Minggu, Februari 12, 2012

Fidyah di Dalam Puasa

Allâh Ta'ala telah menurunkan kewajiban puasa kepada Nabi-Nya yang mulia pada tahun kedua
Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau,
maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang tidak berkehendak, maka dia boleh tidak berpuasa,
akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang
beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.
Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak
berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah.
Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.
Untuk memperjelas tentang fidyah, dalam tulisan ini akan kami uraikan beberapa hal berkaitan
dengan fidyah tersebut. Semoga Allâh Ta'ala memberikan taufik-Nya kepada kita untuk ilmu yang
bermanfa’at, serta amal shalih yang Dia ridhai.
A. DEFINISI FIDYAH
Fidyah ( ﺔﻳﺪﻓ ) atau fidaa ( ﻯﺪﻓ ) atau fida‘ ( ﺀﺍﺪﻓ ) adalah satu makna. Yang artinya, apabila
dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya.[1]
Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah “ith’am”, yang artinya memberi makan.
Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang
miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.
B. TAFSIR AYAT TENTANG FIDYAH
Allâh Ta'ala telah menyebutkan tentang fidyah dalam Kitab-Nya Yang Mulia.
Allâh Ta'ala berfirman:
Maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian (di bulan Ramadhan),
wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya),
untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin.
Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain)
maka itu lebih baik baginya,
dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.
(QS Al Baqarah : 184)
Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman Allâh Ta'ala :
"Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya),
maka dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin"
Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah?
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan
puasa, karena puasa telah memberatkan mereka. Dahulu, orang yang telah memberikan makan
kepada seorang miskin, maka dia tidak berpuasa pada hari itu, meskipun dia mampu
mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Salamah bin
Akwa‘ radhiyallâhu'anhu , kemudian ayat ini telah dimansukh dengan firman Allâh Ta'ala:
"Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan,
maka hendaklah dia berpuasa."
(Al Baqarah ayat 185)
Telah diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu, bahwa ayat di atas tidak dimansukh, akan tetapi sebagai
rukhshah, khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka tidak mampu
mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna ini sesuai dengan bacaan tasydid, yakni
artinya, bagi orang yang merasa berat untuk mengerjakannya.[2]
Dari ‘Atha radhiyallâhu'anhu , sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu
membaca ayat:
Tentang ayat ini, Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu berkata:
“Ayat ini tidaklah dimansukh. Yang dimaksud ialah orang tua laki-laki dan wanita, yang keduanya
tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu hari kepada satu orang
miskin”. (Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Tafsir) .[3]
Berkata Syaikh Abdur Rahman As Sa’di rahimahullâh di dalam tafsirnya:
“Dan ada pendapat yang lain, bahwa ayat tersebut maksudnya mereka yang merasa terbebani
dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga tidak mampu mengerjakannya, seperti seorang
yang sudah tua; maka dia membayar fidyah untuk setiap hari memberi makan kepada satu orang
miskin. Dan ini adalah pendapat yang benar”. [4]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Penafsiran Ibnu Abbas dalam ayat ini menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara pengambilan
dalil dari ayat ini; bahwa Allâh Ta'ala menjadikan fidyah sebagai pengganti dari puasa bagi orang
yang mampu untuk berpuasa, jika dia mau maka dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka
dan membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap orang untuk
berpuasa. Maka ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa, yang wajib baginya adalah
penggantinya, yaitu fidyah”. [5]
C. ORANG-ORANG YANG DIWAJIBKAN UNTUK MEMBAYAR FIDYAH
1. Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila berpuasa. Maka ia
diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi makan setiap hari kepada
satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Sa’id bin Jubair,
Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan Auza’i. [6]
2. Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau penyakit
ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.
Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal. Pertama,
karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Kedua , apa yang telah diriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka.
Masalah : Apabila orang sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar fidyah
kemudian Allâh Ta'ala menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia lakukan?
Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan, karena kewajiban
baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah melaksanakannya. Oleh karena
itu, dia telah terbebas dari kewajibannya, sehingga menjadi gugur kewajibannya untuk berpuasa.
[7]
Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar fidyah atau
tidak. Mereka, di antaranya ialah :
1. Wanita hamil dan wanita yang menyusui.
Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena jika wanita hamil
berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya. Demikian pula wanita
yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan berkurang air susunya sehingga bisa mengganggu
perkembangan anaknya.
Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah? Dalam
permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.
Pendapat pertama, wajib bagi mereka untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah. Pada pendapat
ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan dirinya saja, maka
dia hanya wajib untuk mengqadha‘ tanpa membayar fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap
janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah.
Dalil dari pendapat ini ialah surat Al-Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman orang yang sakit,
bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha‘ puasa ketika mereka mampu pada hari yang
lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah, ialah perkataan Ibnu Abbas:
Wanita menyusui dan wanita hamil,
jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya berbuka dan memberi makan.
(HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4/18)
Makna yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu ; dan
atsar ini juga dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullâh di dalam Irwa’.
Ibnu Qudamah berkata,
”Apabila keduanya khawatir akan dirinya saja, maka dia berbuka, dan hanya wajib untuk
mengqadha‘. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf di antara ahlul ilmi, karena
keduanya seperti orang sakit yang takut akan dirinya. Namun, jika keduanya takut terhadap
anaknya, maka dia berbuka dan wajib untuk mengqadha‘ dan memberi makan kepada seorang
miskin untuk setiap hari. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan yang mashur dari madzhab
Syafi’i.” [8]
Pendapat kedua, tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha’, akan tetapi wajib untuk membayar
fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih.
Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas radhiyallâhu'anhu :
Sesungguhnya Allâh menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui.
(HR Al-Khamsah)
Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu , bahwa wanita hamil dan
menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan. Sedangkan Ibnu
Abbas radhiyallâhu'anhu tidak menyebutkan untuk mengqadha’, namun hanya menyebutkan
untuk memberi makan.*)
Pendapat ketiga, wajib bagi mereka untuk mengqadha’ saja. Dengan dalil, bahwa keduanya seperti
keadaan orang yang sakit dan seorang yang bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak
menyebutkan untuk mengqadha’, karena hal itu sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk
disebutkan.
Adapun hadits :
“Sesungguhnya Allâh menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui”,
maka yang dimaksud ialah, bahwa Allâh Ta'ala menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan
tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha’. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah. Juga
pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha’i. Keduanya berkata tentang wanita yang
menyusui dan hamil, jika takut terhadap dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan
mengqadha’ (dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya).
Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh , pendapat inilah yang paling kuat.[9] Beliau (Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh ) mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan
khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits
Anas bin Malik Al-Ka’bi, dia berkata, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
Sesungguhnya Allâh telah menggugurkan dari musafir setengah shalat,
dan dari musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa.
(HR Al-Khamsah, dan ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih)
Akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha’ dari hari yang dia tinggalkan ketika hal itu mudah
baginya dan telah hilang rasa takut, seperti orang sakit yang telah sembuh.[10]
Pendapat ini, juga merupakan fatwa dari Lajnah Daimah , sebagaimana akan kami kutip nash
fatwa tersebut dibawah ini.
Pertanyaan yang ditujukan kepada Lajnah Daimah.
Soal :
Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya
pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah dia berbuka dan
membayar fidyah dan mengqadha’? Atau apakah dia berbuka dan mengqadha’, tetapi tidak
membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan tidak mengqadha’? Manakah yang
paling benar di antara tiga hal ini?
Jawab :
Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin yang dikandungnya jika berpuasa
pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Kondisinya
dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia khawatir adanya
madharat bagi dirinya jika berpuasa.
Allâh Ta'ala berfirman:
Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan,
maka wajib baginya untuk mengganti dari hari-hari yang lain.
Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya ketika menyusui
anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia berpuasa, sehingga dia
tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja.
Dan semoga Allâh Ta'ala memberikan taufiq.[11]
2. Orang yang mempunyai kewajiban untuk mengqadha’ puasa,
akan tetapi dia tidak mengerjakannya tanpa udzur hingga Ramadhan berikutnya"
Pendapat yang pertama, wajib baginya untuk mengqadha’ dan membayar fidyah. Hal ini
merupakan pendapat jumhur (Malik, Syafi’i, dan Ahmad). Bahkan menurut madzhab Syafi’i, wajib
baginya untuk membayar fidyah dari jumlah ramadhan-ramadhan yang dia lewati (yakni jika dia
belum mengqadha’ puasa hingga dua Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya fidyah dua kali).
Dalil dari pendapat ini adalah: Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
memerintahkan untuk memberi makan dan mengqadha’ bagi orang yang mengakhirkan hingga
Ramadhan berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al Baihaqi). Akan tetapi, hadits ini dha’if, sehingga
tidak bisa dijadikan hujjah. Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu dan Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu
meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan qadha’ hingga datang Ramadhan berikutnya,
mereka mengatakan, agar (orang tersebut, Red) memberi makan untuk setiap hari kepada
seorang miskin.[12]
Pendapat kedua , tidak wajib baginya membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa, sebab
mengakhirkan dalam mengqadha’ puasanya. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, dan
merupakan pendapat Al-Hasan dan Ibrahim An-Nakha’i. Karena hal itu merupakan puasa wajib,
ketika dia mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda berupa fidyah, seperti dia
mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan sekarang atau menunda nadzarnya.[13]
Berkata Imam Asy Syaukani:
“Maka yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah tidak wajib (untuk membayar fidyah)”.[14]
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin:
“Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu dan Abu Hurairah
radhiyallâhu'anhu , mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi sunnah, sehingga tidak wajib untuk
membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang benar dalam masalah ini (ialah), tidak wajib baginya
kecuali untuk berpuasa, meskipun dia berdosa karena mengakhirkan dalam menngqadha` “. [15]
Hal ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan tanpa udzur. Berarti, (bagi) orang yang
mengakhirkan meng-qadha’ hingga Ramadhan berikutnya karena udzur, seperti karena sakit atau
bepergian, atau waktu yang sangat sempit, maka tidak wajib juga untuk membayar fidyah.
Masalah : Apabila ada orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam masalah
ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama. Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, maka boleh baginya untuk
tidak berpuasa hingga dirinya sembuh. Apabila sakitnya berlanjut kemudian dia mati, maka tidak
wajib untuk membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah mengqadha’, kemudian mati sebelum
mengerjakannya.
Kedua . Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa
kemudian dia terbebas dari penyakit itu, namun kemudian mati sebelum mengqadha’nya, maka
diperintahkan untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia tinggalkan, diambilkan dari hartanya.
Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk mengqadha’, tetapi karena dia mengakhirkannya
hingga mati, maka dibayarkan untuknya fidyah.
Ketiga . Jika penyakitnya termasuk yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban baginya
untuk membayar fidyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [16]
D. JENIS DAN KADAR DARI FIDYAH
Tidak disebutkan di dalam nash Al-Qur‘an atau As-Sunnah tentang kadar dan jenis fidyah yang
harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka kita kembalikan kepada ‘urf
(kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam membayar fidyah, apabila kita sudah
memberikan makan kepada seorang miskin, baik berupa makan siang atau makan malam, ataupun
memberikan kepada mereka bahan makanan sehingga mereka memilikinya.
Pendapat ulama tentang kadar dan jenis fidyah.
Berkata Imam An Nawawi:
“(Pendapat pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya,
seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman ialah keumuman
makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang paling kuat. Dan ada pendapat yang
kedua , yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat
yang ketiga , diperbolehkan untuk memilih di antara jenis makanan yang ada”.
Imam An Nawawi juga berkata:
“Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang sangat halus), atau biji-
bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan
tidak sah juga (membayar fidyah) dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Fidyah
tersebut dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah dari satu mud
yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari fidyah satu bulan
untuk seorang faqir saja”. [17]
Ukuran Satu Mud
Satu mud adalah seperempat sha’. Dan sha’ yang dimaksud ialah sha’ nabawi, yaitu sha’-nya Nabi
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam . Satu sha’ nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh)
mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal
seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram.[18]
Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha’ nabawi adalah empat mud. Satu mud,
sama dengan 625 gram, karena satu sha’ nabawi sama dengan 3000 gram.[19]
Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari
biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain
biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha’ (dua mud). Dan kita
kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi makan kepada orang
miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.
E. BAGAIMANA CARA MEMBAYAR FIDYAH
Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal.
Pertama. Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah
hari-hari yang dia tidak berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas bin Malik
ketika beliau tua.
Disebutkan dari Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu , bahwasanya beliau lemah dan tidak mampu
untuk berpuasa pada satu tahun. Maka beliau membuatkan satu piring besar dari tsarid (roti).
Kemudian beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan mempersilahkan mereka makan hingga
kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil).
Kedua . Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Para ulama
berkata:
“Dengan satu mud dari burr (biji gandum), atau setengah sha’ dari selainnya. Akan tetapi,
sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari daging, atau selainnya, sehingga
sempurna pengamalan terhadap firman Allâh Ta'ala yang telah disebutkan”.
6. WAKTU MEMBAYAR FIDYAH
Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika dia mau, maka membayar fidyah untuk
seorang miskin pada hari itu juga. Atau jika dia berkehendak, maka mengakhirkan hingga hari
terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas radhiyallâhu'anhu ketika
beliau tua. Dan tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan, karena hal itu seperti
mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban. Wallahu Ta’ala A’lam.
Maraji‘:
1. Al Majmu’ Syarh Al Muhadz-dzab, Imam An Nawawi. Cet. Maktabah Al Irsyad, Jeddah.
2. Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun 1402H.
3. Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi, Cet. Maktabah Lubnan, Tahun 1989.
4. Asy Syarhul Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin. Cet. Maktabah Asaam, Riyadh,
Tahun 1416H.
5. Nailul Authar, Imam Asy Syaukani, Cet. Dar Al Kalim Ath Thayyib, Beirut, Tahun1419 H.
6. Nailul Maram, Allamah Shiddiq Hasan Khan, Cet. Ramadi, Dammam, Tahun 1418 H.
7. Irwa’ul Ghalil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Kedua Al Maktab Al Islami, Tahun1405
H.
8. Fat-hul Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar. Cet. Dar Al Ma’rifah, Beirut.
9. Fatawa Islamiyah, Jama’: Muhammad Al Musnid. Cet Dar Al Wathan, dan kitab-kitab lainnya.
[1] Lihat Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi. Cet. Maktabah Lubnan, hlm. 435.
[2] Lihat Nailul Maram Min Tafsiir Ayatil ahkam, ‘Allamah Shiddiq Khan, hlm. 90-91.
[3] Fathul Bari (8/135)
[4] Lihat Tafsir As Sa’di, hlm. 69
[5] Asy Syarhul Mumti’, (6/334)
[6] Lihat Al Mughni (3/141)
[7] Lihat Asy Syarhul Mumti’ (6/453).
[8] Lihat Al Mughni (3/139).
[9] Syarhul Mumti’, 363.
[10] Majalisu Syahri Ramadhan, hlm. 45
[11] Fatawa Islamiyah (2/148).
[12] Lihat Nailul Authar (3/175).
[13] Lihat Al Mughni (3/145).
[14] Nailul Authar (3/177).
[15] Syarhul Mumti’ (6/451).
[16] Lihat Syarhul Mumti’ (6/452-453).
[17] Al Majmu’ Syarh Al Muhadz-dzab (6/420)
[18] Majalisu Syahri Ramadhan, 162 dan Syarhul Mumti’ (6/176)
[19] Taudhih Al Ahkam (3/178)
*) Dalam majalah As-Sunnah Edisi 06/IX/1426 H/2005 M halaman 45, Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
dan Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali merajihkan pendapat yang kedua ini- redaksi.)
(Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (07-08)/Tahun IX)

http://majalah-assunnah.com/index. php?option=com_content&view=article&id=181&Itemid=100

Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar