Sabtu, November 26, 2011

Suara

“Tapi tidakkah kau rasakan dia senantiasa mengimbangi posisiku. Jika ia

lembut, dia mengeraskan dan meyakinkan. Jika kau keras, dia melunakkan dan

menyabarkanku! ” (penggalan kata Abu Bakr kepada ‘Abdurrahman ibn ‘Auf

tentang ‘Umar… like this )

Da’wah yang tenang, namun lebih gemuruh

Dari tiupan topan yang menderu

Da’wah yang rendah hati, namun lebih perkasa

Dari keangkuhan gunung yang menjulang

Da’wah yang dekat, namun lebih luas

Dari belahan bumi seluruhnya

(Hasan Al Banna)

Yang tercinta tanah airku

Katakan pada mereka yang mencoba menyebut kami sektarian atau

primordial

Kata itu justru adalah burung hantu yang engkau terbangkan di langit

hati kami

Namun kini telah tertembak mati oleh senapan nurani keIslaman kami

Lihatlah, kini ia terkapar tak berdaya di ujung gurun sahara

Dan merpati Islam pun terbang tinggi membawa pesan kedatangan

Kami kembali

Yang tercinta tanah airku!”

(M. Anis Matta)

Dunia seolah telah bersuara satu untuk demokrasi

Dan hari ini rakyat Palestina pun senada

Jika mereka harus dihukum karena memilih Hamas

Maka demikian pula rakyat Amerika harus dihukum karena memilih

Bush!

(Khalid Misy’al)

Ada aksioma yang kita yakini, bahwa di dunia ini senantiasa terjadi

pertarungan antara Al-Haq dan Al Bathil, As Sira’ bainal Haqqi wal Bathil .

Seorang intelektual muslim memilih diksi yang lebih lembut yakni mudafa’ah ,

desak mendesak, dorong mendorong. Dalam keyakinan mereka, kebenaran

dan kebhatilan hanya bertarung dalam dongeng, disana kebenaran selalu

menang di akhirnya. Saat ini menjadi penting untuk menggabungkan energi

keshalihan sekaligus energi kemaksiatan dalam satu wadah demi dunia yang

damai, maju dan beradab.

Setiap manusia mempunyai kepentingan. Kepentingan yang ada dalam dada

dan kepala masing-masing manusia. Mengukur mana yang haq dan mana

yang bathil tak perlu dimasalahkan. Di sana ada landasan konsepsi, metode

gerak, dan hasil serta dampak hanya ada dua yaitu Hizbullaah dan Hizbusy

Syaithan.

Di sini terlihat. Medan yang membentang luas, penuh sesak oleh manusia

dalam dinamika yang saling mendesak, saling berlomba dan saling

mendorong mencapai berbagai tujuan. Tetapi di belakang itu semua, ada

tangan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengatur yang memegang

semua kendali dan menuntun parade yang saling berdesakan, saling

menjatuhkan, dan saling berlomba cepat itu, kea rah kebaikan,

kemashlahatan, dan pertumbuhan, di akhir perjalanan. (Sayyid Quthb)

Karakter asli kebhatilan adalah zahuq : lenyap, tertutup dan kalah.

“Dan katakanlah, ‘Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap’.

Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. ” (QS. Al-

Israa : 81)

Tetapi mengapa kebhatilan kini semakin eksis? Karena yang benar tidak

datang untuk mendesak dan menjadikannya zahuq. Karena kebenaran

berdiam diri di masjid-masjid, dan bersembunyi di mihrab- mihrab. Karena

kebenaran memilih diam disaat kebhatilan bicara, lalu terlambat bicara disaat

kebahtilan telah bekerja. Karena kebenaran tak pernah mendesak dan

memukul berhala- berhala itu dengan tongkatnya.

Umat Muhammad memang istimewa. Pada umat sebelumnya, ketika da’wah

terbuntu, ketika para Rasul sudah habis-habisan berda’wah namun tak juga

bertambah pengikutnya, ketika penentang- penentang da’wah semakin

sombong dan angkuh, Allah sendiri yang kemudian menurunkan azabNya.

Kaum Luth habis diterjang hujan batu berapi dan tanah pijakan mereka

dibalik, yang diatas dijadikan yang dibawah. Kaum Tsamud ditimpa gempa

dan suara keras mengguntur. Kaum ‘Aad habis dengan terpaan angin dingin

yang sangat keras, hingga mereka bagaikan tunggul kayu lapuk tak berbekas.

Fir’aun, yang memusuhi Musa ditenggelamkan. Bahkan Nuh berdoa saat

banjir menggemuruh, agar Allah memupus habis kaum yang menentangnya.

“Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, janganlan Engkau biarkan seorang pun di antara

orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan

mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba- hamba MU, dan

mereka tidak akan melahirkan selain generasi yang berbuat maksiat lagi

sangat kafir. ” (QS. Nuh : 26- 27)

Umat Muhammad tidak. Ketika Nabi diusir, dilempari batu, dikejar-kejar

hingga berdarah-darah, ia tidak berdoa seperti Nuh untuk membinasakan

kaum itu. Ia justru berdoa agar Allah mengampuni karena ketidaktahuan

mereka. Ia justru berharap jikapun mereka tak beriman, kelak anak-anak

mereka yang beriman. Dan Allah sekali lagi menegaskan keistimewaan itu.

“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan tangan-

tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu

terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. ” (QS. At-

Taubah : 14)

Jika untuk menghancurkan kaum sebelumnya Allah mengerahkan tentara

alam, kini Allah memanggil partisipasi hamba- hamba beriman. Azab Allah

bagi penentang- penentang da’wah datang lewat tangn orang-orang mukmin,

bukan bencana alam. Siksa itu mereka rasakan sebagai sebuah desakan dari

kebenaran atas kebhatilan melalui upaya sistematis dan terprogram.

Bersiaplah. Berperanglah. Selebihnya, Allah lah Sang Penolong. Seperti doa

yang menjerit dari hati mulia di padang Badr, “ya Allah, jika golongan ini

Engkau biarkan binasa, Engkau tak akan disembah lagi di muka bumi. Ya Allah,

kecuali jika memang Engkau menghendaki untuk tidak disembah lagi

selamanya setelah hari ini! ”

Kalimat Ash-Shiddiq yang menenangkan sabahatnya, “Cukup ya Rasulullah,

tenanglah… Allah tidak akan menyalahi apa yang telah Ia janjikan

kepadamu! ”.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kalian

dan mengerjakan amal- amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan

menjadikan orang-orang sebelumnya berkuasa. Dan sungguh Dia akan

meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhaiNya untuk mereka, dan

Dia benar-benar akan mengganti (kondisi) mereka sesudah merreka dalam

ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahKu tanpa

mempersekutukan apapun denganKu. ” (QS. An-Nur : 55)

Medan sejati kita, insyaallah memang perang mempertaruhkan jiwa, hingga

pohon dan batu bicara. Diluar medan final ketika besi bertemu besi dan api

bertemu api, hari- hari ini kebhatilan memilih satu sarana perang yang

membungkam kebenaran. Suara. Ya. Suara. Al Mughalabah bil Ashwaat .

Dominasi ditentukan oleh suara. Siapa yang lebih keras, dan banyak dalam

bersuara, dia yang akan menang.

Bermula polemik ketika da’wah bersentuhan dengan demokrasi. Karena di

mana ada da’wah, di situ demokrasi diadakan, atau minimal dicita-citakan.

Ketika yang memenangkan demokrasi adalah da’wah, seperti Hamas di

Palestina.

Dr. Yusuf Qardhawi berkata , “Pemimpin yang terpilih karena diridhai rakyat

jauh lebih dekat pada Islam daripada tiran yang disebut Nabi sebagai seburuk-

buruk pemimpin sabdanya, “Dia membenci kalian dan kalian membencinya!”

Sejarah Khulafaa-ur Rasyidiin menawarkan sistem yang sangat fleksibel untuk

memilih orang terbaik yang akan memandu da’’wah. Afzal Iqbal dalam

Diplomacy in Early Islam, diantaranya :

Abu Bakr : Diplomasi dan Aklamasi

Pemakaman jenazah Rasulullah dengan sangat terpaksa harus ditunda. 3

sahabat utama itu : Abu Bakkr, ‘Umar dan Abu ‘Ubaidah ibn Al Jarrah

bergegas-gegas ke arah Saqifah Bani Sa’idah. Di balai pertemuan itu, orang-

orang Anshar berkumpul untuk memilih pengganti Rasulullah. Itu dia

pemimpin yang telah mereka pilih, pemimpin Khazraj, Sa’d ibn ‘Ubadah

sedang terbaring menggigil demam di pojok ruangan.

Abu Bakr seperti biasa, bicara dengan kalimat ringkas namun meyakinkan.

Abu Bakr dengan nada kesyukuran yang khidmat menghargai pengabdian

orang-orang Anshar untuk Islam, kesetiaan mereka pada Rasulullah,

pembelaan dan pertolongan mereka yang tak terhingga. Sekaligus juga Abu

Bakr bicara tentang persoalan legitimasi. Apa yang ditinggalkan Rasulullah

telah demikian luas, dan sungguh semua bangsa Arab hanya bisa menerima

pemimpin dari Quraisy, pelindung dan pelayan Ka’bah sejak berabad- abad.

Tentu sosok Abu Bakr sebagai juru bicara, memudahkan argumen ini diterima

orang-orang Anshar. Teriakan, “masing- masing punya pemimpin! Kalian

pilihlah pemimpin -istdan kami telah memilih Sa’d !” , yang semula

bersiponggang luluh melihat ketulusan Abu Bakr.

Abu Bakr mengakhiri pidatonya. “Wahai saudara-saudaraku Anshar.. !” ,

katanya, “Tak seorang pun yang mengingkari ketinggian derajat kalian dalam

agama dan keagungan pengorbanan kalian dalam Islam. Kalian telah dipilih

Allah unntuk menolong agama dan RasulNya, kepada kalianlah Rasulullah

diutusNya saat beliau hijrah, dan justru dari kalianlah mayoritas sahabat

Rasulullah dan istri-istri beliau berasal. Posisi kalian adalah setelah As

Sabiquunal Awwaluun . Sungguh adil dan tepat sekiranya kami duduk sebagai

Amir, maka kalian akan duduk sebagai Wazir. Kalian tidak akan terhambat

dengan apa yang akan kalian rencanakan, dan kami takkan melakukan apapun

sebelum berkonsultasi dengan kalian!”

Lalu Abu Bakr menominasikan ‘Umar dan Abu ‘Ubaidah untuk dibai’at . Tapi

suasana jadi begitu sendu. ‘Umar hanya gemeretak giginya, mengepalkan

tangan dan menunduk dalam, sementara Abu ‘Ubaidah meneteskan air

matanya sambil geleng-geleng karena rasa malu. “Tidak! ” kata ‘Umar , “ Justru

engkaulah yang akan kami bai’at . ” Dan semua sepakat denagn ‘Umar . Hari itu,

kaum muslimin memiliki seorang pemimpin baru. Dengan sebuah diplomasi.

Dan aklamasi.

‘Umar : Lobi dan Amanat, dari Yang Terpercaya pada Yang Terpercaya

Menjelang wafat, Abu Bakr mulai berpikir tentang penggantinya. Sesekali

‘Umar, yang ketika itu menjabat Qadhi, dimintanya untuk menggantikan

mengimami shalat, seperti dulu saat Rasulullah sakit dirinyalah yang diminta.

Ini seperti sebuah promosi ( taqwim ) awal. Lalu satu per satu, Abu Bakr bicara

pada tokoh- tokoh sahabat.

“Bukankah kau lihat ‘Umar seorang yang keras wahai Khallifah Rasulullah? ”,

kata ‘Abdurrahman ibn ‘Auf ketika mendengar disebutnya nama ‘Umar . “Ya”,

kata Abu Bakr. “Tapi tidakkah kau rasakan dia senantiasa mengimbangi

posisiku. Jika ia lembut, dia mengeraskan dan meyakinkan. Jika kau keras, dia

melunakkan dan menyabarkanku!” ‘Abdurrahman ibn ‘Auf menggangguk.

‘Utsman, ‘Ali, Az-Zubair, dan hamper semua shahabat yang dihubungi Abu

Bakr setuju atas pilihan Sang Khalifah. Hanya Thalhah yang agak keras. “Saat

engkau masih berada di tengah kami pun ”, katanya, “ Kami telah merasakan

betapa kerasnya dia. Bagaimana nanti kalau kau sudah menghadap Allah?

Apa jawabmu padaNya ketila tergugat telah meninggalkan kaum muslimin

pada seorang yang berperangai keras?”

“Dudukkan aku…! ” Wahai Thalhah apakah engkau sedang menakutiku?” , kata

Abu Bakr dengan ekspresi gembira. “Aku bersumpah, demi Allah jika aku

menghadap Rabbku, akan kukatakan padaNya bahwa aku telah menetapkan

atas makhlukNya seorang pemimpin yang paling kuanggap baik diantara

mereka… ” Abu Bakr telah memutuskan. Dan didiktekanlah surat wasiatnya

pada sekretaris negara, ‘Utsman ibn ‘Affan.

Ketika ‘Umar datang dan sadar apa yang terjadi, dia berseru, “Aku tidak

pernah menghajatkan posisi itu!!!” Abu Bakr tersenyum. “Benar saudaraku,

tapi posisi itulah yang menghajatkanmu. ” Jendela rumah Abu Bakr yang

menghadap ke Masjid Nabawi itu terbuat dari tanah. Ke sanalah Abu Bakr

beringsut, membukanya dan menghadap khalayak yang menunggu kabar

kondisi sakitnya. Setelah salam dan shalawat pada kekasihnya, ia berkata

anggun, “Apakah kalian akan menerima dengan lapang dada seorang yang

telah kupilih sebagai penggantiku?”

“Ya…!” , jawab khalayak itu.

Setelah menjelaskan sedikit, beliau menyebut nama ‘Umar dan berkata,

“Apakah ini cocok untuk kalian?”

“Kami setuju!”

“Apakah kalian akan taat dan setia padanya?”

“Ya!”

Maka langit Madinah cerah dengan arakan awan. Semua tahu, ‘Abu Bakr

sangat bijak dalam memerintah, dan lebih dari itu, sangat bijak memilih

pengganti.

‘Utsman : Majelis Syuraa

Setelah tikaman di shubuh itu, ‘Umar harus terbaring. Ummu Kultsum binti

‘Ali tersedu melihat suaminya. “Kasian engkau wahai ‘Umar…!” , ratapnya.

Yah, sang istri melihat sendiri, saat ‘Umar diberi minum susu, susu itu

mengalir keluar dari luka perutnya. Begitu juga sari buah, luka itu jadi semakin

perih.

Tetapi ia telah menunjuk 6 orang anggota Majelis Syuraa yang akan berembug

tentang penggantinya. Ia telah merumuskan tatacara pemilihannya, yang

bahkan paragraph terakhirnya berbunyi, “Jika prosedur telah ditunaikan dan

masih ada yang belum mau menerima keputusan syuraa diantara mereka,

maka diijinkan untuk memenggal lehernya. ” Seram. Khas ‘Umar . Dan

memang begitulah seharusnya demi keutuhan umat.

Abu Thalhah Al Anshary bersama 50 orang bersenjata lengkap sejak hari itu

berjaga ketat di kediaman ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘Anha yang bersahaja. Di

dalam sana, Thalhah telah memberikan suaranya untuk ‘Utsman, Az Zubair

memberikan suaranya untuk ‘Ali, dan Sa’d ibn Abi Waqqash memberikan

suaranya untuk ‘Abduraahman ibn ‘Auf. ‘Abdurrahman berdiri, menyatakan

bahwa ia siap memimpin dewan, tapi meninggalkan amanah khalifah sejak

awal. Maka diapun memulai tugasnya, berkonsultasi dengan para shahabat,

para istri Rasulullah, para pemimpin kabilah, dan yang juga penting, kedua

calon. Sementara yang lain dalam karantina, ‘Abdurrahman telah melihat

garis besarnya, Bani Hasyim mendukung ‘Ali, sementara Bani ‘Umayyah

mendukung ‘Utsman.

Hari itu, Masjid Nabawi penuh sesak. Di Mimbar, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf

berdiri diapit ‘Ali dan ‘Utsman. Mula- mula ia berkata sambil mengangkat

tangan ‘Ali, “Saya mengambil sumpahmu dengan syarat mengikuti Kitabullah,

sunnah RasulNya, dan teladan Abu Bakr serta ‘Umar !”

“Saya akan mengikuti Al Qur’ an, Sunnah Nabi, serta jalanku sendiri!” ,

demikian jawab ‘Ali. Hingga 3 kali.

Lalu ‘Abdurrahman ibn ‘Auf beralih ke ‘Utsman. Diucapkannyalah perkataan

yang sama. Dan ‘Utsman di bai’at hari itu juga sebagai Khalifah yang baru.

Zaman lalu menyaksikan sebuah pemerintah yang diisi karakter seorang

pemalu nan dermawan, kasih sayang.

‘Ali : Suara Mayoritas

Hari itu, 24 Juni 656. Lima hari setelah terbunuhnya ‘Utsman secara zhalim.

Jalan-jalan Madinah dipenuhi oleh gerombolan manusia, rombongan-

rombongan, dari jauh dan dekat yang sulit diperkirakan sikap dan itikadnya.

Keluarga ‘Utsman, juga beberapa shahabat yang meyakini telah datangnya

masa fitnah seperti Sa’d ibn Bin Waqqash, ‘Abdulllah ibn ‘Umar , dan Usamah

ibn Zaid memilih untuk mengungsi ke Mekkah.

Dalam atmosfer yang penuh dengang ketakutan, horor dan tak berlakunya

hukum, harus ada satu keberanian puncak untuk segera menata kembali

kondisi. Dan untuk keberanian semacam itu, hanya ‘Ali yang punya. Dan

itupun terpaksa. Awalnya dia berkata, ada Thalhah dan Az Zubair yang lebih

pantas. Tapi desakan suara mayoritas, bahkan tentu saja dari para

pemberontak zaman ‘Utsman yang masih berkumpul di Madinah tak

memberinya pilihan lain. ‘Ali tahu resikonya. Ini hanya suara mayoritas, yang

itupun dominan. ‘Ali tahu resikonya, karena diapun melihat sudah mulai

terlihat beberapa sahabat utama abstain. Dan jika api fitnah ditiup lagi, dia

merasa bahwa sikap abstain itu juga akan menajdi fitnah. Tapi apa gunanya

memaksa? Bukankah nantinya paksaan itu juga jadi fitnah?

‘Ali tahu resiko yang diembannya. Dan ia menerima suara mayoritas itu.

Politik Cerdas Raja’ ibn Haiwah, “The Khalifah Maker”

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin

menyombongkan diri dan berbuat kerusakan dibumi. Dan kesudahan yang

baik itu, bagi orang-orang yang bertaqwa. ” (QS. Al-Qashash : 83)

Inilah ayat yang berulang- ulangdibaca orang-orang mulia di ranjang

kematiannya. ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Azis . Dia memang layak mengabadikan

kalimat ini dalam kebekuan lisan yang menggetarkan kata terakhir. Dalam

kapasitas sebagai pemimpin dengan berjuta rakyat dan tiga benua, gelinciran

sombong dan kerusakan bisa menjadi semudah mengatup buka bibirnya.

Tapi dengan resiko besar itu, dia telah sukses menyelesaikan perhentian

sejenaknya di alam fana. Sampai para gembala pun bisa menyaksikan serigala

berkawan mesra dengan domba di masa pemerintahannya. Pertanyaannya,

siapa yang berperan memasukkannya ke dalam jajaran khilafah, padahal

hegemoni keluarga pamannya ‘Abdul Malik ibn Marwan nyaris tak tertembus?

Orang itu, Raja’ ibn Haiwah. Dia, dengan kedekatannya pada Khalifah

Sulaiman ibn ‘Abdul Malik berhasil membujuk sang Amirul Mukminin untuk

menyerahkan khilafah sepeninggalnya pada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, baru

kemudian pada keluarga ‘Abdul Malik yang dikehendakinya. “Inilah yang akan

meringankan perhitungan amal baginda di hadapan Allah kelak. Menyerahkan

khilafah pada seorang yang adil dan berbudi. ”, begitu kata Raja’.

“Al khuruuj minal ikhtilaaf mustahab ” , kata Imam Asy Syafi’i. Keluar dari

polemic itu disukai dan dekat pada sunnah. Karena memang ini sebuah keran

yang tiba-tiba terbuka. Dan kini, segala yang pada mulanya terttelikung bebas

bergerak mengekspresikan diri. Termasuk da’wah.

Akhirnya, demokrasi bagi da’wah bukanlah sebuah sistem. Atau manhaj kufur

yang kita terjebak di lubang gelap jika mengikutinya. Bukan, ia terlalu

sederhana untuk disebut sistem. Bagi da’wah, demokrasi hanyalah sebuah

medan [ertempuran yang kebetulan dipetakan oleh Barat dan kini dipilih oleh

musuh da’wah. Dan da’wah dengan jiwa ksatria sedang berkata, “Pilihlah di

manapun tempat kita akan berlaga. Dan dengan ijin Allah, kami pasti akan

memenangkannya!”


Published with Blogger-droid v2.0.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar