Kamis, Maret 29, 2012

Status Anak Hasil Zina

Tidak dapat dipungkiri lagi musibah perzinaan sudah mulai merebak di negara ini. Kata ‘zina’ mulai

disamarkan dengan istilah yang samar dan agak menarik, WIL (Wanita Idaman Lain), PIL (Pria

Idaman Lain), PSK (Penjaja Seks Komersial), Gadis Pendamping dan yang sejenisnya yang

mengesankan permasalahan ini mulai dianggap ringan oleh sebagian kaum muslimin di negeri ini.

Ditambah lagi dengan ditinggalkannya syariat islam secara umum dan khususnya hukuman bagi

para pezina. Sehingga hal-hal ini mendukung tersebarnya penyakit ini dilingkungan kaum muslimin.

Padahal semaraknya perzinaan membuahkan banyak permasalahan. Tidak hanya pada kedua

pelakunya namun juga pada buah hasil perbuatan tersebut. Gelaran anak zina sudah cukup

membuat sedih anak tersebut, apalagi kemudian muncul masalah lainnya, seperti nasab, warisan,

perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya yang tidak mungkin lepas darinya.

Realita seperti ini tentunya tidak lepas dari sorotan syari’at Islam yang sempurna dan cocok untuk

semua zaman. Tinggal kita melihat kembali bagaimana fikih Islam memandang status anak zina

dalam keluarganya. Hal ini menjadi lebih penting dan mendesak dengan banyaknya realita status

mereka yang masih banyak dipertanyakan masyarakat. Tentunya ini semua membutuhkan

penjelasan fikih islam walaupun dalam bentuk yang ringkas, agar masyarakat menyadari implikasi

buruk zina dan tidak salah dalam menyikapi anak-anak yang lahir dari perzinaan.

Hal ini semakin penting untuk diketahui dengan adanya sikap salah dari sebagian masyarakat

dalam menghukumi mereka. Apalagi dengan adanya sebagian kaum lelaki yang mengingkari janin

yang dikandung istrinya atau anak yang lahir dari istrinya itu adalah hasil hubungan dengannya.

Atau juga sengaja menikahi wanita hamil di luar nikah, kemudian untuk menutupi aib keluarga dan

menasabkan anak tersebut sebagai anaknya.

Nasab anak zina

Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan

kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya [lihat Al Mughni

9/123]. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan tentang anak zina:

??????? ??????? ???? ???????

Artinya: “Untuk keluarga ibunya yang masih ada…” [HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi

Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu

Dawud no. 1983]

Juga menasabkan anak dari Mula’anah kepada ibunya, sebagaimana dijelaskan Ibnu Umar

Radhiallahu’anhuma dalam penuturannya:

??????? ??????? ???? ???????

?????? ??? ???? ?????? ?????? ????????????? ? ?????????? ???? ????????? ? ????????? ??????????? ? ?????????? ????????? ?????????????

Artinya: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan mula’anah antara seorang dengan istrinya.

Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya.” [HR. Bukhari, Kitab Ath-

Thalaq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah lihat Fathu al Baari 9/460]

Inilah salah satu konsekuensi mula’anah. Ibnu al-Qayyim ketika menjelaskan konsekuensi

mula’anah menyatakan: “Hukum yang ke enam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang

bapak, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan untuk tidak dipanggil anak

tersebut dengan nasab bapak, inilah yang benar dan ia adalah pendapat mayoritas ulama.” [Zaad

al-Ma’ad 5/357]

Syaikh Musthafa Al’Adawi Hafizhahullah menyatakan: “Inilah pendapat mayoritas ulama bahwa

nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya karena Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam

menetapkan tidak dinasabkan kepada bapaknya. Inilah pendapat yang benar.” [Jaami’ Ahkaam an-

Nisaa` 4/232]

Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menyatakan: “Anak zina

diciptakan dari sperma tanpa pernikahan, sehingga tidak dinasabkan kepada seorangpun baik

kepada lelaki yang menzinahinya atau kepada suami wanita tersebut apabila ia bersuami, karena ia

tidak memiliki bapak yang syar’i.” [Syarhu al-Mumti’, Tahqiq Kholid al-Musyaiqih, 4/255]

Nasab anak hasil selingkuh atau perzinahan, apabila dilihat kepada status ibunya, maka dapat

dikategorikan menjadi dua :

1. Berstatus istri seorang suami.

Seorang wanita bersuami yang terbukti selingkuh kemudian melahirkan anaknya, maka tidak lepas

dari dua keadaan:

Sang suami tidak mengingkari anak tersebut dan mengakuinya sebagai anaknya.

Apabila terlahir anak dari seorang wanita resmi bersuami dan sang suami tidak mengingkari anak

tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah

hasil selingkuh dengannya, dasarnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam

hadits A’isyah Radhiallahu’anha :

???????? ??????????? ? ????????????? ?????????

Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum” [HR Al-Bukhari

kitab Al-Faraa’id, Bab Man idda’a Akhanat au Ibna Akhi, lihat Fathul Bari 12/52 ]

Yang dimaksud dengan kata al-Firaasy disini adalah lelaki yang memiliki istri atau budak wanita

yang sudah pernah digaulinya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah

Radhiallahu’anhu yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah

bersabda:

????????? ????????? ??????????

Artinya: “Anak yang lahir adalah milik sang pemilik kasur (suami)” [HR al-Bukhori dalam itab al-

Faraaid, Bab al-Walad Lil Firaasy Hurratan kaanat au Amatan, lihat Fathul Baari, 12/32 ]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah menyatakan: “Kapan saja seorang wanita

telah menjadi firaasy baik sebagai istri atau budak wanita, lalu lahirlah darinya seorang anak, maka

anak itu milik pemilik firaasy” [al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 552]. Beliaupun menambahkan: “Dengan

Firasy ini maka tidak dianggap keserupaan fisik atau pengakuan seorang dan tidak juga yang

lainnya” [al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 553].

Sang suami mengingkarinya

Apabila sang suami mengingkari anak tersebut, maka sang wanita (sang istri) berada dalam satu

dari dua keadaan:

Mengakui kalau itu memang hasil selingkuh atau terbukti dengan persaksian yang sesuai syari’at,

maka dihukum dengan rajam dan anaknya adalah anak zina. Dengan demikian maka nasab anak

tersebut dinasabkan kepada ibunya.

Wanita itu mengingkari anak tersebut hasil selingkuh, maka pasangan suami istri itu saling

melaknat (mula’anah) lalu dipisahkan dan digagalkan ikatan pernikahan keduanya selama-lamanya.

Anak tersebut menjadi anak mula’anah bukan anak zina. Namun demikian tetap dinasabkan

kepada ibunya.

2. Tidak menjadi istri seseorang.

Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah lalu

melahirkan anak, maka anak tersebut memiliki dua keadaan:

Bila tidak ada seorangpun yang menzinainya yang meminta anak tersebut dinasabkan kepadanya,

maka hukumnya tidak dinasabkan kepada lelaki dan dinasabkan kepada ibunya.

Bila ada yang mengaku menzinai wanita tersebut dan mengakui anak tersebut adalah anaknya,

maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dalam dua pendapat:

Pendapat pertama menyatakan Anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya.

Inilah pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (imam empat madzhab) [Lihat Ikhtiyaraat Ibnu

Taimiyah, Ahmad al-Muufi 2/828] dan pendapat Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiriyah [Lihat al-

Muhalla 10/323]. Pendapat ini dirajihkan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.

Dasar pendapat ini adalah:

Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

???????? ??????????? ? ????????????? ?????????

Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” [HR Bukhari]

Dalam hadits yang mulia ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menjadikan anak tersebut

dinasabkan kepada selain suami ibunya. Menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina

menyelisihi tuntutan hadits ini.

Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:

????? ???????? ????????? ??? ???????? ??? ???????????? ?????? ?????? ??????????????? ????????? ??????????? ????????????? ?????????.

Artinya: “Seorang berdiri seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak saya,

saya dulu di zaman Jahiliyah menzinahi ibunya’. Maka Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam

menjawab: ‘Tidak ada pengakuan anak dalam islam, telah hilang urusan jahiliyah. Anak adalah milik

suami wanita (al-Firaasy) dan pezina dihukum’.”[HR. Abu Dawud, Kitab Ath-Thalaq, Bab Al-Walad Lil

Firasy no. 2274 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih sunan Abu Dawud dan Shahih al-jaami’

no. 2493]

Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

?? ???? ?????? ??? ??????????????? ?????? ?????? ???????????? ?????? ??????? ??????? ???? ?????? ???????? ????? ?????? ????? ???????

Artinya: “Tidak ada perzinaan dalam islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan

kepada kerabat ahli warisnya (Ashobah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak

mewarisi dan tidak mewariskan.” [HR. Abu Dawud no. 2264 dan di- dhoif-kan Al-Albani dalam

Dho’if al-Jaami dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zaad al-Ma’ad 5/382]

Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiallahu’anhu yang berbunyi :

????? ??????????

?? ???????? ???? ????? ?????? ?????? ????? ??????? ??????? ???? ???? ????????? ?????? ?????? ???????? ???? ??????? ????? ???? ??????.

Artinya: “Sungguh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ingin memutuskan bahwa setiap anak yang

dinasabkan setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli

warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak yang dimilikinya (sang

majikan) pada waktu digauli (hubungan suami istri), maka dinasabkan kepada yang meminta

penasabannya dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan sebelum

(dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya. Tidak

dinasabkan (kepada sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila

dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinainya, maka anak tersebut

tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang

mengklaimnya, karena ia anak zina baik dari wanita merdeka atau budak sahaya.” [HR Abu daud

no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-

Arna`uth dalam tahqiq Zaad al-Ma’ad 5/383]

Ibnu al-Qayyim menyatakan: “Hadits ini membantah pendapat Ishaaq dan yang sepakat

dengannya.” [Zaad al-Ma’ad 5/384]

Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

???????? ?????? ??????? ????????? ???? ?????? ??????????? ?????? ????? ? ??? ?????? ????? ????????

Artinya: “Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak

zina, tidak mewarisi dan mewariskan.” [HR At-Tirmidzi, kitab al-Fara`idh 4/428 dan dishahihkan al-

Albani dalam Shahih Sunan At-tirmidzi dan Shohih al-Jaami’ no. 2723]

Ibnu Qudamah Rahimahullah menyampaikan alasannya bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada

bapaknya apabila tidak diminta penasabannya, sehingga menunjukkan anak itu tidak dianggap

anak secara syar’I sehingga tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali. [Al-Mughni 7/129-130

dinukil dari Ikhtiyaraat Ibnu Taimiyah 2/828]

Pendapat kedua menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina apabila ia meminta

penasabannya. Inilah pendapat Ishaaq bin Rahawaih, ‘Urwah bin az-Zubeir, Sulaiman bin Yasaar

dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.

Ibnu Taimiyah menyatakan: “Ada dua pendapat ulama dalam masalah pezina meminta anak

zinanya dinasabkan kepadanya apabila wanita yang dizinahi tersebut tidaklah bersuami. Nabi

Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

???????? ??????????? ? ????????????? ?????????

Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.”

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan anak tersebut miliki suami (al-Firaasy) tidak kepada

pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firaasy) maka tidak masuk dalam hadits ini.” [Majmu’

Fatawa 32/112-113]

Ibnu Taimiyah berargumen dengan perbuatan Khalifah Umar bin Al-Khathab sebagaimana

diriwayatkan imam Malik dalam al-Muwaththa’ dengan lafadz:

????? ?????? ???? ??????????? ????? ???????? ????????? ??????????????? ?????? ??????????? ??? ??????????? .

Artinya: “Umar bin al-Khaththab Radhiallahu’anhu dahulu menasabkan anak-anak jahiliyah kepada

yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam.” [Al-Muwaththa’ 2/740]

Demikian juga berargumen dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah salah satu pasangan

berzina tersebut. Apabila dinasabkan kepada ibunya dan mewarisinya serta adanya nasab antara

anak tersebut dengan kerabat ibunya padahal ia berzina dengan lelaki (bapaknya) tersebut. Anak

itu ada dari air kedua pasangan tersebut dan berserikat padanya dan keduanya sepakat itu adalah

anaknya, lalu apa yang mencegah dinasabkan anak tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya

tidak mengakuinya? Ini adalah qiyas murni [Zaad al-Ma’ad 5/381].

Yang rajih, Wallahu A’lam , adalah pendapat jumhur dengan shahihnya dalil kedua dan keempat

yang merupakan dalil yang jelas menguatkan pendapat jumhur.

Ibnu al-Qayyim setelah membahas perbedaan pendapat dalam masalah ini dan menyampaikan

hadits keempat dari dalil pendapat pertama, menyatakan: “Apabila hadits ini shohih maka wajib

berpendapat dengan isi kandungannya dan mengambilnya. Apabila tidak (shahih) maka pendapat

(yang rojih) adalah pendapat Ishaaq dan yang bersamanya.” [Zaad al-Ma’ad 5/381]

Anak Zina dan Warisan

Hukum dalam warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak

mula’anah karena terputusnya nasab mereka dari sang bapak [Lihat al-Mughni 9/122]. Masalah

waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi nasabnya.

1. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.

Hubungan waris mewaris antara anak zina dengan bapaknya ada dengan adanya sebab pewarisan

(Sabaab al-Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’I kepada lelaki tersebut

maka tidak ada waris mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian maka anak zina tersebut

tidak mewarisi dari orang tersebut dan kerabatnya dan juga lelaki tersebut tidak mewarisi harta

dari anak zina tersebut.

2. Anak zina dengan ibunya

Sedangkan dengan ibunya maka terjadi saling mewarisi dan anak zina tersebut sama seperti anak-

anak ibunya yang lainnya, karena ia adalah anaknya sehingga masuk dalam keumuman firman

Allah Ta’ala :

ُﻢُﻜﻴِﺻﻮُﻳ ُﻪَّﻠﻟﺍ ْﻢُﻛِﺩﻻْﻭَﺃ ﻲِﻓ ُﻞْﺜِﻣ ِﺮَﻛَّﺬﻠِﻟ ِّﻆَﺣ ِﻦْﻴَﻴَﺜْﻧﻷﺍ ًﺀﺎَﺴِﻧ َّﻦُﻛ ْﻥِﺈَﻓ َﻕْﻮَﻓ َّﻦُﻬَﻠَﻓ ِﻦْﻴَﺘَﻨْﺛﺍ ﺎَﻣ ﺎَﺜُﻠُﺛ َﻙَﺮَﺗ ْﻥِﺇَﻭ ًﺓَﺪِﺣﺍَﻭ ْﺖَﻧﺎَﻛ

ﺎَﻬَﻠَﻓ ِﻪْﻳَﻮَﺑﻷَﻭ ُﻒْﺼِّﻨﻟﺍ ﺎَﻤُﻬْﻨِﻣ ٍﺪِﺣﺍَﻭ ِّﻞُﻜِﻟ ُﺱُﺪُّﺴﻟﺍ ﺎَّﻤِﻣ َﻙَﺮَﺗ َﻥﺎَﻛ ْﻥِﺇ ُﻪَﻟ ْﻥِﺈَﻓ ٌﺪَﻟَﻭ ْﻢَﻟ ْﻦُﻜَﻳ ُﻪَﻟ ُﻩﺍَﻮَﺑَﺃ ُﻪَﺛِﺭَﻭَﻭ ٌﺪَﻟَﻭ ِﻪِّﻣﻸَﻓ

ُﺚُﻠُّﺜﻟﺍ ْﻥِﺈَﻓ ُﻪَﻟ َﻥﺎَﻛ ِﻪِّﻣﻸَﻓ ٌﺓَﻮْﺧِﺇ ْﻦِﻣ ُﺱُﺪُّﺴﻟﺍ ِﺪْﻌَﺑ ٍﺔَّﻴِﺻَﻭ ﻲِﺻﻮُﻳ ﺎَﻬِﺑ ٍﻦْﻳَﺩ ْﻭَﺃ ْﻢُﻛُﺅﺎَﺑﺁ ْﻢُﻛُﺅﺎَﻨْﺑَﺃَﻭ ﻻ ْﻢُﻬُّﻳَﺃ َﻥﻭُﺭْﺪَﺗ ُﺏَﺮْﻗَﺃ

ْﻢُﻜَﻟ ﺎًﻌْﻔَﻧ َﻦِﻣ ًﺔَﻀﻳِﺮَﻓ َّﻥِﺇ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻥﺎَﻛ َﻪَّﻠﻟﺍ ﺎًﻤﻴِﻜَﺣ ﺎًﻤﻴِﻠَﻋ

Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :

bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu

semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;

jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang

ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu

mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-

bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa

saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah

dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan

anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi

Maha Bijaksana.” [QS. An-Nisaa` 4: 11]

Sebab anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan nasab adalah sebab pewarisan. Demikian juga

anak zina tersebut statusnya dalam hal ini sama dengan anak mula’anah yang dijelaskan dalam

hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam

memutuskan perkara mula’anah, Sahl bin Sa’ad Radhiallahu’anhu berkata:

?????? ???????? ??????? ????????? ? ????? ?????? ?????????? ??? ??????????? ???? ????????? ? ???????? ?????? ??? ?????? ??????? ?????

Artinya: “Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mula’anah. Wanitanya

tersebut dalam keadaan hamil, lalu suaminya mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan

kepada wanita tersebut, kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut

mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya tersebut sesuai

dengan ketetapan Allah” [HR Al-Bukhari, Kitab At-Tafsir no. 4746 lihat Fathul Baari 8/448 dan

Muslim dalam kitab al-Li’an, lihat Syarh An-Nawawi 10/123 ]

Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: “Seorang lelaki apabila melakukan mula’anah terhadap

istrinya dan menolak anaknya dan hakim telah memisahkan antara keduanya, maka nak tersebut

lepas darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mula’anah

tersebut, sehingga ia tidak mewarisinya dan tidak juga seorangpun ahli waris (‘Ashobah)nya.

Ibunya dan dzawu al-Furudh darinya yang mewarisinya saja. Juga waris mewaris antara pasangan

suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal

ini.” [Al-Mughni 9/114]

Mahromkah anak zina terhadap keluarga lelaki yang menzinai ibunya?

Telah lalu dijelaskan menurut pendapat yang rajih adalah anak zina terputus nasab dan hak

warisnya dari lelaki yang menzinai ibunya (bapaknya). Dengan dasar ini maka anak zina tersebut

bukanlah mahrom bagi keluarga lelaki tersebut, sebab status mahrom didapatkan dengan tiga

sebab yaitu nasab, persusuan dan perkawinan dan ketiga sebab ini tidak ada pada anak zina. Oleh

karena itu ia bukanlah mahram bagi lelaki tersebut, saudara dan anak-anak lelaki tersebut yang

dilahirkan dari pernikahan yang sah. Konsekuensinya seluruh hukum-hukum yang berhubungan

dengan kebolehan melihat, khalwat dan safar dilarang diantara mereka.

Melihat hal ini, mungkin akan muncul pertanyaan:

Bolehkah lelaki tersebut menikahinya?

Permasalahan ini pernah ditanyakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beliau jawab dengan

penjelasan sebagai berikut: “Tidak boleh ia menikahinya menurut mayoritas ulama besar muslimin

hingga imam Ahmad mengingkari adanya perbedaan pendapat dalam hal ini dikalangan salaf.

Beliau menyatakan: ‘Siapa yang berbuat demikian maka dihukum bunuh’. Disampaikan kepada

beliau dari Imam Maalik bahwa beliau membolehkannya, maka imam Ahmad mendustakan

penukilan dari imam Maalik tersebut. Pengharaman hal ini adalah pendapat Abu Hanifah dan

pengikutnya, Ahmad dan pengikutnya, Maalik dan mayoritas pengikutnya dan juga pendapat

banyak dari pengikut madzhab Syafi’i. beliau juga mengingkari berita imam Syafi’I berpendapat

yang berbeda dengan ini. Para ulama berkata:  ‘Syafi’I hanya menyatakan tentang anak

perempuan dari susuan bukan anak zna hasil perzinahannya’.” [Majmu’ Fatawa 32/143]

Ibnu Taimiyah juga ditanya tentang seorang yang menzinahi seorang wanita, lalu lelaki tersebut

meninggal dunia. Apakah anak lelaki tersebut diperbolehkan menikahi wanita tersebut?

Beliau menjawab: “Ini dilarang dalam madzhab Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu dari dua

pendapat dalam madzhab Maalik dan dalam pendapat kedua beliau membolehkan. Dan ini juga

madzhab Syafi’i.” [Majmu’ Fatawa 32/143]

Dengan demikian jelaslah status anak zina dalam nasab, warisan dan mahrom. Mudah-mudahan

penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.

Wabillahit Taufiq.


http://ustadzkholid.com/fiqih/status-anak-zina/


Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar