Sahabat Muslim tentu berharap agar lebih lama lagi berada dalam lautan keberkahan dan
ampunan di bulan Mubarak ini. Bahkan kalau mungkin, mereka berharap agar seluruh
bulan dalam setahun adalah bulan Ramadhan. Namun, Allah SWT telah menetapkan
Ramadhan hanya berjumlah 29 atau 30 hari. Bulan-bulan berikutnya adalah ladang
tempat menumbuhkan benih ketakwaan yang disemai selama
Ramadhan.
Akhir
Ramadhan merupakan kebahagian tersendiri bagi kaum Muslim; bahagia karena telah
mampu menyelesaikan dan menyempurnakan salah satu hukum Islam yang diperintahkan
oleh Allah SWT. Rasulullah saw.
bersabda:
«لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا
أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ»
Bagi
orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan yang membahagiakannya: ketika berbuka
(termasuk pada saat Idul Fitri) ia bahagia dan ketika bertemu dengan Tuhannya ia
pun bahagia karena puasanya itu.
(HR al-Bukhari).
Pada
saat Idul Fitri wajah kaum Muslim tampak memancarkan kebahagiaan sebagai lambang
kemenangan. Hari itu kaum Muslim memproklamirkan kemenangannya atas hawa
nafsunya. Rasa syukur diwujudkan dengan lebih mengukuhkan kembali silaturahmi
dengan handai taulan dan silah
ukhuwah (tali persaudaraan) dengan kaum Muslim yang lain.
Sejatinya,
suasana yang subur dengan kebahagiaan dan hangatnya ukhuwah pada Hari Raya Idul Fitri ini
dapat menumbuhkan ghîrah (semangat)
baru untuk bersama-sama menata kembali kehidupan berlandaskan akidah dan syariat
Islam. Sebab, Idul Fitri merupakan hari
pertama pasca Ramadhan; kaum Muslim mengawali hari-hari berikutnya dalam 11
bulan ke depan. Sudah sepatutnya mereka, sejak hari pertama itu (tidak perlu 100
hari), melakukan muhâsabah (perenungan) secara menyeluruh terhadap
kondisi Islam dan umatnya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ini akan
memberikan kesadaran tentang realitas kaum Muslim saat ini dan langkah-langkah
perubahan yang harus dilakukan pada 11 bulan berikutnya, dengan bekal ketakwaan
yang telah dipupuk selama Ramadhan.
Kebahagiaan
dalam Penderitaan
Kaum
Muslim yang berpuasa Ramadhan memang patut berbahagia merayakan Idul Fitri.
Namun, secara faktual, kondisi kaum Muslim saat ini, baik di dalam negeri maupun
di luar negeri, sebetulnya jauh dari membahagiakan sebagaimana kebahagiaan pada
saat merayakan Idul Fitri.
Secara
umum, kondisi kaum Muslim di dalam negeri adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam bidang agama. Gerakan
sekularisasi berskala global sedang berupaya mengenyahkan syariat Islam dari
tengah-tengah umat Islam. Salah satunya yang cukup kontroversial adalah kasus
rancangan Kodifikasi Hukum Islam yang isinya menolak syariat Islam yang terkait
dengan keluarga dan rumahtangga. Rancangan yang dipelopori oleh tim dari Depag
ini sebenarnya hanya asap dari sebuah api besar sekularisasi yang berusaha
menghanguskan aktivitas penegakan syariat Islam. Negara-negara kapitalis di
bawah komando AS mengeluarkan dana yang tidak terbatas untuk menjerumuskan kaum
Muslim ke dalam jurang sekularisme yang mereka jajakan. Allah SWT berfirman:
]يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى
اللهُ إِلاَّ أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ[
Mereka
berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka,
sedangkan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun
orang-orang kafir tidak menyukainya.
(QS at-Taubah [9]: 32).
Kedua,
dalam bidang politik. Pemerintahan baru (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)
yang terbentuk melalui Pemilu kemarin tampaknya masih akan tetap bertumpu pada
rel sekularisme. Sekularisme tetap akan memayungi institusi politik di negeri
yang penduduk Muslimnya terbesar di dunia ini. Program 15 hari yang sudah
berjalan dari tenggat waktu 100 hari menunjukkan bahwa solusi terhadap berbagai
persoalan di dalam negeri sama sekali mengesampingkan petunjuk al-Quran dan
as-Sunnah. Para wakil rakyat di DPR yang terpolarisasi pada kutub Koalisi
Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan lebih memprioritaskan perebutan kekuasaan dan
kepentingan pribadi dan kelompok mereka. Mereka tidak bersidang untuk
kepentingan rakyat, tetapi justru ‘gontok-gontokan’ untuk menjaga dan
mempertahankan kepentingan mereka masing-masing. Padahal, di tengah sorotan
rakyat yang mayoritas Muslim dan di tengah bulan Ramadhan ini, semestinya mereka
mendata ulang berbagai persoalan rakyat dan menetapkan solusinya berdasarkan
petunjuk al-Quran dan as-Sunnah.
Ketiga,
dalam bidang ekonomi. Mereka yang diserahi mengurus perekonomian—khususnya
perdagangan dan perencanaan pembangunan nasional—dalam Kabinet Indonesia Bersatu
adalah bagian dari mesin Kapitalisme global, IMF. Lembaga yang saham terbesarnya
milik AS ini sejak tahun 1970-an banyak mempengaruhi kebijakan ekonomi
Indonesia. Resep-resepnya telah menjerumuskan Indonesia pada ketergantungan
utang luar negeri yang kemudian melahirkan krisis ekonomi. IMF juga membidani
lahirnya kebijakan privatisasi aset-aset negara yang terbukti makin
membangkrutkan perekonomian Indonesia. Kemungkinan besar, sistem perekonomian
Indonesia akan tetap berkiblat pada gembong kapitalis AS, yang selama ini
telah ‘berhasil’ meningkatkan kesengsaraan masyarakat. Artinya, penjajahan
ekonomi Kapitalisme global masih akan terus mencengkeram kuat perekonomian
Indonesia.
Keempat,
dalam bidang budaya. Sebagian besar budaya yang dilegalkan di negeri ini
mengusung berbagai bentuk kemaksiatan. Media tv dan media cetak secara rutin
menemani generasi muda Muslim untuk mengajarkan budaya ‘alternatif’ (baca:
maksiat). Keadaan semakin menjadi runyam karena pemerintah justru memberikan support meskipun dengan malu-malu.
Misalnya, DPRD DKI telah mengesahkan Perda No.10/2004, diperkuat dengan SK
Gubernur No. 98/2004, tentang operasional tempat hiburan. Berdasarkan Perda,
tempat hiburan jenis klub malam, diskotek, griya pijat, mandi uap, mesin keping,
jenis bola ketangkasan, dan usaha bar dilarang beroperasi selama bulan Ramadhan.
Artinya, mulai Idul Fitri dan hari-hari lainnya dalam 11 bulan di luar Ramadhan
tempat hiburan yang menjadi wadah maksiat itu disahkan untuk beroperasi kembali.
Bahkan pihak kepolisian memberikan jaminan keamanan pada tempat-tempat hiburan
tersebut. Na‘ûdzubillâhi min
dzâlik!
Sementara
itu, di luar negeri kaum Muslim mengalami penderitaan yang luar biasa. Di
Palestina, Irak, dan Afganistan pembantaian kaum Muslim oleh tentara imperialis
terus-menerus terjadi. Di Irak, misalnya, berita terakhir menyebutkan bahwa
sekitar 100.000 penduduk sipil Irak tewas akibat serbuan AS ke Irak sejak Maret
2003. Perkiraan tersebut merupakan hasil penelitian yang dipublikasikan di
mingguan medis Inggris The Lancet
(Jumat, 29/10). Data tersebut bersumber dari wawancara dengan keluarga-keluarga
Irak dan pencarian yang dilakukan tim peneliti yang dipimpin para pakar dari
Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Baltimore, Maryland.
Di
Uzbekistan, Chechnya, Filipina, India, dan Thailand rezim sekuler juga
terus-menerus menindas kaum Muslim. Baru-baru ini, di Thailand, misalnya,
diberitakan bagaimana seribu aparat keamanan Thailand menghadapi sekitar 2000
warga Muslim sipil yang menuntut pembebasan saudaranya yang ditangkap tanpa
bukti di Tak Bai, Propinsi Narathiwat, pada hari Senin 25 Okt 2004. Tentara dan
polisi Thailand tidak hanya menyemprot mereka dengan air dan gas air mata,
tetapi juga menggunakan kekerasan dan senjata sehingga 7 orang meninggal di
tempat kejadian. Mereka menangkap 300 Muslim, melepas baju mereka, mengikat
tangan mereka ke belakang, dan memaksa mereka telungkup di bawah ancaman moncong
senjata. Kemudian mereka ditumpuk begitu saja secara tidak manusiawi di dalam
enam truk menuju Pattani sejauh 100 km. Akibatnya, 77 orang di dalam truk itu
tewas karena tumpang tindih dan disiksa oleh tentara selama di perjalanan.
Hal
yang sama dialami kaum Muslim di Eropa dan Amerika, yang sering dikucilkan dan
bahkan diteror, praktis sejak peristiwa 11 September 2001. Semua itu adalah
akibat perang melawan terorisme yang dikobarkan AS. Ini semakin mwnunjukkan
bahwa yang dimaksud dengan perang melawan terorisme adalah perang melawan kaum
Muslim yang tidak sejalan dengan agenda Kapitalisme global
AS.
Menuju
Perubahan Hakiki
Melihat
kenyataan di atas, kaum Muslim perlu segera menentukan langkah untuk melakukan
perubahan hakiki dan mendasar. Perubahan yang hakiki adalah perubahan yang dapat
menyelesaikan secara tuntas persoalan kaum Muslim di seluruh dunia. Perubahan
semacam itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan dua hal sekaligus.
Pertama, membangun kekuatan politik
internasional yang menyatukan seluruh potensi—sumberdaya alam maupun sumberdaya
manusia—kaum Muslim. Kekuatan politik itu tidak lain adalah negara Khilafah
Islamiyah, yang akan memayungi dan membentengi setiap kaum Muslim di dunia ini.
Kedua,
menerapkan syariat Islam secara kâffah dalam wadah Khilafah Islamiyah
tersebut. Syariat Islam akan mampu menyelesaikan berbagai problem, menyangkut
masalah sosial, budaya, ekonomi, politik, hankam, pendidikan, hukum pidana,
dakwah, jihad, dan sebagainya.
Target
puncak dari Ramadhan adalah terbentuknya ketakwaan pada diri kaum Muslim. Idul
Fitri adalah hari pertama untuk menerapkan ketakwaan tersebut. Dengan kata lain,
Idul Fitri sejatinya merupakan pintu gerbang menuju perubahan hakiki dalam
seluruh aspek kehidupan kaum Muslim yang penuh dengan atmosfir ketakwaan.
Ketakwaan itu sendiri sejatinya hanya mungkin diraih oleh kaum Muslim ketika
syariat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan mereka secara islami
dalam wadah Khilafah Islamiyah.
Karena
itu, pada hari yang fitri sudah sepatutnya kita berjanji kepada Allah,
Rasul-Nya, dan kaum Muslim untuk mengerahkan segenap upaya, secara damai, demi
tegaknya Khilafah dan syariat Islam. Kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada
Allah SWT agar menetapkan kita untuk mewujudkan hal ini sehingga kaum Muslim
merasakan apa yang digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya:
]وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ$بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ
الرَّحِيمُ[
Pada
hari (kemenangan) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan
Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dialah Yang Mahaperkasa lagi
Maha Penyayang.
(QS ar-Rum [30]: 4-5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar