Oleh Gus Rochim
Ketiga
benda tersebut di atas sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari,
khususnya bagi kaum perempuan. Gincu, sekarang orang menyebutnya lipstik,
adalah salah satu jenis kosmetika yang dipergunakan oleh sebahagian kaum
perempuan sebagai penghias bibir. Warnanya umumnya merah, atau warna lain yang
lebih mencolok dan gampang terlihat. Menurut penuturan perempuan yang sering
memakai gincu, rasanya tidak ada. Gincu hanya menempel di bibir pemakainya,
tidak mempunyai rasa. Walaupun nampak jelas ketika dipakai akan tetapi
sipemakainya sendiri justru tidak dapat melihat bagaimana gincu itu di bibirnya
ketika dipandang orang.
Garam,
merupakan pemberi rasa asin terhadap makanan, hasil olahan dari air laut.
Harganya murah, akan tetapi sangat menentukan lezat-tidaknya suatu hidangan.
Garam ketika digunakan larut bersama makanan. Rasa asinnya baru terasa apabila
makanan yang dibumbuhi garam tersebut dicicipi.
Perempuan
ketika berdandan boleh tidak memakai gincu, akan tetapi setiap orang kalau
memasak harus membumbuhi masakannya dengan garam.
Ringkasnya gincu sebenarnya hanya pelengkap, sedangkan garam penentu rasa.
Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang di antara kita
ada yang berbuat dan melakukan aktifitasnya mengambil filsofi dari gincu dan
garam! Yang berfilosofi garam, mengutamakan dan mengedepankan aspek formalitas
dan popularitas dalam setiap aktifitasnya. Semua yang dia lakukan baik secara
pribadi maupun kolektif harus dapat dilihat dan disaksikan oleh orang banyak
sekedar untuk memperoleh pengakuan dan atau pujian, kendatipun kemudian hanya
sebatas show, tidak dapat memberi manfaat baik bagi dirinya maupun bagi
orang yang melihatnya. Yang penting apa yang dia lakukan dapat dilihat dan
disaksikan orang! Celakanya, banyak orang yang justru terbuai oleh warna-warna
‘gincu’ yang ditonjolkan oleh orang.
Sebaliknya, hanya sedikit di antara kita yang rela
memegang filosofi garam. Orang yang memegang filosofi garam, dalam berbuat dan
beraktifitas mementingkan manfaat apa yang dilakukan baik untuk dirinya sendiri
maupun bagi orang lain. Berbuat bagi orang tipe ini tidak harus diketahui oleh
orang lain, bahkan kalau perlu
merahasiakan identitas dalam berbuat baik, tetapi yang penting baginya ialah
azaz manfaat pada setiap perbuatannya.
Dalam
bahasa agama Islam, orang yang berfilosofi gincu biasa disebut riya’, yaitu
sikap mental pamer dan ingin dipuji. Orang seperti ini sangat berbahaya,
berbuat hanya menginginkan popularitas dan mengabaikan manfaat dari apa yang
diperbuatnya. Allah swt. Dalam salah satu hadisnya, Nabi Muhammad saw.
menegaskan bahwa sikap mental riya merupakan salah satu bentuk syirik:‘’Sesungguhnya yang amat kutakuti dari segala hal atas kalian ialah syirik kecil.
Orang
yang berfilosofi garam, dalam istilah agama Islam disebut ikhlas, yaitu
seseorang yang senantiasa berbuat berangkat dari motif yang lurus tanpa
mengharapkan imbalan dari hasil perbuatannya. Biasanya orang tipe ini ketika
berbuat kebajikan selalu berupaya menyembunyikan perbuatannya, paling tidak
mereka tidak menonjolkan perbuatannya itu, namu
perbuatan tersebut memberi manfaat baik terhadap dirinya maupun terhadap
masyarakat.
Agama
kita menginginkan agar umatnya berperilaku sebagaimana filosofi garam, yaitu
tidak menampakkan diri dalam setiap aktifitasnya, tetapi yang lebih penting
manfaatnya. Bahkan penilaian Allah terhadap perbuatan kita bukan pada apa yang
tampak, melainkan motif yang ada dibalik perbuatan kita itu. Nabi Muhammad saw.
dalam hadisnya meyebtukan:
Sesungguhnya Allah swt. tidak
menilai terhadap fisik dan penampilanmu, melainkan kepada hati (niat) dan
perbuatanmu. Hadis
riwayat Imam Muslim.
Dari hadis ini nampak jelas
bahwa Allah tidak menilai aspek formalitas pada perbuatan kita, melainkan motif
dasar munculnya perbuatan tersebut serta manfaat perbuatan tersebut.
Dalam
kehidupan sehari-hari kita sudah muak dengan penampilan orang-orang dan
sekelompok orang yang sepintas bagai pahlawan, namun kepahlawanannya tidak
lebih dari penampilan gincu; terlalu banyak teori, konsep dan program yang
dikemukakan sekedar untuk menarik simpati publik namun tidak ada realisasi.
Orang berperilaku seperti ini tidak menyadari bahwa formalisasi dan publikasi yang
berlebihan tentang ‘kebajikan’ seseorang justru mengaburkan dan menghilangkan
rasa (manfaat) dari suatu perbuatan. Hanya sesaat dan tidak memberi rasa
apa-apa, dan hanya sedikit orang yang mau berbuat kebajikan tanpa diketahui
oleh orang lain.
Filosofi Susu
Susu, untuk kelompok elit (Ekonominya
terliLIT, atau Ekonominya suLIT)
masih dipandang sebagai barang elit (mewah). Warnanya putih. Biasanya
dicampurkan bersama minuman atau makanan ekstra. Di minuman atau makanan mana
saja yang diberi susu, akan tampak warna dan rasa susu itu, sekalipun sedikit.
Susu mungkin salah satu benda yang mewakili sikap
pertengahan antara filosofi gincu dan filosofi garam; semua orang menyebut susu itu enak! Makanan
dan minuman kalau diberi susu rasanya makin nikmat! Kalau bercampur dengan
makanan atau jenis minuman ia tidak kehilangan identitasnya, melainkan turut
mempengaruhi warna makanan/minuman di mana ia ditambahkan. Itulah susu, selain
keberadaannya bisa nampak, juga dapat menambah rasa!
Alangkah indahnya hidup ini, apabila umat Islam bisa
bermental susu; bisa memperlezat kehidupan, mempengaruhi masyarakat dengan
warna dan rasanya, minimal mudah menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan
tanpa harus kehilangan identitas, dan yang paling penting keberadaannya benar-benar
dirasakan!
Al-Qur’an tidak menafikan bahwa mental susu itu
memiliki pengaruh positif, yaitu agar dapat diikuti oleh orang lain sekaligus
mengajak orang lain gemar melakukan sebagaimana yang telah dilakukannya,
walaupun dengan memperlihatkan amalan itu dapat mendekatkan kepada bahaya riya.
Oleh sebab itu, Allah swt. memberi pujian terhadap mental garam dan mental
susu, dengan mendahulukan mental susu dalam firman-Nya:
Jikalau kamu menampakkan
sedekah-sedekahmua, maka itulah yang terbaik. Tetapi jika kamu semua
menyembunyikannya dan kamu berikan kepada fakir miskin, maka itu lebih baik
bagimu. QS. al-Baqarah (2): 271.
Agama
Islam adalah agama kemanusiaan. Oleh karena itu, semua ketentuan agama yang
berbentuk perintah dan larangan semuanya bermuara pada kepentingan manusia.
Dengan demikian semua perbuatan kebajikan pun harus dapat memberi manfaat
kepada manusia dan bagi kepentingan kemanusiaan. Kita bisa berbuat atas dasar
agama tanpa harus memamerkan apatah lagi mempublikasikan perbuatan baik
tersebut. Perbuatan kita pun bisa dirasakan oleh orang lain tanpa harus
mengetahui siapa yang telah melakukannya.
Memang ada hal-hal tertentu yang memungkinkan seseorang
untuk memperlihatkan (mempublikasikan) perbuatannya, yaitu untuk menjadi contoh
dan toladan bagi orang yang menyaksikannya. Bila suatu ketika kita berbuat
memperlihatkan perbuatan kita kepada orang lain dengan niat agar menjadi
contoh, maka kita telah membuat satu sunnah (tradisi kebaikan). Yang demikian
lebih baik ketimbang merahasiakannya. Sehubungan dengan perbuatan kebajikan
yang diperlihatkan kepada orang lain dengan maksud agar dijadikan contoh, Nabi
Muhammad saw. mengatakan:
Barang siapa yang
melakukan suatu sunnah (tradisi perbuatan kebaikan atau keburukan), maka ia
akan memperoleh ganjaran (kebaikan atau keburukannya) dan (ganjaan kebaikan
atau keburukan) bagi setiap orang yang mengikuti tradisi yang telah
diperlihatkannya. Hadis riwayat Muslim.
Wallahu A’lam bi al-Sawâb.
Sumber Khutbah Jumat
Sumber Khutbah Jumat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar