Abu Sa’id al-Khudri z menyampaikan sabda Rasulullah n yang mulia:
ْﻒِﻔْﻌَﺘْﺴَﻳ ْﻦَﻣَﻭ ،ُﻪﻠﻟﺍ ُﻪَّﻔِﻌُﻳ ِﻦْﻐَﺘْﺴَﻳ ْﻦَﻣَﻭ ،ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪِﻨْﻐُﻳ ْﻦَﻣَﻭ ْﺮَّﺒَﺼَﺘَﻳ ،ُﻪﻠﻟﺍ ُﻩْﺮِّﺒَﺼُﻳ ﺎَﻣَﻭ َﻲِﻄْﻋُﺃ ٌﺪَﺣَﺃ ﺍًﺮْﻴَﺧ ًﺀﺎَﻄَﻋ َﻦِﻣ َﻊَﺳْﻭَﺃَﻭ
ِﺮْﺒَّﺼﻟﺍ
“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi
untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah
(kehormatan diri). Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/
merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki). Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l
akan menjadikannya sabar. Tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas
daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 2421)
Hadits yang agung ini terdiri dari empat kalimat yang singkat, namun memuat banyak faedah lagi
manfaat.
Pertama: Ucapan Nabi n:
ُﻪﻠﻟﺍ ُﻪَّﻔِﻌُﻳ ْﻒِﻔْﻌَﺘْﺴَﻳ ْﻦَﻣَﻭ
“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi
untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah.”
Kedua: Ucapan Nabi n:
ْﻦَﻣَﻭ ِﻦْﻐَﺘْﺴَﻳ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪِﻨْﻐُﻳ
“Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan
dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).”
Dua kalimat di atas saling terkait satu sama lain, karena kesempurnaan seorang hamba ada pada
keikhlasannya kepada Allah l, dalam keadaan takut dan berharap serta bergantung kepada-Nya
saja. Adapun kepada makhluk, tidak sama sekali. Oleh karena itu, seorang hamba sepantasnya
berupaya mewujudkan kesempurnaan ini dan mengamalkan segala sebab yang mengantarkannya
kepadanya, sehingga ia benar-benar menjadi hamba Allah l semata, merdeka dari perbudakan
makhluk.
Usaha yang bisa dia tempuh adalah memaksa jiwanya melakukan dua hal berikut.
1. Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan menjaga kehormatan diri
sehingga tidak berharap mendapatkan apa yang ada di tangan mereka, hingga ia tidak meminta
kepada makhluk, baik secara lisan (lisanul maqal) maupun keadaan (lisanul hal).
Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda kepada Umar z:
ﺎَﻣ َﻙﺎَﺗَﺃ ْﻦِﻣ ﺍَﺬﻫ ُﺮْﻴَﻏ َﺖْﻧَﺃَﻭ ِﻝﺎَﻤْﻟﺍ ٍﻑِﺮْﺸُﻣ َﻻَﻭ ,ُﻩْﺬُﺨَﻓ ٍﻞِﺋﺎَﺳ َﻻ ﺎَﻣَﻭ َﻼَﻓ َﻚَﺴْﻔَﻧ ُﻪْﻌِﺒْﺘُﺗ
“Harta yang mendatangimu dalam keadaan engkau tidak berambisi terhadapnya dan tidak pula
memintanya, ambillah. Adapun yang tidak datang kepadamu, janganlah engkau/menggantungkan
jiwamu kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 2402)
Memutus ambisi hati dan meminta dengan lisan untuk menjaga kehormatan diri serta menghindar
dari berutang budi kepada makhluk serta memutus ketergantungan hati kepada mereka,
merupakan sebab yang kuat untuk mencapai ‘iffah.
2. Penyempurna perkara di atas adalah memaksa jiwa untuk melakukan hal kedua, yaitu merasa
cukup dengan Allah l, percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa yang bertawakal kepada Allah l, pasti
Allah l akan mencukupinya. Inilah yang menjadi tujuan.
Yang pertama merupakan perantara kepada yang kedua ini, karena orang yang ingin menjaga diri
untuk tidak berambisi terhadap yang dimiliki orang lain, tentu ia harus memperkuat
ketergantungan dirinya kepada Allah l, berharap dan berambisi terhadap keutamaan Allah l dan
kebaikan-Nya, memperbaiki persangkaannya dan percaya kepada Rabbnya. Allah l itu mengikuti
persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka baik, ia akan beroleh kebaikan. Sebaliknya,
bila ia bersangka selain kebaikan, ia pun akan memperoleh apa yang disangkanya.
Setiap hal di atas meneguhkan yang lain sehingga memperkuatnya. Semakin kuat ketergantungan
kepada Allah l, semakin lemah ketergantungan terhadap makhluk. Demikian pula sebaliknya.
Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi n:
َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ َﻚُﻟَﺄْﺳَﺃ ﻲِّﻧِﺇ ﻯَﺪُﻬْﻟﺍ َﻑﺎَﻔَﻌْﻟﺍَﻭ ﻰَﻘُّﺘﻟﺍَﻭ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍَﻭ
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah, dan kecukupan.” (HR. Muslim no.
6842 dari Ibnu Mas’ud z)
Seluruh kebaikan terkumpul dalam doa ini. Al-huda (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat ,
ketakwaan adalah amal saleh dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Hal ini membawa
kebaikan agama.
Penyempurnanya adalah baik dan tenangnya hati, dengan tidak berharap kepada makhluk dan
merasa cukup dengan Allah l. Orang yang merasa cukup dengan Allah l, dialah orang kaya yang
sebenarnya, walaupun sedikit hartanya. Orang kaya bukanlah orang yang banyak hartanya. Akan
tetapi, orang kaya yang hakiki adalah orang yang kaya hatinya.
Dengan ‘iffah dan kekayaan hati sempurnalah kehidupan yang baik bagi seorang hamba. Dia akan
merasakan kenikmatan duniawi dan qana’ah/merasa cukup dengan apa yang Allah l berikan
kepadanya.
Ketiga: Ucapan Nabi n:
ْﻦَﻣَﻭ ْﺮَّﺒَﺼَﺘَﻳ ُﻪﻠﻟﺍ ُﻩْﺮِّﺒَﺼُﻳ
“Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar.”
Keempat: Bila Allah l memberikan kesabaran kepada seorang hamba, itu merupakan pemberian
yang paling utama, paling luas, dan paling agung, karena kesabaran itu akan bisa membantunya
menghadapi berbagai masalah. Allah l berfirman:
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (Al-Baqarah: 45)
Maknanya, dalam seluruh masalah kalian.
Sabar itu, sebagaimana seluruh akhlak yang lain, membutuhkan kesungguhan (mujahadah) dan
latihan jiwa. Karena itulah, Rasulullah n mengatakan: ْﻦَﻣَﻭ ْﺮَّﺒَﺼَﺘَﻳ “memaksa jiwanya untuk
bersabar”, balasannya: ُﻪﻠﻟﺍ ُﻩﺮِّﺒَﺼُﻳ “Allah l akan menjadikannya sabar.”
Usaha dia akan berbuah bantuan Allah l terhadapnya.
Sabar itu disebut pemberian terbesar, karena sifat ini berkaitan dengan seluruh masalah hamba
dan kesempurnaannya. Dalam setiap keadaan hamba membutuhkan kesabaran.
Ia membutuhkan kesabaran dalam taat kepada Allah l sehingga bisa menegakkan ketaatan
tersebut dan menunaikannya.
Ia membutuhkan kesabaran untuk menjauhi maksiat kepada Allah l sehingga ia bisa
meninggalkannya karena Allah l.
Ia membutuhkan sabar dalam menghadapi takdir Allah l yang menyakitkan sehingga ia tidak
menyalahkan/murka terhadap takdir tersebut. Bahkan, ia pun tetap membutuhkan sabar
menghadapi nikmat-nikmat Allah l dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa sehingga tidak membiarkan
jiwanya bangga dan bergembira yang tercela. Ia justru menyibukkan diri dengan bersyukur kepada
Allah l.
Demikianlah, ia membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaan. Dengan sabar, akan diperoleh
keuntungan dan kesuksesan. Oleh karena itulah, Allah l menyebutkan ahlul jannah (penghuni
surga) dengan firman-Nya:
Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan),
“Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
(Ar-Ra’d: 23—24)
Demikian pula firman-Nya:
“Mereka itulah yang dibalasi dengan martabat yang tinggi dalam surga karena kesabaran
mereka….” (Al-Furqan: 75)
Dengan kesabaranlah mereka memperoleh surga berikut kenikmatannya dan mencapai tempat-
tempat yang tinggi.
Seorang hamba hendaklah meminta keselamatan kepada Allah l, agar dihindarkan dari musibah
yang ia tidak mengetahui akibatnya. Akan tetapi, bila musibah itu tetap menghampirinya, tugasnya
adalah bersabar. Kesabaran merupakan hal yang diperintahkan dan Allah l-lah yang menolong
hamba-Nya.
Allah l menjanjikan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya bahwa orang-orang yang bersabar
akan beroleh ganjaran yang tinggi lagi mulia.
Allah l berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan, menyertai mereka dengan penjagaan,
taufik dan pelurusan-Nya, mencintai dan mengokohkan hati serta telapak kaki mereka.
Allah l akan memberikan ketenangan dan ketenteraman, memudahkan mereka melakukan banyak
ketaatan.
Dia juga akan menjaga mereka dari penyelisihan.
Dia memberikan keutamaan kepada mereka dengan shalawat, rahmat, dan hidayah ketika tertimpa
musibah.
Dia mengangkat mereka kepada tempat-tempat yang paling tinggi di dunia dan akhirat.
Dia berjanji menolong mereka, memudahkan menempuh jalan yang mudah, dan menjauhkan
mereka dari kesulitan.
Dia menjanjikan mereka memperoleh kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan.
Dia juga akan memberi mereka pahala tanpa hitungan.
Dia akan mengganti apa yang luput dari mereka di dunia dengan ganti yang lebih banyak dan lebih
baik daripada hal-hal yang mereka cintai yang telah diambil dari mereka.
Allah l pun akan mengganti hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa mereka dengan ganti yang
segera, banyaknya berlipat-lipat daripada musibah yang menimpa mereka.
Sabar itu pada mulanya sulit dan berat, namun pada akhirnya mudah lagi terpuji akibatnya. Ini
sebagaimana dikatakan dalam bait syair berikut.
ِﻪِﻤْﺳﺍ ُﻞْﺜِﻣ ُﺮْﺒَّﺼﻟﺍَﻭ ُﻪُﺘَﻗﺍَﺬَﻣ ٌّﺮُﻣ
َّﻦِﻜَﻟ ُﻪَﺒِﻗﺍَﻮَﻋ ﻰَﻠْﺣَﺃ َﻦِﻣ ِﻞَﺴَﻌْﻟﺍ
Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya
Akan tetapi, akibatnya lebih manis daripada madu.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Diterjemahkan Ummu Ishaq al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil
Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, hadits ke-33, hlm. 9l—93, Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman
ibnu Nashir as-Sa’di t)
www.asysyariah.com/keutamaan-iffah-dan-bersabar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar