Senin, Januari 30, 2012

Menjemput maut

Kesedihan Ketika Berjumpa Malaikat Maut

Asy`ats bin Aslam berkata, “Suatu ketika Ibrahim a.s mengajukan beberapa pertanyaan kepada

malaikat maut yang namanya adalah `Izrail . ‘Wahai malaikat maut, apa yang engkau lakukan jika

ada seorang manusia (yang sedang sekarat) di timur dan seorang lagi di barat, atau ketika negeri

sedang dilanda wabah, atau ketika dua pasukan tentara sedang bertempur?’ . Malaikat maut

menjawab, ‘Kupanggil ruh-ruh itu dengan izin Allah hingga mereka berada di antara kedua jariku

ini.’ Dan Ibrahim a.s berkata, ‘Kemudian bumi diratakan dan kelihatan seperti sebuah hidangan

yang dia makan sebanyak yang diinginkannya.’ ” Asy`ats berkata, “Ketika itulah Allah SWT

memberinya kabar gembira bahwa beliau adalah Kekasih (khalil) (QS. 4:125 ) Allah SWT.”

Sulaiman putra Daud a.s bertanya kepada malaikat maut, “Mengapa aku tidak melihatmu

bertindak adil kepada umat manusia? Engkau mengambil nyawa seorang manusia tetapi

membiarkan yang lain.” “Aku tidak mengetahui hal itu lebih daripada yang kau ketahui,” jawabnya.

“Aku hanya diberi daftar dan buku-buku yang berisi nama-nama.”

Wahb bin Munabbih berkata, “Suatu ketika seorang raja berkeinginan pergi ke sebuah provinsi. Dia

minta dibawakan seperangkat pakaian, tapi tak ada di antara pakaian itu yang menyenangkan

hatinya. Setelah beberapa kali memilih, barulah dia menemukan pakaian yang disukainya. Dengan

cara yang sama, dia meminta dibawakan seekor kuda, tapi ketika dibawakan, dia menolak kuda itu.

Lalu kuda-kuda yang lain dibawakan kepadanya hingga akhirnya dia menaiki kuda yang paling baik

di antaranya. Kemudian setan mendatanginya dan meniupkan sifat takabur ke dalam lubang

hidung raja itu. Setelah itu, dia dan rombongannya memulai perjalanan dengan sikap penuh

kesombongan. Akan tetapi, kemudian dia didekati oleh seseorang bertampang kusut, kumal, yang

mengucapkan salam kepadanya. Ketika raja itu tidak menjawab salamnya, orang itu kemudian

merampas tali kekang kudanya. ‘Lepaskan tali kekangku!’ bentak sang raja. ‘Engkau telah

melakukan kesalahan besar!’ Namun, orang itu malah menukas, ‘Aku punya sebuah permintaan

kepadamu.’ ‘Tunggu sebentar,’ kata raja, ’sampai aku turun dari kudaku.’ ‘Tidak,’ jawab orang itu.

‘Sekarang juga!’ dan dia lalu menarik tali kekang kuda sang raja. ‘Baiklah , katakan apa

permintaanmu,’ kata raja. ‘Permintaanku itu rahasia,’ jawab orang itu. Raja pun menundukkan

kepalanya kepada orang itu, dan orang asing itu kemudian berbisik kepadanya, ‘Aku adalah

malaikat maut!’ Mendengar itu, raja berubah air mukanya. Lidahnya bergetar dan ia berkata, ‘Beri

aku waktu agar aku bisa kembali kepada keluargaku untuk mengucapkan selamat tinggal dan

membereskan urusan-urusanku.’ ‘Tidak, demi Allah,’ kata malaikat maut. ‘Engkau tidak akan

pernah melihat keluarga dan harta kekayaanmu lagi!’ Sambil berkata demikian, malaikat mencabut

nyawa raja itu yang tak lama kemudian tersungkur mati, bagaikan sebongkah kayu kering.”

“Kemudian Malaikat meneruskan perjalanannya. Dia berjumpa dengan seorang beriman yang

membalas salamnya ketika dia mengucapkan salam kepadanya. ‘ Aku punya permintaan yang ingin

kubisikkan ke telingamu,’ kata Malaikat. ‘Baiklah, akan kudengarkan,’ kata orang itu. Si malaikat

pun membisikkan rahasianya dan berkata, ‘Aku adalah malaikat maut!’ Orang beriman itu

menjawab, ‘Selamat datang, wahai siapa yang telah lama kunanti-nantikan. Demi Allah, tak ada

siapapun di muka bumi ini yang lebih kunanti daripada dirimu.’ Mendengar itu, malaikat maut

berkata kepadanya, ‘Selesaikanlah urusanmu yang telah menjadi maksud keberangkatanmu.’

Namun, orang itu menjawab, ‘Aku tidak mempunyai urusan lain yang lebih penting dan lebih

kucintai daripada bertemu dengan Allah SWT.’ Dan malaikat berkata kepadanya, ‘Kalau begitu,

pilihlah keadaanmu yang paling kau sukai untuk aku mengambil nyawamu.’ ‘Apakah engkau bisa

melakukannya?’ orang itu bertanya. Malaikat menjawab, ‘Ya, demikianlah aku diperintahkan.’

‘Kalau begitu, tunggulah aku sebentar, agar aku bisa berwudhu dan shalat, lalu ambillah nyawaku

selagi aku bersujud.’ Dan Malaikat pun melakukan hal yang diminta oleh orang beriman itu.”

Bakr bin `Abdullah Al-Mazani berkata, “Suatu ketika seorang laki-laki dari Bani Israil

mengumpulkan sejumlah besar kekayaan. Ketika dia telah dekat dengan ajalnya, dia berkata

kepada anak-anaknya, ‘Perlihatkanlah kepadaku berbagai macam kekayaanku!’ Lalu, dibawakanlah

kepadanya sejumlah besar kuda, unta, budak, dan harta benda yang lain. Ketika dia melihat semua

itu, dia pun mulai menangis karena tak kuasa berpisah dengannya. Melihat orang itu menangis,

malaikat maut pun bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau menangis? Sungguh, demi DIA yang

telah memberimu anugerah semua ini, aku tidak akan meninggalkan rumahmu sebelum

memisahkan nyawamu dari ragamu.’ ‘Berilah aku waktu sebentar,’ orang itu memohon

kepadanya, ‘agar aku bisa membagi-bagikan kekayaanku.’ ‘Alangkah bodohnya!’ kata malaikat

maut. ‘Waktumu telah berakhir. Seharusnya engkau telah mengerjakan hal itu sebelum habis

waktumu.’ Sambil berkata begitu, dicabutnyalah nyawa orang itu.”

Diceritakan bahwa suatu ketika seorang laki-laki telah mengumpulkan kekayaan yang besar hingga

tidak ada satu jenis kekayaan pun yang tidak berhasil diraihnya. Dia membangun sebuah istana

dengan dua pintu gerbang yang sangat kuat. Dia membayar sepasukan pengawal yang terdiri dari

orang-orang muda. Kemudian dia mengundang seluruh sanak keluarganya dan menjamu mereka

dengan makanan. Setelah itu dia duduk di atas sofa sambil mengangkat kaki, sementara sanak

keluarganya makan minum.

Setelah mereka selesai makan, dia berkata kepada dirinya sendiri, ‘Bersenang-senanglah selama

bertahun-tahun karena aku telah mengumpulkan semua yang engkau butuhkan.’ Akan tetapi, baru

saja dia mengucapkan perkataan itu, datanglah malaikat maut dalam wujud seorang laki-laki

berpakaian compang-camping seperti seorang pengemis. Laki-laki itu memukul pintu gerbang

dengan sangat keras dan mengejutkan orang kaya yang sedang berada di atas tempat tidurnya.

Orang-orang muda yang menjadi pengawalnya melompat dan bertanya, ‘Apa urusanmu di sini ?’

‘Panggilkan tuanmu,’ kata orang itu. ‘Haruskah tuan kami datang menemui orang semacam

engkau ini ?’ tanya mereka. ‘Ya,’ jawabnya. Dan ketika mereka menyampaikan kepada tuan mereka

hal yang terjadi, dia berkata, ‘Kalian telah berbuat semestinya.’ Akan tetapi, kemudian pintu

gerbang diketuk lagi dengan suara yang lebih keras daripada sebelumnya. Dan ketika para

pengawal melompat untuk berbicara kepada orang itu, dia berkata, ‘Katakan kepadanya bahwa

aku adalah malaikat maut.’

Ketika mendengar perkataan orang itu, mereka menjadi ngeri dan orang kaya itu juga merasa

sangat hina dan rendah. ‘Berbicaralah kepadanya dengan sopan,’ perintahnya kepada mereka.

‘Dan tanyakan kepadanya apakah dia akan mengambil nyawa seseorang di rumah ini.’ Namun

kemudian malaikat masuk dan berkata, ‘Berbuatlah sesuka hatimu karena aku tidak akan

meninggalkan rumah ini sebelum aku mencabut nyawamu.’ Lalu orang kaya itu memerintahkan

agar semua kekayaannya dibawa ke hadapannya. Setelah semuanya berada di depan matanya, dia

berkata (kepada harta bendanya), ‘Semoga Allah mengutukmu sebab engkau telah memalingkan

aku dari beribadah kepada Tuhanku dan menghalang-halangi aku dari pengabdian kepada-Nya. ’

Allah membuat harta bendanya berbicara, ‘Mengapa engkau menghinaku sedangkan karena

akulah engkau bisa diterima para sultan, padahal orang-orang yang bertakwa kepada Allah malah

diusir dari pintunya? Karena akulah engkau bisa mengawini wanita-wanita lacur, duduk bersama

raja-raja, dan membelanjakanku di jalan keburukan. Namun aku tak pernah membantah.

Seandainya saja engkau membelanjakan aku di jalan kebaikan, niscaya aku telah memberi manfaat

kepadamu. Engkau dan semua anak Adam diciptakan dari tanah, kemudian sebagaian dari mereka

memberikan sedekah, sedang yang lain berbuat keji.’ Malaikat maut pun segera mencabut nyawa

orang kaya itu, dan robohlah orang itu ke lantai.

Wahb bin Munabbih berkata, ‘Suatu ketika malaikat maut mencabut nyawa seorang penguasa tiran

yang tidak ada tandingannya di muka bumi. Kemudian malaikat itu naik kembali ke langit. Malaikat-

malaikat lain bertanya kepadanya, ‘Kepada siapa di antara orang-orang yang telah kau cabut

nyawanya, engkau telah menaruh belas kasihan?’ Malaikat itu menjawab, ‘Suatu ketika aku pernah

diperintahkan mencabut nyawa seorang perempuan di padang pasir. Ketika aku mendatanginya,

dia baru saja melahirkan seorang anak laki-laki. Aku pun menaruh belas kasihan kepada

perempuan itu karena keterpencilannya dan juga kasihan terhadap anak laki-laki perempuan itu,

karena betapa dia masih sangat kecil namun tak terawat di tengah buasnya padang pasir.’ Lalu

para malaikat itu berkata, ‘Penguasa lalim yang baru saja engkau cabut nyawanya itu adalah anak

kecil yang dulu pernah engkau kasihani.’ Malaikat maut kemudian berujar, ‘ Maha Suci DIA yang

memperlihatkan kebaikan kepada yang dikehendaki-Nya.’

`Atha bin Yasar berkata, “Pada setiap tengah malam bulan Sya’ban, malaikat maut menerima

lembaran tulisan dan dikatakan kepadanya, ‘Tahun ini engkau harus mencabut nyawa orang-orang

yang namanya tercantum dalam lembaran ini.’ Seorang laki-laki boleh jadi sedang menanam

tanam-tanaman, mengawini wanita-wanita, dan membangun gedung-gedung, sementara dia tak

menyadari bahwa namanya ada dalam daftar tersebut.”

Al-Hasan berkata, “Setiap hari malaikat maut memeriksa setiap rumah tiga kali dan mencabut

nyawa orang-orang yang rezekinya telah habis dan umurnya telah berakhir. Apabila dia telah

melakukan hal itu, maka seisi rumah yang bersangkutan akan meratap dan menangis. Sambil

memegang gagang pintu, malaikat maut berkata, ‘Demi Allah, aku tidak memakan rezekinya, tidak

menghabiskan umurnya, dan tidak memperpendek batas hidupnya. Aku akan selalu kembali dan

kembali lagi ke tengah-tengah kalian hingga tak ada lagi yang tersisa di antara kalian!’ “. Al-Hasan

berkata, “Demi Allah, seandainya mereka bisa melihatnya berdiri di situ dan mendengar kata-

katanya, niscaya mereka akan melupakan jenazah tersebut dan menangisi diri mereka sendiri.”

Yazid Al-Ruqasyi berkata, “Ketika seorang penguasa lalim dari Bani Israil sedang duduk seorang

diri di istananya tanpa ditemani oleh salah seorang istrinya, masuklah seorang laik-laki melalui

pintu istananya. Penguasa tiran itu marah dan berkata, ‘Siapa engkau? Siapa yang mengizinkanmu

masuk ke dalam rumahku?’ Orang itu menjawab, ‘Yang mengizinkan aku masuk ke dalam rumah

ini adalah pemilik rumah ini. Sedangkan aku adalah yang tak bisa dihalangi oleh seorang pengawal

pun dan tidak pernah meminta izin untuk masuk bahkan kepada raja-raja sekalipun, tidak pernah

takut kepada kekuatan raja-raja yang perkasa, dan tidak pernah diusir oleh penguasa tiran yang

keras kepala ataupun setan pembangkang.’

Mendengar itu, penguasa lalim tersebut menutup mukanya, dan dengan tubuh gemetar dia jatuh

tersungkur. Kemudian dia bangkit dengan wajah memelas. ‘Jadi engkau adalah malaikat maut ?’

tanyanya. ‘Ya,’ jawab laki-laki itu. ‘Sudikah engkau memberiku kesempatan agar aku bisa

memperbaiki kelakuanku ?’ Alangkah bodohnya engkau,’ jawab sang malaikat, ‘Waktumu telah

habis, napasmu dan masa hidupmu telah berakhir; tidak ada jalan lagi untuk memperoleh

penangguhan.’ Penguasa tiran itu lalu bertanya, ‘Kemana engkau akan membawaku?’ ‘Kepada

amal-amalmu yang telah engkau kerjakan sebelumnya. Dan juga ke tempat tinggal yang telah

engkau dirikan sebelumnya,’ jawab malaikat. ‘Bagaimana mungkin,’ kata sang tiran, ‘Aku belum

pernah mempersiapkan amal baik dan rumah baik yang bagaimanapun.’ Malaikat pun menjawab,

‘Kalau begitu, ke neraka, yang menggigit hingga ke pinggir-pinggir tulang.’ (QS. 70: 15-16).

“Kemudian Malaikat mencabut nyawa sang tiran, dan dia pun jatuh mati di tengah-tengah

keluarganya, di tengah-tengah mereka yang kemudian meratap-ratap dan menjerit.” Yazid Al-

Ruqasyi berkata, “Seandainya mereka mengetahui bagaimana buruknya neraka itu, tentu mereka

akan menangis lebih keras lagi.”

Al-A` masy meriwayatkan dari Khaitsamah, bahwa suatu ketika malaikat maut mendatangi

Sulaiman putra Daud a.s dan mulai mengamati salah seorang dari sahabat-sahabatnya. Ketika dia

telah pergi, sahabat itu bertanya, “Siapa itu tadi?” Dan dikatakan kepadanya bahwa itu adalah

malaikat maut. Berkatalah sahabat itu, “Kulihat dia memandangiku seolah-olah dia mengincarku.”

“Lalu, apa keinginanmu?” tanya Sulaiman. “Saya ingin agar Tuanku menyelamatkan saya darinya

dengan menyuruh angin membawa saya ke tempat yang paling jauh di India.” (Sulaiman memiliki

kemampuan mengatur arah angin, QS. 21:81). Angin pun kemudian melakukan apa yang

diperintahkan.

Ketika malaikat maut datang lagi, Sulaiman a.s bertanya kepadanya, “Kulihat engkau menatap

terus-menerus ke arah salah seorang sahabatku?” “Ya,” kata Malaikat, “Aku sangat heran sebab

aku telah diperintahkan untuk mencabut nyawanya di bagian paling jauh di India dengan segera.

Namun melalui engkau, dia malah sedang menuju ke tempat itu. Oleh karena itu, aku heran.” ***

Dikutip dari: Al-Ghazali. Metode Menjemput Maut perspektif Sufistik. Penerbit Mizan. 1999.)
.ُّﻞُﻛ ٍﺲْﻔَﻧ ُﺔَﻘِﺋﺁَﺫ ِﺕْﻮَﻤْﻟﺍ ﺎَﻤَّﻧِﺇَﻭ َﻥْﻮَّﻓَﻮُﺗ ْﻢُﻛَﺭﻮُﺟُﺃ َﻡْﻮَﻳ ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ ﻦَﻤَﻓ َﺡِﺰْﺣُﺯ ِﻦَﻋ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ

َﻞِﺧْﺩُﺃَﻭ َﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ْﺪَﻘَﻓ َﺯﺎَﻓ ﺎﻣَﻭ ُﺓﺎَﻴَﺤْﻟﺍ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ َّﻻِﺇ ُﻉﺎَﺘَﻣ ِﺭﻭُﺮُﻐْﻟﺍ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah

disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga,

maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang

memperdayakan. (3:185 )

Kedahsyatan Saat Menjelang Maut

Ketahuilah bahwa seandainya di hadapan manusia yang malang itu tidak ada teror, malapetaka

ataupun siksaan kecuali sakratul maut saja, maka itu sudah cukup untuk menyusahkan hidupnya,

menghalangi kegembiraannya, dan mengusir kealpaan maupun kelengahannya. Seharusnya dia

senantiasa memikirkan hal ini dan meningkatkan perhatian dalam mempersiapkan diri untuk

menghadapinya, apalagi karena setiap saat dia berada di dalam genggamannya.

Sebagaimana pernah dikatakan oleh seorang filsuf, “Malapetaka di tangan orang lain tak bisa

diramalkan”. Dan Luqman a.s pernah berkata kepada anaknya, “Wahai, anakku. Jika ada sesuatu

yang tak bisa kau pastikan bila dia datang, maka persiapkan dirimu untuk menghadapinya sebelum

dia mendatangimu sedangkan engkau dalam keadaan lengah.”

Yang mengherankan adalah bahwa seringkali seorang manusia, meskipun dia tengah menikmati

hiburan atau berada di tempat yang paling menyenangkan, akan merasakan cemas dengan

kemungkinan kedatangan seorang “tentara” yang akan menyerangnya. Karena rasa cemas itu,

kenyamanannya pun merasa terganggu dan napasnya terasa sesak. Akan tetapi, dia lalai akan

keadaannya yang setiap saat bisa didatangi oleh malaikat maut yang akan menimpakan ke atas

dirinya derita pencabutan nyawa. Tak ada lagi sebab bagi kelalaian seperti ini kecuali sikap “masa

bodoh” dan keteperdayaan.

Ketahuilah bahwa ke-luarbiasa- an rasa sakit dalam sakratul maut tak dapat diketahui dengan pasti

kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Sedangkan orang yang belum pernah merasakannya

hanya bisa mengetahuinya dengan cara menganalogikannya dengan rasa sakit yang benar-benar

pernah dialaminya, atau dengan cara mengamati orang lain yang sedang berada dalam keadaan

sakratul maut. Lewat jalan analogi, yang akan membuktikannya derita sakratul maut, akan

diketahui bahwa setiap anggota badan yang sudah tidak bernyawa tidak lagi bisa merasakan sakit.

Jika ada jiwa, maka serapan rasa sakit itu tentulah berasal dari aktivitas jiwa. Dan ketika ada

anggota tubuh yang terluka atau terbakar, maka pengaruhnya akan menjalar kepada jiwa. Dan

sesuai dengan kadar yang menjalar ke jiwa, maka sebesar itu pula rasa sakit yang dialami oleh

seseorang. Derita rasa sakit itu terpisah dari daging, darah, dan semua anggota tubuh yang lain.

Tak ada yang bisa mencederai jiwa kecuali penyakit-penyakit tertentu. Jika salah satu dari sekian

banyak penyakit langsung mengenai jiwa dan tidak berpencar ke bagian-bagian yang lain, maka

betapa pedih dan kerasnya rasa sakit itu.

Sakratul maut adalah ungkapan tentang rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar ke

seluruh bagian jiwa, sehingga tak ada lagi satupun bagian jiwa yang terbebas dari rasa sakit itu.

Rasa sakit tertusuk duri misalnya, menjalar pada bagian jiwa yang terletak pada anggota badan

yang tertusuk duri.

Sedangkan pengaruh luka bakar lebih luas karena bagian-bagian api menyebar ke bagian-bagian

tubuh lain sehingga tidak ada bagian dalam ataupun luar anggota tubuh yang tidak terbakar, dan

efek terbakar itu dirasakan oleh bagian-bagian jiwa yang mengalir pada semua bagian daging.

Adapun luka tersayat pisau hanya akan menimpa bagian tubuh yang terkena, dan karena itulah

rasa sakit yang diakibatkan oleh luka tersayat pisau lebih ringan daripada luka bakar.

Akan tetapi rasa sakit yang dirasakan selama sakratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke

seluruh anggota badan, sehingga pada orang yang sedang sekarat merasakan dirinya ditarik-tarik

dan dicerabut dari setiap urat nadi, urat saraf, persendian, dari setiap akar rambut, kulit kepala

sampai ke ujung jari kaki. Jadi, jangan anda tanyakan lagi tentang derita dan rasa sakit yang tengah

dialaminya.

Karena alasan inilah dikatakan bahwa : “Maut lebih menyakitkan daripada tusukan pedang, gergaji

atau sayatan gunting”. Karena rasa sakit yang diakibatkan oleh tusukan pedang terjadi melalui

asosiasi bagian tubuh yang tertusuk dengan ruh, maka betapa sangat sakitnya jika luka itu

langsung dirasakan oleh jiwa itu sendiri!.

Orang yang ditusuk bisa berteriak kesakitan karena masih adanya sisa tenaga dalam hati dan

lidahnya. Sedangkan suara dan jeritan orang yang sekarat, terputus karena rasa sakit yang amat

sangat dan rasa sakit itu telah memuncak sehingga tenaga menjadi hilang, semua anggota tubuh

melemah, dan sama sekali tak ada lagi daya untuk berteriak meminta pertolongan.

Rasa sakit itu telah melumpuhkan akalnya, membungkam lidahnya, dan melemahkan semua

raganya. Dia ingin sekali meratap, berteriak, dan menjerit meminta tolong, namun dia tak kuasa

lagi melakukan itu. Satu-satunya tenaga yang masih tersisa hanyalah suara lenguhan dan

gemeretak yang terdengar pada saat ruhnya dicabut.

Warna kulitnya pun berubah menjadi keabu-abuan menyerupai tanah liat, tanah yang menjadi

sumber asal-usulnya . Setiap pembuluh darah dicerabut bersamaan dengan menyebarnya rasa

pedih ke seluruh permukaan dan bagian dalamnya, sehingga bola matanya terbelalak ke atas

kelopaknya, bibirnya tertarik ke belakang, lidahnya mengerut, kedua buah zakar naik, dan ujung

jemari berubah warna menjadi hitam kehijauan.

Jadi, jangan lagi anda tanyakan bagaimana keadaan tubuh yang seluruh pembuluh darahnya

dicerabut, sebab satu saja pembuluh darah itu ditarik, rasa sakitnya sudah tak kepalang. Jadi,

bagaimanakah rasanya jika yang dicabut itu adalah ruh, tidak hanya dari satu pembuluh, tetapi

dari semuanya?…

Kemudian satu per satu anggota tubuhnya akan mati. Mula-mula telapak kakinya menjadi dingin,

kemudian betis dan pahanya. Setiap anggota badan merasakan sekarat demi sekarat, penderitaan

demi penderitaan, dan itu terus terjadi hingga ruhnya mencapai kerongkongannya. Pada titik ini

berhentilah perhatiannya kepada dunia dan manusia-manusia yang ada didalamnya. Pintu taubat

ditutup dan diapun diliputi oleh rasa sedih dan penyesalan.

Rasulullah SAW bersabda : “Taubat seorang manusia tetap diterima selama dia belum sampai

pada sakratul maut.” (Hakim, IV.257) .

Mujahid mengatakan [dalam menafsirkan] Firman Allah SWT, ‘Taubat bukanlah untuk mereka yang

berbuat jahat, dan kemudian manakala maut telah datang kepada salah seorang di antara mereka,

dia berkata : “Sekarang aku bertaubat.” (QS. 4:18), yakni ketika dia melihat datangnya utusan-

utusan maut (yakni para malaikat maut)’.

Pada saat ini, wajah malaikat maut muncul di hadapannya. Janganlah Anda bertanya tentang pahit

dan getirnya kematian ketika terjadi sakratul maut!. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda : “Ya

Allah Tuhanku, ringankanlah sakratul maut bagi Muhammad.” (Ibn Majah, Janaa’iz, 64).

Sesungguhnya sebab manusia tidak memohon perlindungan darinya dan tidak memandangnya

dengan penuh rasa gentar adalah karena kebodohan mereka. Ini dikarenakan banyak hal yang

belum pernah terjadi hanya bisa diketahui melalui cahaya kenabian dan kewalian. Itulah sebabnya

para nabi alaihimussalaam dan para wali senantiasa berada dalam keadaan takut kepada maut.

Bahkan Isa a.s bersabda, “Wahai, para sahabat. Berdoalah kepada Allah SWT agar DIA

meringankan sekarat ini bagiku. Sebab rasa takutku kepadanya setiap saat justru bisa menyeretku

ke tepi jurangnya.”

Diriwayatkan pada suatu ketika sekelompok Bani Israil berjalan melewati pekuburan, dan salah

seorang di antara mereka berkata kepada yang lain, “Bagaimana jika kalian berdoa kepada Allah

SWT agar DIA menghidupkan satu mayat dari pekuburan ini dan kalian bisa mengajukan beberapa

pertanyaan kepadanya?” Mereka pun lalu berdoa kepada Allah SWT. Tiba-tiba mereka berhadapan

dengan seorang laki-laki dengan tanda-tanda sujud di antara kedua matanya yang muncul dari

salah satu kuburan itu. “Wahai, manusia. Apa yang kalian kehendaki dariku? Lima puluh tahun

yang lalu aku mengalami kematian, namun kini rasa pedihnya belum juga hilang dari hatiku!”.

Aisyah r.a berkata, “Aku tidak iri kepada seorangpun yang dimudahkan sakratul maut atasnya

setelah aku menyaksikan gejolak sakratul maut pada diri Rasulullah SAW.”

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya engkau telah mencabut

nyawa dari urat-urat, tulang hidung dan ujung-ujung jari. Ya Allah, tolonglah aku dalam kematian,

dan ringankanlah dia atas diriku.” (Ibn Abi’ l-Dunya, K. Al-Maut, Zabiidii, X.260 ).

Diriwayatkan dari Al-Hasan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW menyebut-nyebut kematian,

cekikan, dan rasa pedih. Beliau bersabda, “Sakitnya sama dengan tiga ratus tusukan pedang.” (Ibn

Abi’l -Dunya, K. Al-Maut, Zabiidii, X.260 ).

Suatu ketika Beliau SAW pernah ditanya tentang pedihnya kematian. Dan Beliau menjawab,

“Kematian yang paling mudah ialah serupa dengan sebatang pohon duri yang menancap di

selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian

kain sutra yang terkoyak?” (Ibn Abi’ l-Dunya, K. Al-Maut, Zabiidii, X.260 ).

Suatu ketika Beliau menjenguk seseorang yang sedang sakit, dan beliau bersabda, “Aku tahu apa

yang sedang dialaminya. Tak ada satu pembuluhpun yang tidak merasakan pedihnya derita

kematian.” (Al Bazzar, Al-Musnad, Haitsami, Majma`, II.322).

Ali k.w biasa membangkitkan semangat tempur orang banyak dengan berkata, “Apakah kalian

semua tidak akan berperang dan lebih memilih mati dengan (cara biasa)? Demi Allah yang jiwaku

berada di tangan-Nya, tusukan seribu pedang adalah lebih ringan atasku daripada mati di tempat

tidur.”

Al-Auzaa`i berkata, “Telah disampaikan kepada kami bahwa orang mati itu terus merasakan

sakitnya kematian sampai dia dibangkitkan dari kuburnya.”

Syaddad bin Aus berkata, “Kematian adalah penderitaan yang paling menakutkan yang dialami

oleh seorang yang beriman di dunia ini atau di akhirat nanti. Ia lebih menyakitkan daripada

dipotong-potong dengan gergaji, disayat dengan gunting, atau digodok dalam belanga. Seandainya

seseorang yang sudah mati bisa dihidupkan kembali untuk menceritakan kepada manusia di dunia

ini tentang kematian, niscaya mereka tidak mempunyai gairah hidup dan tidak akan bisa

merasakan nikmatnya tidur.”

Zaid bin Aslam meriwayatkan bahwa suatu ketika ayahnya berkata, “Jika bagi seorang beriman

masih ada derajat tertentu (maqam) yang belum berhasil dicapainya melalui amal perbuatannya,

maka kematian dijadikan sangat berat dan menyakitkan agar dia bisa mencapai kesempurnaan

derajatnya di surga. Sebaliknya, jika seorang kafir mempunyai amal baik yang belum memperoleh

balasan, maka kematian akan dijadikan ringan atas dirinya sebagai balasan atas kebaikannya dan

dia nanti akan langsung mengambil tempatnya di neraka.”

Diriwayatkan bahwa ada seseorang yang gemar bertanya kepada sejumlah besar orang sakit

mengenai bagaimana mereka mendapati (datangnya) maut. Dan ketika (pada gilirannya) dia jatuh

sakit, dia ditanya, “Dan engkau sendiri, bagaimana engkau mendapatinya?” Dia menjawab,

“Seakan-akan langit runtuh ke bumi dan ruhku ditarik melalui lubang jarum.”

Dan Nabi SAW berkata, “Kematian yang tiba-tiba adalah rahmat bagi orang yang beriman, dan

nestapa bagi pendosa.” (Abu Daud, Janaa’iz, 10).

Diriwayatkan dari Makhul bahwa Nabi SAW bersabda, “Seandainya seutas rambut dari orang yang

sudah mati diletakkan di atas para penghuni langit dan bumi, niscaya dengan izin Allah SWT mereka

akan mati karena maut berada di setiap utas rambut, dan tidak pernah jatuh pada sesuatupun

tanpa membinasakannya.” (Ibn Abi’ l Dunya, K. Al-Maut, Zabiidii, X.262 ).

Diriwayatkan bahwa ‘Seandainya setetes dari rasa sakitnya kematian diletakkan di atas semua

gunung di bumi, niscaya gunung-gunung itu akan meleleh.’

Diriwayatkan bahwa ketika Ibrahim a.s meninggal dunia, Allah SWWT bertanya kepadanya,

“Bagaimanakah engkau merasakan kematian, wahai teman-Ku?” dan beliau menjawab, “Seperti

sebuah pengait yang dimasukkan ke dalam gumpalan bulu yang basah, kemudian ditarik.” “Yang

seperti itu sudah Kami ringankan atas dirimu”, Firman-Nya.

Diriwayatkan tentang Musa a.s bahwa ketika ruhnya akan menuju ke hadirat Allah SWT, DIA

bertanya kepadanya, “Wahai Musa, bagaimana engkau merasakan kematian?” Musa menjawab,

“Kurasakan diriku seperti seekor burung yang dipanggang hidup-hidup, tak mati untuk terbebas

dari rasa sakit dan tak bisa terbang untuk menyelamatkan diri.” Diriwayatkan juga bahwa dia

berkata, “Kudapati diriku seperti seekor domba yang dipanggang hidup-hidup. ”

Diriwayatkan bahwa ketika Nabi SAW berada di ambang kematian, di dekat Beliau ada seember air

yang ke dalamnya Beliau memasukkan tangan untuk membasuh mukanya seraya berdoa, “Wahai

Tuhanku, ringankanlah bagiku sakratul maut!” (Bukhari, “Riqaq”, 42). Pada saat yang sama,

Fathimah r.a berkata, “Alangkah berat penderitaanku melihat penderitaanmu, Ayah.” Tetapi Beliau

berkata, “Tidak akan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini.” (Ibn Majah, Janaa’iz, 45).

Umar r.a berkata kepada Ka`b Al-Ahbar, “Wahai Ka`b , berbicaralah kepada kami tentang

kematian!” “Baik, wahai Amirul Mu’minin,” jawabnya. “Kematian adalah sebatang pohon berduri

yang dimasukkan ke dalam perut seseorang. Kemudian seorang laki-laki menariknya dengan

sekuat-kuatnya, maka ranting itu pun membawa serta semua yang terbawa dan meninggalkan

yang tersisa.”

Nabi SAW bersabda, “Manusia pasti akan merasakan derita dan rasa sakit kematian, dan

sesungguhnya sendi-sendinya akan mengucapkan selamat tinggal satu sama lain seraya berkata,

“Sejahteralah atasmu, sekarang kita saling berpisah hingga datang hari kiamat.”" (Qusyairi, Risalah,

II.589)

Itulah sakratul maut yang dirasakan oleh para Wali Allah dan hamba-hamba yang dikasihi-Nya. Lalu

bagaimanakah nanti yang akan kita rasakan nanti, padahal kita selalu bergelimang dalam

perbuatan dosa?

Bersamaan dengan sakratul maut berturut-turut datang pula tiga macam petaka.

Petaka yang pertama adalah kedahsyatan peristiwa dicabutnya ruh, seperti yang telah dijelaskan.

Petaka yang kedua adalah menyaksikan wujud malaikat maut dan timbulnya rasa takut di dalam

hati. Manusia yang paling kuat sekalipun, tak akan sanggup melihat wujud malaikat maut saat

menjalankan tugasnya untuk mencabut nyawa manusia yang penuh dosa.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Ibrahim a.s, sahabat Allah, bertanya kepada malaikat maut,

“Dapatkah engkau memperlihatkan rupamu ketika mencabut nyawa manusia yang gemar

melakukan perbuatan jahat?” . Malaikat menjawab, “Engkau tidak akan sanggup.” “Aku pasti

sanggup,” jawab beliau. “Baiklah,” kata sang malaikat. “Berpalinglah dariku.” Ibrahim a.s pun

berpaling darinya. Kemudian ketika beliau berbalik kembali, maka yang ada di hadapannya adalah

seorang berkulit legam dengan rambut berdiri, berbau ‘busuk’ dan mengenakan pakaian berwarna

hitam. Dari mulut dan lubang hidungnya keluar jilatan api.

Melihat pemandangan itu, Ibrahim a.s pun jatuh pingsan, dan ketika beliau sadar kembali, malaikat

telah berubah dalam wujud semula. Beliau pun berkata, “Wahai, malaikat maut! Seandainya

seorang pelaku kejahatan pada saat kematiannya tidak menghadapi sesuatu yang lain kecuali

wajahmu, niscaya cukuplah itu sebagai hukuman atas dirinya.”

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Daud a.s adalah seorang manusia yang

telaten (sangat peduli) terhadap istrinya dan akan mengunci semua pintu jika dia bermaksud

meninggalkan rumahnya. Suatu hari, setelah beliau mengunci semua pintu dan pergi keluar

rumah, istrinya masih mendapati seorang laki-laki di dalam rumahnya. “Siapa yang mengizinkan

laki-laki ini masuk?” tanyanya dalam hati. “Seandainya Daud pulang, ia pasti akan marah.”

Ketika Daud a.s pulang dan melihat laki-laki itu, beliau bertanya, “Siapa engkau?” Laki-laki itu

menjawab, “Aku yang tidak takut kepada raja dan tidak pernah bisa dihalangi oleh pengawal raja”.

“Jadi, engkau adalah malaikat maut”, kata Daud a.s. Dan di tempat itu jugalah beliau wafat.”

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Isa a.s berjalan melewati sebuah tengkorak. Kemudian beliau

menyentuh tengkorak itu dan berkata, “Berbicaralah, dengan izin Allah”. Tengkorak itu pun

berkata, “Wahai, Ruh Allah! Aku adalah seorang raja yang berkuasa di suatu zaman. Suatu hari

ketika aku duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkotaku dan dikelilingi oleh para

menteriku, tiba-tiba muncul malaikat maut di hadapanku sehingga seluruh anggota badanku

menjadi beku, dan nyawaku kembali ke hadirat-Nya. Ah, seandainya tak pernah ada saat

perpisahan dengan orang-orang di sekelilingku, seandainya tak ada pemutus segala

kegembiraanku.”

Ini adalah petaka yang menimpa para pendosa dan berhasil dihindari oleh orang-orang yang taat.

Sesungguhnya, para nabi telah menceritakan sakratul maut selain kengerian yang dirasakan oleh

orang yang melihat wujud malaikat maut. Bahkan seandainya seseorang hanya melihatnya dalam

mimpi saja, niscaya dia tidak akan pernah merasakan lagi kegembiraan sepanjang hidupnya. Lalu,

bagaimana pula jika orang secara sadar melihatnya dalam bentuk seperti itu?

Namun, manusia yang bertaqwa akan melihatnya (malaikat maut) dalam rupa yang bagus dan

indah. Ikrimah (putra shalih dari Abu Jahal, red.) telah meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa

Ibrahim a.s adalah seorang manusia yang penuh perhatian. Beliau mempunyai rumah untuk

beribadah dan selalu dikuncinya jika dia pergi.

Pada suatu hari ketika pulang ke rumah, beliau melihat ada seorang laki-laki di dalamnya. “Siapa

yang mengizinkanmu masuk ke dalam rumahku?” tanya beliau. Orang itu menjawab, “Aku diizinkan

masuk oleh Pemiliknya”. “Tapi akulah pemilik rumah ini,” kata Ibrahim a.s. Orang itu berkata, “Aku

diizinkan masuk oleh DIA yang lebih berhak atas rumah ini daripada engkau ataupun aku.” “Kalau

begitu, malaikat apakah engkau ini?” tanya beliau. “Aku adalah malaikat maut,” demikian orang itu

menjawab.

Ibrahim a.s lalu bertanya, “Dapatkah engkau memperlihatkan kepadaku rupamu ketika mencabut

nyawa orang yang beriman (taat)?” “Tentu saja,” kata Malaikat itu. “Berpalinglah dariku.”

Ibrahim pun berpaling, dan ketika berbalik kembali ke arah malaikat itu, maka berdiri di

hadapannya seorang pemuda gagah dan tampan, berpakaian indah dan menyebarkan bau harum

mewangi. “Wahai, malaikat maut! Seandainya orang yang beriman, taat, melihat rupamu pada saat

kematian, niscaya cukuplah itu sebagai imbalan atas amal baiknya,” kata beliau.

Petaka selanjutnya adalah melihat kedua malaikat pencatat amal. (Menurut hadits yang

dinisbatkan kepada Nabi, “Allah telah mengamanatkan hamba-Nya kepada dua malaikat yang

mencatat amal-amalnya, baik dan buruk.” — Ahmad bin Mani`, Al-Musnad ; Ibn Hajar, Mathaalib,

III.56).

Wuhaib mengatakan, ‘Telah disampaikan kepada kami bahwa tak seorangpun manusia yang mati

kecuali akan diperlihatkan kepadanya dua malaikat yang bertugas mencatat amalnya. Jika dia

seorang yang shalih, maka kedua malaikat itu akan berkata, “Semoga Allah memberikan balasan

yang baik kepadamu, sebab engkau telah menyatakan kami untuk duduk di tengah-tengah

kebaikan, dan membawa kami hadir menyaksikan banyak perbuatan baikmu”. Akan tetapi jika dia

adalah seorang pelaku kejahatan, maka mereka akan berkata kepadanya, “Semoga Allah tidak

memberimu balasan yang baik sebab engkau telah hadirkan kami ke tengah-tengah perbuatan

yang keji, dan membuat kami hadir menyaksikan banyak perbuatan buruk, memaksa kami

mendengarkan ucapan-ucapan buruk. Semoga Allah tidak memberimu balasan yang baik”. Ketika

itulah orang yang sekarat itu menatap lesu ke arah kedua malaikat itu dan selamanya dia tidak

akan pernah kembali ke dunia ini lagi’.

Petaka yang ketiga dialami pada saat manusia-manusia yang berdosa menyaksikan tempat mereka

di neraka, dan rasa takut juga telah mencekam mereka sebelum mereka menyaksikan peristiwa itu.

Hal ini karena ketika mereka berada dalam sakratul maut, tenaga mereka telah hilang sementara

ruh mereka mulai merayap keluar dari jasad mereka. Akan tetapi, ruh mereka tidaklah keluar

kecuali setelah mereka mendengar suara malaikat maut menyampaikan salah satu dari dua kabar.

Kabar tersebut berupa, “Rasakanlah, wahai musuh Allah, siksaan neraka!” atau “Bergembiralah,

wahai sahabat Allah, dengan surga!”. Dari sinilah timbul rasa takut di dalam hati orang-orang yang

tak ber’aql (tidak menggunakan akal, red).

Nabi SAW bersabda, “Tak seorangpun di antara kalian yang akan meninggalkan dunia ini kecuali

telah diberikan tempat kembalinya dan diperlihatkan kepadanya tempatnya di surga atau di

neraka.” (Ibn Abi` l-Dunya, K. Al-Maut ; Zabiidii, X.262 ).

Rasulullah SAW juga bersabda, “Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun

akan senang bertemu dengannya; dan barangsiapa membenci pertemuan dengan-Nya, maka DIA

pun tidak akan senang bertemu dengannya.” “Tetapi kami semua takut pada kematian,” para

sahabat berkata. Beliau pun menjawab, “Tidaklah sama sebab ketika penderitaan yang dijumpai

oleh orang yang beriman (taat) dalam menempuh perjalanan menuju Allah telah dihilangkan, maka

dia akan gembira bertemu dengan Allah, dan Allah pun gembira bertemu dengannya.” (Muslim,

Dzikr, 15).

Diriwayatkan pada suatu saat menjelang akhir malam, Hudzaifah bin Al-Yaman berkata kepada Ibn

Mas`ud, “Bangunlah, dan lihatlah waktu apa sekarang.” Ibn Mas`ud pun bangun dan melakukan

hal yang diperintahkan kepadanya, dan ketika dia kembali, dia berkata, “Langit telah memerah.”

Hudzaifah kemudian berkata, “Aku berlindung kepada-Mu dari perjalanan pagi menuju neraka.”

Suatu ketika, Marwan menemui Abu Hurairah dan berkata, “Ya Allah, ringankanlah bebannya.”

Tetapi Abu Hurairah menyahut, “Ya Allah, perberatlah.” Lalu dia mulai menangis seraya berkata,

“Demi Allah, aku tidaklah menangis karena sedih kehilangan dunia ini, tidak pula bersedih karena

berpisah dengan kalian; tapi aku sedang menanti salah satu di antara dua kabar dari Tuhanku:

apakah kabar neraka ataukah kabar surga.”

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Jika Allah Swt ridha terhadap hamba-Nya, maka DIA

akan berfirman, ‘Wahai Malaikat Maut, pergilah kepada si fulan dan bawalah kepada-Ku ruhnya

untuk Kuanugerahi kebahagiaan. Amalnya Kupandang telah mencukupi: Aku telah mengujinya dan

mendapatinya seperti yang Kuinginkan’. Malaikat itupun turun bersama lima ribu malaikat lain.

Semuanya membawa tongkat yang terbuat dari kayu manis dan akar-akar tanaman safron, setiap

malaikat itu menyampaikan pesan dari Tuhannya. Kemudian para malaikat itu membentuk dua

barisan untuk mempersiapkan keberangkatan ruhnya. Ketika setan melihat mereka, dia meletakkan

tangannya di atas kepalanya dan menjerit keras-keras . Para bala tentaranya bertanya, ‘Ada apa,

tuanku ?’ Dia menjawab, ‘Tidakkah kamu lihat kehormatan yang telah diberikan kepada manusia

ini? Apakah kalian tidak melakukan tugas kalian terhadap manusia ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami

telah berusaha sekeras-kerasnya terhadapnya, tetapi dia tak bisa dipengaruhi.’ ” (Ibn Abi`l- Dunya,

K. Al-Maut; Zabiidii, X.267) .

Al-Hasan berkata, “Tidak ada kebahagiaan bagi orang beriman kecuali dalam perjumpaannya

dengan Allah, dan barangsiapa dianugerahi perjumpaan tersebut, maka hari kematiannya adalah

hari kegembiraan, kebahagiaan, keamanan, kejayaan, dan kehormatan.”

Menjelang ajalnya, Jabir bin Zaid ditanya apakah ada sesuatu yang diinginkannya, dan dia

menjawab, “Aku ingin menatap wajah Al-Hasan.” Ketika Al-Hasan datang menjenguknya,

kepadanya dikatakan, “Inilah Al-Hasan. ” Jabir lalu membuka matanya untuk memandang Al-Hasan

dan berkata, “Wahai, saudaraku. Saat ini, demi Allah, aku berpamitan kepadamu untuk pergi,

entah ke surga ataukah ke neraka.”

Menjelang ajalnya, Muhammad bin Wasi berkata, “Wahai, saudara-saudaraku . Selamat tinggal! Aku

pergi, entah ke neraka, ataukah menuju ampunan Tuhanku.”

Sebagian orang berangan-angan untuk tetap berada dalam saat-saat kematian dan tak pernah

dibangkitkan untuk menghadapi pahala atau siksaan. Oleh karena itu, rasa takut terhadap

kematian dalam keadaan berdosa (keadaan su`ul khotimah) mengoyak hati orang-orang ‘arif,

sebab hal itu termasuk ke dalam petaka dahsyat yang menyertai kematian. Kami telah menjelaskan

makna “akhir kehidupan yang buruk” (su`ul khotimah) dan rasa takut orang-orang ‘arif

terhadapnya di dalam ‘Kitab Tentang Takut dan Harap’ (dalam Ihya IV, kitab ke-3 ). Bab tersebut

masih relevan dengan konteks pembicaraan sekarang.

Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar