SYAHADATAIN Versi Harokatul Hadamah
SYAHADATAIN Versi Harokatul Hadamah
Harokatul Hadamah adalah gerakan yang bertujuan
menghancurkan islam dan perjuangannya dengan
menggunakan simbol- simbol islam. Sehingga umat
islam yang masih awam merasa phobi (takut) kepada
setiap pergerakan yang bernuansa islam. Hal ini
mengakibatkan kontraproduktif dengan misi
membentuk manusia yang islami dan masyarakat
madani.
Fenomena Aliran Sesat
Pemberitaan mengenai gerakan yang mengatasnamakan islam yang disinyalir
sesat dan menyesatkan tengah hangat beberapa waktu ke belakang, bahkan
hingga kini. Sebenarnya fenomena aliran sesat ini adalah persoalan klasik yang
menimpa umat islam. Hal ini pertama kali terjadi dalam sejarah islam adalah
pasca wafatnya Nabi Saw, yaitu munculnya Tokoh Musailamah Al- Kadzab
yang mengaku Nabi setelah Nabi Saw, Padahal Nabi Saw lah sebagai
khotaman Nabiyyiin/penutup para nabi (Qs 33 : 40).
Walaupun vonis sesat hanya berhak dikeluarkan oleh lembaga berwenang
(Kejati, MUI), namun umat islam sendiri bisa menilai sebuah gerakan
terindikasi sesat. Diantaranya adalah mengubah hal-hal yang bersifat prinsipil
(Aqidah) dan syari’ at yang sudah baku (Qs 5: 3). Diantaranya pengakuan
kenabian, mengubah redaksi syahadatain, menggugurkan kewajiban syari’at
(Shalat, zakat, shaum, haji dll).
Mengubah Syahadatain
Mengubah redaksi syahadatain yang dilakukan oleh Ahmad Mushadeq
dan pengikutnya dalam kelompok yang menamakan diri Al-Qiyadah Al-
Islamiyah adalah merupakan “Dlolalan mubiin”(kesesatan yang nyata) .
Yakni “Asyhadu Allaa ilaaha illalloh wa asyhadu anna al- masiih al- mau’ud
rasulullah”. Al-Masih Al- mau’ud yang dimaksud adalah Mushadeq sendiri.
Sehingga dari ikrar ini tidak secara langsung Mushadeq telah
memproklamirkan diri sebagai Nabi dan Rasul.
Begitupun yang dilakukan oleh Ahmadiyah. Mereka mengakui Mirza Ghulam
Ahmad sebagai Nabi karena nama yang tercantum dalam Qs al-Shaf ayat 6
adalah AHMAD. Mereka beranggapan bahwa Nabi Muhamad bukan Nabi
terakhir. Namun Mirza Ghulam Ahmad lah sebagai pendiri kelompok
Ahmadiyah yang dimaksud dengan Nabi terakhir. Mereka menafsirkan kalimat
khatam dalam Qs Al-Ahzab (33 ) : 40 dengan pengertian “cincin”. Hingga
mereka mengkultuskan Mirza Ghulam Ahmad (Qs 2 : 165- 167), hampir sama
dengan orang-orang Yahudi mengkultuskan Uzair, orang-orang Nasrani
mengkultuskan Isa Putra Maryam (Qs 9 : 30- 31) . Bahkan mereka memiliki
kitab tersendiri sebagai pedoman hidup, yaitu “Tadzkiroh”, hampir menyamai
kedudukannya dengan al- Qur’an (Qs 2 : 79- 80) . (“SYAHADATAIN, Syarat
Utama tegaknya syariat Islam”, hal.79 , M.Umar JA, Pen.Bina Biladi Press).
Sebagian lagi ada kelompok yang menyertakan Syahadatain dengan keharusan
membayar sejumlah uang mencapai ratusan ribu, bahkan hingga satu juta
rupiah. Dengan dalih sebagai uang shodaqoh istighfar, atau untuk
mensucikan diri. Sungguh keterlaluan “syari’ at baru” ini, syahadatain yang
sakral dan suci serta mesti dijauhkan dari motif duniawi, justru dinodai
dengan syari’ at yang entah Hadist riwayat siapa yang dijadikan landasan.
Makna Syahadatain
Syahadatain yang dimaksud Allah dan RasulNya adalah pernyataan sikap
seseorang yang menjadikan islam sebagai pedoman dan ajaran hidupnya.
Islam yang dimaksud tentunya bukan islam ketutunan, islam abangan atau
islam KTP. Karena banyak orang yang mengaku muslim, tapi hidupnya tidak
beraturan (Syari’ at) Islam. Manusia yang sudah bersaksi bahwa dirinya
muslim adalah manusia yang telah menjadikan dirinya sebagai hamba Allah.
Hamba Allah adalah manusia yang hanya tunduk dan patuh kepada aturan
dan hukum Allah saja. Tidak mengambil hukum, sistem hidup dan ideologinya
selain Islam, bahkan menolaknya, inilah yang dinamakan sikap “Al- baro’ah ”,
berlepas diri (Qs 60 : 4) . Hal ini terdapat pada kalimat “Laa ilaaha”.
Sungguh ironis orang yang mengaku muslim tapi masih berhukum kepada
Thogut. Menurut Syaikh Muhamad Qutb, Thogut adalah seseorang, organisasi
atau institusi, jama’ah , pemerintahan tradisi atau kekuatan yang menjadi
panutan atau aturan manusia, dimana manusia tidak dapat membebaskan
diri dari perintahnya dan larangannya. Orang yang mengaku mu’min dengan
mengucapkan dua kalimat syahadat secara otomatis dia menolak thogut,
“Sembahlah Allah dan jauhi thogut”, (Qs 16 : 36, 2 : 256).
Keberadaan orang-orang yang tidak konsisten dengan keimanannya, yaitu
mengakui hukum thogut akan senantiasa ada hingga akhir jaman.
Sebagaimana firmanNya, “ Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang
yang mengaku telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan
kepada apa yang diturunkan sebelummu?. Tetapi mereka masih
menginginkan ketetapan hukum thogut” (Qs 4 : 60).
Setelah seseorang menolak dan melepaskan diri dari thogut (al- baro’ah ),
maka dia bersikap al-wala (taat, setia, loyal) kepada Allah saja dengan aturan
dan hukumNya. Menjadikan Allah sebagai sumber otoritas, legalitas dan
loyalitas. Hal ini terdapat dalam kalimat “illalloh”. Maka keberadaan syari’at
syahadatain adalah merupakan tujuan dakwah itu sendiri, sebagaimana sabda
Nabi Saw “Ajaklah manusia untuk bersyahadah, bahwa tidak ada ilah kecuali
Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Apabila mereka telah
mentaati kepadamu tentang hal itu (syahadatain) , maka beritahukan kepada
mereka bahwa Allah mewajibkan bagi mereka shalat sebanyak lima kali sehari
semalam” (HR Abu Daud dan Hakim, lihat pula HR Muslim bab keimanan Juz
7).
Tauhidullah dan Tauhidul ittiba’
Syahadat yang pertama, yaitu “Asyhadu allaa ilaaha illalloh” disebut
Tauhidullah. Sementara Syahadat yang kedua disebut Tauhidul ittiba’, yaitu
“Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah”. Dimana tidak akan sempurna
keimanan seseorang, tanpa mengaplikasikan keimanannya dengan mengikuti
Nabi Muhammad sebagai sumber ittiba’, “ Katakanlah (Muhammad) , jika kamu
mencintai Allah, maka ikutilah aku…”(QS 3 : 31 ). Karena banyak orang yang
mengakui Allah sebagai Tuhannya, tapi tidak mau mengakui Nabi Muhammad
sebagai utusan Allah. Sebagaimana Abu Lahab, Abu Jahal dan Abu Tholib,
mereka percaya kepada Allah tetapi tidak mengakui kerasulan Nabi Muhamad
Saw. Begitupun saat ini banyak orang yang percaya kepada Allah, tapi tidak
percaya kepada kerasulan Nabi Muhammad, yaitu dengan tidak mengikuti
ajaran dan sunah Rasul. Bahkan yang diikuti adalah ajaran nenek moyangmya
dengan dalih sebagai wasilah untuk menyembah Allah (Qs 5 : 104).
Muhammad sebagai Nabi telah berakhir, karena kenubuwahan adalah gelar.
Dimana gelar kenubuwahan ini didapat oleh lebih dari 25 orang. Bahkan
menurut riwayat disebutkan lebih dari seribu orang. Sementara hanya 25
orang saja diantara sekian banyak nabi tersebut yang diangkat menjadi Rasul.
Dimana para Rasul ini mendapat tugas untuk menjadi wakil atau mandataris
Allah di muka bumi, yaitu tegaknya Dinulloh (Qs 42 : 13) . Tugas menegakkan
Dinulloh atau biasa disebut tugas kerisalahan terakhir kali disempurnakan oleh
Nabi Saw (Qs 5 : 3). Namun tidak berarti tugas ini berakhir, mesti ada umat
yang melanjutkannya. sebagaimana firman Allah, “:Dan Muhammad hanyalah
seorang Rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul, apakah jika dia wafat
atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)?. Baranngsiapa berbalik ke
belakang ia tidak akan merugikan Allah sedikitpun. Allah akan memberi
balasan kepada orang yang bersyukur”( Qs Ali Imron [3] : 144). Dari sini saja
kita bisa memahami, mengapa syahadat kedua, redaksinya berbunyi, Wa
asyhadu anna muhammadarrasulululloh”, bukan “Wa asyhadu anna
muhammadannnabiyulloh”. Karena kerisalahan adalah prinsip (Aqidah) ,
sedangkan kenubuwahan adalah gelar pribadi.
Vonis Sesat
Memvonis suatu ajaran apakah itu Al-Haq atau Al-Batil , Al-Mustaqim atau
Adlolalah pada hakekatnya adalah hak perogratif Allah dan RasulNya. Namun
manusia diberi potensi yang sama oleh Allah untuk bisa menyimpulkan
kebenaran dan kesalahan suatu ajaran. Potensi tersebut adalah potensi
bertauhid yang sama rata diberikan kepada selueuh anak keturunan adam di
alam ruh (Qs 7 : 172). Kemudian setelah lahir ke alam dunia manusia diberi
potensi hati, pendengaran dan penglihatan (Qs 16 : 78, 7 : 179) , tentunya
dibarengi dengan potensi eksternal, yaitu berupa Hidayah (Qs 2 : 2, 48 :28) .
Namun untuk memvonis suatu ajaran sesat, tidak lantas memvonis dengan
membabi buta. Bahkan MUI sekalipun sangat berhati-hati mengeluarkan
fatwa sesat kepada suatu ajaran dan kelompok. Perlu adanya klarifikasi
(tabayyun), fakta, dalil dan argumen yang bisa dipertanggung jawabkan, tidak
asal menuduh. Bila tuduhan tersebut didasari oleh prasangka, isu yang belum
jelas kebenarannya dan dibarengi dengan perasaan benci dan dengki kepada
pelakunya, justru isu semacam itu cenderung menyesatkan. Karena isu- isu
yang berkembang, gosip dari mulut ke mulut, semakin banyak yang
berkomentar kian ditambah- tambah dan dibumbui isu tersebut. Allah
berfirman, “ Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya
persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan” (Qs Al-
An’am (6 ) : 116). Wallahu ‘alam bishowab*****
Sabtu, November 26, 2011
SYAHADATAIN Versi Harokatul Hadamah
Published with Blogger-droid v2.0.1
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar