Kamis, Desember 15, 2011

Najis, Mudah Dijumpai Jarang Dikenali

Pengetahuan tentang najis sangat penting bagi seorang muslim karena
berkaitan erat dengan ibadah. Jangan sampai karena ketidaktahuannya,
benda yang sebenarnya hanya kotoran biasa dianggap najis dan
sebaliknya menganggap remeh benda- benda yang dianggap najis oleh
syariat.
Najis merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan
harus diperhatikan keberadaannya, khususnya oleh seorang muslim karena
berkaitan dengan ibadahnya kepada Allah I. Contoh yang paling mudah, ketika
seseorang hendak menegakkan shalat, ia harus memperhatikan kesucian diri dan
tempat shalatnya dari hadats maupun najis.
Namun sangat disayangkan, berapa banyak kaum muslimin yang belum
mengetahui dengan benar masalah najis ini –walaupun sebenarnya
permasalahan ini telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian
maupun penjelasan macam- macamnya secara rinci–. Terkadang sesuatu yang
najis disangka sebagai sesuatu yang bukan najis. Di waktu lain, sesuatu yang
sebetulnya tidak najis berusaha dihindari karena disangka najis. Keadaan ini
adalah kenyataan pahit yang kita dapati dalam kehidupan kaum muslimin.
Agama kita yang sempurna telah menjelaskan dengan lengkap dan rinci tentang
najis ini. Para ulama telah menerangkan bahwa najis adalah kotoran yang wajib
dijauhi oleh seorang muslim dan harus dibersihkan apabila mengenai sesuatu. Di
antara macam- macam najis tersebut ada yang disepakati para ulama bahwa
perkara itu adalah najis, dan ada pula yang diperselisihkan tentang kenajisannya,
apakah hal itu termasuk sesuatu yang najis atau bukan. Untuk itu dengan izin
Allah I, kita akan mengupasnya satu per satu.
Kali ini kami akan menjelaskan terlebih dahulu hal- hal yang disepakati oleh para
ulama sebagai najis sepanjang pengetahuan kami dengan ilmu yang kami miliki.
1. Kotoran (tahi) dan kencing manusia
Najisnya kotoran manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari
sahabat yang mulia, Abu Sa’id Al Khudri z. Beliau menceritakan bahwasanya
Rasulullah r pernah shalat bersama para shahabatnya dalam keadaan
mengenakan sandal namun tiba-tiba beliau melepas sandalnya dan
meletakkannya di sebelah kiri beliau dan perbuatan ini diikuti oleh para shahabat.
Selesai shalat, beliau r mempertanyakan perbuatan para shahabatnya tersebut
dan memberitahukan alasan melepas sandal yaitu dikarenakan Jibril
mengabarkan bahwa di sandal beliau r ada kotoran, dan beliau bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan
dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya
digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat.” (HR. Al-Imam Ahmad dan
berkata Asy-Syaikh Muqbil t tentang hadits ini dalam karya beliau Al-Jami ’ush
Shahih Mimma Laisa fish Shahihain juz 1, hal. 526: Ini adalah hadits shahih,
rijalnya (para periwayatnya) adalah rijal Shahih Al- Bukhari)
Adapun najisnya kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas c yang
diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) tentang
dua orang penghuni kubur yang diadzab. Dikatakan oleh Rasulullah r:
“Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari
kencingnya.” (HR. Al-Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292)
Masalah najisnya kotoran dan kencing manusia ini –banyak ataupun sedikit–
disepakati oleh ulama. Adapun Abu Hanifah dalam masalah kencing beliau
berpendapat, jika didapati kencing setitik jarum, maka ini tidak memudharatkan.
Namun sebagaimana diterangkan di atas, kencing manusia –baik banyak ataupun
sedikit– adalah najis, dengan dalil yang jelas dan terang, serta merupakan
kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarh
Shahih Muslim. Sedangkan apa yang berasal dari Abu Hanifah adalah pendapat
yang tertolak.
Lain halnya dengan kencing anak kecil laki- laki yang masih menyusu dan belum
makan makanan tambahan kecuali kurma untuk tahnik (tahnik adalah
mengunyah sesuatu -dalam hal ini kurma- sampai lumat kemudian dimasukkan/
digosok-gosokkan ke langit-langit mulut bayi yang baru lahir) dan madu untuk
pengobatan. Kebanyakan para ibu mengatakan bahwa itu bukan najis sehingga
mereka bermudah- mudah dalam hal ini.
Walaupun dalam hal ini ada perselisihan ulama, pendapat yang kuat menyatakan
bahwa kencing anak laki- laki yang masih menyusu dan belum makan makanan
tambahan itu najis, sebagaimana dinyatakan Al-Imam An-Nawawi t dalam
Syarah Muslim, namun najisnya ringan. Dalil keringanannya diisyaratkan dengan
ringannya cara membersihkannya seperti dalam hadits Ummu Qais bintu
Mihshan yang diriwayatkan oleh Al- Imam Al-Bukhari (no . 223) dan Al-Imam
Muslim (no. 287) :
“Ummu Qais bintu Mihshan Al-Asadiyyah membawa anaknya yang masih kecil
dan belum makan makanan kepada Rasulullah r, lalu Rasulullah mendudukkan
anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju beliau. Maka
Rasulullah meminta air dan mengguyurkannya ke bajunya (hingga air
menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak mencucinya. (Dalam lafadz lain:
lalu beliau menuangkan air ke atas bekas kencing tersebut)”
Walaupun najis tersebut ringan, namun masih tetap harus dibersihkan dengan
mengguyurkan air pada tempat yang terkena sesuai dengan apa yang bisa kita
lihat pada hadits di atas.
Adapun dalam masalah kotoran dan kencing hewan, masih diperselisihkan
kalangan ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan
–baik yang dimakan dagingnya maupun tidak– adalah najis, sebagaimana
pendapat jumhur ulama dan Syafi’i. Sebagian yang lain berpendapat, yang najis
hanya kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya. Sementara pendapat yang
lain dari kalangan ulama dan – wallahu ta’ala a’lamu bish- shawab – ini adalah
pendapat yang kuat, pada asalnya semua kotoran hewan suci, kecuali ada nash
yang mengatakan najis, maka barulah dikatakan najis. Ini merupakan pendapat
Ibnul Mundzir, dan dinukilkan Al-Imam An-Nawawi dalam Majmu’ Syarhil
Muhadzdzab bahwa ini adalah perkataan Dawud Azh-Zhahiri, Ibrahim An-
Nakha’i, dan Asy-Sya’ bi. Pendapat ini juga didukung oleh Al- Imam Asy-Syaukani
di dalam kitab-kitab beliau, di antaranya Nailul Authar dan Ad-Daraari.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa tidak semua yang kotor pada wujudnya
itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya. Misalnya tahi cicak,
tidak ada nash yang menunjukkan kenajisannya, maka itu bukan najis. Namun
bila dikatakan kotoran (sesuatu yang kotor) maka tahi cicak itu memang
termasuk kotoran.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah kencing unta. Seperti kita
ketahui, kencing unta adalah kotoran, namun bukan najis. Bahkan ada riwayat
dari Anas bin Malik z yang menerangkan bahwa Rasulullah r memerintahkan
untuk minum air kencing unta, sebagaimana tertera dalam Ash-Shahihain
(Shahih Al-Bukhari no. 233) dan Shahih Muslim no. 1671) dan lainnya:
“Sekelompok orang dari Bani ‘Akl (Bani ‘Urainah) datang menemui Nabi. Namun
mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa
mereka. Rasulullah r pun memerintahkan agar didatangkan seekor unta betina
yang banyak susunya dan menyuruh mereka minum air kencing dan susunya.
Lalu mereka beranjak melakukannya. Ketika telah sehat, mereka membunuh
penggembala ternak Nabi r dan meminum susu ternak itu. Datanglah berita
tentang peristiwa itu menjelang siang sehingga Rasulullah memerintahkan untuk
mengikuti jejak mereka. Pada siang harinya mereka didatangkan ke hadapan
Nabi, lalu beliau memerintahkan agar dipotong tangan dan kaki mereka,
dicungkil matanya, dan dilemparkan ke tengah padang pasir yang panas. Mereka
meminta- minta minum, namun tidak diberi minum.”
2. Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih encer
dan tidak pekat. Keluarnya madzi ini tidak terasa dan keluar ketika seseorang
bersyahwat sebelum dia bercampur dengan istrinya (jima’) atau di luar jima’.
Kaum muslimin bersepakat bahwa madzi itu najis, sebagaimana dinukilkan Al-
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu ’. Dalil lain yang menunjukkan najisnya madzi
adalah hadits yang dikeluarkan Al-Imam Al-Bukhari (hadits no. 269) dan Al-
Imam Muslim (hadits no. 303) rahimahumullah dari hadits ‘Ali z ketika ‘Ali
menyuruh seorang shahabat, Miqdad ibnul Aswad, untuk menanyakan tentang
madzi ini kepada Rasulullah r. Beliau menjawab:
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.”
Ibnu Daqiqil ‘Id t mengatakan dalam Ihkamul Ihkam: “Dari hadits ini diambil dalil
tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah r memerintahkan untuk mencuci
kemaluan yang terkena madzi tersebut.”
Satu hal yang perlu kita ketahui, madzi ini menimpa laki- laki maupun wanita,
namun lebih sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti yang dikatakan
Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarah Muslim.
3. Wadiy
Wadiy adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah
buang air besar. Hukum wadiy sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis.
Bahkan Al-Imam An-Nawawi t di dalam kitab Al- Majmu’ menukilkan
ijma’ (kesepakatan) bahwa wadiy itu najis. Beliau mengatakan, “Telah bersepakat
umat ini tentang najisnya madzi dan wadiy.”
4. Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas adalah dua hal yang umum dijumpai kaum wanita. Namun
masih ada dari mereka yang belum mengetahui, apakah darah haid dan nifas
termasuk najis atau bukan, sementara hal ini sangat penting bagi mereka.
Telah ada dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid dalam hadits Asma’ bintu
Abi Bakr x. Beliau menceritakan:
Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah r. Ia berkata, “Ya Rasulullah, jika
salah seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia
lakukan?” Maka Rasulullah r bersabda, “Apabila darah haidh mengenai pakaian
salah seorang dari kalian, hendaknya dia mengerik lalu membasuhnya.
Kemudian ia shalat memakai pakaian tersebut.” (Shahih , HR. Al-Imam Al- Bukhari
no. 330, 331 dan Muslim no. 110)
Al-Imam Ash-Shan ‘ani t di dalam Subulus Salam -setelah membawakan hadits di
atas- : “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid.”
Kaum muslimin sendiri telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash
yang ada ini dan Al- Imam An-Nawawi menukilkan adanya ijma‘ dalam hal ini.
Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haidh.
5. Bangkai
Begitu pula halnya dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya
sebagaimana dinyatakan Al- Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Al-
Imam An-Nawawi dalam Al Majmu’.
Rasulullah r bersabda:
“Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya.” (HR. Muslim
no. 105)
Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis
sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja
dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan
kenajisannya.
Dikecualikan dari bangkai ini adalah:
1. Bangkai manusia dengan keumumam sabda Nabi r:
“Sesungguhnya mukmin itu tidak najis.” (HR. Al-Bukhari no. 283 dan Muslim no.
371)
2. Bangkai hewan laut dengan dalil firman Allah I:
“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil
laut…” (Al- Maidah: 96)
Al-Imam Ath-Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas c tafsir dari ayat di atas, yakni
yang dimaksud dengan () adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup
dan () adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati (telah menjadi bangkai) .
Dalam hadits Rasulullah r bersabda:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (Shahih , HR. Ashabus Sunan dan
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Ash-Shahihah , 1/480 )
3. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni darahnya tidak mengalir ketika
hewan itu dibunuh atau terluka seperti lalat, belalang, kalajengking dan lainnya.
Berdalil dengan hadits:
“Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia
mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya.” (HR. Al-Bukhari no.
3320)
Al-Imam Ash-Shan ‘ani t berkata: “Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila jatuh
ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanannya dalam keadaan
panas. Maka seandainya lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan
tersebut rusak. Sedangkan Nabi r memerintahkan untuk memperbaiki makanan
yang ada, tidak merusakkannya.” (Subulus Salam)
Ketiga poin di atas sebenarnya ada perselisihan pendapat tentang kenajisannya,
namun pendapat yang kuat dengan dalil yang ada, ketiganya bukanlah najis,
wallahu a‘lam bish- shawab.
Sudah semestinya setiap muslim mengetahui perkara-perkara penting dalam
agamanya khususnya dalam pembahasan kita tentang najasat (benda- benda
yang najis) agar tidak terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan yang dapat
merusak ibadahnya kepada Allah I.
Wallahu a’lam.
Published with Blogger-droid v2.0.2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar