Minggu, Februari 12, 2012

Fidiyah ( Kafarat Puasa Bagi Orang Yang Telah Meninggal )

Kafarat Puasa Bagi Orang Yang Telah Meninggal
Tagged with: bahan pokok beras bulan puasa bulan ramadhan imam
nawawi kafarah kafarat kafarat puasa Kafarat Puasa Bagi Orang Yang Telah
Meninggal mazhab qadha' ramadhan sejarah imam syafi'i syeikh ali jum'ah
muhammad udzur uzur
Mufti Mesir, Syeikh Ali Jum’ah Muhammad pernah mengatakan bahwa, jika seseorang
mempunyai uzur sehingga ia tidak dapat berpuasa sampai ia meninggal, maka para ulama
telah sepakat bahwa tidak perlu menggantikan puasanya atau membayar fidyah untuknya,
karena tidak ada unsur kesengajaan di dalamnya. Orang itu pun tidak berdosa, karena puasa
itu dianggap sebagai kewajiban yang tidak dapat dia lakukan sampai meninggal dunia,
sehingga hukum kewajibannya pun menjadi gugur, seperti ibadah haji.
Adapun jika uzur itu hilang sebelum dia meninggal dan ia mampu untuk mengqadha
puasanya, tapi ia tidak sempat melakukannya hingga meninggal, maka terdapat dua pendapat
dalam hal ini. Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’i dalam al-qawl al-
jadîd (pendapat yang baru) dan pendapat yang dipegangi dalam mazhab Hambali,
berpandangan bahwa tidak perlu mengganti puasanya setelah ia meninggal, tapi cukup
memberi makanan sejumlah satu mud ¬(+ 510 gram) untuk satu hari puasa yang
ditinggalkan. Karena, puasa tidak dapat diwakilkan ketika seseorang masih hidup, maka begitu
juga setelah meninggal, seperti salat.
Sedangkan para ulama hadis dan beberapa ulama salaf, seperti Thawus, Hasan al-Bashri,
Zuhri, Qatadah, Abu Tsaur, Imam Syafi’i dalam al-qawl al-qadîm (pendapat yang lama),
berpendapat bahwa wali orang yang meninggal boleh berpuasa untuknya. Inilah pendapat
yang dipegangi dalam
mazhab Syafi’i serta dipilih oleh Imam Nawawi dan pendapat Abu Khattab dari kalangan
Hambali. Menurut para ulama Syafi’iyah, puasa ini dapat
menggantikan kewajiban memberi makan dan menggugurkan kewajiban orang yang
meninggal itu. Wali orang yang meninggal tersebut tidak wajib untuk mengganti puasa itu,
tapi melakukannya lebih baik daripada memberi makan. Hal ini sesuai dengan hadis Aisyah
r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
َﺕﺎَﻣ ْﻦَﻣ ٌﻡﺎَﻴِﺻ ِﻪْﻴَﻠَﻋَﻭ ُﻪْﻨَﻋ َﻡﺎَﺻ ُﻪُّﻴِﻟَﻭ
“/Barang siapa yang meninggal dan mempunyai kewajiban berpuasa, maka hendaknya
walinya berpuasa untuk dirinya/.”
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas r.a., ia berkata, “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah
saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dan ia mempunyai kewajiban puasa
Ramadan, apakah saya wajib mengganti puasanya?” Beliau lalu balik bertanya, “Jika ibumu
mempunyai hutang, apakah kamu akan membayarnya?” Orang itu menjawab, “Ya.” Maka
beliau pun bersabda,
ِﻪﻠﻟﺍ ُﻦْﻳَﺪَﻓ ْﻥَﺃ ُّﻖَﺣَﺃ ﻰَﻀْﻘُﻳ
“/Maka hutang Allah lebih utama untuk dipenuhi/.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Ahmad, Laits, Ishaq dan Abu Ubaid berpendapat tidak perlu mengganti puasa orang
yang telah meninggal kecuali puasa nazar. Keumuman
hadis Aisyah diartikan dengan makna khusus yang disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas yang
dalam beberapa riwayat lainnya dinyatakan bahwa puasa yang dimaksud dalam hadis itu
adalah puasa nazar.
Dan yang dimaksud dengan wali orang yang telah meninggal adalah anggota keluarganya.
Orang lain yang bukan anggota keluarganya juga boleh berpuasa untuk orang yang
meninggal dengan izin terlebih dahulu dari wali orang yang meninggal tersebut.
Dalam Syarh Muslim, Imam Nawawi berkata, “Pendapat ini –pendapat yang menyatakan
boleh mengganti puasa wajib untuk mayit— adalah pendapat yang benar, yang kami pilih dan
kami yakini. Dan itulah yang dikuatkan oleh para ulama muhaqqiqîn mazhab kami yang
menguasai hadis dan fikih berdasarkan hadis-hadis yang shahih yang secara jelas
memaparkan masalah ini. Adapun hadis yang mengatakan, “Barang siapa yang meninggal
dan mempunyai kewajiban berpuasa, maka [dibayarkan fidyah untuknya dengan] memberi
makan atas namanya”, maka hadis ini tidak kuat. Jika hadis ini dianggap kuat maka dapat
disinkronkan dengan hadis-hadis yang shahih itu dengan mengartikan bolehnya melakuan
kedua hal tersebut.
Para ulama yang memperbolehkan berpuasa untuk mayit, juga memperbolehkan memberi
makanan sebagai penggantinya. Sehingga, pendapat yang tepat adalah membolehkan puasa
dan memberi makanan. Wali mayit dipersilahkan untuk memilih di antara keduanya. Yang
dimaksud dengan wali di sini adalah para kerabat, baik dari para ahli waris, ashabah ataupun
yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa maksud wali ini adalah ahli waris saja. Yang lain
mengatakan para ashabah saja. Yang benar adalah pendapat pertama. Jika ada orang asing
yang berpuasa untuknya maka puasanya sah jika ia telah diizinkan oleh wali tersebut, jika
tidak maka puasanya tidak sah. Seorang wali tidak wajib berpuasa untuk mayit tersebut,
namun hanya dianjurkan.”
Berdasarkan penjelasan dan pertanyaan di atas, maka kalian boleh memilih antara berpuasa
untuk ibu kalian atau memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari Ramadhan
yang ibu kalian tinggalkan dan tidak dia qadha. Adapun kadar kafarat tersebut, menurut para
ulama dalam Mazhab Syafi’i adalah satu mud untuk setiap harinya, atau sekitar setengah kilo
gram gandum, kurma atau bahan makanan pokok daerah setempat. Dengan demikian kalian
bisa menghitung jumlah hari Ramadhan yang di dalamnya ibu kalian tidak berpuasa dan
membaginya kepada masing-masing kalian, baik akan diganti dengan puasa atau dengan
memberi bahan makan pokok. Tidak apa-apa membayar fidyah tersebut dalam bentuk nilai
dari bahan makanan pokok tersebut.
Adapun membaca al-Fâtihah dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang telah
meninggal dunia, maka tidak apa-apa membaca satu kali Fâtihah untuk satu orang yang
meninggal dunia atau untuk beberapa orang. Semua itu insyaallah dibolehkan.
Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam

Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar