Sabtu, Januari 14, 2012

Wali Songo dan Siti Jenar

Dalam sejarah masuknya
Islam ke Nusantara, Wali
Songo adalah perintis
dakwah Islam di
Indonesia, khususnya di
Jawa, yang dipelopori
Syeikh Maulana Malik
Ibrahim (Syis, 1984;
Sunyoto, 1991; Drewes,
2002). Wali Songo adalah
pelopor dan pemimpin
dakwah Islam yang
berhasil merekrut murid-
murid untuk menjalankan
dakwah Islam ke seluruh
Nusantara sejak abad
ke-15.
Wali Songo terdiri dari sembilan wali; Maulana Malik Ibrahim ,
Sunan Ampel , Sunan Bonang, Sunan Giri , Sunan Kudus,
Sunan Drajat , Sunan Muria , Sunan Gunung Jati , dan Sunan
Kali Jaga .
Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau
waliya yang berarti qaraba yaitu dekat, yang berperan
melanjutkan misi kenabian (Nasution, 1992; Saksono, 1995.
Dalam Al-Qur’ an istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat,
teman atau pelindung. Al-Qur’ an menjelaskan: “ Allah
pelindung (waliyu) orang-orang yang beriman; Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada
cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelidung-pelindung
(auliya) mereka ialah syetan, yang mengeluarkan mereka
dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu
adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya. ” (QS . Al-
Baqarah: 257)
Selanjutnya, kata songo menunjukkan angka hitungan Jawa
yang berarti sembilan, angka bilangan magis Jawa yang diambil
dari kata ja yang memiliki nilai dan wa yang bernilai enam
(simuh, 1986). Namun demikian, ada juga yang berpendapat
bahwa kata songo berasal dari kata sana yang diambil dari dari
bahasa Arab, tsana (mulia) sepadan dengan mahmud (terpuji),
sehingga pengucapan yang benar adalah Wali Sana, yang berarti
wali-wali terpuji (Adnan, 1952). Pendapat ini didukung oleh
sebuah kitab yang meriwayatkan kehidupan dan hal ihwal para
wali di Jawa yang dikarang oleh Sunan Giri II (Imron arifin,
2002).
Strata sosial kultural masyarakat Jawa sebelum kehadiran Wali
Songo sangat dipengaruhi oleh kehidupan animispanteistik yang
dikendalikan oleh para pendeta, guru ajar, biksu, wiku, resi, dan
empu. Mereka dianggap mempunyai kemampuan mistis dan
kharismatik (Thrupp, 1984). Kedudukan vital mereka diambil
alih para wali dengan tetap berfokus pada kehidupan mistis
religius (Stuuerheim, 1977). Era Wali Songo adalah era
berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.
Peranan Mereka dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta
dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih
banyak disebut di bandingkan yang lain.
Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M) adalah tohoh pertama yang
memperkenalkan Islam di Jawa. Maulana Malik Ibrahim atau
Makdum Ibrahim As-Samarkandy lahir di Samarkand, Asia
tengah. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya
Asmarakandi, mengikuti ucapan lidah jawa terhadap As-
Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut Syekh Magribi.
Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia
bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudera
Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia,
bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand.
maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari
Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang
Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah
menikahi puteri raja, yang memberinya dua putera. Mereka
adalah raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid
Ali Murtadha alias Raden Santri.
Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun
1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa dan
meninggalkan keluarganya.
Sunan Ampel
Sunan Ampel (Raden Rahmat) adalah putera tertua Maulana
Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan silsilah Sunan
Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat.
Ia lahir di Campa pada tahun 1401 M dan diperkirakan wafat
pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel, Surabaya.
Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana
ia lama ia bermukim, yakni daerah Ampel atau Ampel Denta,
Wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya.
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke
Pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadha,
sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu
di Palembang.
Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh di
daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya,
seorang puteri dari Campa, bernama Dwarawati, yang
dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu
bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan puteri seorang adipati di Tuban.
Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan
puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan
Bonang dan Sunan Drajat.
Ketika Kesultanan demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus)
hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya
kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menujuk
muridnya Raden Patah, putera dari Prabu Brawijaya V Raja
Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa , daerah yang dihadiahkan
Raja Majapahit, ia membangun dan mengembangkan pondok
pesantren.
Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada
pertengahan Abad ke-15, peswantren tersebut menjadi sentra
pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara,
bahkan mancanegara.
Diantara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah.
Para santri tersebut kemudian diperintahkan untuk berdakwah
ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fiqih mahzab Hanafi. Namun, pada
para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana
yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah.
Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (Moh main, moh
ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan
untuk “tidak berjudi, tidak minum-minuman keras, tidak
mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Bonang
Sunan Bonang alias Maulana Makhdum Ibrahim adalah putera
Sunan Ampel (1465 – 1525 M), berarti cucu Maulana Malik
Ibrahim yang mendirikan pesantren di tempat tinggalnya. Dia
juga adalah salah seorang pendiri Kerajaan Demak. Nama
kecilnya adalah Raden Makhdum Ibrahim. Lahir diperkirakan
dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri
seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel
Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di
berbagai pelosok Pulau jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri,
yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia
mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang (desa kecil) di Lasem, Jawa
Tengah sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia
membangun tempat persujudan/zawiyah sekaligus Pesantren
yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal
pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan
bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan
kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat
sulit. Ia acapkali berkunjung ke daerah-daerah terpencil di
Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean.
Di pulau inilah, pada tahun 1525 M ia meninggal. Jenazahnya
dimakamkan di Tuban, diseelah barat Masjid Agung, setelah
sempat dperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Sunan Bonang memiliki buku yang lebih merupakan wejangan
mengenai hukum dan agama islam, yang sering disebut sebagai
“Buku Sunan Bonang,” dperkirakan berasal dari masa yang lebih
awal daripada akhir abad ke-16 . Buku Sunan Bonang adalah
sebuah Primbon karena merupakan kumpulan dari penjelasan
tentang berbagai masalah yang berbeda-beda (Drewes, 2002).
Ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya
tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia mengusai ilmu fiqih,
ususludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga
mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari
sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat “cinta” (‘isyq).
Sangat mirip dengan kecendrungan Jalal Al-din Al-Rumi.
Menurut Bonang cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif
(makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al-yaqqin.
Ajaran tersebut disampaikan secara populer melalui media
kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang
bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk,
atau tembang tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” tampak
dipengaruhi kitab Al-Shidiq karya Abu Sa’id Al-Khayr (wafat pada
899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau
atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh
ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga mengubah gamelan Jawa yang saat itu
kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuasa baru.
Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperi sekarang,
dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika
itu memiliki nuansa dzikir yang transsedental (alam malakut).
Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang
piawai membius penontonya. Kegemarannya adalah mengubah
lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah
perseteruan pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai
peperangan antar nafi (peniadaan) dan ‘ishah (peneguhan).
Sunan Giri
Sunan Giri bergelar Sultan ‘Abd Al-Faqih karena pengetahuannya
yang luas dalam ilmu fiqih. Orang-orang pun menyebutnya
sebaggai Sultan ‘Abd Al-Faqih. Nama aslinya Muhammad ‘Ain Al-
Yaqin dan termasuk keturunan Imam Al-Muhajir.
Dia sempat belajar kepada Sunan Ampel. Ia memiliki nama kecil
Raden Paku, alias Muhammad ‘Ain Al-Yaqin. Sunan Giri lahir di
Blambangan (kini Banyuwangi) pada tahun 1442 M.
Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang
dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh
keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi
Sekardadu ke laut.
Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad
Tanah Jawiversi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak saudara sekandung Maulana
Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil mengislamkan isterinya,
tapi gagal mengislamkan mertuanya. Oleh karena itulah ia
meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra
Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu dipesantren misannya, Sunan
Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat
berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia
membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti,
Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa bukit adalah “giri”. Maka ia
dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tidak hanya digunakan sebagai tempat pendidikan
dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan
masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri
mencetuskan pemberontakan-memberi keleluasaan padanya
untuk mengatur pemerintahan.
Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat
kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin
pemerintahan Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa,
waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit,
Sunan Giri malah bertindak sebagai penasehat dan panglima
militer kesultanan demak. Hal tersebut tercacat dalam Babad
Demak.
Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia
diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-
Tanah Jawa.
Para Santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam
yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura,
Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke
Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah
murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Ia juga pencipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak
seperti Jelungan, Jamuran, Lir-ilir dan Cublak suweng disebut
sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana
dan Pucung yang bernuasa Jawa namun syarat ajaran Islam.
Sumber CyberMQ.com
Published with Blogger-droid v2.0.3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar