Sabtu, Februari 04, 2012

Hukum Laki-Laki Memandang Wanita ( Fatwa Qardhawi )

, Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-
pasangan, bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan.
Sebagaimana firman-Nya: "Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-
pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui." (QS Yasin: 36)
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran
Allah." (QS Adz-Dzaariyat: 49)
Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini, manusia diciptakan berpasang-
pasangan, terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat
berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik antara satu jenis dengan jenis lain,
sebagai fitrah Allah untuk manusia.
Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk Adam) seorang istri supaya ia
merasa tenang hidup dengannya, begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab
secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa bahagia jika hanya seorang diri,
walaupun dalam surga ia dapat makan minum secara leluasa.
Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi (tugas dari Allah) yang pertama adalah
ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam dan istrinya: "... Hai
Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak
lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan
kamu termasuk orang-orang yang zalim." (QS Al-Baqarah: 35)
Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki akan hidup sendirian, jauh dari
perempuan, tidak melihat perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah keluar
dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan—sebagaimana cara hidup kependetaan yang
dibikin-bikin kaum Nasrani.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup sendirian dengan menjauhi laki-laki.
Bukankah kehidupan itu dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu
antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan akhirat?
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian yang lain.. ." (QS At-Taubah: 71)
Hakikat lain yang wajib diingat di sini—berkenaan dengan kebutuhan timbal balik antara laki-laki
dengan perempuan—bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing dari kedua
jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang
instinktif. Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan (perkawinan) dan
reproduksi, sehingga terpeliharalah kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.
Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas antara hukum memandang laki-laki terhadap perempuan.
Kami menguatkan pendapat jumhur  ulama yang menafsirkan firman Allah: "...Dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya..." (QS An-Nur: 31 )
Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah "wajah dan telapak tangan."
Dengan demikian, wanita boleh menampakkan wajahnya dan kedua telapak tangannya, bahkan
(menurut pendapat Abu Hanifah dan Al-Muzni) kedua kakinya.
Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka
bolehkah laki-laki melihat kepadanya ataukah tidak?
Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi
sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para
ulama.
Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzdzudz) dan
bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Oleh sebab itu, ada ungkapan,
"memandang merupakan pengantar perzinaan".
Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, "Memandang
(berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian
berjanji, akhirnya bertemu."
Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher,
punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut
ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan
dengannya.
Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi
membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan sebagainya. Demikian pula
pembuktian tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk
perseorangan maupun masyarakat.
Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya
fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat
petunjuk petunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan khayalan sebagian orang-orang yang
takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.
Oleh karena itu, Nabi SAW pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama Fadhl bin
Abbas, agar tidak melihat wanita Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat Fadhl
berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Fadhl bertanya
kepada Rasulullah SAW, "Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?"
Beliau menjawab, "Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku tidak merasa
aman akan gangguan setan terhadap mereka."
Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si Muslim, yang wajib
mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya,
fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak
dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyimpang.
Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan upaya
"menikmati" dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram.
Karena itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana
Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya.
Allah SWT berfirman: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan
pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang
beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya." (QS An-Nur: 30-31)

Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar