Jilbab dan Aurat dalam Hukum Islam
Antropologi Jilbab
Secara historis, jilbab telah dikenal sejak lama misalnya di Yunani dan
Persia sebelum Islam datang. Motivasi yang melandasi tumbuhnya
tradisi berjilbab beragam. Bagi masyarakat Persia, Jilbab digunakan
untuk membedakan perempuan bangsawan dengan perempuan biasa
dan Perempuan yang sudah menikah (masih bersuami atau janda).
Seorang perempuan yang diperistri oleh seorang laki-laki dan
perempuan tersebut belum dijilbabkan maka statusnya adalah gundik
bukan istri sah. Jadi jilbab bagi masyarakat Persia dulu digunakan untuk
menunjukan eksklusifitas kelas. Sementara bagi masyarakat Yunani,
Jilbab berkaitan erat dengan teologi atau mitologi menstruasi.
Perempuan yang sedang menstruasi harus diasingkan secara sosial
karena diyakini dalam kondisi “kotor” sehingga mudah dirasuki Iblis.
Untuk menghalangi masuknya Iblis ke diri perempuan tersebut maka
harus ditutupi jilbab sehingga iblis tidak bisa masuk. Dan, bisa jadi
dalam kultur masyarakat tertentu memiliki fungsi yang berbeda.
Demikian jika kita ingin memotret tradisi berjilbab dalam perspektif
sejarah beberapa abad ke belakang. Data ini bisa dilacak dari hasil riset
yang dilakukan oleh Fadwa El-Guindi, Ph.D seorang Profesor
Antropologi dari Sourthen university California, juga dalam makalah
yang pernah ditulis Oleh Prof. Nasarudin Umar (Peneliti Kesetaraan
Gender dalam Islam, saat ini menjabat Dirjen BIMAS ISLAM DEPAG)
dalam jurnal Ulumul Quran sekitar Tahun 1990-an.
Dalam tradisi masyarakat arab, dimana pertama kali islam berkembang,
Jilbab pun sudah populer. Hanya saja, dalam tradisi masyarakat arab,
kepala ditutup rapat namun dada mereka terbuka. Data ini bisa dilacak
dalam kitab Shofwatuttafasir karya seorang ulama terkemuka yang
bernama Imam Muhammad Ali As-Shobuni .
Pandangan Islam tentang Jilbab
Pertama, kita harus memulai dari ayat berikut:
Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. (Al-
Ahzab ayat 59)
Dalam Al-Ahzab ayat 59 diatas, menurut ulama tafsir, Sabab Nuzul
(sebab turun) ayat tersebut adalah karena terjadinya hadist ifki (berita
bohong) atau fitnah kubro (fitnah yang sangat keji) terhadap Aisyah RA
yang bersatus istri nabi. Aisyah disinyalir memiliki kedekatan khusus
dengan salah seorang sahabat nabi bahkan difitnah berselingkuh. Oleh
karena itu turunlah ayat ini yang memerintahkan nabi menganjurkan
istri dan anaknya mengenakan jilbab dengan maksud mengangkat
kembali derajat istri nabi. Menurutku, pandangan ini memiliki
kemiripan dengan tradisi berjilbab masyarakat Persia dimana jilbab
berperan untuk mengangkat derajat perempuan.
Kajian Hukum/syariat/fikih ayat diatas:
1. jika menggunakan dalil penetapan hukum Islam: Al-Ibratu Bikhusus
as-sabab, laa bi umum al-lafdzi (Penetapan hukum harus berdasarkan
sebab yang spesifik bukan berdasarkan teks yang general) maka
kesimpulan hukum yang dapat diambil adalah bahwa jilbab hanya
diwajibkan bagi Istri dan anak nabi saja, tidak untuk perempuan muslim
lainnya meskipun dalam teks dinyatakan secara eksplisit : “Istri-istrimu ,
anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin”. Karena generalnya
teks tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum dan hanya kepada
penyebab lahirnya hukum saja hukum itu berlaku.
2. Jika menggunakan dalil penetapan hukum Islam: Al-Ibratu Bi-umum
al-Lafdzi, laa bikhusus as-sabab (Penetapan hukum harus berdasarkan
generalnya teks bukan berdasarkan sebab yang spesifik) maka
kesimpulan hukum yang dapat diambil adalah bahwa jilbab diwajibkan
kepada istri& anak nabi begitupun seluruh perempuan beriman.
Meskipun ayat ini sebenarnya turun karena disebabkan peristiwa yang
menimpa aisyah (istri nabi tersebut) tapi ayat ini berlaku umum.
Dari sini mungkin kita sudah dapat menemukan titik terang, mengapa
ada ulama yang berpandangan bahwa Jilbab wajib untuk semua
perempuan muslim dan sebagian lagi berpandangan tidak wajib.
Sebenarnya itu dimulai dari perbedaan cara/metode penafsiran yang
digunakan. Dan kedua model penafsiran tersebut adalah metode yang
sama-sama dianggap sah dalam tradisi islam. Bagi yang berpegang
dengan metode pertama, biasanya berangkat dari para penafsir yang
lebih mengedepankan konteks dari ayat dan berusaha menggali pesan
moral yang terkandung dari ayat. Dalam tradisi Islam ini berkembang di
kalangan pemikir di luar Hijaz ( di luar makkah, madinah dan sekitar)
termasuk Indonesia yang memang tidak terlalu banyak diwarisi
pengalaman nabi, sahabat dan generasi awal Islam sehingga
mengharuskan mereka mengedepankan rasionalitas. Adapun yang
berpegang dengan metode kedua, biasanya berangkat dari para penafsir
yang mengedepankan teks ayat. Dalam tradisi Islam ini berkembang di
kalangan pemikir yang berada di sekitar Hijaz. Mereka cenderung
tekstual/literal karena memang banyak diwarisi pengalaman nabi,
sahabat dan generasi awal yang bisa dijadikan referensi mereka untuk
bertanya jika menemukan kesulitan dalam memaknai ayat sehingga
tidak perlu repot repot berfikir keras.
Jika ada pertanyaan, pandangan mana yang benar? Maka kita pun harus
bersandar bagaimana status sebuah pandangan hukum dalam hukum
Islam. Dalam hukum Islam kebenaran sebuah pandangan/pendapat
bersifat relatif, karena semuanya merupakan ijtihadi (bersifat pemikiran
manusia). Selama bersandar pada metodologi hukum Islam yang sah
maka hukum itupun dianggap sah. Manusia memiliki kebebasan penuh
untuk memilih hukum mana yang menurutnya lebih benar, lebih tepat
dan lebih diyakini untuk dijalankan. Perbedaan adalah hal yang
dianggap wajar dan dianggap hanya sebagai bentuk keragaman saja.
Seseorang baru dianggap salah jika sudah memutlakan pandangan yang
dianutnya dan menganggap pandangan orang lain salah.
Kedua, kadang jilbab dikaitkan dengan aurat, sebenarnya bagaimana
konsep aurat dalam tradisi Islam?
Kita harus memulai dari ayat:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung. An-Nur ayat 31.
Ulama tafsir berpendapat bahwa sebab turun ayat ini masyarakat arab
punya tradisi menutup kepala tapi dada terbuka. Sebagaimana di awal
dikutip dari pandangan tafsir ash-shobuni dalam shofwatuttafasir.
Makanya kemudian dalam ayat ini ada perintah “menutup kain
kerudung ke dadanya”. Maksudnya, kenapa kepala ditutup, tapi dada
yang lebih privasi tidak ditutup. Maka bagusnya tutuplah sekalian
dadanya.
Ada ungkapan yang bagus dalam ayat ini, hendaklah menahan
pandangan dan kemaluannya. Ini juga mengisyaratkan apa sebenarnya
aurat itu. Pertama berkaitan dengan pandangan dan kedua berkaitan
dengan kemaluan. Tafsirnya, apa yang membuat pandangan orang lain
tidak nyaman begitupun apa yang membuat kita merasa malu menurut
standar etika yang berlaku bagi masyarakat tertentu atau dimana kita
berada maka itulah yang menjadi pijakan kita menentukan aurat.
adapun prakteknya seperti apa sangat bergantung pada kultur
masyarakat yang berlaku itu tadi. Maka, bagi kultur masyarakat arab,
menutup aurat bagi perempuan adalah dengan menutup kepala, dada,
tangan bahkan ada yang sampai bercadar sesungguhnya itu adalah
salah satu bentuk praktek menutup aurat bagi masyarakat tertentu yang
kemudian dilegitimasi oleh Islam sebagai contoh saja karena kebetulan
Alquran dan Islam pertama kali berinteraksi dengan kultur masyarakat
arab.
Lagi lagi, jika kita menggunakan pendekatan tekstual/literal maka
praktek menutup aurat yang benar adalah sebagaimana yang
dicontohkan oleh masyarakat arab yang hal tersebut dilegitimasi Islam
melalui teks alquran surat an-nur ayat 31 itu. Praktek ini benar dan
tidak bisa disalahkan.
Namun, jika kita menggunakan pendekatan kontekstual, maka yang
paling penting adalah menangkap pesan moral dari ayat ini. Yaitu
menjaga pandangan orang lain agar tidak terganggu dan menjaga harga
diri kita. Adapun prakteknya sangat bergantung dari standar moral yang
berlaku. Quraish Shihab dan Nurcholish Madjid berpandangan bahwa
aurat bagi perempuan Indonesia tidak termasuk kepala/rambut. Jadi
menggunakan pakaian yang sopan dan tidak ketat/memperlihatkan
lekuk tubuh itu sudah masuk dalam standar menutup aurat. praktek
inipun benar dan tidak bisa disalahkan.
Demikian seputar perdebatan syariat dalam masalah hukum jilbab dan
aurat. lagi lagi, persoalan hukum aurat dan jilbab adalah persoalan
syariat, maka pendekatan yang paling tepat untuk menentukan
hukumnya seperti apa hanya bisa dilakukan dengan menggunakan
epistimologi syariat. Tidak tepat jika kita ingin mendiskusikan hukum
jilbab dan aurat tapi dengan metode yang biasa digunakan membedah
ilmu hakikat yang cenderung bersifat intuitif-spekulatif. Sementara
hukum Islam lebih cenderung normatif-argumentatif. Pendekatan
intuitif-spekulatif baru tepat digunakan saat kita akan membedah
tujuan, makna, hakikat dan hikmah dibalik pensyariatan jilbab dan
aurat. mudah-mudahan kita terbiasa menempatkannya sesuai porsi
masing-masing sehingga tidak terjadi kerancuan dalam berfikir dan
berbuat dalam menjalankan spiritualitas (beragama) .
Rabu, November 30, 2011
Jilbab dan Aurat dalam Hukum Islam
Published with Blogger-droid v2.0.1
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar