“Tapi tidakkah kau rasakan dia senantiasa mengimbangi posisiku. Jika ia
lembut, dia mengeraskan dan meyakinkan. Jika kau keras, dia melunakkan dan
menyabarkanku! ” (penggalan kata Abu Bakr kepada ‘Abdurrahman ibn ‘Auf
tentang ‘Umar… like this )
Da’wah yang tenang, namun lebih gemuruh
Dari tiupan topan yang menderu
Da’wah yang rendah hati, namun lebih perkasa
Dari keangkuhan gunung yang menjulang
Da’wah yang dekat, namun lebih luas
Dari belahan bumi seluruhnya
(Hasan Al Banna)
Yang tercinta tanah airku
Katakan pada mereka yang mencoba menyebut kami sektarian atau
primordial
Kata itu justru adalah burung hantu yang engkau terbangkan di langit
hati kami
Namun kini telah tertembak mati oleh senapan nurani keIslaman kami
Lihatlah, kini ia terkapar tak berdaya di ujung gurun sahara
Dan merpati Islam pun terbang tinggi membawa pesan kedatangan
Kami kembali
Yang tercinta tanah airku!”
(M. Anis Matta)
Dunia seolah telah bersuara satu untuk demokrasi
Dan hari ini rakyat Palestina pun senada
Jika mereka harus dihukum karena memilih Hamas
Maka demikian pula rakyat Amerika harus dihukum karena memilih
Bush!
(Khalid Misy’al)
Ada aksioma yang kita yakini, bahwa di dunia ini senantiasa terjadi
pertarungan antara Al-Haq dan Al Bathil, As Sira’ bainal Haqqi wal Bathil .
Seorang intelektual muslim memilih diksi yang lebih lembut yakni mudafa’ah ,
desak mendesak, dorong mendorong. Dalam keyakinan mereka, kebenaran
dan kebhatilan hanya bertarung dalam dongeng, disana kebenaran selalu
menang di akhirnya. Saat ini menjadi penting untuk menggabungkan energi
keshalihan sekaligus energi kemaksiatan dalam satu wadah demi dunia yang
damai, maju dan beradab.
Setiap manusia mempunyai kepentingan. Kepentingan yang ada dalam dada
dan kepala masing-masing manusia. Mengukur mana yang haq dan mana
yang bathil tak perlu dimasalahkan. Di sana ada landasan konsepsi, metode
gerak, dan hasil serta dampak hanya ada dua yaitu Hizbullaah dan Hizbusy
Syaithan.
Di sini terlihat. Medan yang membentang luas, penuh sesak oleh manusia
dalam dinamika yang saling mendesak, saling berlomba dan saling
mendorong mencapai berbagai tujuan. Tetapi di belakang itu semua, ada
tangan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengatur yang memegang
semua kendali dan menuntun parade yang saling berdesakan, saling
menjatuhkan, dan saling berlomba cepat itu, kea rah kebaikan,
kemashlahatan, dan pertumbuhan, di akhir perjalanan. (Sayyid Quthb)
Karakter asli kebhatilan adalah zahuq : lenyap, tertutup dan kalah.
“Dan katakanlah, ‘Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap’.
Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. ” (QS. Al-
Israa : 81)
Tetapi mengapa kebhatilan kini semakin eksis? Karena yang benar tidak
datang untuk mendesak dan menjadikannya zahuq. Karena kebenaran
berdiam diri di masjid-masjid, dan bersembunyi di mihrab- mihrab. Karena
kebenaran memilih diam disaat kebhatilan bicara, lalu terlambat bicara disaat
kebahtilan telah bekerja. Karena kebenaran tak pernah mendesak dan
memukul berhala- berhala itu dengan tongkatnya.
Umat Muhammad memang istimewa. Pada umat sebelumnya, ketika da’wah
terbuntu, ketika para Rasul sudah habis-habisan berda’wah namun tak juga
bertambah pengikutnya, ketika penentang- penentang da’wah semakin
sombong dan angkuh, Allah sendiri yang kemudian menurunkan azabNya.
Kaum Luth habis diterjang hujan batu berapi dan tanah pijakan mereka
dibalik, yang diatas dijadikan yang dibawah. Kaum Tsamud ditimpa gempa
dan suara keras mengguntur. Kaum ‘Aad habis dengan terpaan angin dingin
yang sangat keras, hingga mereka bagaikan tunggul kayu lapuk tak berbekas.
Fir’aun, yang memusuhi Musa ditenggelamkan. Bahkan Nuh berdoa saat
banjir menggemuruh, agar Allah memupus habis kaum yang menentangnya.
“Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, janganlan Engkau biarkan seorang pun di antara
orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan
mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba- hamba MU, dan
mereka tidak akan melahirkan selain generasi yang berbuat maksiat lagi
sangat kafir. ” (QS. Nuh : 26- 27)
Umat Muhammad tidak. Ketika Nabi diusir, dilempari batu, dikejar-kejar
hingga berdarah-darah, ia tidak berdoa seperti Nuh untuk membinasakan
kaum itu. Ia justru berdoa agar Allah mengampuni karena ketidaktahuan
mereka. Ia justru berharap jikapun mereka tak beriman, kelak anak-anak
mereka yang beriman. Dan Allah sekali lagi menegaskan keistimewaan itu.
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan tangan-
tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu
terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. ” (QS. At-
Taubah : 14)
Jika untuk menghancurkan kaum sebelumnya Allah mengerahkan tentara
alam, kini Allah memanggil partisipasi hamba- hamba beriman. Azab Allah
bagi penentang- penentang da’wah datang lewat tangn orang-orang mukmin,
bukan bencana alam. Siksa itu mereka rasakan sebagai sebuah desakan dari
kebenaran atas kebhatilan melalui upaya sistematis dan terprogram.
Bersiaplah. Berperanglah. Selebihnya, Allah lah Sang Penolong. Seperti doa
yang menjerit dari hati mulia di padang Badr, “ya Allah, jika golongan ini
Engkau biarkan binasa, Engkau tak akan disembah lagi di muka bumi. Ya Allah,
kecuali jika memang Engkau menghendaki untuk tidak disembah lagi
selamanya setelah hari ini! ”
Kalimat Ash-Shiddiq yang menenangkan sabahatnya, “Cukup ya Rasulullah,
tenanglah… Allah tidak akan menyalahi apa yang telah Ia janjikan
kepadamu! ”.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kalian
dan mengerjakan amal- amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan orang-orang sebelumnya berkuasa. Dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhaiNya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan mengganti (kondisi) mereka sesudah merreka dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahKu tanpa
mempersekutukan apapun denganKu. ” (QS. An-Nur : 55)
Medan sejati kita, insyaallah memang perang mempertaruhkan jiwa, hingga
pohon dan batu bicara. Diluar medan final ketika besi bertemu besi dan api
bertemu api, hari- hari ini kebhatilan memilih satu sarana perang yang
membungkam kebenaran. Suara. Ya. Suara. Al Mughalabah bil Ashwaat .
Dominasi ditentukan oleh suara. Siapa yang lebih keras, dan banyak dalam
bersuara, dia yang akan menang.
Bermula polemik ketika da’wah bersentuhan dengan demokrasi. Karena di
mana ada da’wah, di situ demokrasi diadakan, atau minimal dicita-citakan.
Ketika yang memenangkan demokrasi adalah da’wah, seperti Hamas di
Palestina.
Dr. Yusuf Qardhawi berkata , “Pemimpin yang terpilih karena diridhai rakyat
jauh lebih dekat pada Islam daripada tiran yang disebut Nabi sebagai seburuk-
buruk pemimpin sabdanya, “Dia membenci kalian dan kalian membencinya!”
Sejarah Khulafaa-ur Rasyidiin menawarkan sistem yang sangat fleksibel untuk
memilih orang terbaik yang akan memandu da’’wah. Afzal Iqbal dalam
Diplomacy in Early Islam, diantaranya :
Abu Bakr : Diplomasi dan Aklamasi
Pemakaman jenazah Rasulullah dengan sangat terpaksa harus ditunda. 3
sahabat utama itu : Abu Bakkr, ‘Umar dan Abu ‘Ubaidah ibn Al Jarrah
bergegas-gegas ke arah Saqifah Bani Sa’idah. Di balai pertemuan itu, orang-
orang Anshar berkumpul untuk memilih pengganti Rasulullah. Itu dia
pemimpin yang telah mereka pilih, pemimpin Khazraj, Sa’d ibn ‘Ubadah
sedang terbaring menggigil demam di pojok ruangan.
Abu Bakr seperti biasa, bicara dengan kalimat ringkas namun meyakinkan.
Abu Bakr dengan nada kesyukuran yang khidmat menghargai pengabdian
orang-orang Anshar untuk Islam, kesetiaan mereka pada Rasulullah,
pembelaan dan pertolongan mereka yang tak terhingga. Sekaligus juga Abu
Bakr bicara tentang persoalan legitimasi. Apa yang ditinggalkan Rasulullah
telah demikian luas, dan sungguh semua bangsa Arab hanya bisa menerima
pemimpin dari Quraisy, pelindung dan pelayan Ka’bah sejak berabad- abad.
Tentu sosok Abu Bakr sebagai juru bicara, memudahkan argumen ini diterima
orang-orang Anshar. Teriakan, “masing- masing punya pemimpin! Kalian
pilihlah pemimpin -istdan kami telah memilih Sa’d !” , yang semula
bersiponggang luluh melihat ketulusan Abu Bakr.
Abu Bakr mengakhiri pidatonya. “Wahai saudara-saudaraku Anshar.. !” ,
katanya, “Tak seorang pun yang mengingkari ketinggian derajat kalian dalam
agama dan keagungan pengorbanan kalian dalam Islam. Kalian telah dipilih
Allah unntuk menolong agama dan RasulNya, kepada kalianlah Rasulullah
diutusNya saat beliau hijrah, dan justru dari kalianlah mayoritas sahabat
Rasulullah dan istri-istri beliau berasal. Posisi kalian adalah setelah As
Sabiquunal Awwaluun . Sungguh adil dan tepat sekiranya kami duduk sebagai
Amir, maka kalian akan duduk sebagai Wazir. Kalian tidak akan terhambat
dengan apa yang akan kalian rencanakan, dan kami takkan melakukan apapun
sebelum berkonsultasi dengan kalian!”
Lalu Abu Bakr menominasikan ‘Umar dan Abu ‘Ubaidah untuk dibai’at . Tapi
suasana jadi begitu sendu. ‘Umar hanya gemeretak giginya, mengepalkan
tangan dan menunduk dalam, sementara Abu ‘Ubaidah meneteskan air
matanya sambil geleng-geleng karena rasa malu. “Tidak! ” kata ‘Umar , “ Justru
engkaulah yang akan kami bai’at . ” Dan semua sepakat denagn ‘Umar . Hari itu,
kaum muslimin memiliki seorang pemimpin baru. Dengan sebuah diplomasi.
Dan aklamasi.
‘Umar : Lobi dan Amanat, dari Yang Terpercaya pada Yang Terpercaya
Menjelang wafat, Abu Bakr mulai berpikir tentang penggantinya. Sesekali
‘Umar, yang ketika itu menjabat Qadhi, dimintanya untuk menggantikan
mengimami shalat, seperti dulu saat Rasulullah sakit dirinyalah yang diminta.
Ini seperti sebuah promosi ( taqwim ) awal. Lalu satu per satu, Abu Bakr bicara
pada tokoh- tokoh sahabat.
“Bukankah kau lihat ‘Umar seorang yang keras wahai Khallifah Rasulullah? ”,
kata ‘Abdurrahman ibn ‘Auf ketika mendengar disebutnya nama ‘Umar . “Ya”,
kata Abu Bakr. “Tapi tidakkah kau rasakan dia senantiasa mengimbangi
posisiku. Jika ia lembut, dia mengeraskan dan meyakinkan. Jika kau keras, dia
melunakkan dan menyabarkanku!” ‘Abdurrahman ibn ‘Auf menggangguk.
‘Utsman, ‘Ali, Az-Zubair, dan hamper semua shahabat yang dihubungi Abu
Bakr setuju atas pilihan Sang Khalifah. Hanya Thalhah yang agak keras. “Saat
engkau masih berada di tengah kami pun ”, katanya, “ Kami telah merasakan
betapa kerasnya dia. Bagaimana nanti kalau kau sudah menghadap Allah?
Apa jawabmu padaNya ketila tergugat telah meninggalkan kaum muslimin
pada seorang yang berperangai keras?”
“Dudukkan aku…! ” Wahai Thalhah apakah engkau sedang menakutiku?” , kata
Abu Bakr dengan ekspresi gembira. “Aku bersumpah, demi Allah jika aku
menghadap Rabbku, akan kukatakan padaNya bahwa aku telah menetapkan
atas makhlukNya seorang pemimpin yang paling kuanggap baik diantara
mereka… ” Abu Bakr telah memutuskan. Dan didiktekanlah surat wasiatnya
pada sekretaris negara, ‘Utsman ibn ‘Affan.
Ketika ‘Umar datang dan sadar apa yang terjadi, dia berseru, “Aku tidak
pernah menghajatkan posisi itu!!!” Abu Bakr tersenyum. “Benar saudaraku,
tapi posisi itulah yang menghajatkanmu. ” Jendela rumah Abu Bakr yang
menghadap ke Masjid Nabawi itu terbuat dari tanah. Ke sanalah Abu Bakr
beringsut, membukanya dan menghadap khalayak yang menunggu kabar
kondisi sakitnya. Setelah salam dan shalawat pada kekasihnya, ia berkata
anggun, “Apakah kalian akan menerima dengan lapang dada seorang yang
telah kupilih sebagai penggantiku?”
“Ya…!” , jawab khalayak itu.
Setelah menjelaskan sedikit, beliau menyebut nama ‘Umar dan berkata,
“Apakah ini cocok untuk kalian?”
“Kami setuju!”
“Apakah kalian akan taat dan setia padanya?”
“Ya!”
Maka langit Madinah cerah dengan arakan awan. Semua tahu, ‘Abu Bakr
sangat bijak dalam memerintah, dan lebih dari itu, sangat bijak memilih
pengganti.
‘Utsman : Majelis Syuraa
Setelah tikaman di shubuh itu, ‘Umar harus terbaring. Ummu Kultsum binti
‘Ali tersedu melihat suaminya. “Kasian engkau wahai ‘Umar…!” , ratapnya.
Yah, sang istri melihat sendiri, saat ‘Umar diberi minum susu, susu itu
mengalir keluar dari luka perutnya. Begitu juga sari buah, luka itu jadi semakin
perih.
Tetapi ia telah menunjuk 6 orang anggota Majelis Syuraa yang akan berembug
tentang penggantinya. Ia telah merumuskan tatacara pemilihannya, yang
bahkan paragraph terakhirnya berbunyi, “Jika prosedur telah ditunaikan dan
masih ada yang belum mau menerima keputusan syuraa diantara mereka,
maka diijinkan untuk memenggal lehernya. ” Seram. Khas ‘Umar . Dan
memang begitulah seharusnya demi keutuhan umat.
Abu Thalhah Al Anshary bersama 50 orang bersenjata lengkap sejak hari itu
berjaga ketat di kediaman ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘Anha yang bersahaja. Di
dalam sana, Thalhah telah memberikan suaranya untuk ‘Utsman, Az Zubair
memberikan suaranya untuk ‘Ali, dan Sa’d ibn Abi Waqqash memberikan
suaranya untuk ‘Abduraahman ibn ‘Auf. ‘Abdurrahman berdiri, menyatakan
bahwa ia siap memimpin dewan, tapi meninggalkan amanah khalifah sejak
awal. Maka diapun memulai tugasnya, berkonsultasi dengan para shahabat,
para istri Rasulullah, para pemimpin kabilah, dan yang juga penting, kedua
calon. Sementara yang lain dalam karantina, ‘Abdurrahman telah melihat
garis besarnya, Bani Hasyim mendukung ‘Ali, sementara Bani ‘Umayyah
mendukung ‘Utsman.
Hari itu, Masjid Nabawi penuh sesak. Di Mimbar, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf
berdiri diapit ‘Ali dan ‘Utsman. Mula- mula ia berkata sambil mengangkat
tangan ‘Ali, “Saya mengambil sumpahmu dengan syarat mengikuti Kitabullah,
sunnah RasulNya, dan teladan Abu Bakr serta ‘Umar !”
“Saya akan mengikuti Al Qur’ an, Sunnah Nabi, serta jalanku sendiri!” ,
demikian jawab ‘Ali. Hingga 3 kali.
Lalu ‘Abdurrahman ibn ‘Auf beralih ke ‘Utsman. Diucapkannyalah perkataan
yang sama. Dan ‘Utsman di bai’at hari itu juga sebagai Khalifah yang baru.
Zaman lalu menyaksikan sebuah pemerintah yang diisi karakter seorang
pemalu nan dermawan, kasih sayang.
‘Ali : Suara Mayoritas
Hari itu, 24 Juni 656. Lima hari setelah terbunuhnya ‘Utsman secara zhalim.
Jalan-jalan Madinah dipenuhi oleh gerombolan manusia, rombongan-
rombongan, dari jauh dan dekat yang sulit diperkirakan sikap dan itikadnya.
Keluarga ‘Utsman, juga beberapa shahabat yang meyakini telah datangnya
masa fitnah seperti Sa’d ibn Bin Waqqash, ‘Abdulllah ibn ‘Umar , dan Usamah
ibn Zaid memilih untuk mengungsi ke Mekkah.
Dalam atmosfer yang penuh dengang ketakutan, horor dan tak berlakunya
hukum, harus ada satu keberanian puncak untuk segera menata kembali
kondisi. Dan untuk keberanian semacam itu, hanya ‘Ali yang punya. Dan
itupun terpaksa. Awalnya dia berkata, ada Thalhah dan Az Zubair yang lebih
pantas. Tapi desakan suara mayoritas, bahkan tentu saja dari para
pemberontak zaman ‘Utsman yang masih berkumpul di Madinah tak
memberinya pilihan lain. ‘Ali tahu resikonya. Ini hanya suara mayoritas, yang
itupun dominan. ‘Ali tahu resikonya, karena diapun melihat sudah mulai
terlihat beberapa sahabat utama abstain. Dan jika api fitnah ditiup lagi, dia
merasa bahwa sikap abstain itu juga akan menajdi fitnah. Tapi apa gunanya
memaksa? Bukankah nantinya paksaan itu juga jadi fitnah?
‘Ali tahu resiko yang diembannya. Dan ia menerima suara mayoritas itu.
Politik Cerdas Raja’ ibn Haiwah, “The Khalifah Maker”
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan dibumi. Dan kesudahan yang
baik itu, bagi orang-orang yang bertaqwa. ” (QS. Al-Qashash : 83)
Inilah ayat yang berulang- ulangdibaca orang-orang mulia di ranjang
kematiannya. ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Azis . Dia memang layak mengabadikan
kalimat ini dalam kebekuan lisan yang menggetarkan kata terakhir. Dalam
kapasitas sebagai pemimpin dengan berjuta rakyat dan tiga benua, gelinciran
sombong dan kerusakan bisa menjadi semudah mengatup buka bibirnya.
Tapi dengan resiko besar itu, dia telah sukses menyelesaikan perhentian
sejenaknya di alam fana. Sampai para gembala pun bisa menyaksikan serigala
berkawan mesra dengan domba di masa pemerintahannya. Pertanyaannya,
siapa yang berperan memasukkannya ke dalam jajaran khilafah, padahal
hegemoni keluarga pamannya ‘Abdul Malik ibn Marwan nyaris tak tertembus?
Orang itu, Raja’ ibn Haiwah. Dia, dengan kedekatannya pada Khalifah
Sulaiman ibn ‘Abdul Malik berhasil membujuk sang Amirul Mukminin untuk
menyerahkan khilafah sepeninggalnya pada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, baru
kemudian pada keluarga ‘Abdul Malik yang dikehendakinya. “Inilah yang akan
meringankan perhitungan amal baginda di hadapan Allah kelak. Menyerahkan
khilafah pada seorang yang adil dan berbudi. ”, begitu kata Raja’.
“Al khuruuj minal ikhtilaaf mustahab ” , kata Imam Asy Syafi’i. Keluar dari
polemic itu disukai dan dekat pada sunnah. Karena memang ini sebuah keran
yang tiba-tiba terbuka. Dan kini, segala yang pada mulanya terttelikung bebas
bergerak mengekspresikan diri. Termasuk da’wah.
Akhirnya, demokrasi bagi da’wah bukanlah sebuah sistem. Atau manhaj kufur
yang kita terjebak di lubang gelap jika mengikutinya. Bukan, ia terlalu
sederhana untuk disebut sistem. Bagi da’wah, demokrasi hanyalah sebuah
medan [ertempuran yang kebetulan dipetakan oleh Barat dan kini dipilih oleh
musuh da’wah. Dan da’wah dengan jiwa ksatria sedang berkata, “Pilihlah di
manapun tempat kita akan berlaga. Dan dengan ijin Allah, kami pasti akan
memenangkannya!”
Sabtu, November 26, 2011
Suara
Published with Blogger-droid v2.0.1
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar