Sabtu, November 26, 2011

Ayat Ayat Cinta

(benar -benar) mencintai Allah, ikutilah aku

(Muhammad ), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-

dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[QS . Ali ‘Imraan:

31]

Jika hendak diartikan secara harfiah, Ayat- Ayat Cinta berarti Tanda-

Tanda Cinta. “Tanda- tanda cinta kepada Allah dan Rasul- Nya”, makna

inilah yang hendak kami angkat sebagai titik sentral kajian Tafsir kita kali

ini. Menilik fenomena belakangan ini, dimana kaum muslimin seolah

kehilangan figur sejati untuk dicintai. Mereka berbondong-bondong

mengidolakan tokoh fiktif novel ketimbang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi

wa salam, teladan sejati –yang riil (nyata )- bagi kaum muslimin dalam hal

cinta dan ketulusan

Tafsir Ayat

Dikisahkan oleh Imam al- Baghawi dalam tafsirnya Ma’aalimut Tanziil

(1 /341 . Cet. Daar Thoyyibah 1423 H), bahwa ayat ini turun ketika

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam berkata kepada kafir Quraisy yang

tengah bersujud menyembah berhala (simbol tokoh-tokoh wafat yang

dikeramatkan); “Wahai segenap kaum Quraisy! Sungguh kalian telah

menyalahi agama Bapak kalian, Ibrahim dan Isma’il” . Kafir Quraisy lantas

menjawab: “Kami menyembah berhala itu semata-mata cinta kepada

Allah, agar mereka (tokoh- tokoh wafat yang dikeramatkan itu)

mendekatkan kami kepada Allah”. Maka Allah menjawab dengan ayat di

atas.

Ulama tafsir yang lain mengaitkan ayat ini sebagai jawaban atas klaim

Yahudi dan Nashrani yang mengatakan bahwa merekalah anak-anak

Allah dan kekasih-kekasih- Nya, sebagaimana yang termaktub dalam (QS.

Al-Maa- idah ayat 18) : “(Artinya) Orang- orang Yahudi dan Nasrani

mengatakan: ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih- kekasih-

Nya’….” [lih. Ma’aalimut Tanziil : 1/341 ]

Terlepas dari latarbelakang turunnya ayat, para ulama tafsir sepakat

menjadikan ayat tersebut sebagai “ayat cinta” yang menguji kejujuran

dakwaan cinta seorang pecinta kepada yang dicintai (Allah) . Sebagaimana

diungkapkan oleh Imam Hasan al- Bashri rahimahullaah : “Suatu kaum

mengaku cinta kepada Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini” .

[ Tafsir Ibnu Katsir: 2/ 299, Cet. Daar Ibn Hazm 1419 H]

Betapa indahnya ungkapan Ibnul Qayyim rahimahullaah ketika

menafsirkan ayat cinta ini [Raudhatul Muhibbiin : 251. Lih. Badaa- i’ut

Tafsiir : 1/498 ]: “Maka Allah menjadikan ittiba’ (mengikuti) Rasul sebagai

bukti kecintaan mereka kepada Allah. Keadaan seorang hamba yang

dicintai Allah lebih tinggi dari keadaannya yang mencintai Allah.

Permasalahannya bukan pada (pengakuan) cintamu kepada Allah, akan

tetapi (apakah) Allah mencintaimu. Maka ketaatan kepada yang dicintai

(Allah dan Rasul) adalah bukti cinta kepada-Nya, sebagaimana

diungkapkan (dalam syair)

Artinya:

“Engkau bermaksiat kepada ilahi, sedangkan engkau mendakwa cinta

kepada- Nya”

“Ini dalam analogi adalah kemustahilan yang diada-adakan”

“Jika saja dakwaan cintamu jujur, niscaya engkau akan mentaati-Nya”

“Sesungguhnya seorang pecinta terhadap yang dicintai, akan taat”

Semua orang, entah ia jujur dalam ketaatannya atau seorang munafik

yang bermuka dua, bisa berucap: “Saya mencintaimu Yaa Allah”, namun

apakah Allah membalas cintanya? Inilah yang menjadi inti permasalahan.

Maka bukti kejujuran seorang hamba dalam mencintai Allah adalah

ittiba’ -nya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam. Tentu saja yang

dimaksud ittiba’ di sini adalah dalam segala hal, baik yang dicontohkan

untuk kita kerjakan ataupun yang beliau tinggalkan (tidak kerjakan) untuk

kita tinggalkan pula (Silahkan baca Al-Hujjah edisi sebelumnya Vol. 06,

yang berjudul: “Merajut Ulang Makna Uswatun Hasanah, Antara Sunnah

Fi’liyyah dan Sunnah Tarkiyyah” ).

Imam Ibnu Katsir rahimahullaah menafsirkan: “Ayat ini merupakan

pemutus hukum bagi setiap mereka yang mengaku cinta kepada Allah,

sedangkan ia tidak berada di atas jalan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa

salam . (Jika demikian) maka sungguh ia seorang pendusta dalam

pengakuannya, sampai ia mengikuti syari’at dan agama Muhammad

Shalallahu ‘alaihi wa salam pada seluruh ucapan dan perbuatan beliau.

Sebagaimana riwayat hadits yang shahih (riwayat Muslim) dari Rasulullah

Shalallahu ‘alaihi wa salam, bahwasanya beliau bersabda: “(Artinya)

barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami,

maka amalannya itu tertolak” . [Tafsi r Ibnu Katsir : 2/299 , Cet. Daar Ibn

Hazm 1419 H]

Cinta, Antara Dakwaan dan Kenyataan

Nah, dengan timbangan cinta sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,

tentunya kita bisa menilai diri kita masing-masing, apakah kita telah

benar- benar mencintai Allah dan Rasul- Nya dengan cinta yang jujur?

Ataukah kata cinta yang kita ucapkan pada Allah dan Rasul- Nya hanya

sebatas pemanis di bibir dan penghias bait-bait qasidah (baca: nasyid)

yang justru melalaikan kita dari al- Qur-an? Atau mungkin definisi cinta

kepada Allah dan Rasul- Nya sudah cukup terwakilkan oleh tetesan air

mata dan bergolaknya perasaan setelah mengikuti alur cerita novel dan

film “Islami ”? Sungguh, jika demikian, kita telah terbuai oleh halusnya

tipuan setan.

Inilah kenyataan yang merebak saat ini. Sebagian kaum muslimin begitu

mengidolakan tokoh-tokoh fiktif dalam novel dan film, hanya karena

tokoh-tokoh khayal tersebut diskenariokan berhias dengan sebagian kecil

dari keindahan ajaran Islam. Sementara tokoh nyata yang mulia nan

agung, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam , yang merepresentasikan

keindahan ajaran Islam secara kaffah (sempurna) , seolah terkikis dan

terlupakan oleh pamor artis dan biduan. Inikah ayat-ayat (baca: tanda-

tanda) cinta kepada Allah? Semestinya, jika pengakuaan cinta itu jujur,

niscaya mereka berbondong- bondong menuju majelis ilmu, bukan justru

mengantri di loket bioskop dan outlet novel “Islami ”. Karena hanya di

majelis ilmulah, dibacakan ayat- ayat Allah dan hadits-hadits Rasul-Nya .

Menghadiri majelis ilmu, inilah tanda cinta yang hakiki kepada Allah dan

Rasul- Nya.

Sahl bin ‘Abdillah rahimahullaah pernah berucap: “Tanda cinta kepada

Allah adalah cinta pada al- Qur-an. Tanda cinta pada al- Qur-an adalah

cinta pada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam . Dan tanda cinta pada

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah cinta pada

sunnahnya…” [lih. Tafsir al-Qurthubi : 4/63 , Cet. Daarul Kitaab al- ’Arabi]

Bisakah seseorang dikatakan mencintai Allah, jika ia mengerjakan sesuatu

yang tidak pernah disyari’atkan dan diperintahkan oleh Nabi- Nya dalam

urusan agama ini? Contoh nyata: Sebagian kita masih saja beralasan

bahwa merayakan maulid Nabi –yang notebene tidak pernah disyari’atkan

oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam – adalah tanda cinta kepada

Rasulullah r dan wujud syukur kita kepada Allah. Padahal kenyataannya,

para Sahabat sebagai figur yang paling mencintai Rasulullah Shalallahu

‘alaihi wa salam dan paling bersyukur kepada Allah, tidak pernah

mengadakan ritual maulidan. Seandainya merayakan maulid Nabi adalah

simbol cinta yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul- Nya, tentu para

Sahabat adalah yang paling dulu dan paling antusias mengamalkannya

daripada kita. Sebagaimana ungkapan yang telah menjadi kaidah baku di

kalangan ulama Ahlussunnah wal Jamaa’ah :

“Kalau seandainya itu baik, niscaya mereka (para Sahabat) telah lebih dulu

mengerjakannya. ” Karena para Sahabat adalah orang-orang yang paling

bersemangat dan rakus dalam mengerjakan amal ibadah.

Kiat Meraih Cinta-Nya

====================

Jalan tercepat menggapai cinta al-Khaaliq adalah dengan memurnikan

tauhid kepada-Nya, menjauhkan diri dari kesyirikan dan ragam bentuk

kekufuran. Kemudian mengerjakan hal-hal yang diwajibkan oleh syari’at

Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam, menjauhkan diri dari semua

larangan dan segala bentuk ibadah yang tidak dicontohkan oleh beliau

dalam agama ini. Baru setelah itu berhias dan senantiasa mendekatkan

diri kepada Allah dengan amalan- amalan naafilah (sunnah ). Inilah yang

diisyaratkan oleh Hadits Wali:

“(Artinya) Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman: “Barangsiapa

memusuhi Wali- Ku, maka aku mengumumkan perang terhadapnya. Dan

tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada- Ku dengan sesuatu

ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya,

dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada- Ku dengan

amalan- amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya

jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar,

dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai

tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia

gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada- Ku pasti

Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari- Ku pasti

Aku akan melindunginya” . [Shahih Bukhari no. 6137]

Senantiasa membasahi lidah dengan dzikir kepada Allah, juga merupakan

sebab terbesar dalam meraih cinta Allah. Karena di antara ciri khas

seseorang yang tengah dilanda cinta adalah senantiasa menyebut dan

mengingat orang yang dicintainya. Demikian pula Allah, Dia selalu

mengingat hamba- hamba- Nya yang berdzikir dan bermunajat kepada-

Nya. Allah berfirman:

“ (Artinya ) Karena itu, berdzikirlah (ingat) kalian kepada-Ku niscaya Aku

akan ingat kepada kalian, dan bersyukurlah kepada- Ku, dan janganlah

kalian mengingkari (nikmat )- Ku” . [Al-Baqarah : 152]

Bergaul dan berinteraksi dengan akhlak yang mulia bersama hamba-

hamba Allah lainnya juga bisa mendatangkan cinta dan kasih sayang

Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam:

“ (Artinya ) Orang- orang yang penyayang, mereka itu akan disayang oleh

Allah Tabaaraka wa Ta’ala (Yang Maha berkat dan Maha Tinggi). oleh

karena itu sayangilah orang-orang di muka bumi, niscaya Dzat yang di atas

langit akan menyayangi kamu”. [Silsilah Shahihah no. 925]

Satu lagi yang tidak kalah penting dalam berusaha meraih cinta Allah,

yaitu do’a . Hafalkan dan amalkanlah do’a -dari sunnah yang shahih-

berikut ini di waktu-waktu yang mustajab.

Artinya: “Ya Allah. Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ; perbuatan

yang memiliki banyak kebaikan, dan meninggalkan berbagai macam

kemunkaran, mencintai orang-orang miskin dan Engkau mengampuni serta

menyayangiku. Dan jika Engkau menimpakan fitnah (malapetaka) bagi

suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terimbas fitnah

itu. Dan aku memohon kepada-Mu rasa kecintaan pada-Mu, dan cinta

pada orang- orang yang mencintai-Mu, juga cinta pada amal

perbuatan yang akan menghantarkan aku untuk mencintai-Mu. ”

[Hadits Hasan, riwayat Ahmad: V/243 , at-Tirmidzi : 3235]


Published with Blogger-droid v2.0.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar