Minggu, Februari 12, 2012

Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar Dibandingkan Dosa Berzina

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa
shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam
yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita yang ada di tengah
umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang yang
dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini.
Mungkin di antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau
ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat
Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam
setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.

Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP,
namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan
mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah
memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.
Para ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar
dari dosa besar lainnya

Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa
meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan
dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan
minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan
kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada
dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar
waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir,
hal. 25)

Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “ Orang yang mengakhirkan shalat hingga
keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara
keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena
meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang
meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat.
Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan
termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)

Apakah orang yang meninggalkan shalat, kafir alias bukan muslim?

Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat
termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka tidak
berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah
orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah kafir?

Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum
muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari
kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat
lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka
dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).

Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib,
ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh
karena dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam
Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As
Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama
Malikiyyah), pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana
dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan
hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah
satu pendapat Imam Ahmad.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan
adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan
shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)

Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula
ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah?
Silakan simak pembahasan selanjutnya.

Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Al Qur’an

Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah
dua ayat saja.

Allah Ta’ala berfirman,
َﻒَﻠَﺨَﻓ ْﻢِﻫِﺪْﻌَﺑ ْﻦِﻣ ٌﻒْﻠَﺧ ﺍﻮُﻋﺎَﺿَﺃ ﺍﻮُﻌَﺒَّﺗﺍَﻭ َﺓﺎَﻠَّﺼﻟﺍ َﻑْﻮَﺴَﻓ ِﺕﺍَﻮَﻬَّﺸﻟﺍ َﻥْﻮَﻘْﻠَﻳ ْﻦَﻣ ﺎَّﻟِﺇ ﺎًّﻴَﻏ َﺏﺎَﺗ َﻦَﻣَﺁَﻭ َﻞِﻤَﻋَﻭ ﺎًﺤِﻟﺎَﺻ


“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang
yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.”(QS. Maryam: 59-60)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah
sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (
Ash Sholah, hal. 31)

Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi
orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang
meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di
neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya)
yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat
orang- orang kafir.

Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,

ْﻦَﻣ ﺎَّﻟِﺇ َﺏﺎَﺗ َﻦَﻣَﺁَﻭ َﻞِﻤَﻋَﻭ ﺎًﺤِﻟﺎَﺻ

“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” Maka seandainya orang yang
menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

ﺍﻮُﺑﺎَﺗ ْﻥِﺈَﻓ ﺍﻮُﻣﺎَﻗَﺃَﻭ َﺓﺎَﻠَّﺼﻟﺍ ﺍُﻮَﺗَﺁَﻭ َﺓﺎَﻛَّﺰﻟﺍ ْﻢُﻜُﻧﺍَﻮْﺧِﺈَﻓ ِﻦﻳِّﺪﻟﺍ ﻲِﻓ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama.”(QS. At Taubah [9]: 11).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman.
Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin
itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

ﺎَﻤَّﻧِﺇ َﻥﻮُﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ ٌﺓَﻮْﺧِﺇ

“Orang- orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49]: 10)

Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Hadits

Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َﻦْﻴَﺑ ِﻙْﺮِّﺸﻟﺍ َﻦْﻴَﺑَﻭ ِﻞُﺟَّﺮﻟﺍ ِﺮْﻔُﻜْﻟﺍَﻭ ُﻙْﺮَﺗ ِﺓَﻼَّﺼﻟ

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan
shalat.” (HR. Muslim no. 257)

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau
mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َﻦْﻴَﺑ ِﺪْﺒَﻌﻟﺍ ِﻥﺎَﻤْﻳِﻹﺍَﻭ ِﺮْﻔُﻜﻟﺍ َﻦْﻴَﺑَﻭ ُﺓﺎَﻠَّﺼﻟﺍ ﺍَﺫِﺈَﻓ ْﺪَﻘَﻓ ﺎَﻬَﻛَﺮَﺗ َﻙَﺮْﺷَﺃ

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.”
(HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat
Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُﺱْﺃَﺭ ِﺮْﻣَﻷﺍ ُﻩُﺩﻮُﻤَﻋَﻭ ُﻡَﻼْﺳِﻹﺍ ُﺓَﻼَّﺼﻟﺍ

“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR.
Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.

Para sahabat ber-ijma’ (bersepakat) bahwa meninggalkan shalat adalah kafir Umar mengatakan,

َﻻ ْﻦَﻤِﻟ َﻡَﻼْﺳِﺇ َﻙَﺮَﺗ َﺓَﻼَّﺼﻟﺍ

“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar berkata,

َّﻆَﺣَﻻﻭ ﻲِﻓ ْﻦَﻤِﻟ ِﻡَﻼْﺳِﻻﺍ َﻙَﺮَﺗ َﺓَﻼَّﺼﻟﺍ

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh
Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam kitab Sunan-nya, juga Ibnu ‘Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.

Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja
adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau
mengatakan,

َﻥﺎَﻛ ُﺏﺎَﺤْﺻَﺃ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ- ﻪﻴﻠﻋ -ﻢﻠﺳﻭ َﻻ َﻥْﻭَﺮَﻳ َﻦِﻣ ﺎًﺌْﻴَﺷ ِﻝﺎَﻤْﻋَﻷﺍ ُﻪُﻛْﺮَﺗ َﺮْﻴَﻏ ٌﺮْﻔُﻛ ِﺓَﻼَّﺼﻟﺍ

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat
bahkan ini adalah ijma’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan
shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari
pendapat para ulama yang ada. Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah- lah yang dapat memberi taufik).” ( Ash Sholah , hal. 56)

Berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat

[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya
sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang,

“Sholat oleh, ora sholat oleh.” [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-
apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang
semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan
tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat.
Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.

[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam
melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim
secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin
Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia
kembali ke jalan yang benar.

Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian
perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang
dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada
iman dan nifak sekaligus. …Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di
banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan
secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang- orang
semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum
Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan)
bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang
shalat dan kadang tidak.” ( Majmu’ Al Fatawa, 7/617)

[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak
mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang
semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan
disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk
mendapatkan hukuman.

[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar
waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar
waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini
sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,

ٌﻞْﻳَﻭ َﻦﻴِّﻠَﺼُﻤْﻠِﻟ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ (4) ْﻦَﻋ ْﻢُﻫ ْﻢِﻬِﺗﺎَﻠَﺻ َﻥﻮُﻫﺎَﺳ 5) )
“Maka kecelakaanlah bagi orang- orang yang shalat, (yaitu) orang- orang yang lalai dari
shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107]: 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)

Penutup

Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya,
berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk
amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya
di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia
telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya
akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan
shalat.”

Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang
meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian
dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang
dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima
waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah,
sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai
dengan kadar shalat dalam hatimu.” (Lihat Ash Sholah, hal. 12)

Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima
waktu itu wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman
bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad
(melaksanakannya dengan anggota badan).

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan
hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman
hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan
orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini
hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut
orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).”

Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan).
Namun iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal
perbuatan.” (Lihat Ash Sholah, 35-36)

Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita dapat
mengingatkan kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima
waktu.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar