Rabu, November 30, 2011

Jilbab dan Aurat dalam Hukum Islam

Jilbab dan Aurat dalam Hukum Islam

Antropologi Jilbab

Secara historis, jilbab telah dikenal sejak lama misalnya di Yunani dan

Persia sebelum Islam datang. Motivasi yang melandasi tumbuhnya

tradisi berjilbab beragam. Bagi masyarakat Persia, Jilbab digunakan

untuk membedakan perempuan bangsawan dengan perempuan biasa

dan Perempuan yang sudah menikah (masih bersuami atau janda).

Seorang perempuan yang diperistri oleh seorang laki-laki dan

perempuan tersebut belum dijilbabkan maka statusnya adalah gundik

bukan istri sah. Jadi jilbab bagi masyarakat Persia dulu digunakan untuk

menunjukan eksklusifitas kelas. Sementara bagi masyarakat Yunani,

Jilbab berkaitan erat dengan teologi atau mitologi menstruasi.

Perempuan yang sedang menstruasi harus diasingkan secara sosial

karena diyakini dalam kondisi “kotor” sehingga mudah dirasuki Iblis.

Untuk menghalangi masuknya Iblis ke diri perempuan tersebut maka

harus ditutupi jilbab sehingga iblis tidak bisa masuk. Dan, bisa jadi

dalam kultur masyarakat tertentu memiliki fungsi yang berbeda.

Demikian jika kita ingin memotret tradisi berjilbab dalam perspektif

sejarah beberapa abad ke belakang. Data ini bisa dilacak dari hasil riset

yang dilakukan oleh Fadwa El-Guindi, Ph.D seorang Profesor

Antropologi dari Sourthen university California, juga dalam makalah

yang pernah ditulis Oleh Prof. Nasarudin Umar (Peneliti Kesetaraan

Gender dalam Islam, saat ini menjabat Dirjen BIMAS ISLAM DEPAG)

dalam jurnal Ulumul Quran sekitar Tahun 1990-an.

Dalam tradisi masyarakat arab, dimana pertama kali islam berkembang,

Jilbab pun sudah populer. Hanya saja, dalam tradisi masyarakat arab,

kepala ditutup rapat namun dada mereka terbuka. Data ini bisa dilacak

dalam kitab Shofwatuttafasir karya seorang ulama terkemuka yang

bernama Imam Muhammad Ali As-Shobuni .

Pandangan Islam tentang Jilbab

Pertama, kita harus memulai dari ayat berikut:

Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu

dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan

jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka

lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. (Al-

Ahzab ayat 59)

Dalam Al-Ahzab ayat 59 diatas, menurut ulama tafsir, Sabab Nuzul

(sebab turun) ayat tersebut adalah karena terjadinya hadist ifki (berita

bohong) atau fitnah kubro (fitnah yang sangat keji) terhadap Aisyah RA

yang bersatus istri nabi. Aisyah disinyalir memiliki kedekatan khusus

dengan salah seorang sahabat nabi bahkan difitnah berselingkuh. Oleh

karena itu turunlah ayat ini yang memerintahkan nabi menganjurkan

istri dan anaknya mengenakan jilbab dengan maksud mengangkat

kembali derajat istri nabi. Menurutku, pandangan ini memiliki

kemiripan dengan tradisi berjilbab masyarakat Persia dimana jilbab

berperan untuk mengangkat derajat perempuan.

Kajian Hukum/syariat/fikih ayat diatas:

1. jika menggunakan dalil penetapan hukum Islam: Al-Ibratu Bikhusus

as-sabab, laa bi umum al-lafdzi (Penetapan hukum harus berdasarkan

sebab yang spesifik bukan berdasarkan teks yang general) maka

kesimpulan hukum yang dapat diambil adalah bahwa jilbab hanya

diwajibkan bagi Istri dan anak nabi saja, tidak untuk perempuan muslim

lainnya meskipun dalam teks dinyatakan secara eksplisit : “Istri-istrimu ,

anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin”. Karena generalnya

teks tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum dan hanya kepada

penyebab lahirnya hukum saja hukum itu berlaku.

2. Jika menggunakan dalil penetapan hukum Islam: Al-Ibratu Bi-umum

al-Lafdzi, laa bikhusus as-sabab (Penetapan hukum harus berdasarkan

generalnya teks bukan berdasarkan sebab yang spesifik) maka

kesimpulan hukum yang dapat diambil adalah bahwa jilbab diwajibkan

kepada istri& anak nabi begitupun seluruh perempuan beriman.

Meskipun ayat ini sebenarnya turun karena disebabkan peristiwa yang

menimpa aisyah (istri nabi tersebut) tapi ayat ini berlaku umum.

Dari sini mungkin kita sudah dapat menemukan titik terang, mengapa

ada ulama yang berpandangan bahwa Jilbab wajib untuk semua

perempuan muslim dan sebagian lagi berpandangan tidak wajib.

Sebenarnya itu dimulai dari perbedaan cara/metode penafsiran yang

digunakan. Dan kedua model penafsiran tersebut adalah metode yang

sama-sama dianggap sah dalam tradisi islam. Bagi yang berpegang

dengan metode pertama, biasanya berangkat dari para penafsir yang

lebih mengedepankan konteks dari ayat dan berusaha menggali pesan

moral yang terkandung dari ayat. Dalam tradisi Islam ini berkembang di

kalangan pemikir di luar Hijaz ( di luar makkah, madinah dan sekitar)

termasuk Indonesia yang memang tidak terlalu banyak diwarisi

pengalaman nabi, sahabat dan generasi awal Islam sehingga

mengharuskan mereka mengedepankan rasionalitas. Adapun yang

berpegang dengan metode kedua, biasanya berangkat dari para penafsir

yang mengedepankan teks ayat. Dalam tradisi Islam ini berkembang di

kalangan pemikir yang berada di sekitar Hijaz. Mereka cenderung

tekstual/literal karena memang banyak diwarisi pengalaman nabi,

sahabat dan generasi awal yang bisa dijadikan referensi mereka untuk

bertanya jika menemukan kesulitan dalam memaknai ayat sehingga

tidak perlu repot repot berfikir keras.

Jika ada pertanyaan, pandangan mana yang benar? Maka kita pun harus

bersandar bagaimana status sebuah pandangan hukum dalam hukum

Islam. Dalam hukum Islam kebenaran sebuah pandangan/pendapat

bersifat relatif, karena semuanya merupakan ijtihadi (bersifat pemikiran

manusia). Selama bersandar pada metodologi hukum Islam yang sah

maka hukum itupun dianggap sah. Manusia memiliki kebebasan penuh

untuk memilih hukum mana yang menurutnya lebih benar, lebih tepat

dan lebih diyakini untuk dijalankan. Perbedaan adalah hal yang

dianggap wajar dan dianggap hanya sebagai bentuk keragaman saja.

Seseorang baru dianggap salah jika sudah memutlakan pandangan yang

dianutnya dan menganggap pandangan orang lain salah.

Kedua, kadang jilbab dikaitkan dengan aurat, sebenarnya bagaimana

konsep aurat dalam tradisi Islam?

Kita harus memulai dari ayat:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan

pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan

perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan

hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah

menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah

mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau

putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka,

atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara

perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang

mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai

keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti

tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar

diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu

sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu

beruntung. An-Nur ayat 31.

Ulama tafsir berpendapat bahwa sebab turun ayat ini masyarakat arab

punya tradisi menutup kepala tapi dada terbuka. Sebagaimana di awal

dikutip dari pandangan tafsir ash-shobuni dalam shofwatuttafasir.

Makanya kemudian dalam ayat ini ada perintah “menutup kain

kerudung ke dadanya”. Maksudnya, kenapa kepala ditutup, tapi dada

yang lebih privasi tidak ditutup. Maka bagusnya tutuplah sekalian

dadanya.

Ada ungkapan yang bagus dalam ayat ini, hendaklah menahan

pandangan dan kemaluannya. Ini juga mengisyaratkan apa sebenarnya

aurat itu. Pertama berkaitan dengan pandangan dan kedua berkaitan

dengan kemaluan. Tafsirnya, apa yang membuat pandangan orang lain

tidak nyaman begitupun apa yang membuat kita merasa malu menurut

standar etika yang berlaku bagi masyarakat tertentu atau dimana kita

berada maka itulah yang menjadi pijakan kita menentukan aurat.

adapun prakteknya seperti apa sangat bergantung pada kultur

masyarakat yang berlaku itu tadi. Maka, bagi kultur masyarakat arab,

menutup aurat bagi perempuan adalah dengan menutup kepala, dada,

tangan bahkan ada yang sampai bercadar sesungguhnya itu adalah

salah satu bentuk praktek menutup aurat bagi masyarakat tertentu yang

kemudian dilegitimasi oleh Islam sebagai contoh saja karena kebetulan

Alquran dan Islam pertama kali berinteraksi dengan kultur masyarakat

arab.

Lagi lagi, jika kita menggunakan pendekatan tekstual/literal maka

praktek menutup aurat yang benar adalah sebagaimana yang

dicontohkan oleh masyarakat arab yang hal tersebut dilegitimasi Islam

melalui teks alquran surat an-nur ayat 31 itu. Praktek ini benar dan

tidak bisa disalahkan.

Namun, jika kita menggunakan pendekatan kontekstual, maka yang

paling penting adalah menangkap pesan moral dari ayat ini. Yaitu

menjaga pandangan orang lain agar tidak terganggu dan menjaga harga

diri kita. Adapun prakteknya sangat bergantung dari standar moral yang

berlaku. Quraish Shihab dan Nurcholish Madjid berpandangan bahwa

aurat bagi perempuan Indonesia tidak termasuk kepala/rambut. Jadi

menggunakan pakaian yang sopan dan tidak ketat/memperlihatkan

lekuk tubuh itu sudah masuk dalam standar menutup aurat. praktek

inipun benar dan tidak bisa disalahkan.

Demikian seputar perdebatan syariat dalam masalah hukum jilbab dan

aurat. lagi lagi, persoalan hukum aurat dan jilbab adalah persoalan

syariat, maka pendekatan yang paling tepat untuk menentukan

hukumnya seperti apa hanya bisa dilakukan dengan menggunakan

epistimologi syariat. Tidak tepat jika kita ingin mendiskusikan hukum

jilbab dan aurat tapi dengan metode yang biasa digunakan membedah

ilmu hakikat yang cenderung bersifat intuitif-spekulatif. Sementara

hukum Islam lebih cenderung normatif-argumentatif. Pendekatan

intuitif-spekulatif baru tepat digunakan saat kita akan membedah

tujuan, makna, hakikat dan hikmah dibalik pensyariatan jilbab dan

aurat. mudah-mudahan kita terbiasa menempatkannya sesuai porsi

masing-masing sehingga tidak terjadi kerancuan dalam berfikir dan

berbuat dalam menjalankan spiritualitas (beragama) .


Published with Blogger-droid v2.0.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar