TAKWA,
ITULAH KEBAJIKAN
Allah
swt. berfirman:
]وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا
اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[
Bukanlah kebajikan itu kalian memasuki
rumah-rumah dari belakangnya, tetapi (pemilik) kebajikan itu adalah orang yang
bertakwa. Masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada
Allah agar kalian beruntung.
(QS al-Baqarah [2]: 189).
Sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) ayat tersebut ada
beberapa versi (Ibn Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, I/281), namun intinya sama. Sejak zaman jahiliah, orang-orang yang
berihram pada waktu haji, ketika memasuki rumahnya, bukan dari pintu-pintunya,
melainkan dari belakang, bahkan ada yang masuk dengan menaiki dindingnya. Suatu waktu, seperti diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim, ada seorang Anshar yang pulang menunaikan haji
memasuki rumah melalui pintunya. Padahal, orang-orang Anshar, apabila pulang
haji, tidak memasuki rumah dari pintunya, melainkan dari belakang. Orang
tersebut seakan-akan menjadi aib akibat perbuatannya itu. Sebab, mendatangi rumah dari belakang menurut
orang-orang waktu itu lebih dekat pada kebajikan dibandingkan dengan mendatangi
rumah dari pintu yang seharusnya. Pada
saat itu, turunlah surat al-Baqarah (2) ayat 189 di atas.
Satu hal yang menarik dan penting adalah susunan kalimat dalam ayat
tersebut. Ketika seseorang mendengar pernyataan, “Bukanlah kebajikan itu kalian memasuki
rumah-rumah dari belakangnya,” tentu saja, sesuai kegaliban, ia berharap
ayat tersebut akan sempurna dengan langsung menyatakan, “tetapi kebajikan itu
kalian memasuki rumah-rumah dari pintunya.”
Namun, dalam ayat ini Allah SWT mengajarkan kepada kita, bahwa kebajikan
itu bukanlah dengan mengikuti apa yang dianggap dan diklaim baik oleh logika
manusia. Sebaliknya, kebajikan itu
adalah takwa kepada Allah SWT yang tercermin dari sikap takut kepada-Nya dan
taat pada perintah-perintah-Nya. Sesuatu
disebut kebajikan jika ia berasal dari Allah SWT lewat wahyu-Nya dan didasarkan
dalam kerangka menaati Zat Yang Mahagagah. Sebaliknya, sesuatu yang dirasa atau
diklaim manusia sebagai kebajikan, jika bertentangan dengan wahyu Allah SWT,
bukanlah merupakan suatu kebajikan.
Inilah inti Islam dan hakikatnya.
Hal yang senada dengan ayat ini adalah surat tentang pengalihan arah
kiblat dari Bait al-Muqaddas (Baitul Maqdis di Yerussalem) ke Masjid
al-Haram di Mekkah. Dalam memahami surat al-Baqarah (2) ayat 142–150, Imam Ibn
Katsir (Ibid, II/236–237), mengutip
riwayat Imam al-Bukhari, menyebutkan bahwa Rasulullah saw. sejak di Madinah
melakukan shalat selama 16 atau 17 bulan menghadap ke Bait
al-Muqaddas. Lalu, beliau dan para
sahabatnya diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengalihkan arah kiblatnya ke
Bait al-Haram. Saat itu,
orang-orang Yahudi, Nasrani, dan munafik meledek Rasulullah saw. “Apa yang dikehendaki Muhammad, dulu
menghadap ke sana, kok sekarang menghadap ke arah lain lagi,” ujar
mereka. Akan tetapi, Allah SWT menohok pernyataan mereka:
]قُلْ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ[
Katakanlah, milik Allah-lah timur dan barat
itu. (QS al-Baqarah
[2]: 142).
Artinya, hukum, hak mengatur (ath-thasharruf) dan perintah, semuanya
itu milik Allah SWT (Ibn Katsir, Ibid, II/237). Bahkan di dalam surat yang sama ayat 143
Allah SWT menegaskan bahwa diubahnya arah kiblat adalah semata-mata untuk
mengetahui siapa yang mengikuti Rasulullah saw. dan siapa yang tidak. Sebagai kesimpulan akhir dari semua itu,
Allah SWT menegaskan:
]لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ
وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَءَاتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ
ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ
وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُتَّقُونَ[
Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah
timur dan barat itu sebagai suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kiamat, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir, dan orang yang meminta-minta; serta memerdekakan
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; orang-orang yang menepati
janjinya jika ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Mereka
itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 177).
Dalam kesimpulannya mengenai tafsir ayat
ini, Ibn Katsir menyatakan bahwa segala sesuatu harus dilakukan dalam rangka
menunaikan perintah Allah SWT; dimana pun kita menghadap, di situlah kita ber-tawajjuh kepada Allah; sekalipun suatu
hari kita shalat berpindah-pindah kiblat tidak masalah. Sebab, kita adalah hamba-Nya, aturan dibuat
oleh-Nya, melayani-Nya harus dimana saja.
Demikian paparnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah kebajikan menurut ajaran Allah
SWT bukanlah sesuatu yang dianggap baik menurut kebiasaan, logika, ataupun hawa
nafsu manusia. Kebajikan adalah ketaatan
kepada Allah SWT. Ketika seseorang
menaati Allah SWT berarti ia berbuat kebajikan.
Sebaliknya, perbuatan apapun yang diimajinasikan sebagai kebajikan, jika
tidak berasal dari wahyu (al-Quran, Hadis Nabi saw., Ijma Sahabat, dan Qiyas
syar‘iyyah)—sekalipun secara teoretis, realitas budaya, dan kondisi
politik itulah yang dianggap terbaik di antara perkara-perkara buruk—itu
hanyalah “ilusi kebajikan”. Sebab, semua
itu di sisi Allah SWT tidak bermakna apa-apa.
Dengan kata lain, kebajikan itu terletak di dalam ketaatan pada hukum
Allah SWT. Secara lebih sederhana dapat
dikatakan, bahwa takwa itulah kebajikan; taat kepada aturan Allah SWT itulah
kebajikan.
Maslahat
Belum Tentu Baik
Akibat pengaruh kapitalisme-sekular, banyak di antara kaum Muslimin,
termasuk tokoh Islam, yang menjadikan kemaslahatan sebagai dasar penetapan
sesuatu sebagai kebajikan. Padahal,
banyak sekali peristiwa yang diceritakan di dalam al-Quran menunjukkan keadaan
sebaliknya. Di antaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Kisah pengorbanan
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Di dalam
surat ash-Shafat ayat 102–111 digambarkan bagaimana seorang ayah, Ibrahim, rela
menyembelih anak yang sangat dirindukan kehadirannya sejak lama, Ismail. Ibrahim melakukan semua itu demi menaati
perintah Allah SWT. Demikian pula
Ismail. “Hai bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatkanku termasuk
kedalam orang-orang yang sabar,” jawabnya tandas. Jika dilihat dari kacamata
kemaslahatan, dimanakah kemaslahatan dalam perkara ini? Tidak ada sama sekali. Sebaliknya, sungguh kejadian ini merupakan
suatu fasad yang nyata. Akan tetapi,
kedua hamba Allah ini tidak mengikuti tolok ukur manusiawinya. Sebaliknya,
mereka menaati Allah SWT sekalipun akal manusia sulit memahaminya. Satu hal yang di luar dugaan mereka berdua,
Allah memberikan kurnia-Nya sebagai balasan dari ketaatan kepada-Nya.
2.
Kasus Nabi Musa
dan Khidhir. Di dalam surat al-Kahfi
(18) ayat 65–82 Allah SWT menggambarkan kasus Nabi Musa dan Khidhir. Pada peristiwa itu, Khidhir melubangi perahu
orang lain dan membunuh orang. Nabi Musa pun ketika itu tidak menyetujuinya.
Akan tetapi, itulah aturan Allah SWT yang diberikan kepada Khidhir.
3.
Larangan Allah
SWT untuk bekerja pada hari Sabtu bagi Bani Israel dan khusus hari itu untuk
beribadah. Padahal, pada hari itulah
ikan-ikan di perairan melimpah (QS al-A’raf [7]: 163). Menurut logika mereka, pada hari Sabtu itu
justru mereka seharusnya berusaha mengambil ikan. Akhirnya, mereka pun melanggarnya (QS an-Nisa
[4]: 154–155). Ujungnya, Allah SWT
memurkai mereka. Jelaslah, orang-orang
yang menggunakan maslahat dalam ukuran manusiawinya tersebut ternyata
mendapatkan azab dari Allah SWT akibat menentang aturan-Nya. Ternyata, kebajikan terletak
dalam ketaatan pada Allah SWT, bukan pada maslahat dan hawa
nafsu.
Berdasarkan sejarah
yang diabadikan al-Quran tersebut dapat diambil pelajaran bahwa kebajikan itu
terletak di dalam ketakwaan. Imam Ibn Katsir menyatakan bahwa wujud dari
ketakwaan itu adalah meninggalkan yang haram dan melakukan ketaatan kepada Allah
SWT (Ibn Katsir, ibid., I/260).
Taqwa Membawa Kebahagiaan
Dunia-Akhirat
Allah SWT telah menjanjikan kepada umat manusia bahwa orang yang bertakwa
akan mendapatkan balasan terbaik. Allah
SWT berfirman:
]وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ[
Bagi orang yang takut akan saat menghadap
Rabb-nya ada dua surga. (QS ar-Rahman [55]: 46).
Menurut Imam Jalalain, orang yang takut
kepada Allah dalam ayat itu adalah orang yang takut akan hisab-Nya nanti dan
karenanya meninggalkan maksiat; dialah yang akan mendapatkan dua surga
(Jalalain, Tafsîr Jalâlain, hlm.
204). Dua surga itu menurut sebagian
ahli tafsir adalah di akhirat, tetapi menurut sebagian lainnya satu di dunia (fi ad-dunya hasanah) dan satu di akhirat
(fi al-akhirah hasanah).
Sebaliknya, Allah SWT juga
berfirman:
]وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا
وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku
maka baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan membangkitkannya pada Hari
Kiamat nanti dalam keadaan buta. (QS. Thaha [20]: 124).
Orang yang berpaling dari peringatan Allah
adalah orang yang menyalahi perintah Allah dan
seluruh wahyu yang diturunkan kepada para rasul-Nya; tidak mengindahkannya,
melupakannya, serta mengambil petunjuk dari selain aturan Allah SWT. Sedangkan kehidupan yang sempit (ma‘isyah dhanka) adalah tiadanya ketenangan di dunia,
ditimpa kenestapaan, keyakinannya berguncang, dan disiksa di alam kubur (Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,
III/206).
Merujuk pada hal-hal di atas, dapat
disebutkan bahwa kesadaran untuk “menyucikan” perintah Allah SWT dan
larangan-Nya, bahwa semata-mata semua itu berasal dari Allah SWT, merupakan
dasar untuk mengikuti wahyu dari-Nya.
Dengan kata lain, itulah dasar ketakwaan. Sementara itu, takwa merupakan syarat mutlak
(conditio sine qua non) bagi
kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Bagaimanapun, seluruh aturan dan hukum Allah
SWT, jika dihayati dan diterapkan, akan mendatangkan kemaslahatan di dunia. Hal ini pun telah dibuktikan secara
historis. Siapapun yang memahami sejarah
tidak akan mengingkarinya. Ringkasnya, kebajikan terdapat di dalam ketakwaan.
Sebaliknya, takwa, itulah kebajikan.
Ya,
Allah, saksikanlah, kebenaran telah kami sampaikan!
[] Oleh Gus Rochim
Sumber BUNDEL AL-ISLAM EDISI 201~290
Sumber BUNDEL AL-ISLAM EDISI 201~290
Tidak ada komentar:
Posting Komentar