Pendahuluan
|
Segala puji hanya milik Allah عزّوجلّ, shalawat dan salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, keluarga dan
sahabatnya.
Allah عزّوجلّ telah menggariskan bahwa
kehidupan umat manusia bukan hanya sekali, namun dua kali. Kehidupan dunia yang
fana sebagai awal dari kehidupan dan akan dilanjutkan dengan kehidupan akhirat
yang kekal abadi. Sukses Anda di dunia belum tentu berkelanjutan hingga di
akhirat. Namun sebaliknya, sukses di akhirat menjadikan anda lupa akan kegagalan
selama hidup di dunia, bagaimanapun beratnya. Apalagi bila Anda ternyata hidup
di dunia sukses dan di akhirat surga menjadi milik Anda.
Antara Sial Dunia dan Berkah
Akhirat
|
Di
dunia ini banyak ditemukan pasar, tempat orang mengais kesuksesan di dunia. Dan
tentunya ada pula pasar-pasar akhirat, tempat menaburkan benih-benih pahala.
Karenanya tidak layak bila kesibukan mewujudkan sukses di dunia, melalaikan Anda
dari akhirat. Terlalai dari akhirat karena sibuk menumpuk dunia berarti sengsara
selamanya. Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda :
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ
الْخَمِيصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ
وَإِذَا شِيكَ فَلَا انْتَقَشَ
“Semoga
kesengsaraan menimpa para pemuja dinar, dirham, dan baju sutera (harta
kekayaan), bila diberi ia merasa senang, dan bila
tidak diberi, ia menjadi benci. Semoga ia menjadi sengsara dan terus menerus
menderita. Dan bila
ia tertusuk duri, semoga tiada yang sudi mencabut duri itu darinya. (HR.
al-Bukhari)
Sebaliknya,
lalai dari dunia karena sibuk membangun akhirat berarti sukses di dunia
akhirat.
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ
مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ
اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ
قَدْراً
“Dan
barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan
keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan
barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.
Sesungguhnya Allah (berkuasa untuk) melaksanakan urusan yang dikehendakai-Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap urusan." (QS.
at-Thalaq/65:2-3)
Selanjutnya
terserah kepada Anda, ingin sukses dunia akhirat atau sengsara selamanya, walau
hidup di lumbung harta benda. Sahabat Ali رضي الله عنه berkata :
ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَ ارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ
مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بُنُونَ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ
الآخِرَةِ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلَ
وَلاَ حِسَابَ، وَغَدًا حِسَابٌ ولاَ عَمَلَ
“Kehidupan
dunia bergegas menjauh, sedang akhirat kian mendekat, dan masing-masing memiliki
pengikut, maka jadilah pengikut akhirat, serta janganlah engkau menjadi pengikut
dunia. Karena sejatinya sekarang ini adalah waktu untuk beramal tanpa ada hisab,
sedangkan esok (di akhirat) adalah waktu hisab dan bukan beramal.” (Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah 8/155)
Dengan Ketulusan Niat, Anda Pasti
Beruntung
|
Suatu
yang wajar bila dalam suatu perniagaan ada yang beruntung dan ada pula yang
merugi. Namun keuntungan adalah cita-cita setiap insan, termasuk Anda. Bukankah
demikian saudaraku ? Karenanya, sudikah Anda saya tunjukkan kepada kiat-kiat
meraih keuntungan dan tidak pernah buntung ? Sukses di dunia dengan untung
segunung dan di akhirat keuntungan Anda tiada berujung ?
Tahukah
Anda kiat apakah itu? Ketahuilah, kiat itu adalah dengan menjaga hati Anda
sehingga selalu tulus karena Allah atas apapun yang Anda kerjakan, baik ibadah
ataupun amal kebiasaan Anda. Dengan niat yang baik, apalagi tulus karena Allah,
amal kebiasaan Anda bernilai ibadah, tanpa mengurangi sedikit pun dari fungsi
amal kebiasaan Anda. Demikianlah dahulu para ulama menjalani kehidupan mereka.
Sahabat Mu'az bin Jabal رضي الله عنه berkata :
أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُومُ وَأَرْجُو فِي نَوْمَتِي مَا
أَرْجُو فِي قَوْمَتِي
“Adapun aku, maka aku tidur dan juga shalat
malam, namun dari tidurku aku mengharapkan (bisa meraih) apa yang aku harapkan
(bisa diraih) dari shalat malamku.” (Muttafaqun 'alaih)
Akan
tetapi, sebaliknya, karena lalai dari niat, maka bisa menyebabkan amal ibadah
Anda hanya bernilai kebiasaan dan rutinitas semata. Dahulu
dinyatakan:
عِبَادَاتُ أَهْلِ الْغَفْلَةِ عَادَاتٌ، وَعَادَاتُ أَهْلِ
الْيَقْظَةِ عِبَادَاتٌ
“Amal ibadah orang yang lalai hanyalah
rutinitas, namun rutinitas orang yang waspada semuanya bernilai ibadah”
(Syarah al-Arba'in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhamad Ibnu Utsaimin, hlm.
9)
Subhanallah,
walaupun Anda tidur pulas hingga mendengkur, namun itu tidak menghalangi pahala
mengalir ke lembaran-lembaran amal Anda. Dengan demikian, indahnya dunia dapat
Anda nikmati dan pahala akhirat pun terus mengalir tiada henti. Enak bukan
?
Status Amalan Anda Selaras Dengan Niat
Anda
|
Setelah
mengetahui bahwa dengan niat, rutinitas Anda dapat bernilai ibadah, mungkin Anda
berkata, "Apabila benar demikian, betapa mudahnya jalan menuju surga ?" Betul
saudarku, namun walau demikian, ternyata selama ini Anda berjalan di tempat
sehingga tetap saja jauh dari pintu surga. Untuk membuktikannya, perkenankan
saya bertanya, "Berapa amalankah yang Anda kerjakan ketika Anda membaca tulisan
saya ini ?"
Tahukah
anda, bahwa sejatinya saat ini Anda sedang mengerjakan beratus-ratus amalan dan
mungkin beribu-ribu amalan? Anda terkejut keheranan dan bahkan tidak percaya
?
Untuk
membuktikanya, izinkan saya kembali bertanya, "Apakah saat ini Anda sedang
berzina ? Apakah saat ini Anda sedang memakan daging babi? Apakah saat ini Anda
sedang menyembah patung? Apakah saat ini Anda sedang mencari sanjungan (riya'
dan sum'ah) ? Apakah saat ini Anda sedang memakan riba ? Apakah saat ini Anda
sedang minum khamer? Dan masih banyak lagi pertanyan serupa yang sudah pasti
jawabannya adalah, "Tidak". Walau demikian, selama ini Anda tidak menyadari
bahwa Anda sedang mengerjakan semua amalan tersebut ketika Anda membaca tulisan
ini atau beraktifitas lainnya. Bila demikian adanya, tentu Anda tidak
mendapatkan pahala darinya, padahal Anda telah
melakukannya.
Ibnu
Hajar al-Asqalani As-Syafi’i رحمه الله berkata, "Yang benar, meninggalkan suatu
amalan tanpa disertai niat tidak mendapatkan pahala. Anda hanya mendapat pahala
bila Anda dengan sadar meninggalkan suatu hal. Sehingga barang siapa di hatinya
tidak terbetik sama-sekali tentang suatu amal maksiat, tentu tidak sama dengan
orang yang mengingatnya, lalu ia menahan diri darinya karena takut kepada Allah
عزّوجلّ.." (Fathul Bari
1/15)
Penjelasan
Ibnu Hajar ini menggambarkan betapa pentingnya menghadirkan niat baik dalam
setiap aktifitas Anda. Tanpa perlu waktu, tenaga atau bekal apapun, lautan
pahala menjadi milik Anda. Semua itu dengan mudah Anda gapai hanya berbekal niat
baik dalam hati Anda.
Ibnul
Qayyim رحمه الله lebih jauh menjelaskan, "Sungguh tujuan dan
keyakinan hati diperhitungkan pada setiap perbuatan, dan ucapan, sebagaimana
diperhitungkan pula pada amal kebaikan dan ibadah. Tujuan, niat dan keyakinan
dapat menjadikan satu amalan halal atau haram, benar atau salah, ketaatan atau
maksiat. Sebagaimana niat dalam amal ibadah menjadikannya dihukumi wajib atau
Sunnah, haram atau halal, dan benar atau salah. Dalil-dalil yang mendasari
kaedah ini terlalu banyak untuk disebutkan di sini." (I'lamul
Muwaqi’in,
3/118)
Hadits
berikut adalah salah satu dalil yang melandasi penjelasan ulama di atas
:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ
“Sesungguhnya
setiap amalan pastilah disertai dengan niat. Dan setiap pelaku amalan hanyalah
mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka orang yang berhijrah karena menaati
perintah Allah dan rasul-Nya, maka ia mendapatkan pahala dari Allah karenanya,
dan orang yang berhijrah karena urusan dunia, atau wanita yang hendak ia nikahi,
maka hanya itulah yang akan ia dapatkan (tidak mendapatkan pahala di akhirat).”
(Muttafaqun alaih)
Mengenal Dua Macam
Amalan
|
Untuk
dapat menjadikan setiap aktifitas Anda bernilai ibadah, maka terlebih dahulu
Anda harus mengenali berbagai aktifitas Anda dan niat-niat Anda pada setiap
amalan. Para Ulama menjelaskan bahwa secara global amalan terbagi menjadi dua
:
1.
Amalan
Yang Tidak Sah Bila Tanpa Niat.
Contoh
amalan jenis ini ialah berbagai amal ibadah murni, seperti shalat, puasa, haji,
wudhu dan lain sebagainya. Andai Anda melakukan amal ini tanpa disertai dengan
niat, niscaya amalan Anda tertolak dan tidak mendapatkan pahala.
Rasulullah
صلي الله عليه وسلم bersabda:
لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ
الْفَجْرِ
“Tiada
puasa bagi orang yang tidak membulatkan niatnya untuk berpuasa sebelum terbit
fajar.”
(HR. Abu Dawud, at-Tirmizi dan lainnya)
2.
Amalan
Yang Sah Walau Tanpa Niat.
Berbagai
amal ibadah yang mendatangkan manfaaat bagi pelakunya atau orang lain adalah
contoh nyata dari amalan jenis ini. Misalnya menolong orang kesusahan,
menyambung tali suaturahmi, sedekah, dan yang serupa. Dan diantara contoh amalan
ini ialah amalan dalam bentuk meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam syariat.
Misalnya, bersuci
dari najis, mengembalikan barang rampasan, membayar hutang, dan yang semisal
dengannya. Bila Anda mengamalkan amalan jenis ini tanpa niat, maka amalan Anda
sah alias menggugurkan kewajiban, namun Anda tidak mendapatkan pahala
darinya.
Beda Antara Sah dan
Diterima
|
Mungkin
Anda bertanya, sebenarnya apa sih perbedaan antara sah dengan diterima ?
Ketahuilah saudaraku, bahwa setiap amalan yang diterima pastilah sah, namun
belum tentu amalan yang sah diterima Allah عزّوجلّ. Karenanya, walaupun ibadah orang-orang
munafiq sah di dunia, namun di akhirat tidak diterima. Sebagaimana shalat orang
yang mendatangi dukun sah di dunia, namun di akhirat tidak mendapatkan pahala,
alias tidak diterima. Nabi
صلي الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَئً لَـمْ تُقْبَلْ لَهُ
صَلاَ ةُ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
“Barangsiapa
mendatangi tukang ramal, lalu ia bertanya sesuatu kepadanya, maka tidak akan
diterima satu shalatpun darinya selama empat puluh hari.”
(HR. Muslim)
Imam
Nawawi As-Syafi’I رحمه الله menjelaskan,
"Maksud hadits ini, shalatnya tidak mendapat pahala, walaupun sah dan bisa
menggugurkan kewajiban si pelaku dan tidak perlu diulang." (Syarah Shahih
Muslim oleh Imam an-Nawawi 14/227)
Dua Macam Niat
|
Para
ulama' juga menjelaskan bahwa Anda dituntut untuk menghadirkan dua jenis niat,
pada setiap kali beramal:
1.
Niat
menjalankan amalan alias mengamalkan amalan dengan sadar.
Niat
macam ini merupakan syarat sah suatu amalan. Niat dengan kategori inilah yang
biasanya dibahas dalam kitab-kitab fiqih. Bila Anda berenang di kolam renang,
namun Anda lupa bila Anda sedang junub, maka walaupun sekujur tubuh Anda telah
basah kuyup sebagaimana orang mandi junub, namun tetap saja janabah Anda belum sirna.
Karena Anda melupakan niat yang merupakan syarat sah mandi
junub.
2.
Niat
menjalankan amalan karena Allah
عزّوجلّ (ikhlas).
Dengan
niat macam ini Anda mendapatkan pahala dari amalan ibadah
Anda.
Imam
as Suyuthi As-Syafi’I رحمه الله berkata: "Sebagian ulama terkini menegaskan
bahwa ikhlas adalah suatu yang lebih dari sebatas niat. Keikhlasan tidaklah
mungkin terwujud tanpa niat, namun sebaliknya niat bisa saja terwujud walaupun
tanpa ikhlas. Sedangkan para Ulama' ahli fikih biasanya hanya membicarakan
sebatas niat, dan berbagai hukum yang mereka sebutkan hanya berkisar padanya.
Adapun keikhlasan, maka itu hanya Allah yang mengetahuinya."
(al-Asybah
wan Nazhair,
hlm.
20)
Ibnu
Taimiyyah رحمه الله berkata, "Sesungguhnya para Ulama telah
sepakat bahwa suatu amalan yang tidak mungkin diamalkan melainkan sebagai
ibadah, tidak sah kecuali dengan niat. Berbeda dengan amalan yang kadang
dilakukan sebagai amal ibadah dan di lain kesempatan sebagai suatu rutinitas,
semisal menunaikan amanat dan membayar piutang." (Majmu'
Fatawa,
18/259)
Niat
jenis ini merupakan syarat diterimanya setiap amalan. Sehingga amal apapun tidak
mungkin diterima dan mendapatkan pahala bila dilakukan dengan tidak ikhlas
karena Allah عزّوجلّ.
Amalan yang Dapat Bernilai Ibadah Dengan
Niat
|
Amalan
yang dapat memiliki nilai ibadah , karena Anda melakukannya dengan niat yang
baik ialah amalan rutinitas yang baik. Bila Anda melakukan amal rutinitas dengan
niat yang baik, maka amalan tersebut bernilai ibadah. Namun bila Anda
melakukannya karena sebatas rutinitas semata, tanpa memaksudkannya untuk meraih
pahala, maka Anda tidak mendapatkan pahala darinya.
Dan
yang dimaksud bernilai ibadah ialah Anda mendapatkan pahala dari rutinitas
tersebut, tanpa mengurangi fungsi dan manfaat dari rutinitas Anda itu. Sebagai
contoh; berhubungan badan dengan istri, adalah cara Anda untuk memenuhi
kebutuhan biologis Anda. Namun bila Anda membubuhkan niat demi menjaga diri Anda
dan istri Anda dari maksiat, tentu amalan ini mendatangkan pahala bagi Anda,
tanpa mengurangi kepuasan Anda dari hubungan badan tersebut. Rasulullah
صلي الله عليه وسلم bersabda :
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ
لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا
وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
"Dan dengan
melampiaskan syahwat birahimu engkau bisa mendapatkan pahala". Spontan para
Sahabat bertanya keheranan, "Wahai Rasulullah, mungkinkah dengan melampiaskan
syahwat birahi, kita mendapatkan pahala karenanya?'
Rasulullah balik bertanya, "Apa pendapat kalian bila ia melampiaskannya pada
perbuatan haram, bukankah ia berdosa ? Demikian pula sebaliknya bila ia
melampiaskannya di jalan yang halal, maka tentu ia mendapatkan pahala." (HR.
Muslim)
Imam
Nawawi
رحمه الله berkata,
"Pada hadits ini
terdapat
dalil bahwa dengan niat baik, amalan mubah dapat bernilai ibadah. Hubungan badan
-misalnya-bernilai ibadah bila dilakukan dengan niat memenuhi hak istri, atau
memperlakukannya dengan cara yang baik sebagaimana yang Allah perintahkan.
Demikian juga dengan tujuan mendapatkan keturunan yang shaleh, atau menjaga
dirinya atau istrinya dari perbuatan haram. Dan bisa juga dengan maksud
melindungi keduanya dari memandang hal haram, membayangkan, atau menginginkannya
atau niat-niat baik yang lain." (Syarah Shahih Muslim oleh An Nawawi
7/92)
Kalau
ini baru Anda ketahui, berarti selama ini, Anda rugi besar, karena begitu banyak
amal rutinitas Anda yang dapat mengalirkan pahala, namun selalu Anda sia-siakan.
Setiap pagi Anda makan dan minum, namun hanya sekedar menuruti selera perut
semata. Andai Anda membubuhkan niat agar dapat kembali kuat sehingga bisa
menjalankan ibadah, tentu segunung pahala dapat menjadi milik
Anda.
Dengan
demikian, niat-niat yang selama ini mendorong Anda melakukan berbagai rutinitas
Anda, seakan-akan sia-sia belaka. Kepuasan biologis, kesenangan, refresing dan
lainnya pastilah tercapai dari rutinitas Anda, baik Anda meniatkannya atau
tidak. Namun tidak demikian dengan pahala dan keridhaan Allah عزّوجلّ. Tanpa niat yang baik nan tulus, Anda tidak
mungkin meraihnya.
Sekali
lagi renungkan! Anda memberi uang belanja kepada istri, tentu membuat mereka
senang dan akhirnya setia kepada anda. Namun bila Anda membubuhkan niat
menjalankan kewajiban yang telah diamanatkan oleh Allah kepada Anda sebagai
suami, tentu ini akan menjadi amal ketaatan yang bernilai tinggi. Disamping
istri Anda tetap senang dan dengan izin Allah semakin setia kepada
Anda.
Rasulullah
صلي الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ
إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ
امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya
tidaklah engkau membelanjakan suatu harta demi mendapatkan keridhaan Allah,
melainkan engkau mendapat pahala darinya. Sampai pun sesuap makanan yang engkau
berikan kepada istrimu. (Muttafaqun 'alaih)
Bila
demikian, manakah yang lebih menguntungkan, memberi nafkah hanya sebagai
rutinitas belaka, atau membubuhkan niat mengharap keridhaan Allah عزّوجلّ padanya ? Jawabannya, tentu yang
kedua.
Menggabungkan Niat Dunia dan
Akhirat
|
Setelah
membaca keterangan di atas, mungkin Anda menduga bahwa Anda tidak dibenarkan
untuk menggabungkan niat menikmati rutinitas dengan mencari keridhaan Allah
عزّوجلّ ?
Tidak
demikian saudaraku! Menggabungkan antara keduanya adalah sah-sah saja, namun
tentu nilai ibadah Anda pun berbeda. Semakin Anda berhasil memurnikan niat pada
rutinitas Anda hanya karena Allah, semakin besar pula pahala Anda. Namun
sebaliknya semakin besar keinginan Anda untuk mewujudkan kepentingan pribadi
Anda, maka semakin kecil pula nilai ibadah amalan Anda. Renungkan kisah berikut
dari Nabi صلي الله عليه وسلم:
أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى
فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ
أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ قَالَ هَلْ لَكَ
عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ
قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
“Ada
seorang lelaki hendak menjenguk saudaranya yang berdomisili di kampung lain.
Maka Allah memerintahkan seorang malaikat untuk mencegatnya di tengah jalan.
Tatkala lelaki itu melintasi malaikat tersebut, malaikat bertanya, "Kemanakah
engkau hendak pergi ?'
Ia menjawab, "Aku hendak menjenguk saudaraku di kampung ini." Kembali malaikat
bertanya, "Apakah engkau memiliki sesuatu kepentingan yang hendak engkau
selesaikan darinya ?" Kembali ia menjawab, "Tidak, hanya saja aku mencintainya
karena Allah عزّوجلّ" Mendengar jawaban itu, malaikat itupun
berkata, "Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengkabarkan kepadamu bahwa
Allah telah mencintaimu, sebagaimana engkau telah mencintai saudaramu
karena-Nya." (HR. Muslim)
Berkunjung
ke sahabat atau saudara, pasti mendatangkan banyak manfaat di dunia. Namun
tatkala lelaki di atas tidak memiliki niat lain dari kunjungannya terhadap
saudaranya itu selain karena upaya melanggengkan hubungannya yang tulus karena
Allah عزّوجلّ, maka Allah-pun mencintainya. Suatu pahala
yang sangat besar yang sangat didamba oleh setiap insan yang beriman kepada
Allah عزّوجلّ, termasuk Anda.
Dan
dari alur kisah hadits di atas, dapat dipahami bahwa andai lelaki itu memiliki
kepentingan lain yang tidak bertentangan dengan ketulusan cintanya, tentu ia
tidak mendapatkan keutamaan tersebut.
Penutup
|
Apa
yang telah saya paparkan pada tulisan sederhana ini tentunya hanya sekelumit
dari pembahasan tentang niat. Terlalu banyak pembahasan tentang niat yang
seyogyanya kita ketahui, terlebih-lebih kiat-kiat mewujudkan niat yang tulus dan
benar dalam hidup nyata. Hati Anda walau terletak dalam dada Anda, namun tidak
mudah untuk menundukkannya. Imam Sufyan
ats-Tsauri
رحمه الله berkata :
مَا عَالَـجْتُ شَيْئًا أَسَدَّ عَلَيَّ مِنْ نَفْسِي مَرَّةً
لِي وَ مَرَّةً عَلَيَّ
“Aku
tidak pernah membenahi suatu hal yang lebih berat dibanding jiwaku sendiri.
Kadang kala patuh dengan keinginanku dan sering pula
tidak."
Ya
Allah, Wahai Pembolak-balik hati, tetapkanlah niat kami di atas ketaatan kepada-Mu. Amiin.[]
Oleh Gus Rochim
Sumber Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A خفظه الله
Sumber Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A خفظه الله
FOR UMAT MUSLIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar