Kamis, Desember 29, 2011

Antara Syari’at, Tarekat, Hakikat-Ma’rifat

Barangsiapa mengambil syari’at belaka tanpa hakikat, maka ia fasik; dan
barangsiapa mengambil hakikat belaka tanpa syari’at , maka ia kafir zindik.
– Imam al- Ghazali
Alkisah, ketika jasad manusia pertama diciptakan oleh Tuhan dengan kedua
tangan-Nya , ia bukan apa-apa. Setan yang telah lebih dulu eksis memeriksa isi
jasad makhluk baru yang kelak dinamakan Adam. “Kosong,” kata Setan,
“hanya tanah liat dengan rongga- rongga, gumpalan-gumpalan , cairan kental
dan tulang- tulang kokoh.” Tetapi lalu Tuhan meniupkan Ruh- Nya ke jasad itu
—dan hiduplah ia. Lantas diajarilah Adam “nama- nama segala hal” (Q. S.
2:31 ), dan sujudlah segala malaikat kepadanya atas perintah Tuhan, kecuali,
tentu saja, Iblis.
Manusia pertama-tama mengenal dirinya sendiri melalui narasi, kisah,
dongeng. Melalui “nama- nama segala hal”, Adam mengenal dirinya,
mengenal dunianya. Kita bisa berimajinasi banyak hal tentang apakah yang
diajarkan oleh Tuhan dalam “nama- nama segala hal” itu. Tetapi ada satu
pesan yang sangat jelas: melalui “nama- nama segala hal” itulah Adam
(manusia) ditempatkan lebih mulia ketimbang makhluk yang tak mengenal
“nama- nama segala hal” meski makhluk itu sesuci malaikat sekalipun! Karena
itulah manusia diangkat menjadi khalifah Allah di muka bumi — meskipun
pada mulanya ada keberatan dari para malaikat.
Nama-nama segala hal adalah kebenaran paripurna yang dipahami oleh
Adam. Ia berada di aras surgawi, ada dalam keabadian, atau, meminjam
istilah penyair dan mistikus besar Ibnu ‘Arabi, nama- nama segala hal berada
dalam a’yan tsabitah (entitas- entitas abadi dan lengkap dalam pengetahuan
Tuhan, yang bisa menjadi aktual tetapi juga bisa tidak). Saat Tuhan
menghendaki, maka ia akan maujud. Maka dari itu, entitas- entitas itu pada
hakikatnya adalah “kemungkinan mutlak”—kemungkinan yang senantiasa
hadir dalam kemutlakan Tuhan. Manusia, yang mewarisi “nama- nama segala
hal”, adalah salah satu manifestasi dari kemungkinan tersebut. Ini berarti
bahwa diri manusia beserta hakikatnya sendiri senantiasa hadir bersama
Tuhan, dan Tuhan senantiasa hadir dalam diri manusia, sebab ciptaan seisinya
adalah perwujudan dari “kemungkinan mutlak” dalam Diri Tuhan.
Implikasinya adalah: manusia menjadi “ahli waris” sifat-sifat Tuhan— karena
Tuhan Maha Mencipta, maka manusia juga mewarisi bakat untuk “mencipta”;
karena Tuhan adalah Maha Pengasih, maka manusia juga “memiliki” sifat
semacam ini, dan seterusnya—namun tentunya dalam kadar yang jauh lebih
kecil dan kurang sempurna.
Beberapa mistikus Islam mengatakan bahwa nama- nama segala hal adalah
Firman Tuhan; Firman atau “Kata” ilahi yang tak terpisah dari objek yang
dinamai. Segala pengetahuan berawal dari Firman—seperti dikatakan dalam
Perjanjian Baru: “Pada awalnya adalah Firman.” Dalam Al-Quran dinyatakan,
Tuhan berfirman “Kun! Fayakun (Jadilah! Maka terjadilah). ” “Kun” oleh para
mistikus Islam menjadi petunjuk penting untuk memahami penciptaan.
Kata Kun ditafsirkan bermacam- macam. Kerap dinyatakan bahwa dalam pra-
eksistensi (sebelum ciptaan terwujud—Peny .), nama dengan yang dinamai
bukanlah dua unsur yang terpisah— sebuah Firman, Kalam, yang “diucapkan”
Tuhan adalah keseluruhan eksistensial dari yang diacu oleh Kata tersebut.
Ketika Tuhan “berkata” petir maka kata itu adalah wujud petir itu sendiri,
dengan cahaya, ledakan, dan panasnya. Tetapi setelah manusia diturunkan ke
bumi, maka kata dipisahkan oleh Tuhan dari objek yang dikatakan.
Persoalannya sekarang adalah ketika “nama- nama segala hal” yang ada dalam
aras (tingkat) kekekalan itu diturunkan ke aras duniawi, ke aras manusia biasa
yang tak kekal (sebab manusia pasti mati di bumi), “nama- nama segala hal”
harus dikomunikasikan dengan cara yang sesuai dengan realitas bumi tempat
manusia berpijak. Dengan kata lain “nama” dengan “yang dinamai” terpaksa
“dipisahkan”, sebab dunia bukanlah sesuatu yang abadi, dan yang abadi tak
bisa ditampung oleh yang fana.
“Kata- kata,” yang membentuk “kalimat” yang bermakna, lantas menjadi
semacam label untuk objek yang diacu oleh kata itu. Maka ketika kita kini
menyebut angin, kata angin ini bukan hakikat angin itu sendiri, tetapi menjadi
semacam abstraksi dalam pikiran, dalam bayangan mental. Kata menjadi
sebentuk “syari’at ” yang memberikan informasi dari “hakikat” yang diacu kata-
kata.
Beberapa mistikus yang mendalami hakikat kata-kata— dengan metodenya
sendiri—berhasil “menyatukan kembali” kata (nama) dengan objek yang
dikatakan, menyatukan kembali “nama” dengan “yang dinamai”. Mereka yang
berhasil mencapai taraf itu dianggap mampu menciptakan sesuatu hanya
dengan kata. Kisah legenda Sunan Kalijaga yang mengubah tanah menjadi
emas hanya dengan mengucap adalah perlambang dari pandangan ini. Atau,
bisa dinyatakan bahwa “kata” dapat menimbulkan efek transformatif. Dengan
kata lain, kata “yang dihidupkan” menjadi sebentuk “jalan,” thariqah, yang
menghantarkan kita pada hakikat, haqiqah, dari apa-apa yang dirujuk oleh
kata itu.
Oleh karena itu, kata menjadi semacam kunci penting untuk membuka harta
karun pengetahuan “nama- nama segala hal” yang tersimpan utuh di dalam
aras keabadian. Barangkali inilah alasan Tuhan menganugerahi manusia
kemampuan untuk berkomunikasi, bercakap-cakap, menulis, dan menyatakan
pendapat melalui kata-kata. “Membaca” dalam pengertian yang paling luas,
adalah semacam anak tangga untuk menggapai “nama- nama segala hal.”
Dan karena “nama- nama segala hal” pada hakikatnya adalah pengetahuan
azali yang bersifat “mungkin secara mutlak”, maka manusia yang
mendapatkan sedikit saja dari kemungkinan itu bakal mendapatkan
pengetahuan yang mengandung kekuatan transformatif yang besar. Manusia
bisa mengoperasionalisasikan potensi kreatifnya melalui pengetahuan.
Dengan demikian, ringkasnya, secara teori, manusia yang terus membaca dan
menulis pengetahuan, akan lebih besar peluangnya mendapatkan sepercik
pengetahuan “nama- nama segala hal”, mendapatkan segala informasi yang
diperlukan. Dan ketika level yang harus dilewati ini sudah dikuasai, setelah ia
memahami “nama- nama segala hal”, maka pada titik tertentu ia akan
mengalami transformasi, dan pada gilirannya ia akan melampaui “nama-
nama segala hal”— yakni melampaui dunia kata-kata menuju ke dunia
penyaksian. Ia akan melampau level transformasi menuju afirmasi—yakni
pengetahuan tentang Tuhan yang hakiki. Inilah puncak pengetahuan, yakni
pengetahuan dari segala pengetahuan, atau inti/esensi dari segala
pengetahuan, atau dalam bahasa Sufi lebih dikenal sebagai haqiqah. Jadi,
demikianlah urutan suluk (perjalanan ruhani) manusia dalam ajaran Islam:
syari’ah (informasi), thariqah (transformasi) dan akhirnya haqiqah (afirmasi) .
Lalu Apakah haqiqah itu?
Esensi atau inti hakikat (haqiqah) akan terwujud ketika manusia memandang
dirinya bukan apa-apa, baik pada dirinya sendiri maupun dalam
pengetahuannya, kesadarannya, dan segenap sifat-sifatnya. Hanya syariat suci
dari para nabi dan rasul sajalah yang dapat selaras dengan realitas semacam
ini. Segala hal yang dibawa oleh nabi dan rasul mengandung kebenaran-
kebenaran tertentu yang dapat dijangkau akal, dan kebenaran-kebenaran lain
yang tak mungkin dijangkau dengan akal. Walau begitu, semua kebenaran ini
diakui oleh umat mukmin sebagai satu entitas tunggal, dan kesatuan
merekalah yang meniadakan segenap pemikiran dan pendapat manusia
(semata). Karena, kesatuan dari apa-apa yang dapat dimengerti dengan apa-
apa yang tak terjangkau akal manusia akan melahirkan realitas ketiga yakni
realitas yang tak dapat dimengerti (oleh akal pikiran) , tetapi sekaligus juga
tidak berada di luar pikiran, dan karenanya berada di luar kedua kategori ini;
karena bukan termasuk kategori- kategori ini, maka manusia, dengan
pengetahuan dan kesadarannya, bukanlah apa-apa di hadapan realitas ini.
Manusia (di dalam realitas ketiga ini) lalu menjadi seperti orang buta yang
ditunjuki jalan dan membiarkan dirinya dibimbing. Nah, begitulah hakikat itu.
—Ibnu Abbad Al-Rondi
Berdasarkan penjelasan yang menarik dari Ibnu Abbad itu, maka dapat
dikatakan, seperti ditulis oleh Mason (1995) , hakikat (haqiqat) adalah keadaan
di mana seseorang lebur di hadapan Dzat yang tak dapat diketahui, Dzat yang
tidak bisa dikenal, tak dapat dibayangkan, dan tak dapat diserupakan dengan
sesuatu. Untuk menjaga kemurnian iman terhadap keberadaan Dzat yang
nyata dan serba-meliputi (imanen ), namun sekaligus tak terbandingkan
(transendental), maka seseorang tidak boleh menyerupakan-Nya dengan
sesuatu yang lain. Kehadiran Dzat ini berada di luar keberadaan dan
jangkauan kemampuan pemahaman seluruh manusia, tetapi pada saat yang
sama keberadaan- Nya sangat dekat dengan keberadaan manusia. Di dalam
Al-Quran dinyatakan, “Dia lebih dekat ketimbang urat lehermu.” Dzat ini
membeda-bedakan sekaligus menyatukan segala sesuatu dalam realitas- Nya
yang tak dapat diketahui; dan karena itu Dia menjadi satu-satunya pusat dari
segala sesuatu. Dalam analisis terakhir, pandangan yang ekstrem ini akan
sampai pada konsep “kesatuan” antara Tuhan dan manusia—sebuah
keyakinan yang sulit dipahami karena dalam pandangan ini, jika dipahami
hanya dari perspektif tunggal, yakni perspektif lahiriah semata, maka akan
berisiko memunculkan pemahaman yang bisa memorak-porandakan sistem
ajaran Tauhid yang menyatakan adanya perbedaan antara Pencipta dan
ciptaan-Nya.
Dari sini muncul pertanyaan, apakah keyakinan “ekstrem” ini bisa dipahami?
Atau apakah “pengetahuan hakikat” semacam ini bisa dipahami? Apakah
kontroversi-kontroversi itu menunjukkan bahwa pengalaman semacam ini tak
lebih dari semacam “hipotesis”? Atau sekadar ilusi?
Menurut ajaran Sufi, hakikat adalah sebentuk pengetahuan pula yang bisa
diraih manusia. Karena ia adalah “pengetahuan untuk manusia” maka tentu
saja ia bisa dipahami. Tetapi pemahaman ini harus diletakkan pada level
hirarkis yang berbeda. Karena haqiqah berada pada level pengetahuan
tertinggi, maka seseorang tak bisa mencapainya dengan cara langsung
melompat ke level itu. Tentu saja ada pengecualian, seperti dalam kasus wali
jadzab (yang akan kami bahas lebih lanjut di bab tentang Wali Allah).
Hirarki itu, seperti telah dijelaskan di atas, adalah syari’ at, tarekat dan hakikat.
Dalam ajaran Islam, hal itu berhubungan langsung dengan tiga unsur utama
dalam agama Islam: Iman (percaya), Islam (pasrah) , dan Ihsan (kebajikan dan
penyaksian tertinggi). Dilihat dari perspektif ini, pertama-tama seseorang
harus percaya dan pasrah pada perintah dan tata- aturan Ilahi yang
diwartakan melalui Rasulullah Muhammad SAW. Itu berarti bahwa seseorang
harus merealisasikan premis dasar dari penciptaan dirinya: wa maa khalaqtul
jinna wal insana illa liya’budu (Aku tak ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menghambakan diri kepada- Ku: Q.S . adz-Dzariyat : 56). Dalam konteks ini
syariat adalah petunjuk awal untuk merealisasikan penghambaan dan tarekat
adalah proses realisasinya. Pada tingkat yang lebih tinggi, ayat itu juga
ditafsirkan sebagai perintah untuk mengenal (ma’rifat ) Allah: “Sesungguhnya
Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk ma’rifat kepada-
Nya” (tafsir Ibn Abbas). Karena Allah adalah al- Haqq (Kebenaran), maka
dibutuhkan keimanan dan tindakan yang benar untuk mencapai “Kebenaran
Tertinggi” (Haqiqah). Dalam praktiknya, seseorang harus melaksanakan semua
nilai kebenaran yang menyempurnakan, atau mengintensifkan dan
memperdalam aspek iman dan Islam melalui amal saleh (praktik ibadah yang
benar). Jadi, seseorang harus mengikatkan diri secara total kepada Kebenaran
dan kepatuhan (taat ) sepenuhnya pada Hukum Suci (syari’ at). Hal ini berarti,
di satu pihak, seseorang harus mengenal Kebenaran sepenuhnya (kaffah) , dan
di pihak lain mematuhi Hukum Suci dengan seluruh keberadaan kita. Jika
demikian halnya, seseorang harus beribadah dengan keyakinan mendalam
bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Benar secara Absolut al-Haqq ), Maha Tak
Terhingga (transenden) dan Maha Meliputi (imanen) . Karena Dia adalah Maha
Tak Terhingga dan Maha Meliputi, maka Dia niscaya “melihat” dengan
“Penglihatan” yang tak terhingga dan “Penglihatan” yang meliputi segala
sesuatu yang ada di seluruh semesta. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda:
“Beribadahlah engkau seolah- olah kamu melihat- Nya, dan jikalau engkau tak
melihatnya maka [ketahuilah] bahwa sesungguhnya Dia melihatmu.” Ini juga
adalah jawaban Rasulullah ketika beliau ditanya oleh Malaikat Jibril tentang
makna dari Ihsan.
Jadi, ihsan bertemu dengan haqiqah atau bahkan identik dengannya, sebab
berdasarkan hadits itu dapat disimpulkan bahwa ihsan adalah kepercayaan
yang benar dan amal yang benar, dan pada saat yang sama ihsan adalah inti
dari keduanya: Inti dari kepercayaan (keyakinan) yang benar adalah
kebenaran mistis (haqiqah ), dan amal yang benar adalah praktik ibadah yang
sesuai dengan petunjuk dari Tuhan, atau syari’at . Dalam analisis terakhir,
karena yang dituju adalah al-Haqq (Yang Maha Benar), maka dalam
perjalanan menuju kepada pengetahuan yang benar tentang Yang Maha Benar
(haqiqah) seseorang harus memiliki informasi yang benar (Syari’ ah atau
Hukum Suci yang bersumber dari Yang Maha Benar), sebab tanpa petunjuk
dan arah yang benar, seseorang bisa tersesat; dan kemudian seseorang harus
menempuh rute jalan yang benar (thariqah) berdasarkan petunjuk yang benar
itu. Jadi menurut Sufi, hanya melalui syari’at dan tarekat, seseorang baru akan
mendapatkan hakikat kebenaran, yang buahnya adalah pengetahuan Tuhan
sebagaimana seharusnya Dia dikenal (ma’ rifah). Mendapatkan perpaduan
hakikat kebenaran dan ma’rifat dalam terminologi Sufi juga disebut wushul
(sampai).
Jadi, jika kita sintesiskan, perjalanan sampai ke wushul (sampai ke hakikat-
ma’rifat) mesti melampaui tiga tahap dengan dua lapisan. Guru kami,
Syaikhuna Ahmad Shahibul Wafa’ Taj al- Arifin (Abah Anom) dari Suryalaya,
Tasikmalaya, meringkaskan tahap ini sebagai berikut:
Martabat wushul (sampai kepada Allah) adalah [melalui] tiga perjalanan: (1 )
Islam; (2 ) Iman; (3) Ihsan … Seorang hamba Allah yang sibuk dalam ibadah
[berarti] berada dalam maqam Islam atau Syari’at. Apabila amal itu
kemudian [meningkat dengan didasari oleh] hati yang bersih dan sunyi
daripada kejahatan, dipenuhi oleh kebajikan sempurna dan ikhlas, maka orang
itu berada dalam maqam Iman atau Tarekat. Apabila orang itu [meningkat
lagi] ke martabat ibadah yang sungguh-sungguh demi Allah semata (lillahi
ta’ala), yakni [saat ia beribadah] seolah- olah Allah melihat dirinya, maka ia
berada dalam maqam ihsan atau hakikat … Berkata Tuan Syekh Abdul Qadir
al-Jailani qaddasallahu sirrhu, “tiada lain tujuan ahli Tasawuf (Sufi) adalah
membersihkan batin dengan nur Tauhid dan menggapai ma’rifat .”
Wa Allahu a’lam bi ash-shawab.
———
Diambil dari Kitab Tentang Tasawuf karangan Tri Wibowo S.
Published with Blogger-droid v2.0.2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar