Minggu, Agustus 12, 2012

TAKWA, ITULAH KEBAJIKAN



TAKWA, ITULAH KEBAJIKAN
Allah swt. berfirman:
]وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[
Bukanlah kebajikan itu kalian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi (pemilik) kebajikan itu adalah orang yang bertakwa. Masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung. (QS al-Baqarah [2]: 189).

Sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) ayat tersebut ada beberapa versi (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, I/281), namun intinya sama. Sejak zaman jahiliah, orang-orang yang berihram pada waktu haji, ketika memasuki rumahnya, bukan dari pintu-pintunya, melainkan dari belakang, bahkan ada yang masuk dengan menaiki dindingnya. Suatu waktu, seperti diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, ada seorang Anshar yang pulang menunaikan haji memasuki rumah melalui pintunya. Padahal, orang-orang Anshar, apabila pulang haji, tidak memasuki rumah dari pintunya, melainkan dari belakang. Orang tersebut seakan-akan menjadi aib akibat perbuatannya itu. Sebab, mendatangi rumah dari belakang menurut orang-orang waktu itu lebih dekat pada kebajikan dibandingkan dengan mendatangi rumah dari pintu yang seharusnya. Pada saat itu, turunlah surat al-Baqarah (2) ayat 189 di atas.

Satu hal yang menarik dan penting adalah susunan kalimat dalam ayat tersebut. Ketika seseorang mendengar pernyataan, “Bukanlah kebajikan itu kalian memasuki rumah-rumah dari belakangnya,” tentu saja, sesuai kegaliban, ia berharap ayat tersebut akan sempurna dengan langsung menyatakan, “tetapi kebajikan itu kalian memasuki rumah-rumah dari pintunya.” Namun, dalam ayat ini Allah SWT mengajarkan kepada kita, bahwa kebajikan itu bukanlah dengan mengikuti apa yang dianggap dan diklaim baik oleh logika manusia. Sebaliknya, kebajikan itu adalah takwa kepada Allah SWT yang tercermin dari sikap takut kepada-Nya dan taat pada perintah-perintah-Nya. Sesuatu disebut kebajikan jika ia berasal dari Allah SWT lewat wahyu-Nya dan didasarkan dalam kerangka menaati Zat Yang Mahagagah. Sebaliknya, sesuatu yang dirasa atau diklaim manusia sebagai kebajikan, jika bertentangan dengan wahyu Allah SWT, bukanlah merupakan suatu kebajikan. Inilah inti Islam dan hakikatnya.

Hal yang senada dengan ayat ini adalah surat tentang pengalihan arah kiblat dari Bait al-Muqaddas (Baitul Maqdis di Yerussalem) ke Masjid al-Haram di Mekkah. Dalam memahami surat al-Baqarah (2) ayat 142–150, Imam Ibn Katsir (Ibid, II/236–237), mengutip riwayat Imam al-Bukhari, menyebutkan bahwa Rasulullah saw. sejak di Madinah melakukan shalat selama 16 atau 17 bulan menghadap ke Bait al-Muqaddas. Lalu, beliau dan para sahabatnya diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengalihkan arah kiblatnya ke Bait al-Haram. Saat itu, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan munafik meledek Rasulullah saw. “Apa yang dikehendaki Muhammad, dulu menghadap ke sana, kok sekarang menghadap ke arah lain lagi,” ujar mereka. Akan tetapi, Allah SWT menohok pernyataan mereka:

]قُلْ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ[

Katakanlah, milik Allah-lah timur dan barat itu. (QS al-Baqarah [2]: 142).

Artinya, hukum, hak mengatur (ath-thasharruf) dan perintah, semuanya itu milik Allah SWT (Ibn Katsir, Ibid, II/237). Bahkan di dalam surat yang sama ayat 143 Allah SWT menegaskan bahwa diubahnya arah kiblat adalah semata-mata untuk mengetahui siapa yang mengikuti Rasulullah saw. dan siapa yang tidak. Sebagai kesimpulan akhir dari semua itu, Allah SWT menegaskan:

]لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَءَاتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ[

Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu sebagai suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kiamat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang yang meminta-minta; serta memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; orang-orang yang menepati janjinya jika ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 177).

Dalam kesimpulannya mengenai tafsir ayat ini, Ibn Katsir menyatakan bahwa segala sesuatu harus dilakukan dalam rangka menunaikan perintah Allah SWT; dimana pun kita menghadap, di situlah kita ber-tawajjuh kepada Allah; sekalipun suatu hari kita shalat berpindah-pindah kiblat tidak masalah. Sebab, kita adalah hamba-Nya, aturan dibuat oleh-Nya, melayani-Nya harus dimana saja. Demikian paparnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah kebajikan menurut ajaran Allah SWT bukanlah sesuatu yang dianggap baik menurut kebiasaan, logika, ataupun hawa nafsu manusia. Kebajikan adalah ketaatan kepada Allah SWT. Ketika seseorang menaati Allah SWT berarti ia berbuat kebajikan. Sebaliknya, perbuatan apapun yang diimajinasikan sebagai kebajikan, jika tidak berasal dari wahyu (al-Quran, Hadis Nabi saw., Ijma Sahabat, dan Qiyas syar‘iyyah)—sekalipun secara teoretis, realitas budaya, dan kondisi politik itulah yang dianggap terbaik di antara perkara-perkara buruk—itu hanyalah “ilusi kebajikan”. Sebab, semua itu di sisi Allah SWT tidak bermakna apa-apa. Dengan kata lain, kebajikan itu terletak di dalam ketaatan pada hukum Allah SWT. Secara lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa takwa itulah kebajikan; taat kepada aturan Allah SWT itulah kebajikan.

Maslahat Belum Tentu Baik

Akibat pengaruh kapitalisme-sekular, banyak di antara kaum Muslimin, termasuk tokoh Islam, yang menjadikan kemaslahatan sebagai dasar penetapan sesuatu sebagai kebajikan. Padahal, banyak sekali peristiwa yang diceritakan di dalam al-Quran menunjukkan keadaan sebaliknya. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Di dalam surat ash-Shafat ayat 102–111 digambarkan bagaimana seorang ayah, Ibrahim, rela menyembelih anak yang sangat dirindukan kehadirannya sejak lama, Ismail. Ibrahim melakukan semua itu demi menaati perintah Allah SWT. Demikian pula Ismail. “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatkanku termasuk kedalam orang-orang yang sabar,” jawabnya tandas. Jika dilihat dari kacamata kemaslahatan, dimanakah kemaslahatan dalam perkara ini? Tidak ada sama sekali. Sebaliknya, sungguh kejadian ini merupakan suatu fasad yang nyata. Akan tetapi, kedua hamba Allah ini tidak mengikuti tolok ukur manusiawinya. Sebaliknya, mereka menaati Allah SWT sekalipun akal manusia sulit memahaminya. Satu hal yang di luar dugaan mereka berdua, Allah memberikan kurnia-Nya sebagai balasan dari ketaatan kepada-Nya.
2. Kasus Nabi Musa dan Khidhir. Di dalam surat al-Kahfi (18) ayat 65–82 Allah SWT menggambarkan kasus Nabi Musa dan Khidhir. Pada peristiwa itu, Khidhir melubangi perahu orang lain dan membunuh orang. Nabi Musa pun ketika itu tidak menyetujuinya. Akan tetapi, itulah aturan Allah SWT yang diberikan kepada Khidhir.
3. Larangan Allah SWT untuk bekerja pada hari Sabtu bagi Bani Israel dan khusus hari itu untuk beribadah. Padahal, pada hari itulah ikan-ikan di perairan melimpah (QS al-A’raf [7]: 163). Menurut logika mereka, pada hari Sabtu itu justru mereka seharusnya berusaha mengambil ikan. Akhirnya, mereka pun melanggarnya (QS an-Nisa [4]: 154–155). Ujungnya, Allah SWT memurkai mereka. Jelaslah, orang-orang yang menggunakan maslahat dalam ukuran manusiawinya tersebut ternyata mendapatkan azab dari Allah SWT akibat menentang aturan-Nya. Ternyata, kebajikan terletak dalam ketaatan pada Allah SWT, bukan pada maslahat dan hawa nafsu.
Berdasarkan sejarah yang diabadikan al-Quran tersebut dapat diambil pelajaran bahwa kebajikan itu terletak di dalam ketakwaan. Imam Ibn Katsir menyatakan bahwa wujud dari ketakwaan itu adalah meninggalkan yang haram dan melakukan ketaatan kepada Allah SWT (Ibn Katsir, ibid., I/260).

Taqwa Membawa Kebahagiaan Dunia-Akhirat

Allah SWT telah menjanjikan kepada umat manusia bahwa orang yang bertakwa akan mendapatkan balasan terbaik. Allah SWT berfirman:

]وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ[

Bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabb-nya ada dua surga. (QS ar-Rahman [55]: 46).

Menurut Imam Jalalain, orang yang takut kepada Allah dalam ayat itu adalah orang yang takut akan hisab-Nya nanti dan karenanya meninggalkan maksiat; dialah yang akan mendapatkan dua surga (Jalalain, Tafsîr Jalâlain, hlm. 204). Dua surga itu menurut sebagian ahli tafsir adalah di akhirat, tetapi menurut sebagian lainnya satu di dunia (fi ad-dunya hasanah) dan satu di akhirat (fi al-akhirah hasanah).

Sebaliknya, Allah SWT juga berfirman:

]وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan membangkitkannya pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta. (QS. Thaha [20]: 124).

Orang yang berpaling dari peringatan Allah adalah orang yang menyalahi perintah Allah dan seluruh wahyu yang diturunkan kepada para rasul-Nya; tidak mengindahkannya, melupakannya, serta mengambil petunjuk dari selain aturan Allah SWT. Sedangkan kehidupan yang sempit (ma‘isyah dhanka) adalah tiadanya ketenangan di dunia, ditimpa kenestapaan, keyakinannya berguncang, dan disiksa di alam kubur (Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/206).

Merujuk pada hal-hal di atas, dapat disebutkan bahwa kesadaran untuk “menyucikan” perintah Allah SWT dan larangan-Nya, bahwa semata-mata semua itu berasal dari Allah SWT, merupakan dasar untuk mengikuti wahyu dari-Nya. Dengan kata lain, itulah dasar ketakwaan. Sementara itu, takwa merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Bagaimanapun, seluruh aturan dan hukum Allah SWT, jika dihayati dan diterapkan, akan mendatangkan kemaslahatan di dunia. Hal ini pun telah dibuktikan secara historis. Siapapun yang memahami sejarah tidak akan mengingkarinya. Ringkasnya, kebajikan terdapat di dalam ketakwaan. Sebaliknya, takwa, itulah kebajikan. 

Ya, Allah, saksikanlah, kebenaran telah kami sampaikan

[] Oleh Gus Rochim

Sumber BUNDEL AL-ISLAM EDISI 201~290

Tidak ada komentar:

Posting Komentar