklah pantas. Padahal tawakal itu adalah

derajat tinggi yang melatarbelakangi sebab- sebab yang langsung (mubasyaratul

asbab ).

Ibn Sa'ad dalam al-Thabaqat meriwayatkan dari Qatadah: "Bahwasanya

malaikat selalu menaungi 'Imran bin Husein hingga ia melakukan cap dengan

besi (menyetrika) , kemudian malaikat meninggalkannya."

Abu Nua'im dalam ad-Dalail meriwayatkan dari Yahya bin Sa'id al- Qathan:

"'Tidak ada dari sahabat-sahabat Basrah seluruhnya yang lebih utama

dibandingkan dengan Imran bin Husein, dia didatangi malaikat selama kurun 30

tahun, bersalam kepadanya dari sekitar rumahnya."

Al-Turmudzi dalam Ta'rikh nya dan Abu na'im serta Baihaqi dalam Dala'il al-

Nubuwah meriwayatkan dari 'Adalah, dia berkata: "Adalah Imran bin Husein ra

menyuruh kami masuk ke rumahnya, dan kami mendengar suara

Assalamu'alaikum, Assalamu'alaikum , dan kami tidak melihat seorang pun." Al-

Turmudzi berkata: "Ini adalah salam dari malaikat."

Hujjatul Islam Abu Hamid al- Ghazali dalam kitab al-Munqidz min al- Dhalal

mengatakan, "Setelah aku selesai dari berbagai macam ilmu, selanjutnya aku

mengonsentrasikan diri pada jalan sufi dan berusaha mengambil manfaat

darinya. Aku yakin bahwa orang-orang sufi itu adalah orang-orang yang

menempuh jalanNya. Dan bahwasanya sirah (perjalanan) mereka adalah sebaik-

baik perjalanan, dan thariqah mereka adalah sebaik- baik thariqah , serta akhlak

mereka adalah sebaik- baiknya akhlak. Bahkan, sekiranya pemikiran para pemikir,

hikmah para ahli bijak, dan pengetahuan orang-orang yang memperdalam ilmu

syar'i dari para ulama, berkumpul untuk mengubah sepenggal dari sirah dan

akhlak mereka dan berusaha menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari

itu, mereka tidak akan menjumpai jalan itu. Sebab, seluruh gerak-gerik dan diam

mereka, baik zhahir maupun batin, berselimutkan cahaya miskat kenabian. Dan

tidaklah ada di belakang cahaya- cahaya kenabian di muka bumi ini cahaya yang

lebih terang dibandingkan dengan cahaya kenabian. Hingga sampai dikatakan:

"Sampai-sampai mereka di dalam keterjagaan-nya menyaksikan malaikat dan

ruh-ruh para nabi serta mendengarkan dari mereka itu suara-suara yang bisa

mereka ambil faedah-faedahnya . Kemudian mendaki lagi dan menyaksikan

bentuk-bentuk dan amtsal (contoh- contoh) kederajat-derajat yang sulit untuk

diungkapkan oleh lisan." Ini perkataan al-Ghazali .

Murid Imam Ghazali, al- Qadhi Abu Bakar bin al-'Arabi , salah seorang imam

dalam madzab Maliki, dalam kitabnya Qanun al- Ta'wil berpendapat mengenai

kesufian: "Bahwasanya jika manusia berhasil menyucikan nafsu, membersihkan

hati, memutus ketergantungan-keter- gantungan, serta mencegah materi

keduniawian dari jin, harta, bercampur dengan sesama, dan menghadapkan diri

kepada Allah SWT dengan sepenuhnya (kulliyah) dengan segenap pengetahuan

dan amal yang berkesinambungan, maka hatinya akan kasynf (terbuka) dan

melihat malaikat, mendengar pembicaraan mereka, tampak jelas ruh-ruh para

nabi, serta mendengar pembicaraan mereka."

Menurut pendapat Ibn al- 'Arabi: "Melihat para nabi dan malaikat serta

mendengar pembicaraan mereka adalah hal yang mungkin bagi orang mukmin

sebagai bentuk karamah, sedang bagi orang kafir merupakan 'uaubah (siksa/

bencana)."

Syeikh Izzuddin bin 'Abdus Salam [6] dalam kitabnya al- Qawa'id al- Kubra dan

Ibn al- Hajj [7] dalam kitabnya al- Madkhal berpendapat: "Ru'yah (melihat) Nabi

saw dalam keadaan terjaga merupakan suatu hal yang rumit dan sedikit sekali

orang yang mengalaminya, melainkan hanya orang-orang yang memiliki sifat 'aziz

(mulia) pada masa ini. Bahkan, hampir-hampir tidak ada. Namun kita tidak

mengingkari orang yang mengalaminya, yakni al- kabir (orang besar dalam

pandangan Allah) yang dijaga oleh Allah SWT, baik segi zhahir maupun batin

mereka."

Selanjutnya Abu Muhammad bin Abi Jamrah berkata: "Sebagian ulama zhahir

mengingkari fenomena melihat Nabi saw secara terjaga. Mereka beralasan

bahwa mata yang semu ( 'ainul faniyah) tidak akan mampu melihat sesuatu yang

abadi ( 'ainul baqiyah). Nabi Muhammad saw berada di negeri keabadian,

sedangkan orang yang melihat beliau berada di alam fana."

Abu Muhammad bin Abi Jamrah menjawab persoalan ini dengan mengatakan:

"Bahwasanya orang mukmin jika meninggal dia akan melihat Allah SWT. Dia

pada dasarnya tidak mati. Bahkan, salah seorang di antara mereka meninggal

setiap harinya tujuh puluh kali."

Al-Qadhi Syarafuddin Hibbatullah bin 'Abdur Rahim al-Barazi dalam kitabnya

l'iiaadul al- Anbiya 'Alaihimus Salam berkata: "Setelah ruh-ruh itu dicabut

kemudian dikembalikan lagi, mereka itu hidup di sisi Tuhan seperti para

syuhada."

Ada sekelompok orang yang melihat Nabi kita Muhammad saw dan Nabi

mengabarkan bahwa shalawat dan salam yang mereka persembahkan sampai

kepada beliau. Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan

daging para nabi as.

Al-Barazi mengatakan: "Ada kabar dari sekelompok jamaah dari wah pada masa

ini dan sebelumnya, bahwasanya mereka melihat Nabi saw secara terjaga. beliau

hidup setelah wafatnya." Al-Barazi melanjutkan, "Hal itu dituturkan oleh al-

Syeikh al- Imam Syeikhul Islam Abui Bayan Naba' bin Muhammad bin Mahfuzh

al-Dimsyiqi [8 ] dalam Nadhimah nya."

Syeikh Akmaluddin al-Babarti al- Hanafi [9] dalam syarah al- Masyariq mengenai

hadis man ro'ani mengatakan: "Berkumpulnya dua orang, baik secara terjaga

maupun saat tidur, untuk mencapai ma'iyyatul ittihad (kebersatuan) , bagi mereka

ada lima dasar, yakni secara kulliyatul istirak (keseluruhan kesamaan), baik dalam

dzat atau dalam sifat seterusnya, atau dalam hal seterusnya atau dalam af'al

(perbuatan), atau dalam maratib (urut-urutan ). Dan seluruh hal yang ma'qul dari

berkesesuaiannya dua hal atau beberapa hal tidaklah akan keluar dari lima hal di

atas. Dan tidak terlepas juga dengan seberapa kuat perbedaan atau sedikitnya

perbedaan itu menjadikan intensitas pertemuan semakin banyak atau sedikit, dan

terkadang bertambah kuat mengalahkan sebaliknya, yakni semakin kuatnya

mahabbah. Sehingga, hampir- hampir dua orang tersebut tak terpisahkan, dan

terkadang sebaliknya. Dan barangsiapa yang berhasil mencapai lima dasar hal di

atas dan kontinyu dalam kesesuaian antara dirinya dan ruh-ruh suci (yang

sempurna) dari orang-orang terdahulu, maka ia akan mampu berkumpul dengan

mereka kapan pun ia mau."

Syeikh Shafiyyuddin Ibn Abil Mansur dalam Risalah nya dan Syeikh Afifuddin al-

Yafi'i dalam kitabnya Raudhur Riydhin menukil riwayat bahwasanya Syeikh al-

Kabir panutan syeikh- syeikh yang 'arifbillah, dan berkah zamannya Abu 'Abdillah

al-Qurasy mengatakan: "Ketika datang bencana besar melanda daerah Mesir, aku

bertawajjuh untuk berdoa, kemudian aku mendengar suara yang mengatakan:

"Tidak usah engkau berdoa, tidaklah ada doa yang didengarkan dari salah

seorang kalian dalam kejadian ini." Selanjutnya aku pergi ke daerah Syam. Ketika

aku berada di halaman luarnya al-Khalil as, maka al- Khalil menemuiku, kemudian

aku berkata: "Ya Rasulullah, jadikanlah jamuanmu padaku dengan doa untuk

penduduk Mesir." Kemudian al-Khalil berdoa, dan ternyata Allah memberikan

kemudahan/ kelapangan bagi penduduk Mesir."

Al-Yafi'i mengatakan: "Ucapan Syeikh 'Abdullah al-Qurasy bahwa al-Khalil

menemuiku" adalah ucapan yang benar, yang tidak bisa disanggah, kecuali orang

yang jahil (bodoh) memahami hal yang terjadi atas mereka, yakni mengenai hal-

ihwal yang mereka saksikan tentang kerajaan langit dan bumi dan melihat para

nabi hidup, bukannya meninggal sebagaimana melihatnya Nabi Muhammad saw

kepada Nabi Musa as di bumi dan melihatnya juga di langit, bersama sekelompok

para nabi di langit, dan mendengar ceramah- ceramah mereka. Dan telah

ditegaskan bahwa apa yang boleh (jaiz) bagi para nabi sebagai mukjizat, maka hal

itu jaiz juga bagi para wali dengan karamah, dengan syarat tidak adanya at-

tahaddy (pendakwahan dengan risalah dan tiadanya penentangan atau

perlawanan kepada yang menentang-penterjemah) .

Imam Ahmad dalam Musnadnya mengeluarkan suatu riwayat, dan al- Kharaiti

dalam Maknrimul Akhlaq melalui Abi al- 'Aliyah dari riwayat seseorang dari

kalangan Anshar, ia berkata:

"Aku keluar meninggalkan keluargaku untuk menemui Nabi saw. Beliau sedang

berdiri dan ada seseorang yang bersama beliau menghadapnya. Aku mengira

bahwa antara keduanya ada keperluan. Kemudian orang Anshar tersebut

berkata: Nabi saw berdiri sampai aku merasa kasihan kepada beliau sebab

lamanya berdiri. Ketika Nabi telah berpaling, aku bertanya kepada beliau, "Ya

Rasulullah, orang ini telah berdiri bersama engkau sampai aku merasa kasihan

terhadap engkau karena lamanya berdiri." Nabi menjawab, "Apakah engkau

melihatnya? Dia adalah Jibril, tidak henti-hentinya beliau berwasiat kepadaku

mengenai tetangga, sampai aku menyangka bahwa tetangga itu akan mewarisi

sesuatu dariku." Selanjutnya Nabi bersabda, "Adapun engkau jika bersalam (ke

Jibril) ia akan membalas salammu."

Al-Mudni dalam al- Ma'rifat mengeluarkan suatu riwayat dari Tamim bin Salmah

ra, ia berkata: "Ketika aku berada di sisi Nabi saw, seorang laki- laki yang berada

di samping beliau tiba-tiba pergi, kemudian aku melihatnya sedang

membelakangi dengan imamah (surban) yang dilepas dari arah belakangnya. Aku

berkata, "Ya, Rasulullah, siapakah orang ini?" Nabi menjawab, "Ini adalah Jibril."

Ahmad dan at-Thabrani serta Baihaqi dalam al- Dalail mengeluarkan suatu

riwayat dari Haritsah bin an- Nu'man ra ia mengatakan:

"Saya bertemu dengan Rasulullah, beliau bersama dengan Jibril, kemudian aku

mengucapkan salam kepada keduanya lalu aku melewati keduanya. Kemudian

Nabi menghampiri seraya berkata, "Apakah engkau melihat orang yang

bersamaku?" Aku menjawab, "Benar." Kemudian Nabi berkata, "Sebenarnya dia

itu Jibril, dia telah menjawab salammu."

Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari Haritsah ra, ia berkata: "Aku melihat Jibril dua kali

sepanjang masa." Imam Ahmad dan al- Baihaqi meriwayatkan dari Ibn 'Abbas ra,

ia berkata: "Aku bersama ayahku berada di samping Rasulullah saw. Saat itu di

sisi Rasulullah ada seorang laki- laki yang sedang membisikinya. Orang itu seolah-

olah membelakangi ayahku. Kemudian kami keluar, lalu ayahku berkata

kepadaku,

"Wahai anakku, apakah engkau melihat kepada anak pamanmu seolah- olah

membelakangiku?" Aku menjawab, "Benar ayah, di samping beliau ada seseorang

yang sedang membisikinya." Kemudian ayahku kembali menemui Rasulullah dan

berkata, "Ya Rasulullah, aku berkata kepada 'Abdullah begini, begini. Dia

menjawab, "Benar bahwa di samping engkau ada seseorang yang sedang

membisiki, apakah benar di sampingmu ada seseorang?" Nabi menjawab,

"Apakah engkau melihatnya wahai Abdullah?" Aku menjawab, "Benar."

Rasulullah berkata, "Itu adalah Jibril, dialah yang menghalangiku darimu."

Ibn Sa'ad meriwayatkan dari Ibn 'Abbas ra, ia berkata: "Aku melihat Jibril dua

kali." Imam at-Thabrani , al- Baihaqi, dan al- Dhabba' dalam al-Mukhtarah

mengatakan: "Rasulullah saw menjenguk seseorang dari kalangan Anshar, ketika

telah hampir dekat dengan rumahnya, beliau mendengar orang yang di dalam

sedang bercakap-cakap. Ketika beliau mendekat, beliau tidak melihat seorang

pun di dalam, lalu beliau bertanya, "Dengan siapa engkau tadi bercakap-cakap?"

Sahabat tersebut menjawab, "Wahai Rasulullah, telah datang ke rumahku

seseorang. Tidaklah aku melihat seorang pun setelah engkau yang lebih mulia di

dalam majelisnya dan lebih baik bicaranya dibanding dia." Kemudian Rasulullah

saw bersabda:

"Itu adalah Jibril. Sesungguhnya di antara kalian ada beberapa orang yang

sekiranya salah seorang di antara mereka itu feer-qasam (bersumpah) kepada

Allah, pasti akan diterimanya. "

Syeikh Sirajuddin bin al-Mulqan [10] dalam kitabnya Thabaaatul Awliya'

menyebutkan: "Syeikh 'Abdul Qadir al-Kailani berkata, "Aku melihat Rasulullah

saw sebelum Zhuhur, beliau berkata kepadaku, "Wahai anakku, mengapa engkau

tidak segera berceramah?" Aku menjawab, "Duhai Abatah (Ayah) , aku adalah

seorang 'ajam (bukan Arab). Bagaimana aku akan berbicara dengan orang-orang

Baghdad yang fasih-fasih. " Lalu beliau berkata, "Bukalah mulutmu." Kemudian

aku membuka mulutku lalu beliau meludahiku sebanyak tujuh kali. Kemudian

beliau bersabda, "Berbicaralah kepada manusia dan ajaklah mereka ke jalan

Tuhanmu dengan hikmah dan mauizhah (pesan- pesan) yang baik." Kemudian

aku menunaikan shalat Zhuhur dan duduk, tiba-tiba berduyun- duyun orang yang

banyak mendatangiku, dan aku melihat Sayyidina Ali ra berdiri di depanku dalam

majelis itu. Kemudian Sayyidina Ali ra berkata kepadaku, "Wahai anakku,

mengapa engkau tidak segera berbicara?" Aku menjawab, "Wahai Abatah (Ayah ),

mereka berduyun- duyun datang kepadaku." Kemudian dia berkata, "Bukalah

mulutmu." Kemudian aku membuka mulutku, lalu dia meludahiku sebanyak

enam kali, kemudian aku bertanya, "Mengapa tidak engkau sempurnakan

menjadi tujuh kali?" Beliau menjawab, "Adab kepada Rasulullah." Selanjutnya

beliau lenyap dari pandanganku. Kemudian aku berkata, "Menyelam dalam

pemikiran, kemudian menyelam dalam lautan hati mencari mutiara-mutiara

kaum 'arifin . Kemudian dikeluarkan ke pinggir shadr (hati), kemudian

mengundang agen penerjemah lisan, dibelinya hal itu dengan nafais isman

(napas- napas berharga), yakni baiknya ketaatan di bilik-bilik yang Allah izinkan

untuk didaki."

Dia juga berkomentar dalam terjemah Syeikh Khalifah bin Musa al-Hadzailaki ,

bahwa dia sering melihat Rasulullah saw baik dalam keadaan jaga maupun tidur.

Sampai dikatakan bahwa kebanyakan pertemuannya dengan Nabi atas amr

(perintali/keinginan ) beliau saw baik secara terjaga maupun pada saat tidur. Dia

melihat Rasulullah dalam satu hari semalam sebanyak tujuh belas kali. la

mengatakan, salah satunya beliau Rasulullah saw berkata:

"Ya Khalifah, janganlah engkau gelisah, sebab betapa banyak para wali yang

meninggal sebab sedih melihatku."

Al-Kamal al- Adfawi dalam bukunya at-Thali 'us Sa'id mengenai terjemah al-Shafi

Ibn 'Abdillah Muhammad bin Yahya al- Aswani yang tinggal di daerah Akhmim

termasuk salah seorang sahabat Abi Yahya bin Syah'i, dia adalah orang yang

terkenal akan keshalehannya, dia memiliki kemampuan kasyaf dan banyak sekali

karamahnya. Adapun yang menulis tentang dirinya adalah Ibn Daqiq al-' id dan

Ibn al- Nu'man serta Quthub al-Qusthalani, disebutkan bahwa ia melihat Nabi

saw dan berkumpul bersama beliau.

Syeikh Abdul Ghaffar bin Nuh al- Qusy dalam kitabnya al- Wahid, beliau adalah

salah seorang sahabat dari Syeikh Abi Yahya Abi Abdillah al- Aswani yang tinggal

di daerah Akhmim, beliau mengabarkan bahwa dirinya melihat Nabi saw pada

setiap jam sampai hampir-hampir belum sampai satu jam kecuali dia diberitahu

sejam sebelumnya.

Dalam kitab al-Wahid juga disebutkan: "Adalah Syeikh Abui 'Abbas al-Mursiy [11]

mempunyai wuslah (hubungan khusus) dengan Nabi saw. Jika ia bersalam

kepada Nabi saw, beliau pasti akan membalasnya dan menjawab ketika berbicara

bersama beliau. Syeikh Tajuddin bin Athaillah[12 ] dalam kitabnya Lathaiful

Minan menceritakan bahwa ada seorang laki- laki berkata kepada Syeikh Abui

Abbas al-Mursiy , "Wahai Tuanku, jabatlah tanganku ini, sebab engkau telah

bertemu dengan banyak rijal (tokoh- tokoh) dan berkeliling ke negeri- negeri yang

banyak." Syeikh Abui Abbas al- Mursiy menjawab, "Demi Allah, belumlah ada

yang menjabat tanganku ini melainkan Rasulullah saw." beliau melanjutkan,

"Sekiranya aku terhijab (terhalangi) dari Rasulullah sekejap mata pun, tidaklah

aku menilai diriku termasuk orang Islam."

Syeikh Shafiyuddin bin Abil Mansur dalam Risalahnya dan Syeikh 'Abdul Ghaffar

dalam al- Wahid mengatakan: "Diceritakan dari Syeikh Abil Hasan al- Wanani ia

berkata: "Telah mengabarkan padaku Syeikh Abui 'Abbas at-Thabkhi, ia berkata,

"Saya menemui tuanku Ahmad bin al- Rifa'i, namun ketika bertemu ia berkata

kepadaku, "Aku bukanlah syeikhmu. Syeikhmu adalah 'Abdur Rahim di daerah

Qina." Selanjutnya aku menuju daerah Qina , dan masuk menemui Syeikh' Abdur

Rahim. Ia bertanya kepadaku, " Apakah engkau sudah ma'rifat (mengetahui)

Rasulullah saw?" Aku menjawab, "Belum. " Ia berkata, "Pergilah engkau ke Baitul

Maqdis sampai engkau tahu (ma'rifat ) Rasulullah." Kemudian' aku pergi ke Baitul

Maqdis. Ketika aku menginjakkan kaki di sana, tiba-tiba di langit, bumi, Arsy dan

Kursy penuh dengan Rasulullah. Kemudian aku kembali menemui Syeikh. Ia

bertanya kepadaku, "Apakah engkau telah ma'rifat (mengetahui) Rasulullah?"

Aku menjawab, "Benar. " Ia menyambung, "Sekarang thariqahmu telah

sempurna. Tidaklah para wali quthub menjadi wali quthub, para wali autad

menjadi wali autad, dan para wali menjadi wali melainkan mereka ma'rifat

terhadap Rasulullah saw."

Syeikh 'Abdul Ghaffar mengatakan dalam kitabnya al-Wahid : "Salah seorang yang

aku ketahui (akan kewaliannya) di Mekkah adalah Syeikh 'Abdullah 'Ad-Dalasi . Ia

bercerita kepadaku bahwa ia merasa semua shalat dalam umurnya tidaklah sah

kecuali sekali shalat saja. Ia meneruskan, "Itu terjadi saat aku berada di Masjidil

Haram pada waktu shalat Shubuh. Ketika imam bertakbiratul ihram dan aku

melakukannya, tiba-tiba ada kekuatan yang menarikku, di sana aku melihat

Rasulullah sedang melakukan shalat sebagai imam sedang di belakangnya ada

sepuluh orang. Kemudian aku menyusul shalat bersama mereka. Hal itu terjadi

pada 673 H. Rasulullah saw, saat itu, pada raka'at pertama membaca Surat al-

Muddatstsir dan pada rakaat yang kedua membaca surat an-Naba '. Setelah

selesai salam, beliau berdoa dengan doa ini:

"Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan

memberikan petunjuk, bukannya orang-orang yang sesat lagi menyesatkan, tidak

mengharapkan akan ke- baikanMu dan tidak pula merindukan apa yang ada di

sisi-Mu , sebab bagiMulah anugerah kepada kami dengan mewujudkan kami.

Sebelumnya kami tidak ada. BagiMu segala puji atas semua itu. Tidak ada Tuhan

selain Engkau."

Ketika Rasulullah saw selesai dan bersalam, bersamaan itu juga imam Masjidil

Haram salam, dan aku menyadari salamnya. Kemudian aku juga melakukan

salam."

Syeikh Shafiyuddin dalam risalahnya mengatakan: "Syeikh Abui 'Abbas al-Harar

berkata kepadaku, "Aku masuk menjumpai Nabi saw, yang saat itu sedang

menulis Manasirul Awliya (daftar para wali) dengan wilayah nya. Beliau menulis

salah satu di antara mereka, yaitu saudaraku Muhammad. " Ia melanjutkan,

saudaranya itu adalah syeikh besar yang memiliki wilayah (kewalian). Tergambar

di wajahnya cahaya yang tidaklah samar bagi seorang pun bahwa dia adalah

seorang wali. Kemudian kami tanyakan hal itu padanya. Ia menjawab, bahwa

Nabi telaji menghembuskan napas beliau ke arah wajahnya. Dan hembusan

beliau itu berbekas berupa cahaya di wajahnya.

Syeikh Shafiyuddin menyatakan: "Aku melihat Syeikh al-Kabir Abu 'Abdillah al-

Qurthubi paling mulia di antara sahabat-sahabat Syeikh al-Qurasyi. Syeikh ini

lebih banyak dari umurnya dihabiskan tinggal di Madinah an-Naba- wiyah, ia

memiliki hubungan kedekatan dengan Baginda Nabi saw, terbukti dengan

salamnya yang selalu dijawab dan dibalas oleh Nabi, serta membawakan surat

beliau kepada Raja al- Kamil dan mempersembahkan surat itu ke Mesir, lalu

kembali lagi ke Madinah."

Syeikh Shafiyuddin melanjutkan: "Salah seorang yang aku lihat di Mesir adalah

Syeikh Abui' Abbas al-Qusthalani , sahabat yang paling istimewa dari Syeikh al-

Qurasyi dalam hal kezuhudannya di daerah Mesir pada masanya. Waktunya yang

paling banyak pada akhir- akhir hidupnya dihabiskan di Mekkah. Ia bercerita,

pada suatu ketika ia masuk menemui Nabi saw lalu beliau berkata kepadanya,

"Allah telah memegang tanganmu wahai Ahmad."

Al-Yafi'i dalam Raudhur Riyahin mengabarkan tentang sebagian dari mereka,

bahwasanya dia melihat di sekitar Ka'bah ada para malaikat, para nabi, dan para

wali, dan yang paling sering terjadi hal itu pada malam Jum'at, begitu juga malam

Senin dan Kamis. Maka aku menghitung betapa banyak jamaah dari para nabi.

Disebutkan pula bahwa setiap dari para nabi tersebut menempati tempat

tertentu, duduk di sekitar Ka'bah . Dan duduk- duduk beserta mereka para

pengikutnya dari keluarga, kerabat, dan para sahabat. Disebutkan pula, bahwa

nabi kita Muhammad saw berkumpul bersama dengan para wali yang tak

terhitung jumlahnya, hanya Allah saja yang tahu, di mana para nabi lainnya tidak

sebesar itu jumlahnya. Diceritakan juga bahwa Ibrahim dan keturunannya

duduk- duduk dekat dengan

pintu Ka'bah di sisi dasar maqamnya yang sudah masyhur. Musa beserta para

nabi berada di antara dua Rukun Yamani, sedangkan 'Isa beserta jamaahnya

berada di arah Hajar. Sedang nabi kita Muhammad duduk di Rukun Yamani

beserta ahli bait, para sahabat, serta para wah' dari ummatnya.

Diceritakan dari sebagian para wali: "Pada suatu ketika ada seorang wali

menghadiri majelis seorang faqih. Saat itu sang faqih sedang meriwayatkan

suatu hadis. Sang wali berkata, "Hadis ini batal." Si faqih bertanya, "Dari mana

engkau tahu bahwa hadis ini batal?" Si wali menimpali, "Nabi Muhammad, beliau

sedang berdiri di sisi belakang kepalamu. Beliau berkata, "Aku tidak

mengucapkan hadis ini." Maka tersingkaplah bagi si faqih dan dia bisa melihat

Nabi."

Dalam kitab al-Mukhid Ilahiyah fi Manakibis Sadah al-Wafaiyah karangan Ibn

Faris [13] ia mengatakan: "Aku mendengar tuanku 'Ali berkata, saat itu aku

berumur kurang lebih lima tahun. Aku sedang belajar membaca al- Qur'an pada

seseorang, namanya Syeikh Ya'qub. Pada suatu hari aku mendatanginya, tiba-

tiba aku melihat Nabi dalam keadaan jaga, bukan mimpi, beliau memakai baju

(gamis) dari katun berwarna putih. Kemudian aku melihat gamis itu berada

padaku. Beliau berkata kepadaku: "Bacalah olehmu." Kemudian aku membaca

surat ad- Dhuha dan Alam Nasyrah. Kemudian beliau hilang dari pandanganku.

Ketika umurku mencapai 21 tahun, aku sedang melakukan takbira-tul ihram di

Qurafah. Aku melihat Nabi saw berada di depanku, kemudian beliau

merangkulku sambil berkata: Wa amma binikmati rabbika fahaddits. Sejak saat

itu, aku (seolah- olah) menerima pesan lisan langsung dari beliau.

Dalam sebagian majami' disebutkan, Sayyid Ahmad ar- Rifa'i [14] sedang

melakukan ibadah haji, ketika berdiri menghadap hujrah (kamar) Nabi yang

mulia, ia menyenandungkan syair:

Ketika merasa dalam keadaan jauh, maka kuutus ruhku. Bumi telah

meninggalkanku, maka jadilah ia sebagai deritaku. Dan inilah bayang-bayang

keberuntungan telah hadir. Julurkan tanganmu agar bibirku mendapat

keuntungan.

Kemudian keluarlah tangan Baginda yang mulia dari dalam kubur, maka aku

menyambutnya.

Dalam mu'jam (kumpulan) Syeikh Burhanuddin al- Baqa'i disebutkan: "Telah

bercerita kepadaku al- Imam Abui Fadhl bin Abui Fadhl al- Nawiri, bahwasanya

Sayyid Nuruddin al-Asjabini orang tua dari Syarif 'Afifuddin, ketika berada di

Raudhah as-Syarifah dia berucap,"Assalamu'alaika ayyuhan nabiyyu

warahmatullahi wabarkatuhu." Ia mendengarkan suara yang berasal dari kubur,

"Wa'alaikas salam , wahai anakku."

Al-Hafizh Muhibbuddin bin an- Najar [15] dalam Ta'rikh-nya menyatakan: "Telah

bercerita kepadaku Abu Ahmad Dawud bin 'Ali bin Muhammad bin Hibbatullah

bin al- Muslimah bin Abui Faraj al- Mubarak bin 'Abdillah bin Muhammad bin an-

Naqur ia berkata, "Telah bercerita Syeikh kami Abu Nashar 'Abdul Wahid bin

'Abdul Malik bin Muhammad bin Abi Sa'id as-Shufi al- Karkhi, ia berkata,

"Saya sedang melakukan ibadah haji dan berziarah ke kubur Nabi saw. Ketika aku

sedang duduk di sisi dinding kamar, tiba-tiba Syeikh Abu Bakar ad-Dayar Bakri

masuk dan duduk menghadap arah Nabi saw dan berucap As-Salamu 'alaika ya

Rasulallah. Aku mendengar suara di balik dinding, Wa'alaikas salam ya Abu

Bakar. Suara itu jelas terdengar oleh orang-orang yang berada di situ.

Dalam kitab Mishbah azh-Zhalam fil Mustaghitsin bi-Khairil Anam karangan al-

Imam Syamsuddin Muhammad bin Musa bin an-Nu 'man [16 ] ia mengatakan:

"Aku mendengar Yusuf bin 'Ali ar- Raqasi bercerita dari seorang wanita Bani

Hasyim, wanita itu tinggal berdekatan dengan kota Madinah. Wanita itu

diperlakukan tidak baik oleh sebagian pembantu tuan rumah wanita itu, lalu

wanita itu bercerita. Kemudian aku beristighatsah dengan Nabi saw, maka aku

mendengar suara yang berkata dari arah Raudhah, "Engkau berada dalam uswah

(teladan), bersabarlah sebagaimana aku telah bersabar, atau semisalnya."

Kemudian suara itu menghilang dariku, dan tiga orang pembantu yang

menganiaya diriku itu pun mati.

Ibn as-Sam 'ani dalam kitabnya ad- Dala'il mengatakan: "Aku adalah Abu Bakar

Hibbatullah bin al-Faraj , aku adalah Abui Qasim Yusuf bin Muhammad bin Yusuf

al-Khathib , aku adalah Abui Qasim 'Abdur Rahman bin 'Umar bin Tamkn al-

Muaddab Tsana Ibn Ibrahim bin' Alan, aku adalah 'Ali bin Muhammad bin 'Ah

Tsana Ahmad bin al-Hasyim at-Thai , ayahku telah bercerita kepadaku dari

ayahnya dari Ibn Salamah bin Ka'sal dari Abi Shadiq, dari 'AH bin Abi Thalib ra, ia

berkata, "Telah datang kepada kami a'rabi (seorang dari kampung) setelah kami

selesai menguburkan jasad Nabi saw tiga hari yang lalu. Kemudian orang

kampung tersebut menyungkurkan dirinya di kubur Nabi saw dan menaburkan

debu kuburan ke arah kepalanya dan ia berucap, "Ya Rasulullah, engkau

bersabda, maka kami dengar sabdamu, dan engkau mendengar dari Allah,

kemudian kami mendengar dari engkau apa yang Allah turunkan (wahyukan)

kepada engkau:

"Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya diri mereka sendiri datang

kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan

ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat

lagi Maha Penyayang."

Dan aku telah menzhalimi diriku, dan aku mendatangi engkau supaya engkau

memintakan ampun untukku. Kemudian ada suara dari arah kubur bahwa aku

telah diampuni."

Selanjutnya saya melihat dalam kitab Muzilus Syubhat fi Itsbatil Karamat

karangan Imam Imaduddin bin Isma'il bin Hibbatullah bin Batish [17] disebutkan

salah satu dalil yang menetapkan adanya karamah , yakni atsar yang berasal dari

sahabat dan tabi'in dan orang-orang setelah mereka. Di antara karamah mereka

adalah Abu Bakar ra. Ketika ia mendekati ajal, ia berkata kepada putrinya Aisyah,

"Bahwa keduanya adalah saudara laki- lakimu dan dua saudara perempuanmu."

'Aisyah ra bertanya, "Benar dua orang itu adalah saudara laki-lakiku , yakni

Muhammad dan Abdur Rahman, siapa lagi saudara perempuanku yang satunya,

tidakkah aku hanya memiliki satu saudara perempuan, yakni Asma'?" Abu Bakar

berkata, "Zawabith anak perempuan Kharijah, dia ditelantarkan di tempat

gembala, dia adalah jariyah kemudian melahirkan Ummi Kultsum."

Kemudian karamah 'Umar bin Khaththab dalam kisah Sariyah, 'Umar

memanggilnya, saat itu ia sedang ber- khutbah, "Wahai Sariyah, ke bukit, ke

bukit." Kemudian Allah perdengarkan suara 'Umar kepada Sariyah padahal ia

berada di Nahawand. Juga kisah 'Umar dengan Sungai Nil dan surat khususnya

untuk sungai tersebut hingga mengalir setelah keringnya.

Kemudian karamah 'Utsman bin 'Affan, 'Abdullah bin Salam berkata: "Saya telah

mendatangi 'Utsman bin 'Affan untuk mengucapkan salam, sedang beliau dalam

keadaan terkepung. 'Utsman berkata, "Selamat datang sahabatku, kulihat

Rasululllah saw dalam gubuk ini." 'Abdullah bin Salam berkata, "Wahai 'Utsman,

orang-orang telah mengepungmu?" Utsman menjawab, "Benar. Apakah engkau

haus?" Aku menjawab, "Benar." Kemudian ia mengambil air seember untukku.

Aku pun meminumnya sampai puas, terasa dinginnya di antara tenggorokan dan

dadaku. Beliau pun berkata, "Jika engkau mau membantu mereka, engkau boleh

berbuka bersama kami." Maka kupilih berbuka bersama Nabi saw. Ternyata hari

itu Utsman meninggal terbunuh.

Hal di atas adalah kisah yang terkenal dari 'Utsman ra yang berasal dari kitab-

kitab hadis, dikeluarkan oleh Ibn Abi Usamah dalam Musnad nya dan juga

selainnya. Pengarang buku ini telah paham bahwa itu adalah ru'yah (melihat)

secara terjaga. Dan jika tidak, berarti tidak patut untijik dikategorikan sebagai

karamah , dan karamah itu pun tidak diingkari oleh orang yang mengingkari

karamah para wali.

Sebagian dari itu, apa yang dituturkan Ibn Batish dalam kitab ini, ia mengatakan:

"Di antara mereka adalah Abui Husein Muhammad bin Sam'un al- Baghdadi as-

Shufi [18 ] Abu Thahir Muhammad bin 'Ali al- 'Ulah berkata, "Pada suatu hari Abui

Husein bin Sam'un menghadiri majelis pengajian, ia duduk di kursi sambil

berceramah. Adalah Abui Fath al-Quwash duduk di samping kursi, ia terserang

kantuk dan tidur. Abui Husein berhenti sejenak dari ceramahnya sampai Abui

Fath terbangun dan mengangkat kepalanya. Abui Husein bertanya kepadanya,

"Apakah engkau melihat Nabi saw dalam tidurmu?" Ia menjawab, "Benar. " Abui

Husein berkata, "Oleh sebab itu aku berhenti bicara khawatir jika hal itu

memutus apa yang sedang engkau alami."

Hal tersebut di atas menjadi bukti bahwa sebenarnya Ibn Sam'un melihat Nabi

saw secara terjaga ketika Nabi hadir, dan Abui Fath melihatnya dalam tidur.

Abu Bakar bin Abi Abyadh berkata dalam tulisannya: "Aku mendengar Abui

Husein Naba'nal Jamal berkata, "Telah bercerita kepadaku sebagian sahabat

kami, "Ada seorang laki-laki dikenal sebagai Ibn Tsabit tinggal di Mekkah. Pada

suatu ketika pergi dari Mekkah menuju Madinah selama enam tahun, tidaklah lain

hanya untuk bersalam kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian ia kembali

pulang. Setelah selang beberapa waktu, sebab sibuk atau sebab lain, ia lupa tidak

berkunjung." Ia melanjutkan ceritanya, "Ketika ia sedang duduk di sebuah batu

antara tidur dan terjaga, tiba-tiba ia melihat Nabi Muhammad saw. Beliau

bersabda, "Wahai Ibn Tsabit, engkau tidak menziarahiku, maka aku yang

mengunjungimu."

Perhatian:

Pertama, kebanyakan kejadian melihat Nabi Muhammad saw dalam keadaan

jaga adalah dengan pandangan hati, kemudian meningkat sampai melihat

dengan pandangan mata ( bashar ). Pembahasan masalah ini telah dikemukakan

di depan. Bahwa pernyataan al- Qadhi Abu Bakar bin al-'Arabi , "Akan tetapi

bukanlah melihatnya bashariyah (mata) ini seperti melihat yang umum diketahui

oleh kebanyakan orang seperti melihatnya sebagian orang kepada sebagian yang

lain. Melihat di sini adalah fenomena jam'ah khaliyah dan barzakhiyyah

(metafisik) dan peristiwa wujdani (yang dirasakan hati) yang tidak bisa

mengetahui hakikatnya kecuali orang yang mengalaminya langsung. Begitu juga â

€”disebutkan di depan— seperti yang dialami oleh Syeikh 'Abdullah ad-Dalasi ;

ketika imam takbiratul ihram tiba- tiba ada kekuatan yang menarikku, kemudian

aku melihat Rasulullah saw. Hal ini mengisyaratkan pada fenomena di atas.

Kedua, apakah melihatnya itu, melihat kepada dzat Nabi Muhammad saw

dengan jisim dan ruhnya atau semacam bentuk gambar (pemisalannya) di mana

orang-orang melihat arbabul ahwal dan mereka katakan sebagai Nabi saw.

Dalam hal ini al- Ghazali menjelaskan, bahwa yang dimaksud bukanlah Nabi

dilihat sebagai jisim dan badannya. Akan tetapi, "misal" beliau yang benar,

pemisalan itu sebagai alat (media) di mana hal itu suatu ketika merupakan hal

yang sebenarnya (hakikat) dan pada waktu lain merupakan khayali. Sebab nafs

bukanlah misal yang dikhayalkan. Adapun perwujudan dari bentuk yang terlihat

itu bukanlah ruh dari Nabi Muhammad saw dan juga bukan sosoknya, akan tetapi

misal (contoh) . Imam Ghazali melanjutkan, yang semisal dengan itu adalah orang

yang melihat Nabi saw sewaktu tidur. Sesungguhnya dzat Allah tersucikan dari

bentuk dan gambar, akan tetapi puncak dari cara Allah supaya diketahui oleh

hamba dengan perantaraan misal (gambar) yang bisa dicerna semisal cahaya

atau lainnya. Dan misaj tersebut adalah sesuatu yang haqq (benar adanya)

sebagai media dalam pengenalan ( ta'rif ), maka orang yang melihat mengatakan,

"Aku melihat Allah dalam tidur", tidak dimaknai aku melihat Dzat Allah ta'ala,

sebagaimana ia mengatakan tentang haqq (kebenaran) selainnya.

Al-Qadhi Abu Bakar bin al-'Arabi menjelaskan: "Melihat Nabi saw dengan sifat-

sifatnya yang sudah diketahui merupakan perjumpaan yang sebenarnya. Dan

melihat beliau bukan dengan sifat-sifatnya adalah pertemuan pada pemisalan."

Inilah yang ia utarakan dalam kitab Ghayatul Husni, dan tidaklah mustahil

melihat beliau dengan jasad dan ruhnya. Sebab Nabi saw dan nabi-nabi yang lain

adalah hidup. Ruh- ruh mereka dikembalikan ke jasad mereka setelah dicabut,

dan mereka diizinkan untuk keluar dari kubur mereka dan beraktivitas, baik di

alam malakut 'ulya (atas) atau sufla (bawah).

Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para nabi. Ia

menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: "Para nabi hidup di sisi Tuhan

mereka seperti para syuhada."

Ustadz Abu Manshur 'Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi [19] mengatakan:

"Para sahabat kami yang ahli kalam al-muhaqqiqun berpendapat bahwa Nabi kita

Muhammad saw hidup setelah wafatnya. Adalah beliau saw bergembira dengan

ketaatan ummatnya dan bersedih dengan kemaksiatan mereka, dan beliau

membalas shalawat dari ummatnya." Ia menambahkan, "Para nabi as tidaklah

dimakan oleh bumi sedikit pun. Musa as sudah meninggal pada masanya, dan

Nabi kita mengabarkan bahwa beliau melihat ia shalat di kuburnya. Disebutkan

dalam hadis yang membahas masalah mi'raj , bahwasanya Nabi Muhammad saw

melihat Nabi Musa as di langit ke empat serta melihat Adam dan Ibrahim. Jika

hal ini benar adanya, maka kami berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw

juga hidup setelah wafatnya, dan beliau dalam kenabiannya."

Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya

mengatakan: "Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian

merupakan perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lain. Hal ini

menunjukkan bahwa para syuhada (orang yang mati syahid) setelah kematian

mereka, mereka hidup dengan diberikan rejeki, dalam keadaan gembira dan suka

cita. Hal ini merupakan sifat orang-orang yang hidup di dunia. Jika sifat

kehidupan di dunia ini saja diberikan kepada para syuhada (orang yang mati

syahid), tentu para nabi lebih berhak untuk menerimanya.

Benar, ungkapan yang mengatakan bahwa bumi tidak memakan jasad para nabi

as. Hal itu terbukti bahwa Nabi Muhammad saw berkumpul dengan para nabi

pada malam isra' di Baitul Maqdis dan di langit, serta melihat Nabi Musa berdiri

shalat di kuburnya. Nabi juga mengabarkan bahwa beliau menjawab salam dari

orang yang mengucapkan salam kepadanya. Sampai hal yang lebih dari itu, di

mana secara global hal tersebut bisa menjadi dasar penyangkalan terhadap

kematian para nabi as yang semestinya adalah mereka kembali; gaib dari pada

kita, hingga kita tidak bisa menemukan mereka, padahal mereka itu wujud, hidup

dan tidaklah melihat mereka seorang pun dari kita melainkan orang yang oleh

Allah diberikan kekhususan dengan karamah .

Abu Ya'la dalam Musnadnya dan al- Baihaqi dalam kitab Hciycitul Anbiyci'

mengeluarkan hadis dari Anas ra:

Nabi saw bersabda: "Para nabi hidup di kubur mereka dalam keadaan

mengerjakan shalat."

Al-Baihaqi mengeluarkan hadis dari Anas ra:

Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya para nabi tidaklah ditinggalkan di dalam

kubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka shalat di hadapan

Allah SWT sampai ditiupnya sangkakala."

Sufyan meriwayatkan dalam al-Jami ', ia mengatakan: "Syeikh kami berkata, dari

Sa'idbin al-Musayyab , ia mengatakan, "Tidaklah seorang nabi itu tinggal di dalam

kuburnya lebih dari empat puluh malam, lalu ia diangkat."

Al-Baihaqi menyatakan, atas dasar inilah mereka layaknya seperti orang hidup

kebanyakan, sesuai dengan Allah menempatkan mereka.

'Abdur Razzaq dalam Musnad nya meriwayatkan dari as-Tsauri, dari Abil Miqdam,

dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata: "Tidaklah seorang nabi mendiami bumi lebih

dari empat puluh hari."

Abui Miqdam meriwayatkan dari Tsabit bin Hurmuz al- Kufi, seorang syeikh yang

shaleh, Ibn Hibban dalam Tarikhnya dan Thabrani dalam al- Kabir serta Abu

Nua'im dalam al- Hilyah, dari Anas ra berkata:

Rasulullah saw bersabda: "Tidaklah seorang nabi pun yang meninggal, kemudian

mendiami kuburnya kecuali hanya empat puluh hari."

Imamul Haramairi dalam kitab an-Nihayah , dan ar- Rafi'i dalam kitab as-Syarah

diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda

"Aku dimuliakan oleh Tuhanku dari ditinggalkannya aku dikubur selama tiga

hari."

Imam al-Haramain menambahkan, diriwayatkan lebih dari dua hari. Abui Hasan

bin ar- Raghwati al- Hanbali mencantumkan dalam sebagian kitab-kitabnya:

"Sesungguhnya Allah tidak meninggalkan seorang nabi pun di dalam kuburnya

lebih dari setengah hari."

Al-Imam Badruddin bin as-Shahib dalam Tadzkirahnya membahas dalam satu

bab tentang hidupnya Nabi saw setelah memasuki alam bnrzokh. Ia mengambil

dalil penjelasan Pemilik syari'at (Allah ) dari firmanNya:

"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah, itu mati,

bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rejeki," (QS. Ali

'Imran: 169) .

Keadaan di atas menjelaskan tentang kehidupan alam barzakh setelah kematian,

yang dialami oleh salah satu golongan dari ummat ini yang termasuk dalam

golongan orang-orang yang bahagia (sn'ada') . Apakah hal-ikhwal mereka lebih

tinggi dibandingkan dengan kedudukan Nabi saw? Sebab mereka memperoleh

kedudukan semacam ini dengan barakah dan dengan sebab mereka mengikuti

beliau, serta bersifat dengan hal yang memang selayaknya mereka memperoleh

ganjaran kedudukan ini dengan syahadah (kesaksian), dan syahadah Nabi

Muhammad saw itu merupakan paling sempurnanya syahadah.

Nabi Muhammad saw bersabda:

"Aku melewati Nabi Musa as pada malam aku dasra'kan berada di sisi bukit pasir

merah, ia sedang berdiri shalat di kuburnya."

Hal ini jelas sebagai penetapan atas hidupnya Musa as, sebab Nabi saw

menggambarkannya sedang melakukan shalat dalam posisi berdiri. Hal semacam

ini tidaklah disifati sebagai ruh, melainkan jasad, dan pengkhususannya di kubur

merupakan dalilnya. Sebab sekiranya (yang tampak itu) adalah sifat-sifat ruh,

maka tidak memerlukan pengkhususan di kuburnya. Tidak seorang pun yang

akan mengatakan/berpendapat bahwa ruh-ruh para nabi terisolir (terpenjara) di

dalam kubur beserta jasadnya, sedangkan ruh-ruh para su'ada' (orang- orang

yang bahagia/sentosa) dan kaum mukminin berada di surga.

Di dalam ceritanya, Ibn 'Abbas menuturkan ra:

"Aku merasa tidak sah shalatku sepanjang hidup kecuali sekali shalat saja. Hal itu

terjadi ketika aku berada di Masjidil Haram pada waktu Shubuh. Ketika imam

takbiratul ihram, aku juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba aku merasa ada

kekuatan yang menarikku; kemudian aku berjalan bersama Rasuhdlah antara

Mekkah dan Madinah. Kemudian kami melewati sebuah lembah. Nabi bertanya,

"Lembah apakdh ini?"Mereka menjawab, "Lembah Azraq."Kemudian Ibn 'Abbas

berkata, "Seolah- olah aku melihat Musa meletakkan kedua jari telunjuk ke

telinganya sambil berdoa kepada Allah dengan talbiyah melewati lembah ini.

Kemudian kami melanjutlam perjalanan hingga kami sampai pada sebuah sungai

kecil di bukit. " Ibn 'Abbas melanjutkan kisahnya, "Seolah- olah aku melihat Nabi

Yunus di atas unta yang halus, di atasnya ada jubah wol melewati lembah ini

sambil membaca talbiyah."

Dipertanyakan di sini, bagaimana Ibn 'Abbas bisa menuturkan tentang haji dan

talbiyah mereka, padahal mereka sudah meninggal? Dijawab: bahwasanya para

syuhada itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan diberikan rejeki, maka tidak jauh

pula, jika mereka haji dan shalat serta bertaqarrub dengan semampu mereka,

meskipun mereka berada di akhirat. Sebenarnya mereka di dunia mi, yakni

kampungnya amal, sampai jika telah habis masanya dan berganti ke kampung

akhirat, yakni kampungnya jaza' (pembalasan) , maka habis pula amalnya. Ini

pendapat dari al-Qadhi Iyadh.

Al-Qadhi Iyadh mengatakan bahwa mereka itu melaksanakan haji dengan jasad

mereka dan meninggalkan kubur mereka, maka bagaimana bisa diingkari

berpisahnya Nabi saw dengan kuburnya, jika beliau haji, shalat ataupun isra'

dengan jasadnya ke langit, tidaklah beliau terpendam di dalam kubur.

Kesimpulannya dari beberapa penukilan dan hadis tersebut, bahwa Nabi saw

hidup dengan jasad dan ruhnya. Dan beliau melakukan aktivitas dan berjalan,

sekehendak beliau di seluruh penjuru bumi dan di alam malakut. Dan beliau

dalam bentuk/keadaan seperti saat sebelum beliau wafat, tidak berubah sedikit

pun. Beliau tidak tampak oleh pandangan sebagaimana para malaikat yang

wujudnya adalah ada dan hidup dengan jasad mereka. Jika Allah berkehendak

mengangkat hijab tersebut terhadap orang yang Dia kehendaki sebagai bentuk

anugerah dengan melihat Nabi, maka orang tersebut akan melihat beliau dalam

keadaan apa adanya (seperti saat beliau hidup) dan tidak ada sesuatu pun yang

menghalangi dari hal tersebut serta tidak ada pula yang menentang atas

pengkhususan melihat yang semisalnya.

Ketiga, ada sebagian orang yang menanyakan bagaimana caranya orang-orang

yang jumlahnya banyak dan di tempat yang berbeda- beda pula melihat beliau?

Maka ada sebuah syair yang berbunyi:

"Seperti matahari di angkasa, sinarnya menerangi, negeri- negeri baik di timur

atau di barat."

Dalam manaqib as-Syeikh Tajuddin bin 'Athaillah disebutkan ada salah seorang

muridnya yang mengatakan: "Aku sedang melakukan ibadah haji, pada saat

thawaf aku melihat Syeikh Tajuddin juga melakukan thawaf, maka aku berniat

untuk mengucapkan salam kepadanya setelah beliau selesai dari thawafnya.

Ketika beliau telah selesai dari thawaf, maka aku mendatanginya namun aku tidak

melihatnya lagi. Kemudian aku melihatnya lagi ketika berada di Arafah, dan

begitu juga kejadiannya, begitu pula di tempat-tempat lainnya. Ketika aku

kembali ke Mesir, maka aku bertanya tentang keadaannya, dikatakan kepadaku

bahwa beliau dalam keadaan baik. Lalu aku tanyakan apakah beliau bepergian?

Mereka (murid- murid Syeikh) menjawab tidak. Selanjutnya aku menemui Syeikh

dan aku mengucapkan salam kepada beliau. Beliau bertanya kepadaku,

"Siapakah yang engkau lihat?" Aku menjawab, "Aku melihat engkau wahai

Tuanku." Beliau menimpali, "Wahai Fulan, orang besar ( ar- rajul al-kabir )

memenuhi semesta ini. Sekiranya seorang wali quthub memanggil batu, tentu

batu itu akan menjawab. "

Kalaulah wali quthub memenuhi semesta ini, tentu saja Nabi Muhammad saw

dalam pembahasan ini adalah yang paling utama. Dalam pembahasan yang

terdahulu telah disebutkan dari Syeikh Abui Abbas at-Thabkhi , bahwasanya dia

berkata: "Dan aku melihat di langit, bumi, Arsy, Kursy, semuanya penuh dengan

Rasulullah saw." Ada orang yang bertanya, apakah semestinya bagi orang yang

melihat Rasulullah saw bisa dikategorikan sebagai sahabat?

Jawabnya: bahwa hal tersebut tidaklah mesti harus demikian. Meski orang yang

melihat pemisalan dari beliau saw itu adalah benar adanya. Sebab suhbnh

(kategori sahabat) bisa ditetapkan berdasar pada melihat dzat beliau yang mulia,

baik itu fisik maupun ruhnya. Ringkasnya, kami biasanya bahwa orang yang

melihat dzat beliau adalah syarat kategori suhbah (persahabatan) . Jika ia melihat

beliau, sedangkan beliau berada di alam malakut, melihat semacam ini tidak bisa

dikategorikan sebagai suhbah (persahabatan). Hal ini dipertegas lagi oleh hadis-

hadis yang menjelaskan bahwa seluruh ummatnya dihadapkan kepada beliau.

Nabi melihat mereka, begitu sebaliknya, seluruh ummatnya melihat beliau, dan

tidaklah menjadi dasar bahwa semuanya dikategorikan sebagai sahabat. Sebab

melihatnya di sini adalah melihatnya di alam malakut, maka tiada faedah suhbah

itu.

Abu Bakar bin Abi Dawud dalam kitab al- Masaif mengeluarkan dari Abu Ja'far, ia

mengatakan: "Abu Bakar ra mendengar munajat Jibril untuk Baginda Nabi saw."

Muhammad bin Nashar al- Maruzi [20] dalam kitab as-Shalat mengeluarkan

sebuah riwayat dari Hudzaifah bin al- Yaman ra:

"Bahwasanya ia mendatangi Nabi saw kemudian berkata kepada beliau, "Wahai

Rasulullah, ketika aku sedang melakukan shalat tiba- tiba aku mendengar suara

orang yang berkata, "Ya Allah, segala puji bagiMu seluruhnya, dan bagimu

seluruh kerajaan, dan kepada Engkau seluruh perkara dikembalikan baik yang

terang ataupun tersamar. BagiMu segala puji, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa

atas segala sesuatu. Ya Allah, ampunilah seluruh dosa-dosaku yang telah lampau

dan jagalah sisa umurku dan berikanlah aku rejeki amal yang bersih yang Engkau

ridai diriku dengannya." Nabi saw menjawab, "Itu adalah malaikat yang

mendatangimu untuk mengajarimu cara memuji Tuhanmu."

Muhammad bin Nashar mengeluarkan satu riwayat dari Abu Hurairah ra, ia

berkata: "Ketika aku sedang melakukan shalat, tiba-tiba aku mendengar suara

seseorang berdoa, "Ya Allah, segala puji bagiMu seluruhnya... " Ia menyebutkan

hadis semisal di atas.

Ibn Abi Dunya dalam kitab adz-Dzikr mengeluarkan satu riwayat dari Anas ra, ia

berkata: "Ubai bin Ka'ab berkata, "Sungguh aku masuk ke masjid, sungguh aku

akan shalat, sungguh aku akan memuji Allah dengan puji-pujian yang belum

pernah seorang pun memuji dengannya."

Ketika ia selesai melakukan shalat dan duduk untuk memuji Allah SWT, tiba- tiba

ia mendengar suara yang tinggi dari arah belakang yang berbunyi, "Ya Allah,

segala puji bagiMu seluruhnya, dan bagiMu seluruh kerajaan, dan di tangan-

Mulah segala urusan, dan kepadaMulah seluruh urusan akan dikembalikan, baik

yang terang maupun yang tersamar, bagiMu segala puji. Sesungguhnya Engkau

Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ampunilah segala dosa-dosaku yang telah

berlalu dan jagalah sisa-sisa umurku dan berikanlah aku rejeki amal perbuatan

bersih yang Engkau ridai dan terimalah taubatku. " Kemudian ia mendatangi Nabi

saw dan menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Maka Nabi menjawab, "Itu

adalah Jibril."

At-Thabrani dan al-Baihaqi mengeluarkan satu riwayat dari Muhammad bin

Salamah ra, ia mengatakan:

"Saya bertemu dengan Rasulullah saw sedang meletakkan pahanya di atas paha

seseorang. Maka aku tidak jadi mengucap salam. Kemudian aku kembali. Nabi

bertanya, "Apa yang menghalangimu untuk mengucap salam?" Aku menjawab,

"Wahai Rasulullah, aku melihat engkau melakukan begini dengan orang laki- laki

ini yang tidak pernah engkau lakukan dengan seorang pun, maka aku tidak ingin

memutus apa yang sedang Baginda bicarakan. Siapakah orang ini wahai

Rasuhdlah?" Beliau menjawab, "Jibril. "

Al-Hakim mengeluarkan riwayat dari 'Aisyah ra, ia berkata: "Aku melihat Jibril

berdiri di kamarku ini, dan Rasulullah saw membisiki. Kemudian aku bertanya

kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah, siapakah gerangan orang ini?" Beliau

menjawab, " Menurutmu mirip siapakah dia itu? " Aku menjawab, "Badhiyah."

Nabi menimpali, "Engkau telah melihat Jibril. "

Al-Baihaqi mengeluarkan riwayat dari Hudzaifah: Nabi saw bersabda, kemudian

beliau keluar, aku mengikutinya, tiba-tiba ada seseorang yang membuntuti

beliau. Nabi bertanya kepadaku:

"Wahai Hudzaifah, apakah engkau melihat orang yang membuntutiku?" Aku

menjawab, "Benar. " Beliau melanjutkan, "Itu adalah salah satu dari para malaikat

yang belum pernah turun ke bumi sebelumnya. Ia meminta izin kepada Tuhanku,

kemudian mengucapkan salam kepadaku dan memberikan kabar gembira

kepadaku tentang Hasan dan Husein dan bahwa keduanya adalah pemimpin

pemuda penghuni surga serta Fatimah sebagai pemimpin wanita penghuni

surga.".

At-Thabrani mengeluarkan sebuah riwayat dari Hudzaifah ra, ia berkata: "Aku

bermalam di rumah Nabi saw. Kemudian aku melihat di sisi beliau ada

seseorang. Nabi saw bertanya kepadaku, " Wahai Hudzaifah, apakah engkau

meliliatnya ? " Aku menjawab, "Benar wahai Rasulullah." Beliau menjelaskan, " Ini

adalah malaikat yang belum pernah diturunkan untuk menemuiku sejak aku

diutus. Ia mendatangiku malam ini dan memberitahukan kabar gembira bahwa

Hasait dan Husein menjadi pemimpin pemuda ahli surga. "

Ahmad, al-Bukhari , Muslim, Nasa'i serta al-Baihaqi , dua orang yang disebut

terakhir dalam kitab Dalailun Nubuwwah, diriwayatkan dari Usaid bin Hushain, ia

bercerita bahwasanya ketika ia sedang membaca bagian dari surat al-Baqarah,

saat itu kudanya ia talikan di sisinya, tiba-tiba kuda tersebut berputar-putar ,,

kemudian ia berhenti membaca, dan kuda itu pun ikut tenang. Kemudian ia

membaca surat itu lagi, dan kudanya kembali berputar-putar . Dia diam, maka

kuda itu pun ikut tenang. Kemudian ia membaca lagi, kembali kuda tersebut

berputar-putar . Ketika ia diam, kudanya pun ikut tenang. Ketika ia

mendongakkan kepalanya ke langit, tiba-tiba saja ia melihat gumpalan yang

berupa seperti lampu-lampu, naik ke langit sampai lenyap dari pandangan

matanya. Pada pagi harinya, hal itu diceritakan pada Rasulullah saw, Nabi saw

menjawab:

"Itu adalah para malaikat yang mendekat sebab mendengar suaramu, sekiranya

engkau membaca (terus) , maka niscaya orang-orang bisa melihat malaikat

tersebut dengan jelas (tidak tersembunyi). "

Al-Waqidi dan Ibn 'Asakir mengeluarkan satu riwayat dari 'Abdur Rahman bin

'Auf ra, ia berkata: "Aku melihat dua orang saat terjadi Perang Badar. Salah

satunya berada di sisi kanan Nabi Muhammad saw dan satunya lagi berada di

sebelah kiri. Keduanya bertempur dengan dahsyat, kemudian sepertiga dari

kekuatan keduanya berada di belakang beliau dan seperempat dari kekuatan

mereka berada di depan Nabi saw."

Ishaq bin Rahwiyah [21] di dalam Musnadnya, Ibn Jarir dalam Tafsirnya, Abu

Na'im dan al- Baihaqi dalam kitab Daldilun Nubnwwah mengeluarkan riwayat

dari Usaid as-Sa'idi ra, ia berkata: "Waktu itu aku disembunyikan (tidak

diberitahu). Sekiranya aku bersama kalian dalam Perang Badar, tentu akan aku

kabarkan kepada kalian mengenai suku besar yang keluar bersama para malaikat,

aku tidak ragu dan tidak mengingkarinya. "

Al-Baihaqi mengeluarkan sebuah riwayat dari Abi Burdah bin Niyar, ia berkata:

"Aku membawa tiga kepala, dan aku meletakkannya di hadapan Nabi saw: Wahai

Rasulullah, adapun yang dua kepala ini, aku sendiri yang telah memenggalnya,

sedang yang ketiga ini aku melihat seorang laki- laki putih yang keras sekali

pukulannya, kemudian aku ambil kepala tersebut." Kemudian Nabi bersabda:

"Pemuda itu termasuk dari para malaikat."

Al-Baihaqi mengeluarkan suatu riwayat yang bersumber dari Ibn 'Abbas ra, ia

berkata: "Ada malaikat yang berbentuk manusia yang dikenal oleh orang banyak

untuk meneguhkan pendirian mereka." Ibn 'Abbas melanjutkan,

"Aku telah dekat dengan mereka (malaikat) , kemudian aku mendengarkan

mereka berkata, "Sekiranya mereka menanggung apa yang telah ditatapkan

kepada kita, tidaklah mereka itu keberatan,"

Hal itu seperti yang difirmankan Allah dalam surat al-Anfal : 12:

"(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat "Sesungguhnya

aku bmama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah

beriman' (QS. al-Anfal : 12),

Ahmad, Ibn Sa'ad, Ibn Jarir Sirta Abu Na'im dalam ad-Dalail mengeluarkan suatu

riwayat dari Ibn 'Abbas ra, ia berkata: "Abul Yasar, yakni Ka'ab bin 'Umar adalah

orang yang telah menawan 'Abbas, dia adalah sterang yang berperawakan

sidang, Adapun 'Abbas adalah storang yang berperawakan gemuk. Nabi

Muhammad saw bertanya kepadanya, "Wahai Abul Yasar, bagaimana engkau

bisa menawan 'Abbas ?" Abul Yasar menjawab, "Wahai Rasulullah, aku telah

dibantu oleh seseorang yang belum pernah aku sebelum atau sesudahnya, begini

dan begini." Kemudian Nabi saw menjawab:

"Engkau telah dibantu oleh morang malaikat yang mulia"

Ibn Sa'ad dan al-Baihaqi mengeluarkan riwayat dari 'Imar bin Abi 'Imar ra

bahwa Hamzah bin 'Abdil Muthallib berkata: "Wahai Rasulullah, perlihatkan

kepadaku Jibril dalam wujudnya yang asli." Beliau menjawab, "Duduklah."

Kemudian Hamzah duduk. Setelah itu turunlah Jibril pada sepotong kayu yang

ada pada Ka'bah. Kemudian Nabi berkata, "Angkatlah pandanganmu dan

lihatlah." Kemudian Hamzah mengangkat pandangan matanya. Ia melihat kedua

telapak kakinya (Jibril) seperti zabarjud berwarna hijau."

Ibn Abi Dunya dalam kitab al-Qubur , at-Thabrani dalam kitab al- Awsath

mengeluarkan riwayat dari Ibn 'Umar ra, ia mengatakan: "Ketika sedang

menelusuri bekas- bekas pertempuran Badar, tiba-tiba saja ada seorang laki-laki

yang keluar dari lubang, pada lehernya ada rantai. Kemudian ia memanggilku,

"Wahai 'Abdullah, berikanlah aku minum." Dan dari lubang yang sama muncul

seorang laki-laki , di tangannya menggenggam cemeti, ia memanggilku, "Wahai

'Abdullah, janganlah engkau beri minum. Ia adalah orang kafir. " Lalu ia memukul

orang tersebut dengan cemetinya sampai ia kembali ke dalam lubang di mana ia

muncul. Selanjutnya aku menemui Baginda Nabi saw dan menceritakan apa yang

telah aku alami. Beliau bertanya kepadaku, "Apakah benar engkau melihatnya?"

Aku menjawab, "Benar. " Nabi bersabda:

"Itu adalah musuh Allah Abu Jahal, dan itu adalah siksaan baginya sampai Hari

Kiamat."

Yang menjadi fokus dalil adalah melihatnya Ibn 'Umar terhadap seorang laki- laki

yang keluar setelah Abu Jahal dan memukulnya dengan cemeti. Orang tersebut

sebenarnya adalah malaikat yang bertugas untuk mengazabnya.

Ibn Abi Dunya, Thabrani dan Ibn 'Asakir mengeluarkan satu riwayat melalui

'Ulwah bin Ruwaim, dari 'Urbadh bin Sariyah as-Shahabi bahwasanya ia

menginginkan untuk dijemput oleh maut, ia berdoa, "Wahai Tuhanku, telah tua

umurku dan rapuh tulangku, maka cabutlah nyawaku. " Ia melanjutkan, "Ketika

suatu hari aku berada di masjid Damsyik sedang melakukan shalat diteruskan

berdoa supaya diambil ruhku, tiba-tiba aku bertemu dengan seorang pemuda

yang sangat tampan berpakaian hijau dan ia berkata, "Apa yang engkau katakan

tadi?" Aku menjawab, seperti apa yang aku katakan dalam doa tadi. Bagaimana

aku harus berdoa?" Katakanlah olehmu:

"Ya Allah, perbaikilah amal dan datangkanlah ajal."

Aku bertanya, "Semoga Allah merahmatimu. Siapakah sebenarnya dirimu itu?" Ia

menjawab, "Aku adalah Ratabil yang bertugas mencabut kesedihan dari hati

kaum mukmin." Kemudian ia menghilang dan aku tidak melihat seorang pun.

Ibn 'Asakir dalam Tarikh-nya meriwayatkan dari Sa'id bin Sinan, ia berkata: "Aku

mendatangi Baitul Maqdis bermaksud melakukan shalat. Kemudian aku masuk

ke dalam. Ketika aku berada di sana, tiba- tiba aku melihat kuda yang memiliki

dua sayap, ia menghadap dan mengatakan:

"Maha Suci Dzat Yang Maha Kekal lagi Maha Berdiri. Maha Suci Dzat Yang Maha

Hidup lagi Maha Berdiri sendiri. Maha Suci Dzat Yang Maha Raja lagi Maha Suci.

Maha Suci Tuhan malaikat dan ruh. Maha Suci Allah dengan segala puji. Maha

Suci Allah Dzat Yang Maha Tinggi. Maha Suci Allah dan Maha Luhur."

Kemudian menghadap lagi makhluk sejenis di atas dan membaca doa itu disusul

oleh berikut dan berikutnya saling menyahut sampai masjid itu penuh dengari

suara. Sebagian dari mereka berada dekat dengan tempatku. Ia bertanya

kepadaku, "Keturunan Adam?" Aku menjawabnya, "Benar. " Ia meneruskan,

"Janganlah penghukuman itu membuatmu takut."

Dan ada sebuah cerita yang bisa dimasukkan dalam pembahasan ini, yakni

riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud melalui Abu 'Umair bin Anas dari

bibinya yang termasuk golongan Anshar, bahwasanya 'Abdullah bin Zaid ra

berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya aku jelas- jelas tidur dan terjaga, tiba- tiba

ada yang mendatangiku, maka aku melihatnya ia melakukan adzan. 'Umar bin

Khaththab ra telah melihatnya sebelum itu, dan merahasiakannya selama dua

puluh hari."

Dalam kitab as-Shalat karangan Abu Na'im al-Fadhil bin Hakim, disebutkan

bahwa 'Abdullah bin Zaid berkata: "Sekiranya aku tidak bingung terhadap diriku

sendiri, sungguh aku akan katakan bahwa aku tidaklah sedang tidur." Dalam

Sunan Abu Dawud melalui jalur Ibn Abi Laila [22] "Telah datang kepada Nabi

Muhammad saw seorang laki- laki dari golongan Anshar. Ia berkata, "Wahai

Rasulullah, aku melihat seorang laki-laki yang memakai dua pakaian berwarna

hijau semuanya, kemudian ia beradzan, terus duduk kemudian berdiri lagi, dan

mengucapkan seperti sebelumnya ditambah dengan qad qamatis shalah.

Sekiranya orang-orang bertanya, tentu akan aku katakan bahwa aku dalam

keadaan jaga/sadar, bukan tidur." Nabi saw menjawab:

"Allah telah memperlihatkan kepadamu suatu kebajikan. "

Syeikh Waliyyuddin al- Traqi dalam kitab Syarah Sunan Abi Dawud mengomentari

tentang ungkapan "Aku jelas- jelas tidur dan terjaga" adalah suatu yang muskil,

sebab yang pasti keadaan itu tidaklah terlepas dari apakah tidur atau terjaga.

Mungkin yang dimaksud bahwa tidurnya itu masih ringan tidak jauh dari tidur

sebenarnya dan dekat dengan keterjagaan, maka jadilah seolah- olah ia berada

pada posisi di antara tidur dan terjaga."

Ia melanjutkan, "Jelas dari sini bahwa ia dibawa kepada suatu keadaan di mana

arbabul ahwal terlepaskan, mereka menyaksikan di sana apa yang mereka

saksikan dan mendengarkan apa yang mereka dengar. Dan para sahabat ra itu

adalah pemimpin-pemimpin arbabul ahwal .

Ada beberapa hadis yang membicarakan bahwa Abu Bakar, 'Umar, dan Bilal ra,

mereka melihat semisal dengan apa yang dilihat oleh 'Abdullah bin Zaid.

Imam al-Haramain dalam kitab an-Nihayah dan Ghazali dalam kitab al-Basith

menyatakan bahwa ada sekelompok sahabat, mereka semua telah melihat

seperti itu.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa malaikat yang melakukan adzan dan

didengar oleh 'Umar dan Bilal ra adalah Malaikat Jibril. Hadis tersebut

dikeluarkan oleh al-Harits bin Umamah.

Dalam Musnadnya, dan yang serupa dengan ini juga yang dikeluarkan al-Harits

bin Abi Umamah dalam Mashadnya, dan Ibn 'Asakir dalam Tarikhnya dari jalan

Muliammad bin al-Munkadir [23] ia berkata: "Nabi saw masuk ke tempat Abu

Bakar ra, beliau melihat betapa berat sakit Abu Bakar. Beliau keluar dan

menemui Aisyah ra akan memberitahu 'Aisyah tentang sakit Abu Bakar. Tiba-tiba

saja Abu Bakar minta izin untuk masuk. Hal itu membuat Nabi saw takjub, sebab

betapa cepatnya Allah memberikan kesembuhan kepadanya. Abu Bakar berkata,

"Hal itu terjadi saat engkau keluar kemudian aku terserang kantuk, kemudian

Jibril mendatangiku. Ia memasukkan obat melalui hidungku, selanjutnya aku

bangkit dan aku merasa telah sembuh." Bisa saja mengantuknya itu adalah

mengantuknya hal, bukan mengantuknya tidur.

Thabrani dalam kitab al-Mu 'jamui Kabir, Abu Na'im dalam kitab al- Ma'rifat

mengeluarkan suatu riwayat dari Saham bin Khubaish, dia adalah orang yang

menyaksikan terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan, ia berkata: "Ketika waktu beranjak

sore aku bertanya, "Bagaimana kalian meninggalkan sahabat kalian sampai esok

pagi? Buatkanlah sesuatu yang mirip dengannya. Kemudian bergegaslah kalian

membawanya ke Baqi' al- Gharqad ." Lalu kami bersiap-siap membuatkannya

tandu karena bahaya gelapnya malam. Kemudian kami membawanya. Lalu, kami

didatangi oleh sekelompok orang dari arah belakang, kemudian kami

berhamburan hampir-hampir kami meninggalkannya sendirian, tiba-tiba ada

suara yang berseru, "Janganlah kalian takut, tetaplah kalian, sungguh kami datang

untuk menyaksikannya bersama kalian." Adalah Ibn Khabish berkata, "Demi

Allah, mereka itu adalah para malaikat."

Abu Na'im bin Hamad [24] dalam kitab al-Fitan mengeluarkan suatu riwayat dari

Muhammad bin Sabur dari Nu'manbin al-Mundzir , dari 'Auf bin Malik, ia

mengatakan; "Kami memasuki wilayah Romawi pada Perang Zharanah. Kami

turun di suatu padang rumput kemudian aku menalikan tunggangan-tunggangan

sahabatku, dan aku memperlambatnya. Selanjutnya, sahabat-sahabatku bergegas

memberi tunggangan mereka makanan, pada saat demikian itu tiba- tiba aku

mendengar suara mengucap, Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuhu .

Aku menoleh, di sana aku melihat seorang laki- laki memakai pakaian berwarna

putih. Aku menjawab, Wa 'alaikas salam warahmatullahi wa barakatuhu . Orang

tersebut berkata, "Apakah engkau ummat Muhammad?" Aku menjawab,

"Benar." Orang itu melanjutkan, "Bersabarlah, bahwa ummat ini adalah ummat

yang dirahmati. Allah telah menuliskan untuk ummat ini lima fitnah dan lima

anugerah." Aku menyahut, "Sebutkanlah untukku." Orang itu menjawab, "Aku

menahan salah satunya, yakni meninggalnya Nabi kalian, dalam kitab Allah

disebut sebagai fitnatus shama' . Kemudian terbunuhnya Utsman, dan dalam

kitab Allah disebut al- shama '. Kemudian fitnah Ibnul Asy'as, dan dalam kitab

Allah disebut an- naghir. Kemudian' ia berpaling sambil berucap, "Dan selanjutnya

as-shalam ." Dan aku tidak tahu bagaimana ia pergi. Selesai dengan pertolongan

Allah.

Daftar catatan kaki

1 Muhammad Abu Bakar bin al- 'Arabi al- Maliki meninggal pada 543 H. (1148

M.) di Fas.

2 Abui 'Abbas Ahmad al-Qurthubi wafat pada 656 H/1258 M.

3 Muhammad al-Hakim al-Naisaburi wafat pada1 405 H/1014 M.

4 Ahmad al- Baihaqi as-Syafi 'i wafat pada 458 H/1066 M di Naisaburi.

5 Ibn al- Atsir 'Izzuddin Ali al-Jazri meninggal pada 630 H/1233 M di Mushal.

6 Izzuddin bin 'Abdus Salam wafat pada 660 H/1262 M.

7 Ibn al- Hajj Muhammad al- Malik wafat pada 737 H/1337 M.

8 Naba' bin Muhammad bin al-Hawrani wafat pada 551 H/1156 M.

9 Muhammad al-Barbati wafat pada 786 H/1384 M.

10 Ibnul Mulqan Sirajuddin 'Umar wafat pada 804 H/1401 M.

11 Abui 'Abbas Ahmad al-Mursiy al- Maliki al- Syadzili wafat pada 686 H/1287 M

di Iskandariyah.

12 Tajuddin Ahmad bin 'Athaillah al- Maliki al- Syadzili wafat pada 709H/ 1309M

di Mesir.

13 Ahmad bin Faris ar- Razi al- Maliki wafat pada 395 H/1005 M.

14 As-Sayyid Ahmad ar- Rifa'i wafat pada 578 H/1182 M di Mesir.

15 Muhibbuddin bin an-Najar wafat pada 643 H/1245 M.

16 Muhammad bin Musa al- Marakasyi wafat pada 683 H/1284 M.

17 Imaduddin Isma'il al- Musili wafat pada 655 H/1257 M.

18 Muhammad bin Sam'un wafat pada 387 H/997 M.

19 Abu Manshur 'Abdul Qahir as-Syafi'i wafat pada 429 H/1038 M.

20 Muhammad bin Nasar al-Maruzi wafat pada 294 H/907 M di Samarkand.

21 Ishaq bin Rahwiyah al-Hanafi wafat pada 233 H/843 M.

22 Abdur Rahman bin Abi Laila at-Tabi' i wafat pada 83 H/702 M.

23 Muhammad bin al- Munkadir wafat pada 130 H/748 M di Madinah

Munawarah, tempat tinggal Nabi saw.

24 Na'im bin Hamad al-Maruzi wafat pada 229 H/844 M.

=== sekian ===

Published with Blogger-droid v2.0.2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar