Sabtu, November 26, 2011

SYAHADATAIN Versi Harokatul Hadamah

SYAHADATAIN Versi Harokatul Hadamah

SYAHADATAIN Versi Harokatul Hadamah

Harokatul Hadamah adalah gerakan yang bertujuan

menghancurkan islam dan perjuangannya dengan

menggunakan simbol- simbol islam. Sehingga umat

islam yang masih awam merasa phobi (takut) kepada

setiap pergerakan yang bernuansa islam. Hal ini

mengakibatkan kontraproduktif dengan misi

membentuk manusia yang islami dan masyarakat

madani.

Fenomena Aliran Sesat

Pemberitaan mengenai gerakan yang mengatasnamakan islam yang disinyalir

sesat dan menyesatkan tengah hangat beberapa waktu ke belakang, bahkan

hingga kini. Sebenarnya fenomena aliran sesat ini adalah persoalan klasik yang

menimpa umat islam. Hal ini pertama kali terjadi dalam sejarah islam adalah

pasca wafatnya Nabi Saw, yaitu munculnya Tokoh Musailamah Al- Kadzab

yang mengaku Nabi setelah Nabi Saw, Padahal Nabi Saw lah sebagai

khotaman Nabiyyiin/penutup para nabi (Qs 33 : 40).

Walaupun vonis sesat hanya berhak dikeluarkan oleh lembaga berwenang

(Kejati, MUI), namun umat islam sendiri bisa menilai sebuah gerakan

terindikasi sesat. Diantaranya adalah mengubah hal-hal yang bersifat prinsipil

(Aqidah) dan syari’ at yang sudah baku (Qs 5: 3). Diantaranya pengakuan

kenabian, mengubah redaksi syahadatain, menggugurkan kewajiban syari’at

(Shalat, zakat, shaum, haji dll).

Mengubah Syahadatain

Mengubah redaksi syahadatain yang dilakukan oleh Ahmad Mushadeq

dan pengikutnya dalam kelompok yang menamakan diri Al-Qiyadah Al-

Islamiyah adalah merupakan “Dlolalan mubiin”(kesesatan yang nyata) .

Yakni “Asyhadu Allaa ilaaha illalloh wa asyhadu anna al- masiih al- mau’ud

rasulullah”. Al-Masih Al- mau’ud yang dimaksud adalah Mushadeq sendiri.

Sehingga dari ikrar ini tidak secara langsung Mushadeq telah

memproklamirkan diri sebagai Nabi dan Rasul.

Begitupun yang dilakukan oleh Ahmadiyah. Mereka mengakui Mirza Ghulam

Ahmad sebagai Nabi karena nama yang tercantum dalam Qs al-Shaf ayat 6

adalah AHMAD. Mereka beranggapan bahwa Nabi Muhamad bukan Nabi

terakhir. Namun Mirza Ghulam Ahmad lah sebagai pendiri kelompok

Ahmadiyah yang dimaksud dengan Nabi terakhir. Mereka menafsirkan kalimat

khatam dalam Qs Al-Ahzab (33 ) : 40 dengan pengertian “cincin”. Hingga

mereka mengkultuskan Mirza Ghulam Ahmad (Qs 2 : 165- 167), hampir sama

dengan orang-orang Yahudi mengkultuskan Uzair, orang-orang Nasrani

mengkultuskan Isa Putra Maryam (Qs 9 : 30- 31) . Bahkan mereka memiliki

kitab tersendiri sebagai pedoman hidup, yaitu “Tadzkiroh”, hampir menyamai

kedudukannya dengan al- Qur’an (Qs 2 : 79- 80) . (“SYAHADATAIN, Syarat

Utama tegaknya syariat Islam”, hal.79 , M.Umar JA, Pen.Bina Biladi Press).

Sebagian lagi ada kelompok yang menyertakan Syahadatain dengan keharusan

membayar sejumlah uang mencapai ratusan ribu, bahkan hingga satu juta

rupiah. Dengan dalih sebagai uang shodaqoh istighfar, atau untuk

mensucikan diri. Sungguh keterlaluan “syari’ at baru” ini, syahadatain yang

sakral dan suci serta mesti dijauhkan dari motif duniawi, justru dinodai

dengan syari’ at yang entah Hadist riwayat siapa yang dijadikan landasan.

Makna Syahadatain

Syahadatain yang dimaksud Allah dan RasulNya adalah pernyataan sikap

seseorang yang menjadikan islam sebagai pedoman dan ajaran hidupnya.

Islam yang dimaksud tentunya bukan islam ketutunan, islam abangan atau

islam KTP. Karena banyak orang yang mengaku muslim, tapi hidupnya tidak

beraturan (Syari’ at) Islam. Manusia yang sudah bersaksi bahwa dirinya

muslim adalah manusia yang telah menjadikan dirinya sebagai hamba Allah.

Hamba Allah adalah manusia yang hanya tunduk dan patuh kepada aturan

dan hukum Allah saja. Tidak mengambil hukum, sistem hidup dan ideologinya

selain Islam, bahkan menolaknya, inilah yang dinamakan sikap “Al- baro’ah ”,

berlepas diri (Qs 60 : 4) . Hal ini terdapat pada kalimat “Laa ilaaha”.

Sungguh ironis orang yang mengaku muslim tapi masih berhukum kepada

Thogut. Menurut Syaikh Muhamad Qutb, Thogut adalah seseorang, organisasi

atau institusi, jama’ah , pemerintahan tradisi atau kekuatan yang menjadi

panutan atau aturan manusia, dimana manusia tidak dapat membebaskan

diri dari perintahnya dan larangannya. Orang yang mengaku mu’min dengan

mengucapkan dua kalimat syahadat secara otomatis dia menolak thogut,

“Sembahlah Allah dan jauhi thogut”, (Qs 16 : 36, 2 : 256).

Keberadaan orang-orang yang tidak konsisten dengan keimanannya, yaitu

mengakui hukum thogut akan senantiasa ada hingga akhir jaman.

Sebagaimana firmanNya, “ Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang

yang mengaku telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan

kepada apa yang diturunkan sebelummu?. Tetapi mereka masih

menginginkan ketetapan hukum thogut” (Qs 4 : 60).

Setelah seseorang menolak dan melepaskan diri dari thogut (al- baro’ah ),

maka dia bersikap al-wala (taat, setia, loyal) kepada Allah saja dengan aturan

dan hukumNya. Menjadikan Allah sebagai sumber otoritas, legalitas dan

loyalitas. Hal ini terdapat dalam kalimat “illalloh”. Maka keberadaan syari’at

syahadatain adalah merupakan tujuan dakwah itu sendiri, sebagaimana sabda

Nabi Saw “Ajaklah manusia untuk bersyahadah, bahwa tidak ada ilah kecuali

Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Apabila mereka telah

mentaati kepadamu tentang hal itu (syahadatain) , maka beritahukan kepada

mereka bahwa Allah mewajibkan bagi mereka shalat sebanyak lima kali sehari

semalam” (HR Abu Daud dan Hakim, lihat pula HR Muslim bab keimanan Juz

7).

Tauhidullah dan Tauhidul ittiba’

Syahadat yang pertama, yaitu “Asyhadu allaa ilaaha illalloh” disebut

Tauhidullah. Sementara Syahadat yang kedua disebut Tauhidul ittiba’, yaitu

“Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah”. Dimana tidak akan sempurna

keimanan seseorang, tanpa mengaplikasikan keimanannya dengan mengikuti

Nabi Muhammad sebagai sumber ittiba’, “ Katakanlah (Muhammad) , jika kamu

mencintai Allah, maka ikutilah aku…”(QS 3 : 31 ). Karena banyak orang yang

mengakui Allah sebagai Tuhannya, tapi tidak mau mengakui Nabi Muhammad

sebagai utusan Allah. Sebagaimana Abu Lahab, Abu Jahal dan Abu Tholib,

mereka percaya kepada Allah tetapi tidak mengakui kerasulan Nabi Muhamad

Saw. Begitupun saat ini banyak orang yang percaya kepada Allah, tapi tidak

percaya kepada kerasulan Nabi Muhammad, yaitu dengan tidak mengikuti

ajaran dan sunah Rasul. Bahkan yang diikuti adalah ajaran nenek moyangmya

dengan dalih sebagai wasilah untuk menyembah Allah (Qs 5 : 104).

Muhammad sebagai Nabi telah berakhir, karena kenubuwahan adalah gelar.

Dimana gelar kenubuwahan ini didapat oleh lebih dari 25 orang. Bahkan

menurut riwayat disebutkan lebih dari seribu orang. Sementara hanya 25

orang saja diantara sekian banyak nabi tersebut yang diangkat menjadi Rasul.

Dimana para Rasul ini mendapat tugas untuk menjadi wakil atau mandataris

Allah di muka bumi, yaitu tegaknya Dinulloh (Qs 42 : 13) . Tugas menegakkan

Dinulloh atau biasa disebut tugas kerisalahan terakhir kali disempurnakan oleh

Nabi Saw (Qs 5 : 3). Namun tidak berarti tugas ini berakhir, mesti ada umat

yang melanjutkannya. sebagaimana firman Allah, “:Dan Muhammad hanyalah

seorang Rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul, apakah jika dia wafat

atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)?. Baranngsiapa berbalik ke

belakang ia tidak akan merugikan Allah sedikitpun. Allah akan memberi

balasan kepada orang yang bersyukur”( Qs Ali Imron [3] : 144). Dari sini saja

kita bisa memahami, mengapa syahadat kedua, redaksinya berbunyi, Wa

asyhadu anna muhammadarrasulululloh”, bukan “Wa asyhadu anna

muhammadannnabiyulloh”. Karena kerisalahan adalah prinsip (Aqidah) ,

sedangkan kenubuwahan adalah gelar pribadi.

Vonis Sesat

Memvonis suatu ajaran apakah itu Al-Haq atau Al-Batil , Al-Mustaqim atau

Adlolalah pada hakekatnya adalah hak perogratif Allah dan RasulNya. Namun

manusia diberi potensi yang sama oleh Allah untuk bisa menyimpulkan

kebenaran dan kesalahan suatu ajaran. Potensi tersebut adalah potensi

bertauhid yang sama rata diberikan kepada selueuh anak keturunan adam di

alam ruh (Qs 7 : 172). Kemudian setelah lahir ke alam dunia manusia diberi

potensi hati, pendengaran dan penglihatan (Qs 16 : 78, 7 : 179) , tentunya

dibarengi dengan potensi eksternal, yaitu berupa Hidayah (Qs 2 : 2, 48 :28) .

Namun untuk memvonis suatu ajaran sesat, tidak lantas memvonis dengan

membabi buta. Bahkan MUI sekalipun sangat berhati-hati mengeluarkan

fatwa sesat kepada suatu ajaran dan kelompok. Perlu adanya klarifikasi

(tabayyun), fakta, dalil dan argumen yang bisa dipertanggung jawabkan, tidak

asal menuduh. Bila tuduhan tersebut didasari oleh prasangka, isu yang belum

jelas kebenarannya dan dibarengi dengan perasaan benci dan dengki kepada

pelakunya, justru isu semacam itu cenderung menyesatkan. Karena isu- isu

yang berkembang, gosip dari mulut ke mulut, semakin banyak yang

berkomentar kian ditambah- tambah dan dibumbui isu tersebut. Allah

berfirman, “ Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya

mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya

persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan” (Qs Al-

An’am (6 ) : 116). Wallahu ‘alam bishowab*****


Published with Blogger-droid v2.0.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar