Minggu, Februari 12, 2012

Sejarah Hidup Rasulullah saw

P E N D A H U L U A N ( Sirah Nabawiyah)
Mempelajari Islam tidak cukup hanya dengan membaca kitab sucinya saja yaitu Al-Quranul
Karim. Mengapa demikian? Ada beberapa penyebab mengapa untuk mengenal ajaran Islam
tidak cukup hanya dengan membaca kitab suci agama tersebut.
Al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw melalui
perantaraan malaikat Jibril as. Sebelum kitab ini Allah swt pernah menurunkan beberapa
kitab kepada para rasul, diantaranya kitab Zabur kepada nabi Daud as, kitab Taurat kepada
nabi Musa as dan kitab Injil kepada nabi Isa as Kitab-kita tersebut diturunkan melalui
malaikat yang sama, yaitu Jibril as.
Diantara kitab-kitab tersebut terdapat sejumlah perbedaan dan persamaan. Persamaan
yang mendasar adalah perintah untuk menyembah hanya kepada Allah swt. Sedangkan
perbedaan mencolok terletak dari cara turunnya. Al-Quran turun secara berangsur-angsur,
yaitu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Ayat –ayat tersebut turun tidak dengan urutan
seperti yang kita lihat saat ini. Malaikat Jibrillah yang memberitahukan langsung kepada
Rasulullah bagaimana letak dan susunan ayat dalam surat harus diletakkan.
Perumpamaannya adalah seperti rak lemari kosong yang telah diberi sekat, no dan tanda.
Kemudian Rasulullah tinggal memasukkan dan menyelipkannya sesuai no dan tanda yang
tertera. Susunan Al-Quran yang seperti ini sesuai dengan kitab yang ada disisi-Nya dan
dijaga ketat oleh para malaikat, yaitu yang ada  di Lauh-Mahfuz.
“Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu
adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui, sesungguhnya Al Qur’an ini adalah
bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak
menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta
alam. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al Qur’an ini?” (QS.Al-Waqiyah
(56):75-81).
Berkenaan dengan ayat diatas, Ad-Dhahak meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra : ”Al-Quran
diturunkan secara keseluruhan dari sisi Allah, dari Lauh Mahfuz, melalui duta-duta
malaikat penulis wahyu, ke langit dunia, lalu para malaikat tersebut menyampaikannya
kepada Jibril secara berangsur-angsur selama 20 malam dan selanjutnya diturunkan pula
oleh Jibril as kepada Rasulullah saw secara berangsur-angsur selama 23 tahun”. (22 tahun,
2 bulan 22 hari). Itu pula yang ditafsirkan Mujahid, Ikrimah, As-Sidi dan Abu Hazrah.
Ayat-ayat turun begitu saja tanpa penyebab tetapi tidak jarang pula diturunkan sebagai
jawaban suatu permasalahan atau keadaan tertentu dan bahkan ada yang turun atas
pertanyaan pribadi. Ini yang menjadi penyebab utama mengapa kitab suci ini tidak dapat
dibaca layaknya kitab-kitab lain, yaitu dibaca berurut dari depan ke belakang lalu
memahaminya secara tekstual.
Untuk dapat memahami dengan baik apa yang dimaksud ayat-ayat Al-Quran diperlukan
pemahaman latar belakang, keadaan dan suasana ketika ayat turun disamping memahami
bahasa Arab, arti secara bahasa maupun secara istilah, khususnya yang berlaku umum
pada masa itu. Itulah urgensi mengenal, mengetahui dan memahami sejarah kehidupan
Muhammad saw, nabi yang mendapat kehormatan untuk menerima kitab suci ini. Itulah
yang disebut Sirah Nabawiyah.
Muhammad saw adalah seorang hamba Allah yang sejak kecil bahkan calon ayah
ibunyapun telah dipersiapkan secara matang oleh Sang Khalik. Beliau adalah seorang
hamba pilihan yang telah ditunjuk secara terhornat untuk mengemban tugas maha berat,
yaitu menerima wahyu Allah dan kemudian menyampaikannya kepada umat manusia.
Yang tak lama setelah menunaikan misi suci tersebut dengan sangat memuaskan maka
Allahpun memanggilnya. Subhanallah …
Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah inilah kita dapat mengetahui makna sebenarnya
perintah dan maksud ayat-ayat suci al-Quran. Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah kita
dapat mengetahui bagaimana Rasulullah memahami dan merespons perintah-perintah
Tuhannya. Uniknya, kadang perintah tersebut direspons Rasulullah tidak secara
kontekstual. Contohnya adalah cara berwudhu.
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku , dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,… ”. (QS Al-Maidah (5): 6).
Dalam prakteknya Rasulullah menyempurnakan wudhu dengan membasuh tapak tangan,
berkumur, memasukkan dan megeluarkan air dari hidung serta membasuk kedua telinga.
Dan Allah swt tidak melarang hal tersebut. Artinya Sang Khalik meridhoi apa yang
dilakukan nabi. Jadi selama Allah swt mendiamkan dan tidak menegur apa yang dilakukan
Rasulullah, wajib kita mencontohnya.
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang
siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka. (QS.An-Nisa(4):80).
Dari sini tampak jelas bahwa untuk memahami Al-Quran tidak cukup hanya dengan
sekedar membacanya kemudian mengartikan dan menafsirkannya sesuai pengetahuan dan
pengertian akal kita.
Para sahabat yang ketika itu sedang berada di sisi Rasulullah adalah saksi turunnya ayat-
ayat. Mereka tahu persis bunyi ayat yang turun karena Rasulullah memang selalu langsung
menyampaikan apa yang diterimanya itu. Beliau bahkan memerintahkan mereka untuk
segera menghafalnya. Meski demikian dalam penerapannya mereka tetap mengerjakan
apa yang dicontohkan junjungan mereka itu.
Sebaliknya, bila dalam perjalanannya ternyata ada sejumlah perbedaan penafsiran, ini
harus dimaklumi. Karena Rasulullah pada awalnya memang melarang menuliskan apa
yang dikatakan, dikerjakan dan diamnya Rasulullah karena khawatir bercampur dengan
ayat-ayat Al-Quran itu sendiri. Namun Rasulullah tetap memerintahkan para sahabat agar
mengingat, mencatat dalam hati dan kemudian meneruskan serta menyampaikannya
kepada yang lain. Yang juga harus diingat, ada saat-saat dalam keadaan dan situasi
tertentu dimana Rasulullah menyikapinya dengan sikap dan cara berbeda.
Ini yang menjadi penyebab menambahnya perbedaan hadits. Beruntung beberapa tahun
setelah wafatnya Rasulullah, sejumlah sahabat dan para  tabi’in segera memutuskan untuk
menuliskannya. Ini dilakukan demi menjaga agar hadist tetap terjaga ( dengan bermacam
perbedaannya) dan tidak makin sering dipalsukan baik sengaja maupun tidak.
Tampaknya ini sudah menjadi sunatullah. Perbedaan selama bukan mengenai hal-hal yang
pokok dan masih mengikuti apa yang pernah dicontohkan Rasulullah tetap dibenarkan. Kita
tidak boleh saling merasa bahwa kitalah yang benar dan pihak lain salah.
“ Perbedaan pendapat (di kalangan) umatku adalah rahmat” .(HR. Al-Baihaqi).
Sebaliknya orang yang suka mencari-cari perbedaan secara sengaja, diantaranya dengan
mentakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat, Allah melaknatmya. Tempat mereka adalah neraka
jahanam. ( Ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang samar, yang seringkali
membutuhkan pemikiran yang bahkan seringkali memang tidak dapat ditakwilkan.
Contohnya adalah “Mim”, “ Nuun”, “ Alif Laam Miim” ) dan yang semacamnya.
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-
ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan
fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya , padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
melainkan Allah”.(QS.Ali Imran(3):7).
Rasulullah saw telah lama meninggalkan kita. Demikian pula para sahabat dan para tabi’in
beserta generasinya. Allah swt memerintahkan umat Islam tidak hanya mematuhi Allah
dan rasul-Nya namun juga para ulil amri atau pemimpin yang menjunjung tinggi ayat-ayat-
Nya. Demi mencegah perpecahan dan memberi manfaat yang banyak bagi umat, mereka
diberi keleluasaan memaknai ayat-ayat suci Al-Quran dan hadits. Inilah ijma dan istihad
yang bisa menjadi rujukan umat.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya ”.
(QS.An-Nisa’(4)59).
Adalah tugas kita, umat Islam, saat ini, untuk menjaga kesucian dan keutuhan Al-Quran, isi
dan maknanya. Para hafidz adalah garda terdepannya. Sementara kaum Muslimin dan
Muslimat, secara keseluruhan, wajib menjaganya minimal dengan mengetahui bagaimana
Rasulullah menyikapi dan memaknai isi Al-Quran tersebut. Inilah urgensi mengenal Sirah
Nabawiyah.
I. Asal muasal Tahun Gajah.
Adalah Abrahah, seorang penguasa Habasyah (Ethiopia)yang berhasil menguasai Yaman,
sebuah negri yang sekarang ini berada di semenanjung selatan Arabia. Di negri jajahan
barunya ini ia membangun sebuah gereja besar yang dinamainya Qullais. Abrahah
membangun gereja tersebut bukan semata-mata sebagai tempat ibadah umat Nasrani. Ia
mempunyai maksud lain.
Hal ini terlihat jelas dalam surat yang dikirimkannya kepada raja Habasyah ketika itu yaitu
Najasyi ( Negus).
“ Baginda, kami telah membangun sebuah gereja yang tiada taranya sebelum itu. Kami tidak
akan berhenti sebelum dapat mengalihkan perhatian orang-orang Arab kepadanya dalam
melakukan peribadatan yang selama ini mereka adakan di Ka’bah “.
Ketika itu Ka’bah di Mekkah memang sudah merupakan pusat peribadatan terbesar di
semenanjung Arabia. Mendengar berita ini, seorang Arab yang menjadi penjaga Ka’bah
sengaja mendatangi Qullais dengan maksud mempermalukan Abrahah. Ia dikabarkan
mengotori bagian-bagian penting gereja megah tersebut dengan tinja.
Tentu saja tindakan tersebut membuat Abrahah marah besar. Ia bersumpah akan
membalas perbuatan kotor tersebut dengan menghancurkan Ka’bah yang dari semula
memang sudah dibencinya. Maka berangkatlah Abrahah dengan membawa pasukan
gajahnya yang besar menuju Mekkah.
Pasukan Abrahah adalah pasukan yang amat kuat dan sangat ditakuti musuh. Selama
perjalanan pasukan ini berhasil menaklukan orang-orang yang berusaha melawannya.
Hingga akhirnya sampailah ia di gerbang kota  Mekkah tanpa perlawanan yang berarti.
Di tempat ini ia berhadapan dengan penguasa Mekkah yaitu Abdul Mutthalib bin Hasyim,
seorang pemuka Quraisy yang disegani. Ialah yang selama ini bertanggung jawab terhadap
Ka’bah termasuk pelaksanaan ibadat haji yang telah dikenal sejak dahulu kala. Abrahah
mengatakan bahwa kedatangannya ke Mekkah bukan untuk memerangi penduduk Mekkah
melainkan untuk menghancurkan Ka’bah. Ia juga menambahkan apabila mereka tidak
melawan maka ia tidak akan menumpahkan darah.
“ Kami tidak berniat hendak memerangi Abrahah karena kami tidak memiliki kekuatan untuk
itu. Rumah suci itu ( Ka’bah) adalah milik Allah yang dibangun oleh nabi Ibrahim as. Jika
Allah  hendak mencegah penghancurannya itu adalah urusan Pemilik Rumah suci itu tetapi jika
Allah hendak membiarkannya dihancurkan orang maka kami tidak sangggup
mempertahankannya” , begitu jawaban diplomatis Abdul Mutthalib.
Dengan demikian pasukan Abrahahpun mustinya tanpa hambatan dapat melaksanakan
keinginan menggebu-gebu pemimpin mereka untuk menghancurkan bait Allah. Sementara
itu Abdul Mutthalib sebagai pemimpin Mekkah hanya dapat memerintahkan penduduk
untuk segera pergi dan berlindung.
Namun apa yang kemudian terjadi? Dari balik persembunyian di tebing-tebing tinggi batu
cadas yang mengelilingi kota Mekkah, penduduk dengan mata kepala sendiri dapat
menyaksikan betapa ribuan burung kecil bernama Ababil berterbangan cepat menuju
Ka’bah. Sementara itu ada laporan bahwa gajah-gajah yang dibawa pasukan Abrahah itu
mogok. Ketika gajah dihadapkan kea rah Ka’bah, ia segera bersimpuh dan tidak mau
berdiri. Dan ketika ia dihadapkan ke arah Yaman, ia segera lari tergopoh-gopoh.
Yang lebih mencengangkan lagi, burung-burung kecil tersebut masing-masing membawa 3
buah batu kecil. Satu di paruh dua lainnnya di kaki kanan dan kiri mereka. Anehnya
walaupun batu-batu tersebut sebenarnya hanya sebesar biji gandum namun ketika
mengenai tubuh orang yang dijatuhinya iapun binasa!
Dalam keadaan panik pasukan Abrahah berlarian kian kemari. Banyak diantara mereka
yang meninggal dunia. Sementara Abrahah sendiri dalam keadaan luka parah di gotong
pasukannya kembali ke negrinya. Darah dan nanah terus mengucur dari sekujur tubuh dan
kepalanya. Ia wafat begitu tiba d Shan’a karena jantungnya pecah hingga mengeluarkan
banyak darah dari hidung dan mulutnya.
Beberapa tahun kemudian peristiwa yang makin membuat harum nama bani Quraisy
sebagai penjaga Ka’bah yang dilindungi Tuhannya ini diabadikan-Nya dalam salah satu
surat Al- Quranul Karim, yaitu surat Al-Fiil yang berarti gajah. Surat ke 105 ini diturunkan
di Mekkah.
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara
bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka`bah)
itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong yang
melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar lalu Dia menjadikan
mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”.
Tahun di waktu terjadi peristiwa tersebut kemudian dinamakan tahun Gajah. Tahun ini
bersamaan dengan tahun 571 M. Di tahun inilah Rasulullah Muhammad saw dilahirkan.
II. Silsilah Rasulullah.
“ Allah senantiasa memindahkan diriku dari tulang-tulang sulbi yang baik ke dalam rahim-
rahim yang suci, jernih dan terpelihara. Tiap tulang sulbi itu bercabang menjadi dua, aku
berada di dalam yang terbaik dari dua tulang sulbi itu “. ( Hadits Syarif).
Muhammad saw lahir dari seorang ibu bernama Aminah binti Wahb. Hadist diatas adalah
cerminan bahwa Aminah adalah seorang perempuan yang suci dan terpelihara. Ayah
Aminah adalah seorang terkemuka dari bani Zuhrah. Moyangnya adalah berasal dari bani
‘Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Sementara moyang ibu Aminah adalah ‘Abdu ‘Manaf bin
Qushaiy bin Kilab. Jadi nasab mereka bertemu di Kilab.
Sementara itu ayah Muhammad saw adalah Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin
‘Abdu ‘Manaf bin Qushaiy bin Kilab. Dari sini dapat kita ketahui bahwa nasab Rasulullah
dari pihak ayah dan ibu juga bertemu di Kilab. Mereka adalah termasuk ke dalam kabilah
Quraisy yang dikenal selain sebagai keluarga pedagang yang handal dan sukses juga
dihormati sebagai penjaga Ka’bah yang baik dan bijaksana. Kilab sendiri adalah 15 generasi
dibawah Adnan, keturunan Ismail as.
Untuk diketahui, menjadi penjaga Ka’bah termasuk menjaga sumber air zam-zam adalah
merupakan suatu kehormatan. Itu sebabnya sejak wafatnya nabi Ismail as sekitar 4000
tahun silam perselisihan dalam rangka merebut hak untuk menjaga rumah yang disucikan
tersebut sering kali terjadi. Diantara tugas penting penjaga Ka’bah adalah bertanggung-
jawab terhadap kelangsungan upacara haji seperti tawaf, sai, pembagian air zam-zam,
pembagian makanan, keamanannya dll.
Tak seorangpun yang tak kenal Abdul Mutthalib. Ia adalah seorang kabilah Quraisy dari
bani Hasyim sejati, penjaga Ka’bah yang amat dihormati. Abdul Mutthalib mempunyai 10
orang anak lelaki.  Abdullah adalah yang termuda.
Menurut kabar, tiga puluh tahun sebelum kelahiran Abdullah lelaki gagah ini pernah
bernazar bahwa ia akan berkurban dengan menyembelih salah satu putranya bila ia
memiliki 10 anak lelaki. Pada waktu itu masyarakat Arab memiliki keyakinan bahwa anak
lelaki adalah lambang kehormatan. Sebaliknya anak perempuan adalah lambang kegagalan,
kenistaan dan keterpurukan.
“ Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari
orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan
memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”. (QS. An-Nahl
(16):58-59).
Hingga saat itu nazar tokoh Quraisy ini memang belum dipenuhi walaupun ia telah memilki
10 anak lelaki. Namun orang yang mengenalnya dengan baik yakin bahwa suatu saat nanti
pasti Abdul Mutthalib akan melaksanakan nazar tersebut. Bagi masyarakat Arab apalagi
bila yang bernazar itu adalah pemuka Mekah dan penjaga Ka’bah, nazar baik itu untuk
kebaikan atau keburukan adalah suatu janji tertinggi terhadap Sang Khalik. Menurut
keyakinan mereka tidak memenuhi nazar adalah dosa besar. Sementara bagi pemuka
masyarakat tidak memenuhi nazar sama dengan mencoreng muka sendiri. Kehormatan
adalah taruhannya.
Itu sebabnya suatu hari Abdul Muttahlib mengumpulkan ke 10 anaknya untuk diundi siapa
yang harus disembelih. Abdul Mutthalib sebenarnya bukanlah lelaki kasar dan jahat. Ia
hanya terikat dengan nazarnya sendiri yang di belakang hari ternyata amat membuatnya
tertekan. Ia amat berharap kalau saja undian itu tidak jatuh ke putra bungsunya, Abdullah
yang sangat disayanginya itu sudah merupakan keberuntungan yang besar baginya.
Namun apa boleh buat undian justru jatuh kepada Abdullah. Walaupun kecewa, Abdul
Mutthalib tetap terlihat tegar melaksanakan nazarnya. Tampak bahwa kecintaannya
kepada  Sang Khalik dan harga dirinya lebih tinggi daripada hatinya yang hancur.
Di tengah suasana tegang itulah tiba-tiba terdengar bisik-bisik bahwa masyarakat tidak
setuju terhadap perbuatannya itu. Seorang pemuka Quraisy lainnya akhirnya tampil dan
mengingatkan bahwa perbuatan Abdul Mutthalib itu dapat menjadi contoh yang tidak baik.
Bagaimanapun mereka tidak setuju, menyembelih anak sendiri apalagi anak lelaki adalah
suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Mereka menganjurkan agar Abdul Muthalib
segera pergi mencari seorang ahli nujum untuk menanyakan apa yang sebaiknya ia
perbuat.
Beruntunglah, ternyata sang ahli nujum yang dipercaya masyarakat itu menganjurkan agar
Abdul Mutthalib menebus anak lelaki kesayangannya itu dengan menyembelih 100 ekor
unta. Dengan demikian maka Abdul Mutthalibpun bebas dari nazarnya.
Pernikahan dan kehidupan Abdullah bin Abdul Mutthalib dengan  Aminah binti Wahb.
Abdul Muthalib telah bebas dari nazarnya. Sekarang ia dapat hidup dan berpikir lebih
tenang. Abdullah, putra bungsunya telah cukup dewasa. Sudah waktunya ia menikah dan
berkeluarga. Sebagai ayah yang baik ia tahu betul siapa jodoh yang paling tepat bagi
putranya itu.
Sejak kecil Abdullah telah mengenal Aminah binti Juhra dengan sangat baik. Keluarga
Aminah adalah keluarga yang memiliki reputasi baik di mata masyarakat Mekkah. Kedua
keluarga telah menjalin hubungan sejak lama. Sebagai ayah yang penuh perhatian,
walaupun ia sibuk dengan berbagai urusan kota Mekkah yang dipimpinnya, ia menyadari
bahwa putranya itu memiliki perasaan khusus terhadap Aminah. Karena kebiasaan dan
adat Arab, keduanya memang sejak lama tidak pernah bertemu lagi. Sesuai adat yang
berlaku turun temurun, begitu Aminah menginjak usia remaja, ia tidak lagi dapat keluar
rumah secara bebas. Ia dipingit hingga seorang lelaki melamarnya.
Itu sebabnya masyarakat tidak terkejut ketika suatu ketika Abdul Mutthalib datang
menemui keluarga Aminah untuk melamarnya. Gayungpun bersambut. Dengan suka cita,
atas persetujuan sang gadis, keluarga Aminahpun menerima lamaran tersebut. Maka tanpa
menunggu lebih lama lagi menikahlah keduanya.  Tentu saja masyarakat kota Mekkah ikut
berbahagia mendengar pernikahan dua anggota kabilah Quraisy dari bani Hasyim dan bani
Zuhrah yang mereka hormati tersebut.
Sayangnya bulan madu yang dilalui pasangan muda tersebut amatlah singkat. Tak lebih
dari sepuluh hari kemudian tugas telah menanti. Abdullah harus segera kembali bergabung
dengan kafilah dagang keluarganya. Mereka akan mengadakan perjalanan jauh yang telah
lama dijalani keluarga besar Quraisy, yaitu ke Syam. Orang-orang Quraisy memang
terbiasa pergi berdagang ke utara ( Syam)pada musim panas dan ke selatan ( Yaman ) pada
musim dingin.
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim
dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini
(Ka`bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan”. (QS.Quraisy(106):1-4).
Namun waktu yang amat singkat tersebut bukannya berarti tidak memiliki makna penting.
Karena beberapa hari setelah pernikahan Aminah sempat bercerita kepada suaminya
tercinta bahwa ia bermimpi melihat sinar terang benderang memancar di sekeliling dirinya.
Sinar itu begitu terang hingga seakan ia bisa melihat istana Buchara di Syam. Kemudian ia
mendengar suara : “ Engkau telah hamil dan akan melahirkan orang termulia di kalangan
umat ini”.
Tampaknya mimpi inilah yang menjadi penyemangat hidup Aminah selama kepergian
Abdullah. Ia benar-benar menyadari bahwa perjalanan dagang yang dijalani suaminya
bakal memakan waktu berminggu-minggu bahkan mungkin bulanan. Ya Aminah harus
sabar. Hingga suatu hari di bulan kedua ia mendengar kabar kedatangan rombongan
dagang suaminya. Sungguh senang hati Aminah. Ia segera mempersiapkan diri menyambut
kepulangan suami tercinta.
Namun kegembiraan itu segera sirna karena ternyata Abdullah tidak berada di antara
rombongan tersebut. Abdul Mutthaliblah yang langsung datang mengabarkan bahwa
Abdullah tiba-tiba menderita demam tinggi ketika dalam perjalanan pulang. Akhirnya ia
terpaksa ditinggalkan di Yatsrib ( Madinah).
“ Tidak usah terlalu khawatir anakku. Suamimu akan segera kembali begitu ia pulih. Aku telah
meminta Al-Harits, saudaranya, agar menjaganya selama ia sakit. Bersabarlah Aminah,
berdoalah agar ia segera sehat ”, begitu hibur Abdul Mutthalib kepada menantunya.
Tetapi rupanya Allah berkehendak lain. Setelah menanti dua bulan lamanya akhirnya Al-
Harits pulang ke Mekkah sendirian dengan membawa kabar duka bahwa adik bungsunya
yang baru beberapa bulan lalu lolos dari nazar ayahnya yang mengerikan itu, telah
meninggal dunia.
Betapa berdukanya Aminah. Dalam usianya yang masih demikian muda ia harus
kehilangan suami yang telah memberinya kebahagiaan walau hanya sejenak. Dan dalam
keadaan hamil pula.
III. Kelahiran dan masa kecil Muhammad saw.
Muhammad saw dilahirkan pada hari Senin, 12 Rabi’ul awal di tahun Gajah atau tahun 570
M di kota Mekah. Beliau lahir hanya berselang sekitar 50 hari setelah peristiwa
penyerangan pasukan gajah dibawah pimpinan Abrahah.
Muhammad saw lahir sebagai anak yatim. Ibunya, Aminah binti Wahb meskipun ketika
melahirkan dalam keadaan duka yang mendalam karena ditinggal wafat sang suami
tercinta, Abdullah bin Abdul Mutthalib, menyambut kelahiran bayinya dengan suka cita.
Mimpinya melihat istana Buchara di Syam dalam taburan cahaya ditambah suara bisikan
bahwa ia akan melahirkan orang besar lah yang mempengaruhi semangat hidupnya.
Aminah terkenang, baru beberapa bulan Abdullah yang ketika itu belum mengawininya
terbebas dari kematian. Karena nazar ayahnya yang berbahaya tersebut dapat ditebus
dengan 100 ekor unta. Namun hanya selang 3 bulan setelah pernikahannya Abdullah pergi
meninggalkannya untuk selamanya. Apa hikmah semua ini? “ Allah sengaja menunda
kematian Abdullah agar ia dapat membuahiku dan menitipkan janinnya dalam rahimku. Ini
adalah skenario besar Allah. Anak yang aku lahirkan ini pasti anak yang memilki kedudukan
istimewa disisi-Nya ”, begitu pikir Aminah yakin.
Hal pertama yang dilakukan Aminah begitu ia melahirkan adalah mengutus seseorang
untuk melaporkannya kepada sang kakek, Abdul Mutthalib, seorang pemuka Quraisy yang
amat dihormati. Sang kakek inilah yang kemudian memilihkan nama ‘Muhammad’ kepada
sang bayi. Abdul Mutthalib memilih nama ini karena ia pernah mendengar beberapa ahli
nujum yang meramalkan akan datangnya nabi di Hijaz dengan nama Muhammad. Perlu
diketahui, Ahmad atau Muhammad dalam bahasa Arab berasal dari akar kata “ Hamida
“, yang berarti syukur atau yang terpuji. Namun demikian sebelum kelahiran Muhammad
saw, ini bukanlah nama yang lazim digunakan.
“ Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan
memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang
namanya Ahmad (Muhammad)” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”. (QS.As-
Shaaf (61):6).
Muhammad kecil hanya beberapa hari berada di pelukan ibunda tercinta. Adalah kebiasaan
orang Arab zaman dahulu untuk menyusukan bayi-bayi mereka kepada perempuan-
perempuan Badawi dengan sejumlah imbalan tertentu. Mengapa Badawi? Karena
masyarakat Badawi yang biasanya hidup di pedalaman yang udaranya masih bersih,
dianggap berperangai lurus dan jujur. Jauh dari sifat-sifat buruk yang lazim terdapat di
kalangan masyarakat perkotaan seperti Mekkah. Orang-orang Quraisy sendiri biasanya
memilih perempuan Badawi dari Bani Sa’ad karena mereka dikenal baik budi bahasa
maupun tutur katanya.
Maka ketika suatu hari datang serombongan perempuan dari bani Sa’ad mencari anak
untuk disusukan, Aminahpun segera menawarkan bayinya untuk disusui. Namun apa yang
terjadi ? Perempuan-perempuan tersebut menolaknya dengan alasan Aminah hanyalah
seorang janda yang tidak mewarisi harta yang cukup banyak dari suaminya.
Dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam itulah tiba-tiba salah seorang
perempuan yang baru pagi tadi menolak tawaran menyusui putranya datang kembali.
Perempuan tersebut bernama Halimah As-Sa’diyyah. Ia kembali setelah tidak menemui
seorang bayipun yang dapat disusuinya. Ia mengatakan kepada suaminya, Al-Harits bin
Abdul ‘Uzza , yang mendampingi Halimah ke Mekkah, bahwa ia memutuskan akan
menyusui anak yatim cucu Abdul Mutthalib yang ditolaknya pagi tadi.
Ketika itu Al-Harits hanya berkata : “ Tidak ada jeleknya egkau lakukan hal itu, mudah-
mudahan Allah memberkahi penghidupan kita dengan keberadaan anak yatim itu di tengah
keluarga kita”.
Dan nyatanya memang itulah yang terjadi. Keberkahan bermula dengan unta yang
ditunggangi Halimah. Begitu Halimah naik ke atas punggung unta dengan Muhammad kecil
di dekapannya, unta kurus yang tadinya selalu tertinggal jauh di belakang itu tiba-tiba
mampu berlari kencang meninggalkan  teman-teman Halimah jauh di belakang.
Demikian juga air susu Halimah yang tadinya tidak terlalu deras tiba-tiba menjadi
berlimpah. Hingga tidak saja Muhammad kecil yang puas menyusu tetapi juga bayi Halimah
sendiri juga demikian. Tidak itu saja. Bahkan unta dan kambing peliharaan keluarga
Halimah yang tadinya kurus kering tiba-tiba menjadi subur. Padahal itu musim paceklik.
Tak satupun unta dan kambing tetangga Halimah yang mampu sedikitpun menghasilkan
susu.
Muhammad hidup di tengah keluarga ini hingga usia 5 tahun. Ia belajar bahasa Arab yang
tinggi dan murni dari kabilah bani Sa’ad yang halus tutur katanya. Tampak bahwa
Muhammad kecil sangat menghayati kehidupan di pedalaman Badawi ini dengan jiwa
yang bebas merdeka. Pengalamannya menggembala kambing di padang rumput yang
memang menuntut kesabaran tinggi amat membekas di hati. Demikian pula kedekatannya
kepada alam bebas terbuka. Hal ini membuat pikirannya jauh lebih dewasa dibanding
anak-anak seusianya yang hidup di kota besar.
Perasaan dan pengalamannya ini pada suatu hari pernah diutarakannya sendiri. “ Hampir
semua nabi pernah menggembalakan kambing. Ibrahim dan Isa adalah penggembala kambing.
Musa juga pernah menjadi penggembala kambing. Demikian pula aku “.
Tampak nyata bahwa lama berada langsung di bawah naungan langit terbuka dapat
membuat seseorang lebih bijaksana baik dalam berpikir maupun berprilaku.
“ Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang
terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk
orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu)
dia berkata: “Inilah Tuhanku” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak
suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah
Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak
memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian
tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka
tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan
yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan ”. (QS.Al-An’am (6):75-79).
Bagi keluarga Halimah, selama 5 tahun itu ada sebuah peristiwa yang tak mungkin mereka
lupakan begitu saja.
“ Suatu ketika Muhammad sedang menggembala kambing di belakang rumah. Tiba-tiba
Abdullah, saudaranya laki-laki ( anak lelaki Halimah yang sebaya dengan Muhammad) lari
pulang sambil berteriak-teriak. Ia memberitahu bahwa Muhammad diajak oleh dua lelaki
berpakaian serba putih. Kemudian ia dibelah perutnya . …. Aku bersama suamiku segera
menuju ke tempat kejadian. Disana kami melihat Muhammad sedang berdiri dan wajahnya
tampak pucat pasi. Ia segera kami peluk dan kami tanyakan apa yang baru saja terjadi. Ia
menjawab : “ Dua orang lelaki berpakaian serba putih datangkepadaku. Kemudian aku
dipegang dan dibaringkan lalu perutku dibedah. Aku tidak tahu apa yang dicari oleh kedua
orang itu ! ”.
Muhammad kembali ke pangkuan ibundanya tercinta pada usia 5 tahun. Tahun berikutnya
dengan ditemani Ummu Aiman, pembantu setianya, Aminah mengajak putra tunggalnya itu
ke Madinah untuk berziarah ke makam ayahnya. Mereka bertiga selama 1 bulan penuh
berada  di tengah keluarga besar Aminah.
Kalau saja Aminah tidak mengingat bahwa kakek dan keluarga besar Hasyim menanti
kepulangan putranya, ia tentu memilih untuk tetap tinggal di Madinah. Apa boleh buat ia
harus kembali. Sayangnya di tengah perjalanan antara Madinah – Makkah, di sebuah desa
bernama Abwa’ ( sekitar 37 km Madinah) Aminah mengalami sakit parah. Tak lama
kemudian iapun wafat. Beliau dimakamkan  ditempat itu juga.
Saat menjelang wafatnya, Aminah berkata: “Setiap yang hidup pasti mati, dan setiap yang
baru pasti usang. Setiap orang yang tua akan binasa. Aku pun akan wafat tapi sebutanku
akan kekal. Aku telah meninggalkan kebaikan dan melahirkan seorang bayi yang suci.”
Dengan menangis pilu Muhammad kecil yang kini telah menjadi yatim piatu itu terpaksa
harus menurut dan patuh saja ketika Ummi Aiman mengajaknya untuk segera pulang ke
Mekkah.
Di kemudian hari, Aisyah ra berkata, “Rasulullah saw memimpin kami dalam melaksanakan
haji wada’. Kemudian baginda mendekati kubur ibunya sambil menangis sedih. Maka aku pun ikut menangis karena tangisnya”.
IV. Masa remaja Muhammad saw.
Usai pemakaman Aminah, ummu Aiman segera membawa Muhammad kecil ke rumah
kakeknya, Abdul Mutthalib di Mekkah. Dengan senang hati sang kakek menerima cucu yang
telah yatim piatu itu. Dalam waktu singkat Muhammad dapat melupakan kesedihannya
karena kehilangan ibunda tercinta. Kakeknya mencintainya dengan sangat tulus.
Namun hal ini tidak berlangsung lama. Karena dua tahun kemudian Abdul Mutthalib juga
wafat. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Sementara itu Muhammad berusia 8 tahun.
Beruntung menjelang ajalnya, Abdul Mutthalib masih sempat memikirkan masa depan cucu
yang amat disayanginya itu. Ia mengumpulkan ke sembilan anaknya dan berpesan agar
mereka sungguh-sungguh memperhatikan nasib Muhammad. Ia berwasiat agar cucu
kesayangannya itu di pelihara oleh Abu Thalib, salah satu putranya.
Abu Thalib bukan anak sulung dan juga bukan anak yang terkaya. Anak sulung Abdul
Mutthalib adalah Al-Harits. Sedangkan yang paling mampu adalah Al-‘Abbas. Namun
demikian Abu Thalib adalah yang paling dihormati masyarakat Mekkah. Ia seorang yang
adil dan amanah. Disamping itu, Abdul Mutthalib juga tahu bahwa putranya ini, seperti
dirinya, juga amat menyayangi Muhammad.
Abdul Mutthalib tidak salah. Abu Thalib bahkan menyayangi Muhammad lebih dari anak-
anaknya sendiri. Demikian pula istri Abu Thalib, Fatimah binti Asad dan anak-anaknya.
Muhammad adalah anak yang menyenangkan. Remaja belia ini tidak berdiam diri melihat
keadaan pamannya yang hidup dalam keadaan kekurangan. Bersama saudara-saudara
barunya Muhammad membantu mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakannya. Termasuk
juga menggembalakan kambing seperti ketika beliau tinggal bersama keluarga susuannya
beberapa tahun yang lalu.
Semenjak kecil orang mengenang Muhammad sebagai anak yang berakhlak mulia. Manis
budi bahasanya, jujur, senang membantu orang yang dalam kesusahan dan senantiasa
menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak baik.
Ibnu Ishaq mengetengahkan sebuah riwayat yang diterimanya dari Muhammad bin Al-
Hanafiyah dan berasal dari ayahnya, Ali bin Abu Thalib, bahwa Rasulullah pernah
bercerita :
“ Aku tidak pernah tertarik oleh perbuatan yang lazim dilakukan orang-orang jahiliyah
kecuali dua kali. Namun dua kali itu Allah menjaga dan melindungi diriku. Ketika aku masih
bekerja sebagai penggembala kambing bersama kawan-kawanku, pada suatu malam
kukatakan kepada seorang dari mereka : “ Awasilah kambing gembalaanku ini, aku hendak
masuk ke kota (Mekah) untuk bergadang seperti yang biasa dilakukan oleh kaum pemuda”.
Setibaku di Mekah kudengar bunyi rebana dan seruling dari sebuah rumah yang mengadakan
pesta. Ketika kutanyakan kepada seorang di dekat rumah itu, ia menjawab bahwa itu pesta
perkawinan si Fulan dengan si Fulannah. Aku lalu duduk hendak mendengarkan tetapi
kemudian Allah swt membuatku tertidur hingga tidak mendengar apa-apa. Demi Allah aku
baru terbangun dari tidurku setelah disengat panas matahari. Peristiwa ini terulang lagi
keesokan harinya. Demi Allah sejak itu aku tidak pernah mengulang hal-hal seperti itu lagi”.
Suatu hari di usianya yang ke 12, pamannya mengajak bepergian ke negri Syam bersama
rombongan kafilahnya. Ketika rombongan tiba di sebuah dusun di Bushra, seorang pendeta
Nasrani bernama Bukhairah melihat tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad. Ia
memperhatikan adanya sederetan awan yang senantiasa menaungi rombongan dimana
Muhammad berada kemanapun mereka pergi. Didasari rasa penasaran maka iapun
mengundang rombongan tersebut untuk mampir ke kediamannya.
Bukhairah yang dikenal sebagai pendeta yang memahami benar ajarab Nasrani inipun
mengajukan berbagai pertanyaan seputar kehidupan Muhammad muda. Setelah yakin
bahwa semua jawaban cocok dengan apa yang dikatakan kitabnya, iapun berujar kepada
Abu Thalib :
“ Bawalah anak saudara anda itu segera pulang dan hati-hatilah terhadap orang-orang
Yahudi. Kalau mereka tahu dan mengenal siapa sebenarnya anak itu mereka pasti akan
berbuat jahat terhadap dirinya. Anak itu kelak akan menjadi orang besar, cepatlah ajak dia
pulang!”.
“ Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal
Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di
antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui”. (QS.Al-Baqarah
(2):146).
Adalah kebiasaan orang-orang Arab jahiliyah sejak lama untuk berkumpul di pasar-pasar
sekitar kota Mekah, seperti ‘Ukadz, Majannah dan Dzul Majaz. Ini adalah tempat dimana
para penyair berlomba memamerkan kebolehannya menggubah syair sekaligus
mendeklamasikannya. Biasanya pada bulan-bulan suci tempat ini mencapai puncak
keramaian.
Orang-orang Arab mempercayai bahwasanya bulan Dzulqi’dah, Dzulhijah, Rajab dan
Muharam adalah bulan-bulan suci yang tidak boleh dinodai oleh segala bentuk kejahatan
dan kemaksiatan. Jadi selama 4 bulan tersebut perang antar kabilah yang biasa terjadi
harus dihentikan. Ke empat bulan tersebut dinamakan sebagai bulan-bulan hurum. Bentuk
jamak dari kata haram.
Selama bulan-bulan yang sangat dihormati oleh semua orang Arab, termasuk pemeluk
Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala, mereka bebas melantunkan syair-syair mengenai
pendapat dan kepercayaan masing-masing. Mereka berlomba memperdengarkan dan
memamerkan kehebatan nenek moyang mereka dengan ketinggian mutu bahasa dan
kefasihan mereka mendeklamasikan syair-syair baik yang bersifat romantik maupun
heroik.
Dari penyair-penyair Nasrani dan Yahudi inilah orang-orang Arab tahu akan bakal
datangnya nabi baru. Dengan nada mengancam mereka sering berkata :
“ Tidak lama lagi akan datang seorang nabi. Kamilah yang akan mengikutinya dan bersama
dia kami akan memerangi kalian hingga kalian mengalami kehancuran seperti yang dialami
kaum ‘Aad dan Iram dahulu kala”.
Maka sejak pertemuannya dengan pendeta Bukhairah itu, Abu Thalib menjadi lebih lagi
menyayangi ponakannnya. Ia selalu berhati-hati, menjaga dan mengawasinya dengan baik.
Bahkan tak lama setelah itu Abu Thalib dikabarkan tidak pernah lagi berpergian jauh demi
menjalankan perdagangannya. Ia memilih hidup sederhana mengasuh sendiri anak-
anaknya yang cukup banyak itu. Selama itu pulalah Muhammad hidup di tengah keluarga
Abu Thalib dan diperlakukan bagai anak sendiri.
Hingga tiba suatu saat ketika Muhammad mencapai usia 25 tahun, seorang utusan datang
menemuinya. Utusan ini meminta agar Muhammad bersedia ikut dalam kafilah dagang
milik Khadijah ke negri Syam. Khadijah binti Khuwailid adalah seorang saudagar
perempuan yang kaya raya lagi mulia dan terhormat. Ia biasa mempekerjakan sejumlah
lelaki Quraisy untuk membawa barang dagangannya ke Syam dengan imbalan sebagian
dari keuntungannya.
Ia mendengar kabar bahwa Muhammad berkeinginan untuk ikut dalam rombongan
dagangnya. Sementara itu Khadijah juga pernah diberi tahu bahwa Muhammad adalah
seorang pemuda yang jujur, halus budi bahasanya serta berakhlak mulia. Hal yang teramat
jarang dijumpai di kota Mekah ini. Itu sebabnya tanpa ragu ia menawarkan keuntungan
dua kali lipat dari orang lain bila Muhammad bersedia menerima tawarannya.
Kebetulan Abu Thalib memang sedang dalam kesulitan keuangan. Sebagai anak yang tahu
diri Muhammad segera meminta izin pamannya agar diperbolehkan menerima tawaran
berharga tersebut. Walaupun dengan berat hati akhirnya Abu Thalib menyetujui
permintaan Muhammad. Ia sebenarnya masih merasa khawatir akan keselamatan
ponakannya itu sekalipun Muhammad telah dewasa.
Maka dengan membawa berbagai macam dagangan, berangkatlah Muhammad bersama
rombongan kafilah dagang Khadijah menuju negri Syam. Disitulah Muhammad
membuktikan kepiawaiannya berdagang. Ia menjual barang dagangan yang dibawanya dari
Mekah dan membeli barang dagang lainnya untuk dibawa kembali ke Mekah. Dengan
kejujuran dan kesantunannya ia bahkan berhasil menarik keuntungan jauh lebih besar
dari pada orang lain yang pernah diutus Khadijah.
Semua ini tidak lepas dari pengawasan dan pandangan kagum Maisarah, pembantu setia
Khadijah yang ikut dalam rombongan tersebut. Ialah yang dengan semangat menceritakan
apa yang dilihatnya itu kepada majikannya begitu rombongan kembali. Hingga membuat
Khadijah bertambah kagum kepada Muhammad, pemuda yang tanpa disadarinya ternyata
telah ditakdirkan-Nya bakal menjadi pendamping hidup terakhirnya.

http://vienmuhadisbooks.com/2011/07/23/iv-masa-remaja-muhammad-saw/
Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar