Senin, Januari 23, 2012

MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH DASAR DALAM BISNIS

MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH DASAR DALAM BISNIS

Oleh : Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc

Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap aspek kehidupan

manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Islam juga memiliki banyak prinsip dasar yang

memberikan frame khusus pada bab muamalah. Oleh karenanya, sudah sepatutnya bagi

setiap pengusaha muslim untuk mempelajari dan memahami kaidah-kaidah dan prinsip-

prinsip Islam dalam jual beli (bisnis) agar ia dapat membedakan antara praktik bisnis

yang halal dan yang haram, yang hak dan yang batil, dan ia juga bisa menyelamatkan

dirinya dan hartanya dari hal-hal terlarang seperti riba, dusta, penipuan, dan selainnya.

Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab radhiyallahu anhu, bahwa ia

mengeluarkan setiap pedagang yang tidak paham tentang jual beli (yang syar’i) dari

pasar, seraya berkata, “Tidak diperkenankan berdagang di pasar-pasar kaum muslimin

bagi siapa saja yang tidak memahami seluk beluk riba.”

Diriwayatkan juga dari Imam Malik bahwa beliau memerintahkan para penguasa untuk

mengumpulkan seluruh pedagang dan orang-orang pasar, lalu beliau menguji mereka

satu-persatu , saat beliau dapati diantara mereka ada yang tidak mengerti hukum halal-

haram dalam jual-beli beliau melarangnya masuk ke pasar seraya menyuruhnya

mempelajari fiqih muamalah (bisnis), bila telah paham, orang tersebut dibolehkan

masuk pasar. (lihat Al maaliyah wal Mashrafiyyah , DR. Nazih Hamad, hal.359) .

Di antara kaidah-kaidah dasar dalam muamalah yang terpenting adalah sebagai berikut:

1. Hukum Asal dalam Bab Muamalah adalah Mubah

Mayoritas ulama fikih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah

mubah (diperbolehkan), kecuali terdapat dalil shahih dan jelas yang melarangnya. (lihat

Al-Qowa’ id Al-Fiqhiyyah Al-Kubra , Dr. Shalih As-Sadlan)

Prinsip ini berbeda dengan prinsip ibadah. hukum asal dalam ibadah adalah dilarang

hingga ada dalil shahih yang membolehkannya atau mensyariatkannya. Hal ini

dimaksudkan agar manusia tidak berlomba-lomba membuat sesuatu yang baru dalam

agama Allah yang tidak diajarkan.

Di antara dalil bagi prinsip dasar ini ialah firman Allah:

ْﻞُﻗ ْﻢُﺘْﻳَﺃَﺭَﺃ َﻝﺰﻧَﺃ ﺎَﻣ ُﻪَّﻠﻟﺍ ْﻢُﻜَﻟ ْﻦِﻣ ٍﻕْﺯِﺭ ُﻪْﻨِﻣ ْﻢُﺘْﻠَﻌَﺠَﻓ ْﻞُﻗ ﻻﻼَﺣَﻭ ﺎًﻣﺍَﺮَﺣ ُﻪَّﻠﻟﺁ َﻥِﺫَﺃ ْﻢُﻜَﻟ ﻰَﻠَﻋ ْﻡَﺃ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻥﻭُﺮَﺘْﻔَﺗ

“Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu

kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah

telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja

terhadap Allah?” (QS.Yunus: 59).

Dan firman Allah:

ﺎَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺎَﻬُّﻳَﺃ ﺍﻮُﻓْﻭَﺃ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ِﺩﻮُﻘُﻌْﻟﺎِﺑ

“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. ” (QS. Al-Ma- idah: 1)

Dan firman-Nya pula:

ﺍﻮُﻓْﻭَﺃَﻭ َّﻥِﺇ ِﺪْﻬَﻌْﻟﺎِﺑ َﻥﺎَﻛ َﺪْﻬَﻌْﻟﺍ ﻻﻮُﺌْﺴَﻣ

“ Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan

jawabnya .” ( QS. Al-isra’: 34)

Aqad (perjanjian) di sini sifatnya mutlak, mencakup janji hamba kepada Allah dan

perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.

Dalil lainnya ialah firman Allah:

َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺎَﻬُّﻳَﺃ ﺎَﻳ ﻻ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ْﻢُﻜَﻟﺍَﻮْﻣَﺃ ﺍﻮُﻠُﻛْﺄَﺗ ْﻢُﻜَﻨْﻴَﺑ ﻻِﺇ ِﻞِﻃﺎَﺒْﻟﺎِﺑ َﻥﻮُﻜَﺗ ْﻥَﺃ ٍﺽﺍَﺮَﺗ ْﻦَﻋ ًﺓَﺭﺎَﺠِﺗ ْﻢُﻜْﻨِﻣ

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu

dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka

sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

Dan firman-Nya pula:

ْﺪَﻗَﻭ َﻞَّﺼَﻓ ْﻢُﻜَﻟ ﺎَﻣ َﻡَّﺮَﺣ ﻻِﺇ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ ْﻢُﺗْﺭِﺮُﻄْﺿﺍ ﺎَﻣ ِﻪْﻴَﻟِﺇ

“ Dan Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya

atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” ( QS. Al-An’am: 119 )

Ayat-ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa apa saja yang tidak diharamkan oleh Allah

maka hukumnya halal atau mubah. Dan juga mengindikasikan bahwa Allah memberikan

kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu

mengakomodir transaksi modern yang berkembang.

2. Hukum asal segala sesuatu adalah bebas tanggungan

Asal status hukum kepemilikan seseorang adalah terbebas dari segala tuntutan. Tidak

ada seorang pun yang dituntut oleh orang lain tentang sesuatu yang dimilikinya, kecuali

jika ada bukti kuat yang menafikannya. Jika hanya sekadar pengakuan atau tuduhan,

maka dianggap tanpa ada landasan dan alasan yang kuat.

Barangsiapa mengaku punya piutang terhadap orang lain tetapi tidak memiliki bukti

yang kuat dan meyakinkan, maka orang yang didakwa berhutang padanya bebas dari

dakwaan tersebut bila ia mengingkarinya. Sebab orang yang mendakwa ingin agar uang

yang dihutang bisa disandarkan jadi hak miliknya. Padahal hukum asal kepemilikan

sesuatu itu bebas dan orang yang mengaku-ngaku tersebut bertentangan dengan

hukum asal. Dan barangsiapa bertentangan dengan hukum asal, maka hendaknya dia

menunjukkan suatu bukti yang kuat dan meyakinkan.

Dari prinsip ini, maka lahirlah prinsip lain yaitu ‘ bukti diharuskan ada bagi pihak yang

mendakwa (mengaku) dan sumpah itu diambil dari orang yang mengingkarinya’.

Prinsip ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ,

ْﻮَﻟ ﻰَﻄْﻌُﻳ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ ﻰَﻋَّﺩَﻻ ْﻢُﻫﺍَﻮْﻋَﺪِﺑ ٌﻝﺎَﺟِﺭ َﻝﺍَﻮْﻣَﺃ ٍﻡْﻮَﻗ َّﻦِﻜَﻟَﻭ ْﻢُﻫَﺀﺎَﻣِﺩَﻭ َﺔَﻨِّﻴَﺒْﻟﺍ ﻰِﻋَّﺪُﻤْﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ َﻦْﻴِﻤَﻴْﻟﺍَﻭ

ْﻦَﻣ ﻰَﻠَﻋ َﺮَﻜْﻧَﺃ

“ Jika semua orang diberikan (apa yang mereka dakwakan) hanya dengan dakwaan

mereka, maka akan banyak orang yang mendakwakan harta dan jiwa orang lain. Tapi

yang mendakwa harus mendatangkan bukti dan terdakwa yang mengingkari harus

bersumpah.” ( Hadits hasan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan selainnya, dan

sebahagiannya di Shahihain)

Ibnu Daqiq Al-‘Ied berkata: “Dan hadits ini adalah salah satu pokok hukum dan referensi

utama dalam pertentangan dan perselisihan. Konsekuensinya seseorang tidak boleh

divonis hanya dengan dakwaannya.” ( Syarah Arba’in , Ibnu Daqiq , hlm.117)

3. Prinsip tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain

Islam melarang umatnya untuk melakukan sesuatu yang mendatangkan bahaya pada

orang lain dan mengakibatkan kerusakan di atas muka bumi. Rasulullah shallallahu alaihi

wasallam bersabda:

َﻻ َﺭَﺮَﺿ َﻻَﻭ َﺭﺍَﺮِﺿ

“ Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain. ” (HR. Ibnu

Majah no. 2430 dan Ahmad no.2867)

Sebagai penerapan dari prinsip ini, maka setiap pengusaha muslim dituntut untuk

memiliki kemampuan dalam menyeimbangkan antara kemaslahatan untuk dirinya dan

untuk masyarakatnya, ketika dia memanfaatkan hartanya dalam investasi.

Wajib bagi pengusaha muslim untuk menelaah keadaan masyarakat dengan jeli, yang

kemudian mendorongnya untuk melakukan kewajiban-kewajibannya sehingga bisa

mendatangkan manfaat untuk mereka. Dia tidak membatasi diri untuk melakukan

kebaikan, jika terdapat kemanfaatan untuk manusia pada umumnya.

4. Segala sesuatu yang mengantarkan pada keharaman, maka hukumnya haram

Di antara hikmah Allah yang agung adalah ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka

Allah menjaganya dengan sebuah penjagaan yang sangat ketat, yaitu dengan menutup

semua pintu yang mengantarkan seseorang ke sana. Oleh karena itu segala sarana yang

mengarahkan manusia ke jalan yang haram, maka diharamkan juga. Hal ini ditetapkan

untuk menutup kemungkinan-kemungkinan lainnya. Dosa yang terdapat pada perbuatan

haram, tidak hanya diberikan pada pelakunya saja, namun juga kepada semua pihak

yang membantu terlaksananya perbuatan tersebut.

Dalam masalah riba, Rasulullah melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, orang

yang memberinya, penulisnya, dan saksinya. Begitu juga dengan diharankannya khamr.

Rasulullah melaknat peminumnya, pembuatnya, penyajinya, alat yang digunakan untuk

menyajikannya, yang memakan hasil keuntungannya, dan semua pihak yang membantu

terlaksananya perbuatan haram tersebut. (Hadits yang melaknat riba dan khamr serta

siapa saja yang bersangkutan dengan keduanya dapat dibaca pada majalah Pengusaha

Muslim edisi 02 Volume 1 di rubrik Kajian Kita hal. 41)

5. Beralasan untuk melaksanakan yang haram, tidak mengubah status

keharamannya.

Islam telah menutup rapat upaya-upaya untuk mencari celah dan alasan agar seseorang

dapat malakukan perbuatan haram tersebut, misalnya dengan menggunakan sarana

yang samar dan mambuat-buat alasan. Bisa juga dalam bentuk menyebut sesuatu yang

aslinya diharamkan dengan nama lain, atau menampilkannya dengan cover yang

berbeda tanpa mengubah intinya. Tindakan tersebut tidak menjadikan status

keharamannya berubah menjadi halal.

Mencari-cari alasan atas sesuatu yang telah diharamkan merupakan sifat dan karakter

kaum Yahudi. Rasulullah menceritakan tentang suatu masa, di mana akan banyak

manusia yang menghalalkan riba dengan nama jual beli. Padahal riba tetaplah riba

sekalipun ia dinamakan dengan bunga, keuntungan, kelebihan, atau penjualan. Dalam

masalah ini Ibnul Qayyim berkata, “Kerusakan yang sangat besar yang dikandung dalam

riba, tidak cukup hanya dengan mengubah nama aslinya dari riba menjadi transaksi

lainnya. Begitu juga tidak berarti hanya dengan mengubah bentuknya menjadi bentuk

lainnya.” (Lihat Ighatsatu Al-Lahfan Min Mashayidi Asy-Syaithan , pada pasal

golongan yang menghalalkan riba).

6. Niat baik tidak melegalkan diperbolehkannya melakukan yang haram.

Haram tetap menjadi haram, sebaik apapun niat pelakunya. Karena dalam Islam, tujuan

tidak bisa menghalalkan seseorang untuk menggunakan segala macam cara untuk

meraihnya.

Oleh karenanya, seorang pengusaha muslim tidak boleh mengumpulkan harta dari

sesuatu yang haram, seperti dari riba atau hal lain yang diharamkan syari’at Islam,

kemudian ia gunakan untuk menafkahi dirinya, keluarganya, untuk membangun masjid

atau pesantren, atau untuk melakukan ibadah haji dan umrah. Karena amal tersebut

ditolak oleh Allah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu

anhu , bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

« َﻪَّﻠﻟﺍ َّﻥِﺇ َﻻ ٌﺐِّﻴَﻃ ُﻞَﺒْﻘَﻳ َّﻻِﺇ ﺎًﺒِّﻴَﻃ َﻪَّﻠﻟﺍ َّﻥِﺇَﻭ ﺎَﻤِﺑ َﻦﻴِﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ َﺮَﻣَﺃ َﺮَﻣَﺃ َﻦﻴِﻠَﺳْﺮُﻤْﻟﺍ ِﻪِﺑ َﻝﺎَﻘَﻓ ) ﺎَﻬُّﻳَﺃ ﺎَﻳ ﺍﻮُﻠُﻛ ُﻞُﺳُّﺮﻟﺍ

ِﺕﺎَﺒِّﻴَّﻄﻟﺍ َﻦِﻣ ﺍﻮُﻠَﻤْﻋﺍَﻭ ﺎًﺤِﻟﺎَﺻ ﻰِّﻧِﺇ ﺎَﻤِﺑ َﻥﻮُﻠَﻤْﻌَﺗ ٌﻢﻴِﻠَﻋ ( َﻝﺎَﻗَﻭ ) ﺎَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺎَﻬُّﻳَﺃ ْﻦِﻣ ﺍﻮُﻠُﻛ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ِﺕﺎَﺒِّﻴَﻃ ﺎَﻣ

ْﻢُﻛﺎَﻨْﻗَﺯَﺭ ( .« َّﻢُﺛ َﺮَﻛَﺫ َﻞُﺟَّﺮﻟﺍ ُﻞﻴِﻄُﻳ َﺮَﺒْﻏَﺃ َﺚَﻌْﺷَﺃ َﺮَﻔَّﺴﻟﺍ ِﻪْﻳَﺪَﻳ ُّﺪُﻤَﻳ ﻰَﻟِﺇ ِﺀﺎَﻤَّﺴﻟﺍ ِّﺏَﺭ ﺎَﻳ ﺎَﻳ ُﻪُﻤَﻌْﻄَﻣَﻭ ِّﺏَﺭ ٌﻡﺍَﺮَﺣ

ُﻪُﺑَﺮْﺸَﻣَﻭ ٌﻡﺍَﺮَﺣ ُﻪُﺴَﺒْﻠَﻣَﻭ ٌﻡﺍَﺮَﺣ ِﻡﺍَﺮَﺤْﻟﺎِﺑ َﻯِﺬُﻏَﻭ ﻰَّﻧَﺄَﻓ ُﺏﺎَﺠَﺘْﺴُﻳ َﻚِﻟَﺬِﻟ »

“ Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan

sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana perintah-Nya

kepada para Rasul . Allah berfirman: “ Hai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-

baik, dan kerjakanlah amal shalih .” ( QS. Al-Mu’minun : 51) dan Allah berfirman: “ Hai

orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan

kepadamu. ” ( QS. Al-Baqarah : 172 )

Kemudian beliau menyebutkan seorang yang bepergian jauh, dengan rambut kusut lagi

berdebu mengulurkan kedua tangannya ke langit (seraya berdoa, pen): Ya Tuhan, ya

Tuhan, sementara makanannya haram, minumannya haram, bajunya haram, dan diberi

makan dengan makanan yang haram, bagaimana mungkin dikabulkan

permintaannya? ” (HR. Muslim no. 2393)

Dan Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi

wasallam bersabda:

ْﻦَﻣ َﻊَﻤَﺟ ﺎًﻣﺍَﺮَﺣ ًﻻﺎَﻣ َﻕَّﺪَﺼَﺗ َّﻢُﺛ ِﻪِﺑ ْﻢَﻟ ُﻪَﻟ ْﻦُﻜَﻳ ِﻪْﻴِﻓ ٌﺮْﺟَﺃ َﻥﺎَﻛَﻭ ُﻩُﺮْﺻِﺇ ِﻪْﻴَﻠَﻋ

“ Barangsiapa yang mengumpulkan harta yang haram, kemudian dia menyedekahkannya,

maka dia tidak akan mendapatkan pahala, dan dosanya akan dibebankan padanya. ” (HR.

Ibnu Hibban no. 3216. Syu’aib Arna’uth berkata, “ sanadnya hasan”).

7. Hal-hal yang mendesak (dharurat ) membolehkan seseorang untuk melakukan

sesuatu yang haram

Kaidah ini berlandaskan pada firman Allah:

ِﻦَﻤَﻓ َﺮْﻴَﻏ َّﺮُﻄْﺿﺍ ٍﻍﺎَﺑ ﻻَﻭ ٍﺩﺎَﻋ َﻢْﺛِﺇ ﻼَﻓ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻪَّﻠﻟﺍ َّﻥِﺇ ٌﺭﻮُﻔَﻏ ٌﻢﻴِﺣَﺭ

“ Akan tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak

menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang .” (QS. Al-Baqarah : 173 )

Prinsip ‘ kecuali dalam keadaan terpaksa ’ ini diikat dengan suatu batasan ‘ tidak boleh

melampaui batas ’ dalam menggunakan sesuatu yang haram, juga tidak keluar dari

batasan darurat.

Dari prinsip ini, ulama fiqih mengambil sebuah kaidah lain yang berbunyi, “ Apa yang

diperbolehkan dalam kondisi darurat, diukur sesuai dengan ukurannya .”

Keadaan darurat bukanlah seperti pakaian yang elastis sehingga bisa ditafsirkan oleh

siapa saja sesuai hawa nafsunya, tanpa ada batasan. Jangan karena atas nama darurat

menjadikan seseorang melakukan sesuatu yang haram, terutama riba.

Sesungguhnya darurat itu adalah suatu keadaan yang bisa memaksa seseorang pada

kehancuran. Seorang muslim sekalipun dalam keadaan darurat, tidak sepantasnya

menyerah pada keadaan, kemudian tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan nafsunya.

Hendaknya ia tetap berpegang teguh pada hukum awal bahwa manusia memilih yang

halal, sehingga dia tidak terbiasa melakukan yang haram atau mempermudah hal yang

darurat.

8. Segala bentuk pinjaman yang mengakibatkan keuntungan yang disyaratkan,

maka dianggap riba

Objek masalah ini secara langsung adalah riba an-nasi ’ah . Suatu pinjaman yang di

dalamnya ada tambahan yang telah diketahui sebelumnya adalah riba terang-terangan.

Tidak boleh ada keuntungan yang disembunyikan dari modal dasar kontan dan jumlah

nominal tertentu. Keuntungan menjadi dibolehkan, jika ia didapat bersamaan dengan

perputaran proses produksi dan segala hal yang terkait dengannya. Kemudian

keuntungan tersebut akan dibagi berdasarkan pertimbangan unsur-unsur yang

digerakkan bersama dalam aktifitas produksi.

Seseorang akan mendapatkan modal kontannya sebesar modalnya dalam

pengembangan usaha. Keuntungan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk

persentase. Adapun kerugian akan dibagi berdasarkan titik-titik yang bersinggungan

dalam upaya pembiayaan proses produksi. Dengan demikian, uang nominal yang

diserahkan kontan pada dasarnya tidak diperbolehkan sebagai upah atau ganti atas

hutang.

9. Umat Islam tergantung pada syarat mereka

Kaidah ini menjelaskan bahwa orang-orang yang mengadakan akad transaksi hendaknya

berkomitmen dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati bersama, selama syarat-

syarat tersebut bukan pada masalah yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan

yang haram.

Hukum asal dalam menetapkan syarat-syarat dalam jual beli adalah mubah. Pendapat

ini berdasarkan hadits Rasulullah: “ Semua orang Islam berkomitmen dengan syarat yang

mereka tetapkan bersama, yang tentunya syarat tersebut berbanding lurus dengan

kebenaran .”

Beliau juga bersabda:

ُﻝﺎَﺑ ﺎَﻣ ٍﻡﺍَﻮْﻗَﺃ َﻥﻮُﻃِﺮَﺘْﺸَﻳ ﻰِﻓ ْﺖَﺴْﻴَﻟ ﺎًﻃﻭُﺮُﺷ ِﺏﺎَﺘِﻛ ِﻪَّﻠﻟﺍ ، َﻁَﺮَﺘْﺷﺍ ِﻦَﻣ ﺎًﻃْﺮَﺷ ﻰِﻓ َﺲْﻴَﻟ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺏﺎَﺘِﻛ َﺲْﻴَﻠَﻓ

ُﻪَﻟ ، ِﻥِﺇَﻭ َﻁَﺮَﺘْﺷﺍ َﺔَﺋﺎِﻣ ٍﺓَّﺮَﻣ

“ Mengapa banyak dari kaum muslimin yang menetapkan syarat-syarat yang tidak

didapatkan dalam Al-Qur’an . Barangsiapa yang menetapkan syarat yang tidak ada dalam

Al-Qur’ an, maka dia tidak mempunyai hak sekalipun walaupun membuat seratus

syarat. ” (HR. Bukhari II/972 no.2579, dan Muslim II/1141 no.1504 )

Pada dasarnya, Rasulullah tidaklah mengingkari kemungkinan adanya syarat yang dibuat

oleh mereka yang melakukan transaksi. Yang beliau ingkari adalah syarat-syarat yang

ditentukan tersebut bertentangan dengan Al-Qur’ an. Hal ini menunjukkan bahwa hukum

asal dari pengajuan syarat ini adalah mubah, kecuali jika syarat-syarat tersebut

bertentangan dengan Al-Qur’ an (dan As-Sunnah, pen).

10. Segala sesuatu yang diperbolehkan untuk menjualnya, maka boleh juga untuk

menyedekahkannya dan menggadaikannya

Maksudnya bahwa menurut syari’at segala sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual,

maka diperbolehkan juga untuk dihibahkan, disedekahkan, dan dijadikan jaminan.

Demikian tulisan sederhana tentang beberapa kaidah dasar dan prinsip Islam dalam

menjalankan usaha atau bisnis. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam

bish-showab.

[ Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM, Edisi 3 Volume 1 tanggal 15 Maret 2010 ]


Published with Blogger-droid v2.0.3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar