Selasa, Agustus 07, 2012

HANYYA SSATTU JJALLAN MENUJJU ALLLLAH




 عزّّّزوجلّلّّلّّّ
Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani

Sumber: almanhaj.or.id yang menyalinnya dari
Majalah As-Sunnah Ed 08 Thn VII_1424H/2003M

Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa
jalan yang menjamin nikmat Islam bagimu hanya
satu, tidak bercabang. Allah telah menetapkan
keberuntungan hanya untuk satu golongan saja. Allah
عزّوجلّّ berfirman:
أُوْلاَئِكَ حِّزْبُ اّللهِ أَّلآَإِنَّ حِّزْبَ اّللهِ ىُّمُ اّلْمُفْلِحُونَّ
“Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang
beruntung.” (QS. Al Mujadalah:22)
Dan Dia (Allah) menetapkan kemenangan hanya
untuk mereka pula. Allah berfirman:
وَمَن يّ تََ وَلَّ اّللهَ وَّرَسُولَوُ وَّالَّذِينَ ءَّامَنُوا فَّإِنَّ حِّزْبَ اّللهِ ىُّمُ اّلْغَالِبُونَّ
“Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan
orang-orang yang beriman menjadi penolongnya,

maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah
yang pasti menang.” (QS. Al Maidah:56)
Bagaimanapun, jika anda mencari dalam kitab
Allah dan Sunnah Rasulullah صلي اّلله عّليو وّسلم , maka anda
tidak akan menemukan di dalamnya (dalil, Red.)
pengkotak-kotakan umat kepada jama‟ah-jama‟ah,
partai-partai atau golongan-golongan, kecuali
perbuatan itu dicela dan tercela. Allah عزّوجلّّ berfirman:
وَلاَتَكُونُوا مِّنَ اّلْمُشْرِكِينَ .ّ مِّنَ اّلَّذِينَ فَّ رَّقُوا دِّينَ هُمْ وَّكَانُوا شِّيَ عًاّّ
كُلُّ حِّزْبٍ بَِِّا لَّدَيْهِمْ فَّّرِحُونَّ
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang
memecah-belah agama mereka, dan mereka
menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan
merasa bangga dengan apa yang ada pada
golongan mereka.” (QS. Ar Rum:31-32)

Bagaimana mungkin Allah mengakui dan
melegitimasi perpecahan ummat, setelah Dia
memelihara mereka dengan tali (agama)Nya? Lagi
pula, Allah telah melepaskan tanggung jawab NabiNya
-Muhammad صلي اّلله عّليو وّسلم - atas umatnya, manakala
mereka berpecah-belah, dan (dia) mengancam
mereka atas perpecahan tersebut. Allah عزّوجلّّ
berfirman:
إِنَّ اّلَّذِينَ فَّ رَّقُوا دِّينَ هُمْ وَّكَانُوا شِّيَ عًا لَّسْتَ مِّنْ هُمْ فِِّ شَّىْءٍّ
إِنَََّّآأَمْرُىُمْ إِّلََ اّللهِ ثَُُّّ يّ نَُبِئُ هُم بَِِّاكَّانُوا يّ فَْعَلُونَّ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah
agamanya dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan
mereka hanyalah (terserah) kepada Allah,
kemudian Allah akan memberitahukan kepada
mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al
An‟am:159)

Dari Muawiyah bin Abu Sufyan رضي اّلله عّنو berkata,
ketahuilah, bahwasanya Rasulullah صلي اّلله عّليو وّسلم pernah
berdiri di tengah-tengah kami, lalu bersabda:
أَلَا إِّنَّ مَّنْ قَّ بْ لَكُمْ مِّنْ أَّىْلِ اّلْكِتَابِ اّفْ تَ رَقُوا عَّلَى ثِّنْتَ يْنِ وَّسَبْعِينَّ
مِلَّةً وَّإِنَّ ىَّذِهِ اّلْمِلَّةَ سَّتَ فْتََِقُ عَّلَى ثَّلََثٍ وَّسَبْعِينَ ثِّنْتَانِ وَّسَبْ عُونَّ
فِِ اّلنَّارِ وَّوَاحِدَةٌ فِِّ اّلَْْنَّةِ وَّىِيَ اّلَْْمَاعَةُّ
“Ketahuilah, bahwasanya Ahlul Kitab sebelum
kalian terpecah menjadi tujuhpuluh dua golongan.
Dan bahwasanya, umat ini akan terpecah menjadi
tujupuluh tiga golongan. Tujuhpuluh dua di neraka,
dan hanya satu yang di surga, yaitu Al Jama‟ah.” 1
1 Diriwayatkan oleh Ahmad 4/102; Abu Dawud no. 4597; Darimi
2/241; Thabrani 19/367, 88-885; Hakim 1/128; dan yang
lainnya. Hadits ini shahih.
Juga dikeluarkan oleh Ahmad 2/332; Abu Dawud no. 4596;
Tirmidzi no. 2642; Ibnu Majah no. 3990; Abu Ya‟la no. 5910,
5978, 6117; Ibnu Hibban 14/6247 dan 15/6731; Hakim 1/6,
128, dan lainnya dari hadits Abu Hurairah, dan Hakim

Mengomentari hadits ini, Amir Ash Shan‟ani رحمو اّلله
berkata,“Penyebutan bilangan pada hadits ini, bukan
untuk menjelaskan banyaknya orang yang binasa.
Akan tetapi, hanya untuk menerangkan luasnya jalanjalan
kesesatan dan cabang-cabang kesesatan, serta
untuk menjelaskan bahwa jalan kebenaran itu hanya
satu. Hal ini, sama dengan yang telah disebutkan oleh
ulama ahli tafsir berkaitan firman Allah :سبحانو وّ تّعالي
mempunyai beberapa riwayat lain dalam jumlah banyak dari
hadits Anas bin Malik, Abdullah bin Amr bin Al Ash, dan yang
selainnya رضي اّلله عّنهم . Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi;
Hakim; Adz Dzahabi, dan Al Jazajani dalam kitab Al Abathil
1/302; Al Baghawi dalam Syarh Sunnah 1/213; Asy Syathibi
dalam Al I’tisham 2/698, tahqiq Salim Al Hilali; Ibnu Taimiyah
dalam Majmu’ Fatawa 3/345; Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
4/48; Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/390; Ibnu Hajr dalam
Tarikh Al Kasysyaf, halaman 63; Al Iraqi dalam Al Mughni ‘An
Hamlil Asfar, no. 3240; Al Bushairi dalam Mishbahuz Zujajah,
halaman 4/180; Al Albani dalam Silsilah Shahihah, no. 203,
dan yang lainnya. Sangat banyak. Sengaja saya sebutkan ini
semua, untuk membuat ahli bid‟ah yang berupaya
melemahkan hadits yang agung ini, menjadi sia-sia –aku ingin
menjadikan mereka bisu. Al Hakim رحمو اّلله berkata tentang hadits
ini: ”Hadits yang agung atau banyak, sebagaimana sebagian
ulama telah menempatkannya dalam hadits-hadits yang
pokok.”

وَأَنَّ ىَّذَا صِّرَاطِي مُّسْتَقِيمًا فَّاتَّبِعُوهُ وَّلاَتَ تَّبِعُوا اّلسُّبُلَ فَّ تَ فَرَّقَ بِّكُمّْ
عَنْ سَّبِيلِوِّ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah
jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalanNya.” (QS. Al An‟am:153)
Pada ayat ini, Allah عزّوجلّّ menggunakan bentuk
jamak pada kata yang menerangkan “jalan-jalan yang
dilarang mengikutinya”, guna menerangkan cabangcabang
dan banyaknya jalan-jalan kesesatan serta
keluasannya. Sedangkan pada kata “jalan petunjuk
dan kebenaran“, Allah سبحانو وّ تّعالي menggunakan bentuk
tunggal. (Ini) dikarena jalan al haq itu hanya satu, dan
tidak berbilang.2
2 Lihat hadits Iftiraqul Ummah Ila Nayyif Sab’ina Firqah,
halaman 67-68

Dari Abdullah bin Mas‟ud رضي اّلله عّنو , ia berkata:
خَطَّ لَّنَا رَّسُولُ اّللَّوِ صَّلَّى اّللَّوُ عَّلَيْوِ وَّسَلَّمَ خَّطِّا ثَُُّّ قَّالَ ىَّذَاّ
سَبِيلُ اّللَّوِ ثَُُّّ خَّطَّ خُّطُوطًا عَّنْ يََِّينِوِ وَّعَنْ شَِِّالِوِ ثَُُّّّ قَّالَ ىَّذِهِّ
سُبُلٌ قَّالَ يَّزِيدُ مُّتَ فَرِّقَةٌ عَّلَىكُّلِّ سَّبِيلٍ مِّنْ هَا شَّيْطَانٌ يَّدْعُو إِّلَيْوِ ثَُُّّّ
قَ رَأَ إِّنَّ ىَّذَا صِّرَاطِي مُّسْتَقِيمًا فَّاتَّبِعُوهُ وَّلَا تَّ تَّبِعُوا اّلسُّبُلَ فَّ تَ فَرَّقَّ
بِكُمْ عَّنْ سَّبِيلِوِّ
“Rasulullah صلي اّلله عّليو وّّسلم membuat sebuah garis lurus
bagi kami, lalu bersabda,”Ini adalah jalan Allah,”
kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri
dan kanan garis tersebut, lalu bersabda,”Ini adalah
jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada
syetan yang mengajak kepada jalan itu,” kemudian
beliau membaca:

إِنَّ ىَّذَا صِّرَاطِي مُّسْتَقِيمًا فَّاتَّبِعُوهُ وَّلَا تَّ تَّبِعُوا اّلسُّبُلَ فَّ تَ فَرَّقَ بِّكُمّْ
عَنْ سَّبِيلِوِّ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah
jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalanNya.” (QS. Al An‟am:153)3
Redaksi hadits ini menunjukkan, bahwa jalan
(kebenaran, pent.) itu hanya satu. Imam Ibnul Qayyim
رحمو اّلله berkata,”Dan ini disebabkan, karena jalan yang
mengantarkan (seseorang) kepada Allah سبحانو وّ تّعالي
hanyalah satu. Yaitu sesuatu yang dengannya, Allah
mengutus para rasulNya dan menurunkan kitabkitabNya.
Tiada seorangpun yang dapat sampai
kepadaNya, kecuali melalui jalan ini. Seandainya
manusia datang dengan menempuh semua jalan, lalu
3 Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad I/435, dan yang
lainnya.

mendatangi setiap pintu dan meminta agar dibukakan,
niscaya seluruh jalan tertutup dan terkunci buat
mereka; terkecuali melalui jalan yang satu ini. Karena
jalan inilah, yang berhubungan dengan Allah dan bisa
mengantarkan kepadaNya.4
Aku (penyusun) mengatakan: Akan tetapi,
banyaknya liku-liku di jalan ini yang cukup
memberatkan, menyebabkan seseorang menjadi ragu,
lalu meninggalkannya. Dan sesungguhnya kelompokkelompok
yang menyimpang, telah menyelisihi jalan
ini. (Penyebabnya), karena merasa senang dan tenang
pada jalan yang banyak, serta merasa berat untuk
menyendiri. Ingin segera tiba (tergesa-gesa, Red.)
dan takut memikul beban perjalanan yang panjang.
Ibnul Qayyim berkata, “Barangsiapa menganggap jauh
satu jalan ini, maka dia tidak akan mampu
menempuhnya.”
4 At Tafsir Al Qayyim, halaman 14-15

MENGENAL JALAN YANG SATU
(Menyimpulkan) dari pendapat Ibnul Qayyim رحمو اّلله
di atas, maka jelaslah jalan yang dimaksud. Dan jelas,
bahwa jalan yang dimaksud disini, ialah “rukun yang
kedua” dari rukun tauhid. (Yaitu) setelah syahadat
(persaksian) bahwa tidak ada sesembahan yang haq
selain Allah, maka (yang kedua, Red.) persaksian
bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan (kalimat)
ini, juga menjadi syarat kedua diterimanya suatu amal
ibadah. Karena -sebagaimana sudah diketahuibahwa
amal ibadah tidak akan diterima, kecuali
setelah memenuhi dua syarat; Pertama,
mengikhlaskan agama (ketaatan) karena Allah
semata. Kedua, dalam beribadah hanya dengan
mengikuti (cara yang dicontohkan) Nabi .صلي اّلله عّليو وّسلم
Pada kesempatan ini, saya tidak bermaksud
menjadikan untuk kaidah yang mashur ini sebagai dalil
dalam pembahasan ini. Sebab, tujuan utama bahasan
ini untuk menjelaskan bahwa jalan yang pernah
ditempuh Nabi صلي اّلله عّليو وّسلم , itulah satu-satunya jalan

yang bisa mengantarkan seorang hamba kepada Allah
.عزّوجلّّ
(Pengenalan terhadap jalan ini amat penting, pent);
karena ketidak tahuan terhadap jalan ini, rintanganrintangannya,
serta tidak mengerti maksud dan
tujuannya, hanya akan menghasilkan kepayahan yang
sangat, tanpa bisa mendapatkan manfaat yang
berarti. 5
Tujuan pembahasan ini, juga untuk menjelaskan,
bahwa jalan itu hanya satu. Sehingga tidak boleh
berdusta mengatas-namakan Rasulullah صلي اّلله عّليو وّسلم
dengan menda‟wahkan, bahwa jalan menuju Allah عزّوجلّّ
itu (jumlahnya banyak, pent.), sejumlah bilangan
nafas manusia. Atau ungkapan-ungkapan lain, yang
menurut agama Allah عزّوجلّّ –yang datang guna
menyatukan pemeluknya dan bukan untuk memecahbelah
mereka- jelas nyata kebathilannya. Allah
berfirman:
5 Lihat Al Fawa’id, karya Ibnu Qayyim, halaman 223

وَاعْتَصِّمُوا بَِِّبْلِ اّللهِ جََِّيعًا وَّلاَ تَّ فَرَّقُوا وَّاذكُْرُوا نِّعْمَتَ اّللهِ عَّلَيْكُمّْ
إِذْكُّنتُمْ أَّعْدَآءً فَّأَلَّفَ بّ يَْنَ قُّ لُوبِكُمْ فَّأَصْبَحْتُم بِّنِعْمَتِوِ إِّخْوَانًا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai,
dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka
Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara.”
(QS. Ali Imran:103)
Tali yang menjamin kaum muslimin adalah kitab
Allah عزّوجلّّ , sebagaimana penafsiran para ulama kaum
muslimin. Abdullah bin Mas‟ud رضي اّلله عّنو berkata:

إِنَّ ىَّذَا اّلصِّرَاطَ مُُّْتَضَرٌ تََّْضُرُهُ اّلشَّيَاطِينُ يّ نَُادُونَ يَّا عَّبْدَ اّللَّوِّ
ىَلُمَّ ىَّذَا اّلصِّرَاطُ لِّيَصُدُّوْا عَّنْ سَّبِيْلِ اّللهِ فَّاعْتَصِمُوا بَِِّبْلِ اّللَّوِّ
فَإِنَّ حَّبْلَ اّللَّوِ اّلْقُرْآنُّ
“Sesungguhnya, jalan ini dihadiri para syetan.
Mereka berseru,”Wahai hamba-hamba Allah,
kemarilah. Ini adalah jalan (yang benar).” (Mereka
melakukan ini, pent.) untuk menghalang-halangi
manusia dari jalan Allah عزّوجلّّ . Maka, berpegang
taguhlah kalian dengan hablullah. Sesungguhnya,
hablullah itu adalah Kitabullah (Al Qur‟an).” 6
Ungkapan Ibnu Mas‟ud رضي اّلله عّنو ini, mengandung dua
makna yang sangat penting.
6 Diriwayatkan Abu Ubaid dalam Fadhailul Qur’an, halaman 75;
Ad Darimi 2/433; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no 22; Ibnu
Dhurais dalam Fadhailul Qur’an, 74; Ibnu Jarir dalam tafsirnya
no. 7566 (tahqiq Ahmad Asakir); Ath Thabari 9/9031; Al Ajuri
dalam Asy Syari’ah, 16; dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah,
no. 135; dan riwayat ini shahih.

Pertama: Jalan menuju Allah itu hanya satu. Hanya
saja, jalan itu dikelilingi oleh syetan yang ingin
memisahkan manusia dari jalan ini. Sementara itu,
syetan tidak menemukan jalan terbaik untuk
mencerai-beraikan mereka dari jalan ini, kecuali
dengan menda‟wakan, bahwa jalan-jalan itu banyak.
Maka, barangsiapa yang hendak memasukkan suatu
anggapan kepada manusia, bahwa kebenaran (al haq)
itu tidak hanya terbatas pada satu jalan saja, berarti
dia adalah syetan. Dan sungguh Allah berfirman:
فَمَاذَا بّ عَْدَ اّلَْْقِّ إِّلاَّ اّلضَّلََلُّ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan
kesesatan.” (QS. Yunus:32)
Kedua: Tafsir hablullah (tali Allah عزّوجلّّ ) yang wajib
dipegang teguh oleh kaum muslimin agar tetap
bersatu, ialah kitab Allah, Al Qur‟a Al Karim. Tafsir ini
tidak bertentangan dengan ucapan Abdullah bin
Mas‟ud رضي اّلله عّنو yang berbunyi:

الصِّرَاطُ اّلْمُستَق يْمُ اّلَّذِي تَّ رَكَنَا عَّلَيْوِ رَّسُوّْلُ اّللهِّ
“Jalan yang lurus, yaitu jalan yang kami lalui ketika
kami ditinggal oleh Rasulullah.” 7
Nabi صلي اّلله عّليو وّسلم telah mewariskan dua pusaka
untuk mereka, yaitu Al Qur‟an dan Sunnah,
sebagaimana sabda beliau :صلي اّلله عّليو وّسلم
تَ رَكْتُ فِّيكُمّْ مَّا إِّنْ تَََّسَّكْتُمْ بِّوِ لَّنْ تَّضِلُّوا بّ عَْدِي أَّبَدًاكِتَابَ اّللَّوِّ
وَسُنَّتِّْ
Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu. Jika kalian
berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan
sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan
Sunnahku.. 8
7 Atsar shahih, dikeluarkan Ath Thabari, 10 no. 10454; Al
Baihaqi dalam Asy Syu’ab 4/88-89; Ibnu Wadhdhah dalam Al
Bida’, no. 76
8 Diriwayatkan Imam Malik dalam Al Muwaththa’ 2/899; Ibnu
Nashr dalam As Sunnah, no. 68; Al Hakim 1/93; dan

Ditinjau dari ekstensinya, Sunnah Rasulullah صلي اّلله
عليو وّسلم itu sama dengan kitab Allah sebagai wahyu, dan
Sunnah itu sebagai penjelas bagi Kitab Allah .عزّوجلّّ
Bahkan, makhluk terbaik yang menafsirkan Al Qur‟an
adalah Rasulullah, sebagaimana firman Allah :عزّوجلّّ
وَأَّنزَلْنَآ إِّلَيْكَ اّلذِّكْرَ لِّتُبَ يِّنَ لِّلنَّاسِ مَّان زُِّلَ إِّلَيْهِمّْ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS. An
Nahl:44)
Aisyah رضي اّلله عّنها berkata:
كَانَ خُّلُقُوُ اّلقُرْآنَّ
“Akhlaq beliau adalah Al Qur‟an.” 9
dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam komentar beliau
tentang kitab Misykatul Mashabih, no. 186
9 Riwayat Ahmad 6/91, 163; dan Muslim 746

Oleh karena itu pula, jika timbul perpecahan dan
perselisihan diantara mereka, Rasulullah صلي اّلله عّليو وّسلم
memerintahkan umatnya agar berpegang teguh
dengan sunnahnya صلي اّلله عّليو وّسلم . Beliau صلي اّلله عّليو وّسلم
bersada:
فَإِنَّوُ مَّنْ يَّعِشْ مِّنْكُمْ بّ عَْدِي فَّسَيَ رَى اّخْتِلََفًاكَّثِيرًا فَّ عَلَيْكُمْ بِّسُنَّتِّ
وَسُنَّةِ اّلُْْلَفَاءِ اّلْمَهْدِيِّينَ اّلرَّاشِدِينَ تَََّسَّكُوا بَِِّا وَّعَضُّوا عَّلَيْ هَاّ
بِالنَّ وَاجِذِ وَّإِيَّاكُمْ وَّمُُْدَثَاتِ اّلُّْمُورِ فَّإِنَّكُّلَّ مُُّْدَثَةٍ بِّدْعَةٌّ
“Dan sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian
yang hidup setelahku, dia akan melihat banyak
perselisihan, maka wajib atas kalian untuk
berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
para khalifah yang diberi hidayah yang mereka di
atas petunjuk. Berpegang teguhlah padanya, dan
gigitlah ia dengan gigi geraham kalian (peganglah
sekuat-kuatnya, Red.), serta jauhilah perkaraperkara
yang baru (dalam agama); karena

sesungguhnya, setiap perkara yang baru (yang
diada-adakan dalam agama) adalah bid‟ah.”10
Ketika menjelaskan sebab bersatunya salaf pada
aqidah yang sama, Imam Ibnu Baththah رحمو اّلله
mengatakan,“Generasi pertama, semuanya masih
tetap pada aqidah ini. Hati dan mazdhab mereka
menyatu. Kitab Allah sebagai jaminan yang
memelihara keutuhan mereka. Sunnah Rasulullah صلي اّلله
عليو وّسلم sebagai pedoman. Mereka tidak menuruti
pendapat atau rasio mereka, (dan) tidak
menyandarkan pemahamannya kepada hawa nafsu.
Kondisi umat pada saat itu terus demikian. Hati-hati
mereka terpelihara oleh penjagaan Allah عزّوجلّّ , dan
berkat „InayahNya jiwa-jiwa mereka terkendali dari
hawa nafsu. (Lihat kitab Al Ibanah atau Al Qadar, I)
10 Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud, no. 4607; At Tirmidzi,
no. 2676; dan yang lainnya.

Apa yang dikatakan Ibnu Baththah رحمو اّلله itu benar ;
karena agama Allah itu hanya satu (dan) tidak ada
pertentangan. Allah berfirman:
وَلَوْكَّانَ مِّنْ عِّندِ غَّيْرِ اّللهِ لَّوَجَدُوا فِّيوِ اّخْتِلََفاًكَّثِيرًا
“Kalau sekiranya Al Qur‟an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa‟:82)
Adapun yang kami dakwahkan ini adalah jalan
yang paling jelas, paling terang, paling kaya (dengan
dalil) dan paling sempurna. Dari Al Irbadh bin Sariyah
رضي اّلله عّنو , ia berkata, Rasulullah صلي اّلله عّليو وّسلم bersabda:
لَقَدْ تّ رََكْتُكُمْ عَّلَى اّلْبَ يْضَاءِ لَّيْ لُهَاكَّنَ هَارِىَا لَّا يَّزِيغُ عَّنْ هَا بّ عَْدِيّ
إِلَّا ىَّالِكٌّ
“Sesungguhnya, aku telah meninggalkan kalian di
atas jalan, seperti jalan yang sangat putih,

malamnya sama dengan siangnya. Tiada yang
menyimpang sesudahku dari jalan itu, kecuali
orang (itu) akan binasa.” 11
Sehingga, jika ada seseorang yang berupaya untuk
“menyempurnakan atau menghiasinya” dengan
sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah صلي اّلله
عليو وّسلم dan tidak pula oleh para sahabat رضي اّلله عّنهم , berarti
perbuatan itu hanyalah sebuah upaya untuk
menyimpangkan mereka kepada jalan-jalan
kesesatan, bahkan menyimpangkan ke lembahlembah
kebinasaan. Inilah yang dinamakan oleh
Rasulullah :صلي اّلله عّليو وّسلم
البِدْعَةُ اّلضَّلََلَةُّ
“Bid‟ah adalah kesesatan”
11 Riwayat Ahmad 4/126; Ibnu Majah, no. 5 dan 43; Ibnu Abi
Ashim dalam kitabnya As Sunnah, no. 48-49; Al Hakim 1/96;
dan dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab Fi Dhalalil Jannah
Fi Takhrij Sunnah.

Oleh karena itu, para salafush shalih sangat
mengingkari orang-orang yang menambah-nambah
dalam (masalah) agama, atau mengotori agama ini
dengan pendapat rasionya. Umar bin Khathab رضي اّلله عّنو
menuturkan:
إِيَّاكُمْ وَّ مَُُّالَسَةَ أَّصْحَابِ اّلرَّأْيِ فَّإِن هَُّمْ أَّعْدَاءُ اّلسُّنَّةِ أُّعِيَتْ هُمُّ
السُّنَّةُ أَّنْ يََّْفَظُوْىَا وَّنَسَوْا )ّوفِ رّواية( وَّتَ فَلَّتَتْ عَّلَيْهِمُ اّلَحَادِيْثُّ
أَنْ يّ عَُوْدَىَا وَّسُئِلُوْا عَّمَّا لّاَ يّ عَْلَمُوْنَ فَّاسْتَحْيَ وْا أَّنْ يّ قَُوْلُوْا لّاَ نّ عَْلَمُّ
فَأَفْ تَ وْا بِّرَأْيِهِمْ فَّضَلُّوْا فَّأَضَلُّوْاكَّثِيْ رًا وَّ ضَّلُّوْا عَّنْ سَّوَاءِ اّلسَّبِيْلِ .ّّ
إِنَّ نَّبِيَّكُمْ لََّْ يّ قَْبِضْوُ اّللهُ حَّتََّّ أَّغْنَاهُ بِّالْوَحْيِ عَّنِ اّلرَّأْيِ وَّلَوْكَانَّ
الرَّأْيُ أَّوْلََ مِّّنَ اّلسُّنَّةِ لَّكَانَ بَّاطِنُ اّلُْْفَّيْنِ أَّوْلََ بِّالْمَسْحِ مِّنّْ
ظَاىِرِهَِِا

“Janganlah kalian duduk dengan orang-orang yang
berpegang dengan rasio mereka; karena
sesungguhnya, mereka itu musuh Sunnah
Rasulullah صلي اّلله عّليو وّسلم . Mereka tidak mampu
memelihara Sunnah. Mereka lupa (dalam sebuah
riwayat, mereka diserang) hadits-hadits Rasulullah
صلي اّلله عّليو وّسلم , sehingga mereka tidak mampu
memahaminya. Mereka ditanya tentang masalah
yang tidak mereka ketahui, akan tetapi mereka
malu untuk mengatakan,“Kami tidak mengetahui,”
lalu mereka berfatwa dengan rasionya, sehingga
mereka tersesat dan menyesatkan orang banyak.
Mereka tersesat dari jalan yang lurus.
Sesungguhnya Nabi kalian tidaklah diwafatkan
Allah, kecuali setelah Allah mencukupkannya
dengan wahyu dari rasio. Dan seandainya rasio itu
lebih utama daripada Sunnah, niscaya mengusap
bagian bawah kedua sepatu (khuf), itu lebih utama
daripada mengusap bagian atasnya.” 12
12 Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Zuamanain dalam Ushulus Sunnah,

Yang demikian itu, karena agama ini dibangun
diatas dasar ittiba‟ (mengikuti wahyu), bukan dengan
ikhtira‟ (mengada-ada). Sedangkan rasio, biasanya
tercela; karena banyak urusan agama yang tidak bisa
dijangkau oleh akal semata. Apalagi akal manusia
memiliki perbedaan dalam menjangkau pemahaman
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; meskipun
terkadang pendapat itu patut mendapatkan pujian.13
Abdullah bin Mas‟ud رضي اّلله عّنو berkata:
اِتَّبِعُوْا وَّلاَ تَّ بْتَدِعُوْا فَّ قَدْكُّفِيْتُمْ عَّلَيْكُمْ بِّالْعَتِيْقِّ
no 8; Al Lalika‟i dalam Syarh Ushulul I’tiqad, no. 201; Al Khatib
Al Bagdadi dalam Faqih wal Mutafaqqih, no. 476-480; Ibnu
Abdil Baar dalam Jami’ Bayanul Ilmi Wa Fadluhu, no. 2001,
2003, 2005; Ibnu Hazm dalam Al Ihkam, 4/42-43; Al Baihaqi
dalam Al Madkhal, 312; Qiwamus Sunnah dalam Al Hujjah,
1/205, pada sebagian sanadnya ada yang lemah dan ada pula
yang putus. Namun demikian, sebagian sanad dapat
menguatkan sebagian yang lain. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim
mengatakan,“Sanad-sanad ucapan Ibnu Umar ini sangat
shahih.” Lihat I’lamul Muwaqi’ien, 1/44
13 Lihat perinciannya dalam I‟lamul Muwaqi‟ien, 1/63 karya Ibnu
Qayyim

“Ikutilah dan jangan mengada-ada, karena
sesungguhnya (ajaran syari‟at Islam ini) telah
mencukupi kalian, hendaklah kalian berpegang
dengan tuntunan agama yang sediakala.” 14
Abdullah bin Umar رضي اّلله عّنهما berkata.
كُلُّ بِّدْعَةٍ ضَّلََلَةٍ وَّإِنْ رَّآىَا اّلنَّاسُ حَّسَنَةًّ
“Semua bid‟ah itu adalah sesat, meskipun manusia
memandangnya baik.”15
Dan selama pembahasan kami tentang “pengaruh
perbuatan bid‟ah” yang menghalangi seseorang dalam
14 Diriwayatkan oleh Waki‟ dalam Az Zuhd, no. 315; Abdur
Razaq, no. 20465; Abu Khaitsamah dalam Al Ilmu, no. 45;
Ahmad dalam Az Zuhd, halaman 62; Ad Darimi 1/69; Ibnu
Wadhdhah dalam Al Bida’, no. 60; Ibnu Nashr dalam As
Sunnah, no. 78 dan 85; Thabrani 9/8770 dan 8845; Ibnu
Baththah dalam Al Ibanah/Al Iman 168-169, 174-175 dan Al
Madkhal, no. 387-388; Al Khatib dalam Al Faqih Wal
Mutafaqih, 1/43; dan dishahihkan oleh Al Albani dalam
ta‟liqnya atas kitab Al Ilmu, karya Abu Khaitsamah
15 Ibnu Nashr dalam As Sunnah, 82; Al Lalika‟i dalam Syarh
Ushulul I’tiqad, no. 126; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, no. 191,
dan sanadnya shahih.

mencari jalan yang lurus, maka saya akan
menyebutkan sebuah ucapan Abdullah bin Abbas
perihal masalah ini, yang menunjukkan luasnya ilmu
para sahabat.
Dari Utsman bin Hadhir, ia berkata: Aku datang
menjumpai Abdullah bin Abbas رضي اّلله عّنهما . Lalu aku
berkata kepadanya, أوصيني (berilah wasiat kepadaku);
diapun berkata:
ن عََمْ عَّلَيْكَ بِّتَ قْوَى اّللهِ وَّ اّلإِسْتِ قَِِامَةِ وَّ اّلَثَرِ وَّ لّاَّ تَّ بْتَدِعّْ
“Ya, bertaqwalah engkau kepada Allah,
istiqamahlah dan (berpeganglah pada) atsar (jejak
para salaf, pent). Ikutilah, dan jangan mengadaada
dalam urusan agama.16
16 Diriwayatkan Ad Darimi, I/53; Ibnu Wadhdah dalam Al Bida’,
no. 61; Ibnu Nashr, no. 83; Ibnu Baththah dalam Al Ibanah,
no. 200 dan 206; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqqih,
I/173, dari dua jalan yang saling menguatkan.

Cobalah anda perhatikan ucapan ini. Dia
memadukan dua hal. Pertama, taqwa kepada Allah,
yang maknanya sama dengan keikhlasan. Sebab ia
dipadukan dengan perintah untuk ber-ittiba‟ (perintah
untuk mengikuti tuntunan Nabi, pent.). Kedua, al ittiba‟,
yang maknanya mengikuti jalan yang lurus,
sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Selanjutnya, beliau mengingatkan agar waspada
terhadap yang bertolak belakang dengan kedua hal di
atas, yaitu bid‟ah. Demikianlah mayoritas ucapan para
salaf, meskipun singkat, namun selalu mencakup dan
membentengi (seseorang).
Merupakan perangai Salafush Shalih, mereka
selalu bersikap tegas dan keras terhadap orang yang
mencari-cari ucapan manusia (para tokoh) untuk
menandingi hukum Rasulullah, setinggi apapun
kedudukan dan martabat tokoh-tokoh tersebut.
Tidak diragukan, bahwasanya beradab dan
memelihara kesopanan terhadap para ulama‟,
mencintai dan mendahulukan mereka atas lainnya,

serta tudingan seseorang terhadap rasionya jika
disejajarkan dengan pendapat-pendapat para ulama;
semua itu perkara yang amat penting. Namun
demikian, hal tersebut merupakan persoalan lain.
Sedangkan mendahulukan wahyu (Al Qur‟an dan As
Sunnah) setelah jelas permasalahannya, juga
merupakan perkara lain.
Urwah berkata kepada Ibnu Abbas, “Celaka
engkau. Engkau telah menyesatkan manusia, karena
memerintahkan untuk melakukan ibadah umrah pada
sepuluh hari ( pertama bulan Dzul Hijjah), padahal
tiada umrah pada hari-hari itu.” Maka Ibnu Abbas رضي اّلله
عنهما berkata, “Wahai Uray17 Tanyakanlah kepada
ibumu.” Urwah berkata, “Bahwasanya Abu Bakar dan
Umar tidak pernah berkata (berpendapat) seperti itu,
padahal mereka benar-benar lebih mengetahui dan
lebih mengikuti Rasulullah daripada engkau.” Maka
dijawab oleh Ibnu Abbas:
17 Nama tasghir ( kecil ) Urwah bin Zubair. Wallahu a’lam, (pent)

مِنْ ىَّهُنَا تّ ؤُْتَ وْنَ نََِّيْئُكُمْ بِّرَسُوْلِ اّللهِ وَّتََِيْئُ وْنَ بِّأَبِِْ بَّكْرٍ وَّعُمَرَّ
Dari sinilah kalian didatangi. Kami membawakan
kepadamu (perkataan) Rasulullah, dan kamu
membawakan (perkataan) Abu Bakar dan Umar.
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas رضي اّلله عّنهما berkata
kepadanya:
أَهَُِا –ّوَيََْكَّ- آّث رٌَ عِّنْدَكَ أَّمْ مَّا فِِّكِّّتَابِ اّللهِ وَّمَاسَنَّ رَّسُوْلُ اّللهِّ
فِِ أَّصْحَابِوِ وَّأُمَّتِوِّ
Celaka engkau. Apakah mereka berdua (Abu Bakar
dan Umar, pent), lebih engkau dahulukan ataukah
yang tertulis dalam Kitab Allah dan disunahkan
oleh Rasulullah bagi sahabat dan umatnya?
Dalam riwayat lain, ia bertutur:
أُرَاىُمْ سَّيُ هْلَكُوْنَ أَّّقُ وْلُ قَّالَ اّلنَّبِِ وَّي قَُوْلُ نّ هََى أَّب وُْ بَّكْرٍ وَّعُمَرُّ

Kelihatannya mereka akan dibinasakan, aku
katakan “Nabi berkata” sedang mereka berkata
“Abu Bakar dan Umar telah melarangnya”.18
Setelah membawakan ucapan Ibnu Abbas di atas,
Syaikh Abdurrahman bin Hasan mengatakan,“Dalam
ucapan Ibnu Abbas رضي اّلله عّنهما terdapat isyarat yang
menunjukkan, bahwa seseorang yang telah sampai
padanya dalil, lalu tidak mengambilnya (tidak
mengamalkannya) karena bertaklid kepada imamnya,
maka orang itu wajib diingkari dengan keras karena
sikapnya yang menyelisihi dalil.”19
18 Diriwayatkan Ishaq bin Rahawi (Rahwiyah), sebagaimana
dalam kitab Al Muthallibul ‘Aliyah, no. 1306; Ibnu Abi Syaibah,
4/103, dan dari jalurnya dikeluarkan oleh Thabrani; Al Khatib
dalam Al Faqih Wal Mutafaqqi, 379 – 380 ), Ibnu Abdil Baar
dalam Jami’ihi, no. 2378 dan 2381; dan dishahihkan oleh Ibnu
Hajar dalam Al Muthalib; dan dihasankan oleh Al Haitsami
dalam Al Mujma’, 3/234; juga oleh Ibnu Muflih dalam Al Adab
Asy Syar’iyyah 2/66
19 Lihat pada Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, halaman 338

Beliau juga mengatakan,”Kemungkaran ini,20 telah
merebak luas terutama dari mereka yang menisbatkan
diri kepada ilmu. Mereka telah menancapkan jeratjerat
dalam menghalangi (manusia) dari mengambil Al
Qur‟an dan As Sunnah; menghalangi mereka dari
mengikuti Rasulullah صلي اّلله عّليو وّسلم dan menjunjung tinggi
perintah serta larangannya.”
Diantara ucapan mereka, “tidak boleh berdalil
dengan Al Qur‟an dan Sunnah Rasulullah, kecuali
seorang mujtahid, sedangkan ijtihad telah terputus.”
Ada juga yang mengatakan, “orang yang aku taklidi
(ikuti) padanya, lebih mengetahui daripada kamu
tentang hadits, nasikh dan mansukhnya” serta
ucapan-ucapan serupa dengan tujuan akhirnya untuk
meninggalkan ittiba‟ (mengikuti) Rasulullah ,صلي اّلله عّليو وّسلم
yang (beliau) tidak pernah berbicara karena terdorong
hawa nafsu, lalu (mereka) bersandar kepada ucapan
orang-orang yang bisa saja berbuat kesalahan. Ada
20 Yang beliau maksud dengan “kemungkaran”, yaitu
mengesampingkan dalil hanya dikarenakan taqlid kepada
imam (madzab)nya, Pent

juga diantara imam yang menyelisihi dan mencegah
dari perkataan Rasulullah صلي اّلله عّليو وّسلم dengan berdalih
“tiada seorang ulama pun, kecuali yang dimilikinya
hanyalah sebagian ilmu, dan tidak semua
(dikuasainya)”.
Maka wajib bagi setiap mukallaf (orang yang telah
terkena beban syari‟at), jika telah sampai kepadanya
dalil Al Qur‟an dan Sunnah Rasulullah صلي اّلله عّليو وّسلم dan
telah dipahaminya, untuk berhenti padanya dan
mengamalkannya, meskipun ada yang menyelisihinya,
sebagaimana firman Allah :عزّوجلّّ
اتَّبِعُوا مَّآأُنزِلَ إِّلَيْكُم مِّّن رَّّبِّكُمْ وَّلاَتَ تَّبِعُوا مِّن دُّونِوِ أَّوْلِيَآءَ قَّلِيلًَّ
مَاتَذَكَّرُونَّ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kamu
sekalian dari Rabb-mu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat

sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya).” (QS. Al A‟raf:3)
FirmanNya :عزّوجلّّ
أَوَلََْ يَّكْفِهِمْ أَّنَّآأَنزَلْنَا عَّلَيْكَ اّلْكِتَابَ يّ تُْ لَى عَّلَيْهِمْ إِّنَّ فِِّ ذَّلِكَّ
لَرَحمَْةً وَّذِكْرَى لِّقَوْمٍ يّ ؤُْمِنُونَّ
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka,
bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu
Al Kitab (Al Qur'an) sedang dia dibacakan kepada
mereka. Sesungguhnya di dalam (Al Qur'an) itu
terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi
orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ankabut:51)
Dan di depan telah disampaikan perihal ijma‟
(kesepakatan) para ulama‟ terhadap yang kami
sampaikan ini, serta keterangan, bahwa muqallid
(orang yang taklid) tidak termasuk orang-orang yang
berilmu. Demikian pula Abu Umar bin Abdil Barr dan

ulama‟ lainnya, telah menceritakan ijma‟ atas masalah
ini.21
Pengagungan kaum salaf terhadap Sunnah
Rasulullah صلي اّلله عّليو وّسلم , telah sampai pada tingkatan
menghunuskan pedang kepada orang yang menolak
hadits Rasulullah صلي اّلله عّليو وّسلم , sebagaimana dilakukan
oleh Imam Syafi‟i رحمو اّلله . Beliau رحمو اّلله telah mengadu
kepada Al Qadhi (pemimpin mahkamah syari‟at) Abul
Bakhturi perihal Bisyir Al Marisi.22 Beliau berkata,”Aku
berdialog dengan Al Marisi tentang mengundi,23 Dia
21 Lihat Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, halaman 339- 340
22 Bisyir bin Ghiyats Al Marisi, seorang ahli kalam yang keluar
dari ketaqwaan dan sikap wara‟. Dia berakidah Jahmiyah
(golongan yang mengingkari dan menafi‟kan sifat-sifat Allah).
Dia menyatakan, bahwa Al Qur‟an adalah makhluk ciptaan
Allah. Oleh sebab itu, dikafirkan oleh sejumlah ulama‟, seperti:
Qutaibah bin Sa‟id dan yang lainnya, meninggal tahun 218 H.
Lihat Siyar A’lamin Nubala’, 10 / 199, (Pent)
23 Hal ini mengacu kepada hadits Imran bin Husain.

berkata, “Wahai Abu Abdillah, Al Qur‟an (mengundi)
itu judi,” maka kudatangi Abul Bakhturi, lalu
kukatakan kepadanya,”Aku mendengar Al Marisi
berkata, mengundi itu judi,” Abul Bakhturi
menjawab,”Wahai Abu Abdillah, ajukan seorang saksi
lagi. Aku akan membunuhnya.” Dalam riwayat lain ia
berkata,”Ajukan seorang saksi lagi, niscaya akan
kuangkatnya pada sebatang kayu, lalu kusalibnya.[]”24
أَنَّّ رَّجُلًَّ أَّعْتَقَّ سِّتَّةَّ مََّْلُوكِينَّ لَّوُّ عِّنْدَّ مَّوْتِوِّ لََّّْ يَّكُنّْ لَّوُّ مَّالٌّ غَّيْ رَىُمّْ فَّدَعَا بِِِّمّّْ
رَسُولُّ اّللَّوِّ صَّلَّى اّللَّوُّ عَّلَيْوِّ وَّسَلَّمَّ فَّجَزَّأَىُمّْ أَّثْلََثًا ثَُُّّّ أَّقْ رَعَّ بّ يَْ نَ هُمّْ فَّأَعْتَقَّّ
اثْ نَ يْنِّ وَّأَرَقَّّ أَّرْب عََةًّ وَّقَالَّ لَّوُّ قَّ وْلًاّ شَّدِيدًا
“Bahwasanya seorang lelaki membebaskan enam budaknya
ketika ia dihampiri kematian, ia tidak memiliki harta selain
mereka, maka Rasulullah memanggil mereka dan membagi
menjadi tiga bagian, lalu beliau mengundi diantara mereka,
kemudian beliau memerdekakan dua orang dan yang empat
tetap sebagai budak dan beliau mengeluarkan kata-kata yang
keras terhadap orang.” [HR Muslim, 1668)
24 Diriwayatkan Al Khalal dalam As Sunnah, 1735; Al Khatib
dalam Tarikh Al Baghdad, 7/60, dan sanadnya shahih. Orang
yang mengambil suatu perkara atau mengerjakan suatu
amalan tanpa mengetahui sumber dalilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar