Sabtu, Maret 17, 2012

Keutamaan Iffah dan Bersabar

Abu Sa’id al-Khudri z menyampaikan sabda Rasulullah n yang mulia:

ْﻒِﻔْﻌَﺘْﺴَﻳ ْﻦَﻣَﻭ ،ُﻪﻠﻟﺍ ُﻪَّﻔِﻌُﻳ ِﻦْﻐَﺘْﺴَﻳ ْﻦَﻣَﻭ ،ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪِﻨْﻐُﻳ ْﻦَﻣَﻭ ْﺮَّﺒَﺼَﺘَﻳ ،ُﻪﻠﻟﺍ ُﻩْﺮِّﺒَﺼُﻳ ﺎَﻣَﻭ َﻲِﻄْﻋُﺃ ٌﺪَﺣَﺃ ﺍًﺮْﻴَﺧ ًﺀﺎَﻄَﻋ َﻦِﻣ َﻊَﺳْﻭَﺃَﻭ

ِﺮْﺒَّﺼﻟﺍ

“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi

untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah

(kehormatan diri). Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/

merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki). Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l

akan menjadikannya sabar. Tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas

daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 2421)

Hadits yang agung ini terdiri dari empat kalimat yang singkat, namun memuat banyak faedah lagi

manfaat.

Pertama: Ucapan Nabi n:

ُﻪﻠﻟﺍ ُﻪَّﻔِﻌُﻳ ْﻒِﻔْﻌَﺘْﺴَﻳ ْﻦَﻣَﻭ

“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi

untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah.”

Kedua: Ucapan Nabi n:

ْﻦَﻣَﻭ ِﻦْﻐَﺘْﺴَﻳ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪِﻨْﻐُﻳ

“Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan

dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).”

Dua kalimat di atas saling terkait satu sama lain, karena kesempurnaan seorang hamba ada pada

keikhlasannya kepada Allah l, dalam keadaan takut dan berharap serta bergantung kepada-Nya

saja. Adapun kepada makhluk, tidak sama sekali. Oleh karena itu, seorang hamba sepantasnya

berupaya mewujudkan kesempurnaan ini dan mengamalkan segala sebab yang mengantarkannya

kepadanya, sehingga ia benar-benar menjadi hamba Allah l semata, merdeka dari perbudakan

makhluk.

Usaha yang bisa dia tempuh adalah memaksa jiwanya melakukan dua hal berikut.

1. Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan menjaga kehormatan diri

sehingga tidak berharap mendapatkan apa yang ada di tangan mereka, hingga ia tidak meminta

kepada makhluk, baik secara lisan (lisanul maqal) maupun keadaan (lisanul hal).

Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda kepada Umar z:

ﺎَﻣ َﻙﺎَﺗَﺃ ْﻦِﻣ ﺍَﺬﻫ ُﺮْﻴَﻏ َﺖْﻧَﺃَﻭ ِﻝﺎَﻤْﻟﺍ ٍﻑِﺮْﺸُﻣ َﻻَﻭ ,ُﻩْﺬُﺨَﻓ ٍﻞِﺋﺎَﺳ َﻻ ﺎَﻣَﻭ َﻼَﻓ َﻚَﺴْﻔَﻧ ُﻪْﻌِﺒْﺘُﺗ

“Harta yang mendatangimu dalam keadaan engkau tidak berambisi terhadapnya dan tidak pula

memintanya, ambillah. Adapun yang tidak datang kepadamu, janganlah engkau/menggantungkan

jiwamu kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 2402)

Memutus ambisi hati dan meminta dengan lisan untuk menjaga kehormatan diri serta menghindar

dari berutang budi kepada makhluk serta memutus ketergantungan hati kepada mereka,

merupakan sebab yang kuat untuk mencapai ‘iffah.

2. Penyempurna perkara di atas adalah memaksa jiwa untuk melakukan hal kedua, yaitu merasa

cukup dengan Allah l, percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa yang bertawakal kepada Allah l, pasti

Allah l akan mencukupinya. Inilah yang menjadi tujuan.

Yang pertama merupakan perantara kepada yang kedua ini, karena orang yang ingin menjaga diri

untuk tidak berambisi terhadap yang dimiliki orang lain, tentu ia harus  memperkuat

ketergantungan dirinya kepada Allah l, berharap dan berambisi terhadap keutamaan Allah l dan

kebaikan-Nya, memperbaiki persangkaannya dan percaya kepada Rabbnya. Allah l itu mengikuti

persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka baik, ia akan beroleh kebaikan. Sebaliknya,

bila ia bersangka selain kebaikan, ia pun akan memperoleh apa yang disangkanya.

Setiap hal di atas meneguhkan yang lain sehingga memperkuatnya. Semakin kuat ketergantungan

kepada Allah l, semakin lemah ketergantungan terhadap makhluk. Demikian pula sebaliknya.

Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi n:

َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ َﻚُﻟَﺄْﺳَﺃ ﻲِّﻧِﺇ ﻯَﺪُﻬْﻟﺍ َﻑﺎَﻔَﻌْﻟﺍَﻭ ﻰَﻘُّﺘﻟﺍَﻭ ﻰَﻨِﻐْﻟﺍَﻭ

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah, dan kecukupan.” (HR. Muslim no.

6842 dari Ibnu Mas’ud z)

Seluruh kebaikan terkumpul dalam doa ini. Al-huda (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat ,

ketakwaan adalah amal saleh dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Hal ini membawa

kebaikan agama.

Penyempurnanya adalah baik dan tenangnya hati, dengan tidak berharap kepada makhluk dan

merasa cukup dengan Allah l. Orang yang merasa cukup dengan Allah l, dialah orang kaya yang

sebenarnya, walaupun sedikit hartanya. Orang kaya bukanlah orang yang banyak hartanya. Akan

tetapi, orang kaya yang hakiki adalah orang yang kaya hatinya.

Dengan ‘iffah dan kekayaan hati sempurnalah kehidupan yang baik bagi seorang hamba. Dia akan

merasakan kenikmatan duniawi dan qana’ah/merasa cukup dengan apa yang Allah l berikan

kepadanya.

Ketiga: Ucapan Nabi n:

ْﻦَﻣَﻭ ْﺮَّﺒَﺼَﺘَﻳ ُﻪﻠﻟﺍ ُﻩْﺮِّﺒَﺼُﻳ

“Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar.”

Keempat: Bila Allah l memberikan kesabaran kepada seorang hamba, itu merupakan pemberian

yang paling utama, paling luas, dan paling agung, karena kesabaran itu akan bisa membantunya

menghadapi berbagai masalah. Allah l berfirman:

“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (Al-Baqarah: 45)

Maknanya, dalam seluruh masalah kalian.

Sabar itu, sebagaimana seluruh akhlak yang lain, membutuhkan kesungguhan (mujahadah) dan

latihan jiwa. Karena itulah, Rasulullah n mengatakan: ْﻦَﻣَﻭ ْﺮَّﺒَﺼَﺘَﻳ “memaksa jiwanya untuk

bersabar”, balasannya: ُﻪﻠﻟﺍ ُﻩﺮِّﺒَﺼُﻳ “Allah l akan menjadikannya sabar.”

Usaha dia akan berbuah bantuan Allah l terhadapnya.

Sabar itu disebut pemberian terbesar, karena sifat ini berkaitan dengan seluruh masalah hamba

dan kesempurnaannya. Dalam setiap keadaan hamba membutuhkan kesabaran.

Ia membutuhkan kesabaran dalam taat kepada Allah l sehingga bisa menegakkan ketaatan

tersebut dan menunaikannya.

Ia membutuhkan kesabaran untuk menjauhi maksiat kepada Allah l sehingga ia bisa

meninggalkannya karena Allah l.

Ia membutuhkan sabar dalam menghadapi takdir Allah l yang menyakitkan sehingga ia tidak

menyalahkan/murka terhadap takdir tersebut. Bahkan, ia pun tetap membutuhkan sabar

menghadapi nikmat-nikmat Allah l dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa sehingga tidak membiarkan

jiwanya bangga dan bergembira yang tercela. Ia justru menyibukkan diri dengan bersyukur kepada

Allah l.

Demikianlah, ia membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaan. Dengan sabar, akan diperoleh

keuntungan dan kesuksesan. Oleh karena itulah, Allah l menyebutkan ahlul jannah (penghuni

surga) dengan firman-Nya:

Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan),

“Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.

(Ar-Ra’d: 23—24)

Demikian pula firman-Nya:

“Mereka itulah yang dibalasi dengan martabat yang tinggi dalam surga karena kesabaran

mereka….” (Al-Furqan: 75)

Dengan kesabaranlah mereka memperoleh surga berikut kenikmatannya dan mencapai tempat-

tempat yang tinggi.

Seorang hamba hendaklah meminta keselamatan kepada Allah l, agar dihindarkan dari musibah

yang ia tidak mengetahui akibatnya. Akan tetapi, bila musibah itu tetap menghampirinya, tugasnya

adalah bersabar. Kesabaran merupakan hal yang diperintahkan dan Allah l-lah yang menolong

hamba-Nya.

Allah l menjanjikan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya bahwa orang-orang yang bersabar

akan beroleh ganjaran yang tinggi lagi mulia.

Allah l berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan, menyertai mereka dengan penjagaan,

taufik dan pelurusan-Nya, mencintai dan mengokohkan hati serta telapak kaki mereka.

Allah l akan memberikan ketenangan dan ketenteraman, memudahkan mereka melakukan banyak

ketaatan.

Dia juga akan menjaga mereka dari penyelisihan.

Dia memberikan keutamaan kepada mereka dengan shalawat, rahmat, dan hidayah ketika tertimpa

musibah.

Dia mengangkat mereka kepada tempat-tempat yang paling tinggi di dunia dan akhirat.

Dia berjanji menolong mereka, memudahkan menempuh jalan yang mudah, dan menjauhkan

mereka dari kesulitan.

Dia menjanjikan mereka memperoleh kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan.

Dia juga akan memberi mereka pahala tanpa hitungan.

Dia akan mengganti apa yang luput dari mereka di dunia dengan ganti yang lebih banyak dan lebih

baik daripada hal-hal yang mereka cintai yang telah diambil dari mereka.

Allah l pun akan mengganti hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa mereka dengan ganti yang

segera, banyaknya berlipat-lipat daripada musibah yang menimpa mereka.

Sabar itu pada mulanya sulit dan berat, namun pada akhirnya mudah lagi terpuji akibatnya. Ini

sebagaimana dikatakan dalam bait syair berikut.

ِﻪِﻤْﺳﺍ ُﻞْﺜِﻣ ُﺮْﺒَّﺼﻟﺍَﻭ ُﻪُﺘَﻗﺍَﺬَﻣ ٌّﺮُﻣ

َّﻦِﻜَﻟ ُﻪَﺒِﻗﺍَﻮَﻋ ﻰَﻠْﺣَﺃ َﻦِﻣ ِﻞَﺴَﻌْﻟﺍ

Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya

Akan tetapi, akibatnya lebih manis daripada madu.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Diterjemahkan Ummu Ishaq al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil

Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, hadits ke-33, hlm. 9l—93, Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman

ibnu Nashir as-Sa’di t)


www.asysyariah.com/keutamaan-iffah-dan-bersabar.html


Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar