Rabu, Agustus 08, 2012

PAHALA DI BALIK KACA


Oleh Gus Rochim 

A
da sebuah anekdot yang tidak begitu lucu, tetapi mungkin relevan untuk diungkapkan. Syahdan di akhirat nanti, ketika umat manusia dipanggil satu persatu oleh Allah swt, Hakim Sang Maha Adil, untuk menerima pahala amal perbuatannya selama hidup di dunia, banyak di antara mereka yang tidak mendapat panggilan, di antaranya Louis Pasteur (penemu virus anti rabies) dan Thomas A. Edison (penemu bola lampu listrik). Merasa tidak mendapat panggilan, akhirnya keduanya bersepakat untuk menghadap langsung kepada Allah swt. seraya mengajukan pertanyaan yang bernada protes.

“Wahai Tuhan, Hakim Yang Maha Adil. Mengapa kami tidak mendapat panggilan untuk menerima imbalan atas amal-amal kebajikan kami?” tanya Pasteur. “Apakah jasa-jasa dan karya-karya kami yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan manusia tidak layak pahala di sisimu?” imbuh Edison.

“Wahai Malaikat, bawalah keduanya ke gudang pahala dan perlihatkanlah kepada mereka pahala mereka!”, perintah Allah swt. Lalu keduanya dibawa oleh malaikat ke suatu tempat penyimpanan pahala, kemudian ditunjukkan kepada mereka pahala mereka masing-masing. Melihat betapa besar pahala yang disediakan atas jasa dan karya mereka, keduanya terkagum-kagum, melompat kegirangan dan akhirnya jatuh pingsan karena kecapaian. Setelah siuman, lalu keduanya berkata kepada malaikat: “Wahai malaikat. Apakah betul pahala yang terpajang dalam lemari kaca yang sangat panjang tiada bertepi ini adalah imbalan atas jasa-jasa kami?”, tanya mereka untuk lebih meyakinkan dirinya. “Ya”, jawab malaikat. “Kalau demikian berikanlah kepada kami sekarang”, Lalu sang malaikat berkata: “Apakah anda berdua membawa kunci lemari anda masing-masing?”. Mendapat pertanyaan demikian, keduanya saling berpandangan dan merasa kebingungan, malaikat menjawab: “Bila demikian anda tidak memiliki ‘kunci’ berupa iman sebagai pembuka lemari tersebut, maka anda hanya berhak sebatas pandangan atas pahala tersebut dan tidak berhak untuk menikmatinya”. Mendapat jawaban demikian, keduanya berlalu dengan wajah sendu, penuh penyesalan.

Ini sebuah anekdot yang tentu saja masih sangat perlu dipertimbangkan dan tidak bermaksud mengklaim posisi kedua tokoh tersebut yang diilustrasikan, apakah menjadi penghuni surga atau neraka, karena itu adalah urusan Tuhan. Akan tetapi melalui lelucon tersebut, ada pesan yang ingin kita tangkap, adalah :
1. Atas nama keadilan Tuhan, bahwa setiap amal perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk, yang kecil maupun yang besar, yang zahir maupun yang batin, akan mendapatkan ganjaran dari Allah swt. tanpa memandang latar belakang keyakinan dari motivasi perbuatan hamba. Allah swt. berfirman di dalam al-Qur’an QS. al-Zalzalah (99): 6-8

يومئذ يصدر الناس اشتاتا ليروا اعمالهم، فمن يعمل مثقال ذرّة خيرا يره ومن يعمل مثقال ذرّة شرّا يره.
Terjemahnya:
Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka balasan perbuatan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat biji sawi pun niscaya dia akan melihatnya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan walau seberat biji sawi pun niscaya mereka akan melihat (balasan)-Nya”.

Hal yang senada terapat dalam QS. Ali ‘Imrân (3): 30, dan QS. al-Kahfi (18): 49.
2. Iman adalah syarat mutlak dalam beramal. Nilai sebuah amal saleh adalah sangat ditentukan oleh iman. Ketiadaan iman menyebabkan kesia-siaan dalam beramal.
Di dalam al-Qur’an surah Ibrâhim (14): 18 Allah swt. berfirman:

مثل الذين كفروا بربّهم اعمالهم  كرماد اشتدت به الريح فى يوم عاصف لايقدرون مما كسبوا على شيئ ذلك هو الضلال البعيد.

Terjemahnya :
Orang-orang kafir terhadap Tuhannya, perbuatan-perbuatan mereka adalah laksana debu ditiup angin dengan kencang pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil apa-apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”.

Hal yang senada terdapat dalam QS. al-Nûr (24): 39 yang menyamakan perbuatan orang-orang kafir laksana fatamorgana:

والذين كفروآ اعمالهم كسراب بقيعة يحسبه الظمان ماء حتّى إذا جآءه لم يجده شيئا ووجد الله عنده فوافه حسابه والله سريع الحساب. 

Terjemahnya:
“Dan orang-orang kafir, perbuatan-perbuatan mereka laksana fatamorgana di tengah-tengah tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi ketika didatangi air itu, dia tidak mendapati apa-apa. Dan didapatinya ketetapan Allah di sisinya, kemudian Allah menyempurnakan perhitungannya dengan cukup, dan Allah maha cepat perhitungannya.”

Dari keterangan ayat di atas, dapat dipahami bahwa amal perbuatan orang-orang kafir atau yang tidak memiliki iman kendatipun secara lahiriyah tampak menemukan dan mengagumkan, tetap tidak mempunyai makna di hari kemudian.
3. Selain iman, rasa keikhlasan yang menjadi penentu bagi diterimanya amal. Dalam pengertian bahwa setiap amal perbuatan harus disandarkan semata-mata untuk memperoleh pengakuan dan keridhaan dari Allah swt. dalam al-Qur’an surah al-Bayyinah (98): 5 disebutkan

ومآ أمر إلا ليعبد الله مخلصين له الدّين . . .

Terjemahnya :
Tidaklah mereka diperintahkan, kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan keikhlasan kepada-Nya”.

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suatu amal kebajikan untuk dapat sampai kepada Allah harus memiliki dua dimensi kebaikan, yaitu dimensi kebaikan fi’lî, (nilai kebaikan yang dikandung oleh amal itu sendiri) dan dimensi kebaikan fâ’ilî (nilai kebaikan yang berhubungan dengan pelaku perbuatan). Artinya, bahwa betapapun besarnya amal kebajikan tetapi tidak dilakukan dalam bingkai keimanan dan kering dari nila keikhlasan, maka realitas keakhiratannya kelak tidak lebih dari barang pajangan di dalam lemari kaca (etalase) yang kehilangan kunci.

Wallau A’lam bi al-Sawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar