Senin, Januari 16, 2012

Sosok Yesus Di Mata Santri Jawa

Yesus dimata Santri Jawa

SELAYANG PANDANG MENGENAL KITAB KUNING

Kitab kuning adalah sebutan untuk kitab- kitab Islam klasik (kutub al- qadimah) yang lazim digunakan sebagai buku- buku teks di pesantren. Disebut demikian karena biasanya kitab-kitab itu ditulis di atas kertas kuning berkualitas murah.

Pada dasarnya apa yang dipelajari di pesantren adalah mengupas dan mendalami isi al-Qur ’an dan Hadits Nabi Muhammad. Dengan mendalami al-Qur ’an mengenai dasar-dasar keyakinan Islam, lahirlah ushuluddin atau teologi Islam.

Kitab-kitab teks yang biasanya digunakan dalam bidang ini, misalnya Jawahir al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al- Baqani dan Sullamut Taufiq, karya Syeikh Nawawi al- Bantani. Kitab-kitab Tafsir al- Qur’an yang lazim dipakai secara luas adalah tafsir Jalalain, tafsir Munir dan tafsir Ibnu Katsir, sedangkan kitab- kitab yang menyangkut ilmu- ilmu Hadits, antara lain: Arba’in an-Nawawiyah, Shahih Bukhari, Bulugh al- Maram dan sebagainya.

Dari ayat-ayat al- Qur’an mengenai hukum lahiriah ilmu fiqh dengan berbagai madzabnya. Karena di Indonesia madzab Syafi’’ yang banyak dianut, maka kitab- kitab fiqh yang diajarkan bercorak syafi’iyyah. Untuk menyebut beberapa saja diantara kitab-kitab itu, misalnya: Fath al-Qarib al- Mujib, Kifayat al- Ahyar dan Safinatun Najah. Ilmu Tasawuf juga tak kalah penting, karena melalui kajian ini seorang Muslim mendapat petunjuk untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Kitab-kitab yang lazim dipakai, misalnya al-Dalail yang berisi wirid- wirid, Riyadh ash-Shalihin, al- Insan al-Kamil , dan masih banyak lagi.[1 ] Selain bidang- bidang penting di atas, tentu saja pengenalan bahasa Arab menjadi syarat awal bagi kajian lebih lanjut. Dalam pada itulah, timbul ilmu Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi’ ,
dan salah satu kitab yang lazim di bidang ini adalah Matan Jurumiyah yang cukup terkenal itu.

Pada Bab III buku ini sudah dikedepankan citra Yesus dalam kepustakaan Jawa, terutama menunjuk kepada literatur-literatur Kejawen. Dengan mengangkat literatur pesantren, Bab ini kiranya dapat melengkapi pandangan dari “salah satu varian Islam Jawa” (menurut istilah Mark R.Woodward) ,[3] –atau “kaum Jawa sub- kultur santri” (menurut analisis kultural Clifford Geertz). [4 ] Bagaimana sosok Yesus, atau yang lebih dikenal dengan al- Masih ‘Isa bin Maryam itu, ditampilkan dalam kitab-kitab kuning tersebut? Secara ringkas, pandangan pesantren mengenai Yesus dan Kekristenan dapat disebut bersifat dialectical relationship.

Maksudnya, di satu pihak ‘Isa digambarkan sebagai tokoh yang mulia, sangat dekat dengan Allah, bahkan tradisi Islam memberikan beberapa gelar dan peranan yang tidak diberikan kepada nabi-nabi lain, termasuk Nabi Muhammad sendiri. Misalnya, peranan ‘Isa pada akhir zaman sebagai Hakim yang Adil yang
mengalahkan al- Masih ad-Dajjal (Anti- Christ).

Tetapi pada pihak lain, karena latarbelakang perjumpaan teologis tertentu pada masa lalu kedua agama semitik ini, tampaknya ‘Isa berusaha keras untuk dipisahkan dengan Kekristenan. Mengapa? Karena Kekristenan dianggap telah menyelewengkan ajaran ‘Isa yang sebenarnya, dan Injil yang beredar sekarang
dituduhnya sudah tidak asli lagi.[5 ] Tetapi terlepas dari warisan teologis masa lalu itu, melacak sosok historis ‘Isa dan peranannya dalam kesalehan normatif Muslim, lebih menarik ketimbang mengembangkan sebuah apologi Kristiani menjawab kesalahpahaman Islam. Bahkan masalah yang disebut terakhir ini, di
kalangan tertentu sudah banyak bergeser, seiring dengan kemajuan dialog antariman akhir- akhir ini.

Kristologi “Kalimat Allah” di dalam al-Qur ’an dan Citra ‘Isa al- Masih


Apabila kita menelusuri perdebatan klasik Kristen-Islam mengenai sosok Yesus, patut dicatat di sini bahwa baik penekanan akan kelilahian- Nya dalam Iman Kristen, maupun penolakan atas klaim Kristen tersebut, keduanya didasarkan pada gelar yang sama yang diakui kedua agama. Dalam hal ini, gelar ‘Isa sebagai Kalimat Allah (Firman Allah) yang,–terlepas bagaimana penafsiran kedua pihak,– dikaitkan erat dengan Roh Allah, baik dalam kelahiran maupun dalam karya Yesus.

Di bawah ini akan dicontohkan ayat al- Qur’an yang memuat penegasan kedudukan Yesus sebagai Firman Allah dan Roh Allah, dan bagaimana interpretasikan dalam beberapa tafsir al-Qur ’an: Al-Qur ’an, s.Ali Imran/3 :39

Anna llaha yubasyiruki bi yahya mushadiqan bi kalimatin min Allah…


Artinya:
Sesungguhnya Allah akan memberi kabar gembira kepadamu (wahai Zakaria) dengan seorang anak yaitu Yahya yang akan membenarkan Firman dari Allah.”

Mengenai ayat di atas, Tafsir Jalalain menafsirkan makna ayat bi-kalimatin min Allah (dengan Firman dari Allah) sebagai :

“…bi kalimatin (kelawan Kalimat) , ka’inatin min Allah (kang mujud saking Allah), ay bi ‘Isa (tegese kelawan Nabi Isa) annahu Ruhullah (satuhune Nabi ‘Isa iku Roh Allah) , wa summi kalimatan (lan den arani kalimat) liannahu khuliqa bi kalimati kun (karana Nabi ‘Isa iku den dadekaken) bi kalimati kun (karana kalimat Kun).

Terjemahan:
“…dengan Firman yang berwujud dari Allah, maksudnya yaitu Nabi ‘Isa, sesungguhnya Ia adalah Roh Allah, dan disebut Firman karena Nabi ‘Isa diciptakan dengan firman: Jadilah!”.

Ketika menjelaskan ungkapan dalam ayat: mushadiqan bi Kalimatin min Allah (membenarkan Firman dari Allah), Ibnu Katsir dalam Tafsir al- Qur’an al- Adzim, mengutip riwayat Ibnu ‘Abbas r.a yang berbunyi:

Qala kana Yahya wa ‘Isa abnaya khalat, wa kaanat ummu Yahya taquulu li Maryam, “Anni ajud alladzi fii bathni yasjudu li alladzi fii bathniki”. Fadzalika tasdiiqi lahi fii bathni umihi, wa huwa awwali min shaddaqa ‘Isa wa kalimati llahi ‘Isa.

Terjemahan:
Kata Ibnu ‘Abbas r.a. : Yahya dan ‘Isa adalah saudara sepupu dari pihak ibu, dan ibu Yahya pernah berkata kepada Maryam: “Aku mendapati bahwa bayi yang ada dalam perutku bersujud kepada bayi yang ada di perutmu”. Yahya sudah membenarkan ‘Isa sejak dalam kandungan ibunya, dan dialah orang yang paling awal menyaksikan kebenaran ‘Isa, yaitu ‘Isa sebagai Firman Allah.

Ibnu Katsir juga mengutip riwayat Qatadah, bahwa putra Zakaria itu dinamakan Yahya: “disebabkan Allah menghidupkan dia dengan iman” (lianna llahu ahyahu bi al- iman). Selain Qatadah, dikutip pula riwayat dari Ikrimah, Mujahid, al- Sudi, al- Rabi’ bin Anas, yang menjelaskan ciri- ciri anak yang akan dilahirkan tersebut:

“Dia adalah orang yang pertama membenarkan ‘Isa anak Maryam” (huwa awwalu man shaddiqan bi ‘Isa ibnu Maryam). Membaca sekilas tafsiran di atas, kita diingatkan dengan peranan Yahya Pembaptis sebagai seorang bentara al-Masih dalam Injil yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan-Nya (Yohanes 1:29 ; 3: 38). [10] Sedangkan ucapan Ashba (Elizabet) kepada Siti Maryam, secara harfiah dijumpai hampir sama dengan catatan Injil Lukas 1:39 -45 . Al-Qur ’an,s .Ali Imran/3 :45

Idz qalati al- Mala ‘ikatu Ya Maryam, Inna llaha yubasyiruki bi Kalimatin minhu asmuhu al-Masih ‘Isa bnu Maryam wajihan fi al-dunya wa al- akhirat wa min al- muqqarabin.

Artinya: “Ingatlah ketika Malaikat berkata: Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan kabar gembira kepadamu dengan Firman dari Dia, namanya al- Masih ‘Isa putra Maryam, yang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan salah seorang dari mereka yang didekatkan di sisi Allah”.

Tafsir Jalalain menafsirkan kata-kata: Innallaha yubasyiruki bi Kalimatin minhu,

“satuhune iku bungahe Allah ing sira, kelawan kalimat saking anak, (ay waladin) tegese iku anak” 

(Sesungguhnya itu kabar gembira dari Allah kepadamu, dengan Firman mengenai seorang anak, yaitu kelahiran seorang anak).Sedangkan penyebutan Yesus yang selalu dihubungkan dengan nama ibunya, untuk
menekankan kelahiran insani-Nya dari perawan Maryam tanpa seorang bapa.

Itulah “kristologi Qur’ an yang menolak klaim Kristen mengenai kelahiran kekal Firman Allah dari Dzat- Nya. Dengan demikian ‘Isa bnu Maryam itu disebut namanya:

“… bi nisbatihi (kelawan nisbate iku) ilaiha (maring Maryam) tanbina ‘ala (karana ngelingaken satuhune Maryam) annaha taliduku (iku manake Maryam ing anak) bi laa ab (kelawan ora nana bapa)” .

Terjemahan:


“… dengan menghubungkannya kepada Maryam, karena untuk memperingatkan bahwa sesungguhnya Siti Maryam itu melahirkan anaknya (‘Isa) tanpa melalui perantaraan seorang ayah.”

Jadi, meskipun kristologi gereja yang menekankan bahwa Yesus adalah Firman Allah terdengar menggema dalam ayat-ayat al-Qur ’an di atas, tetapi Islam tidak turut serta merta memindahkan makna teologisnya sebagaimana yang dipahami iman Kristen. Ungkapan “bi kalimatin minhu” (dengan Firman dari- Nya), dalam
sejumlah tafsir al- Qur’an tidak dipahami sebagai Firman kekal yang bersifat ghayr al- makhluq (bukan ciptaan), melainkan sebagai kalam takwiniyyah (kata penciptaan kun, “Jadilah”) . Meskipun demikian, berbeda dengan makhluk lainnya, ‘Isa diciptakan melalui Firman Allah secara langsung seperti Allah juga
menciptakan Adam.

Meskipun teologi Islam tidak ragu-ragu menolak keilahian Yesus, tetapi pada abad- abad kemudian gema dari perdebatan gereja mengenai kekal atau tidaknya Firman Allah itu dipentaskan kembali, dan diterapkan untuk memahami al- Qur’ an sebagai Kalam Allah. Karena penekanan bahwa makhluk atau tidaknya Kalam Allah tersebut, maka selanjutnya teologi Islam lebih dikenal sebagai Ilmu Kalam, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Muhammad ‘Abduh:

Wa qad yusama ‘ilm al-kalami, anna lianna asyhara mas’alatin wa qa’a fiha al- khilaafu baina ‘ulama’ I al-quruni al-ula , hiya ‘anna kalam allah almatluwwa haditsu aw qadiim. Artinya: “Kadang- kadang disebut ilmu Kalam karena masalah yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan
ulama- ulama Islam pada abad- abad pertama Hijrah, yaitu mengenai apakah Kalam Allah yang dibaca itu baru ataukah qadim (kekal).

Ibnu Jahm, salah seorang tokoh Mu’tazilah mengejek para pengikut Iman al- Asy’ari yang akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Ahl as-Sunnah wa al- Jama’ah, dengan kata-kata yang cukup menarik dibandingkan dengan pergumulan teologis

Gereja ketika menghadapi kaum Arianisme:

Saya menemukan sebuah ayat dalam Firman Allah untuk membuktikan bahwa al- Qur’an itu diciptakan. Demikianlah Firman Allah: “Al- Masih ‘Isa Putra Maryam itu Rasul Allah dan Firman- Nya”. Nah, kalau ‘Isa disebut Firman Allah dan kita mengatakan bahwa ia itu diciptakan, mengapa pada saat yang sama kita tidak mengatakan bahwa al-Qur ’an itu juga ciptaan?

Selanjutnya dalam rangka menghadapi Mu’tazilah tersebut, al-Asy’ ari mengenalkan dalil bahwa “Sifat- sifat Allah itu tidak sama dengan Dzat tetapi juga tidak berbeda dengan Dzat- Nya” (ash Shifat laysa al-Dzat wa laa hiya ghairuha).

Kalau kita cermati, sebenarnya dalil ini sangat dekat dengan kristologi gereja mengenai kekekalan Firman Allah, yang dalam iman Kristen wujud temporal-Nya dikenal dalam kemanusiaan ‘Isa al-Masih , sedangkan dalam Islam nuzul menjadi al- Qur’an .

Karena itu, apabila iman Kristen menekankan kodrat ganda Yesus yang serentak pula: kammala bi al-Lahut wa kammala bi an- nasut (sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya insani), begitu juga Islam mengenal al- Qur’an sebagai kalam nafsi (kalam yang kekal) sekaligus kalam lafzi (kalam temporal). Merujuk paralel yang begitu dekat itu, Sayyed Husein Nasr dalam Ideals ad Realities of Islam, menyejajarkan posisi Yesus dalam Iman Kristen dengan al- Qur’an , dan posisi Nabi Muhammad sebagai penerima Firman Allah dengan Sayidatina Maryam yang juga menjadi mediator kelahiran Firman Allah yang menjadi manusia.

Kedudukan ‘Isa: wajihan fii al- dunya wa al- akhirah wa min al- muqarrabin


Selanjutnya, Ibnu Katsir menjelaskan makna “wajihan fii al-dunya wa al- akhirah” (yang terkemuka di dunia dan di akhirat), bahwa ‘Isa adalah seorang yang terkemuka dan berkedudukan di dunia karena Allah mewahyukan kepadanya aturan-aturan agama, dan di akhirat karena Allah memperkenan kepadanya memberikan syafaat di sisi Allah atas orang-orang dengan seijin-Nya (wa fii dar al-akhirati yusyafa’ I ‘indallah fii man bi-idzini lahi fihi) .

Penjelasan yang sama dapat dijumpai pula dalam tafsir Jalalain: “… fi al-dunya bi al- nubuwwati, wa al- akhirat bi-syafa’ ati wa al-darajat al-ula : tegese kagungan ing alam dunya klawan kenabian, lan ing alam akhirat klawan syafaat dan pira- pira derajat kang luhur”.

Maksudnya, ‘Isa al-Masih terkemuka di dunia karena ia dikarunia kenabian, dan di akhirat dengan syafaat dan derajat yang tinggi.

Selanjutnya, makna wa min al- muqarrabin (dan termasuk dari yang didekatkan), dalam tafsir Jalalain dibubuhkan keterangan:

 ‘indallah(di sisi Allah). Jadi, ‘Isa termasuk seorang diantara yang didekatkan di sisi Allah. Sedangkan 2 tafsir lainnya, yaitu Marah Labid Tafsir al- Nawawi dan Tanwir al- Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas, menjelaskan bahwa ‘Isa berada di surga ‘Aden.

“Wa min al- Muqarrabin” (dan termasuk yang didekatkan)”, demikian Tafsir Ibnu ‘Abbas, “ila llah fii janat ‘and” (kepada Allah di surga ‘Aden ).

Sedangkan dalam tafsir Munir kita membaca keterangan bahwa ‘Isa didekatkan: 

‘ila ‘isa sirafa ‘ila as-sama ’ wa tashahabal al- mala’ikah (kepada Allah di surga ‘aden , dan hal itu menunjukkan seperti nubuatan yang terjadi atas ‘Isa yang diangkat ke langit dan bersahabat dengan para malaikat). [19] Dalam al- Qur’an selain dalam kata al-Muqarrabun dihubungkan dengan malaikat terdekat Allah (Q. s. an-Nisa ’/4 :172, “al- al-malaikat al- muqarrabun”), dalam satu ayat dihubungkan kitab catatan orang-orang yang berbakti, yang disebut ‘illiyyin.

Wa maa adzra ‘aka maa ‘iliyyun? Kitabun marqum, yasyhaduhu al- muqarrabun.

Artinya:
Tahukah kamu apakah illiyin itu? Itulah kitab tertulis, yang disaksikan oleh al- muqarrabun (Q. s. al-Muthaffifin /83: 18- 21). Syeikh Nawawi al- Bantani dalam tafsirnya menjelaskan : ay yasyhadu al-mala ’ikat al-muqarrabun (yaitu disaksikan oleh malaikat- malaikat yang terdekat dengan Allah) .21 Tetapi yang menarik, karena al-Muqarrabin dalam al- Qur’an juga dikaitkan dengan ‘Isa (Q. s. ali- Imran/3 :45) , maka Imam al- Ghazali juga menghubungkan Yesus dengan penyaksian amal kebaikan itu di kerajaan langit. Al-Ghazali menulis dalam kitabnya Bidayat al- Hidayah, yang akan kita kutip sebagai berikut:

Faa man ‘alima (maka sapane wong kang weruh) dzalika (wong iku ing mangkono- mangkono) wa ‘amila bihi (wong kelawan ilmu) tsumma ‘allamahu (maka nuli mulanga wong) wa da’a ilaihi (lan ngajak- ajak wong maring ilmu) fadzlika (maka utawi mangkono- mangkono) yud’u ‘adziman (wong iku diarani wong ing agung) fi malakut as-samawat (ing dalem kraton pira- pira langit) bi syahadati ‘Isa ‘alaihi assalam (kalawan disekseni Nabi ‘Isa ‘alaihi salam). 

Terjemahan:
Sebab bagi siapapun yang mengetahui ilmu tersebut dan mengamalkannya, mengajarkannya dan mendakwahkannya kepada orang lain, maka ia disebut orang yang mulia di kerajaan langit dengan disaksikan oleh Nabi ‘’Isa alaihi salam.

Kitab yang dimaksud oleh al- Ghazali di atas adalah Ihya’ Ulumuddin (Kebangkitan ilmu- ilmu Agama), yang memuat berbagai- bagai bidang dan sudah diterbitkan ribuan kali. Lebih-lebih , di kalangan kamu Suni peranan al-Ghazali sangat dominan, sehingga kitab- kitabnya menjadi acuan hampir di seluruh pesantren di
Indonesia. Ungkapan yang disebut dalam kitab Bidayat al- Hidayah yang kita kutip di atas, ternyata termaktub juga dalam Kitab Ilya’ Ulumuddin yang diredaksikan sebagai sabda Kanjeng Nabi ‘Isa sendiri:

Wa qala ‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam (Lan dhawuhe sapa ‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam). 23 Man( utawi sapa wonga) ‘alima wa ‘amala (lamun iku pinter lan nglakoni ilmu) wa ‘amala (lan mulangna) faa dzalika yud’u ‘adziman (mangka iku bakal disebut wong kang mulya) fii al-malakut as-samawat (ing alam malakut ana ing langit).

Terjemahan:
Bersabda ‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam: “Barangsiapa yang menguasai ilmu dan melaksanakannya, lalu mengajarkan kepada orang lain ilmu itu, maka orang itu akan disebut sebagai seorang yang mulia di alam malakut yang ada di langit.

Dikutip dari buku “Menyongsong Ratu Adil” Andi Offset th.2003
Published with Blogger-droid v2.0.3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar