Selasa, November 29, 2011

Cukuplah Kematian Sebagai Pengingat

“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang

melenyapkan semua kelezatan, yaitu

kematian!” (HR. Tirmidzi)

Berbahagialah hamba-hamba Allah yang

senantiasa bercermin dari kematian. Tak

ubahnya seperti guru yang baik, kematian

memberikan banyak pelajaran,

membingkai makna hidup, bahkan

mengawasi alur kehidupan agar tak lari

menyimpang. Nilai- nilai pelajaran yang

ingin diungkapkan guru kematian begitu

banyak, menarik, bahkan menenteramkan.

Di antaranya adalah apa yang mungkin

sering kita rasakan dan lakukan.

Kematian mengingatkan bahwa waktu

sangat berharga Tak ada sesuatu pun buat

seorang mukmin yang mampu

mengingatkan betapa berharganya nilai

waktu selain kematian. Tak seorang pun

tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir.

Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.

Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang

menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun

waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam

surah Al-Anbiya ayat 1,

“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang

mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya) .”

Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba,

lisan tergerak untuk mengatakan, “Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan

kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan.” Tapi sayang,

permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa

ada perundingan.Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44,

“Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu)

datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: ‘Ya Tuhan

kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami

akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul ….”

**

Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa- siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka

kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang

telahdimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’ , usai sudah permainan.

Semua kembali kepada peran yang sebenarnya. Lalu, masih kurang patutkah kita

dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang

kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.

Sebagus- bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat

selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan

kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi,

bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan,

peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan

kedalam laci- laci peran. Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan

yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun

begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita

selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah

kematian.

**

Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut

masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin.

Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama

bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu. Itu pun masih bagus. Karena, kita

terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang. Lalu,

masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih

keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan

kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun

bersama sesuatu yang tak berharga.

Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran

usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu,

masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa .

Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran

yang pernah kita mainkan.

**

Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara

Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah

khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin

menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara

dirinya dengan kenikmatan saat ini.Ketika sapaan kematian mulai datang berupa

rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput,

barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan

itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan

kemudian berakhir.

**

Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga

Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa

hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang

petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan

yang berharga. Dengan sungguh-sungguh . Petani itu khawatir, ia tidak mendapat

apa-apa ketika ladang harus dikembalikan. Mungkin, inilah maksud ungkapan

Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al- Qashash ayat 77,

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)

negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)

dunia…”

dengan menyebut, “Ad- Dun-ya mazra’atul akhirah.” (Dunia adalah ladang buat

akhirat)

Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk

mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling

diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti

kehidupan.

***

Daarut tauhid

Published with Blogger-droid v2.0.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar