Jumat, Maret 02, 2012

Fanatik kepada ulama

abuzuhriy.com/?p=2518
Definisi Fanatik
Fanatik atau dalam bahasa arabnya disebut dengan
“ Ta’ashub ” adalah anggapan yang diiringi sikap yang paling benar dan membelanya
dengan membabi buta. Benar dan salahnya, wala’ dan bara’nya diukur dan didasarkan
keperpihakan pada golongan. Fanatik ini bisa terjadi antar madzhab, kelompok,
organisasi, suku atau negara. (Lihat kembali Majalah Al-Furqon hal. 13 edisi 5 Th. 11)
-majalah yang dikelola Ustadz Abu Ubaidah (editor )-
Adapun madzhab ialah pendapat seseorang mujtahid tentang hukum sesuatu, yaitu
pendapat yang digali dari Al-Qur’an dan hadits dengan kekuatan ijtihadnya.
Madzhab yang masyhur ada empat: Madzhab Hanafi ( Abu Hanifah rahimahullah ),
madzhab Maliki (imam Malik rahimahullah ), madzhab Syafi’i ( imam Syafi’i
rahimahullah ), madzhab Hanbali (imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah )
Sekalipun sebenarnya ada beberapa madzhab lainnya seperti madzhab Dhahiriyyah,
Zaidiyyah, Sufyaniyyah dan sebagainya. Semua madzhab dapat diambil pendapatnya
jika benar dan dapat pula ditinggalkan jika salah, karena memang tidak ada yang
ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali Al-Qur’an dan sunnah Nabi. (Lihat Syarh
Lum’ah Al-I’tiqad hal. 166-167 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
rahimahullah ).
Fenomena Fanatik Mazdhab
Fenomena fanatik madzhab sangat nyata terpampang tak terelakkan, baik dalam lembaran
kitab madzhab klasik dan kontemporer maupun dalam fakta kehidupan. Muatannya sesak
dengan saling tuding-menuding, menghujat, dan mencela satu sama lain sehingga
memantapkan kita semua bahwa klaim mereka selama ini “semua madzhab adalah benar ”
hanyalah omong kosong belaka yang tidak ada buktinya.
Sejarah menjadi saksi bahwa fanatik buta terhadap madzhab hingga detik ini telah menelan
korban yang tak sedikit jumlahnya. Berikut saya akan turunkan beberapa ucapan para ahli
fanatisme madzhab yang masing-masing mengkalim bahwa kebenaran pada pihaknya
sendiri sedangkan kebatilan pada pihak madzhab lainnya.
Dari mazdhab Hanafiyyah , Muhammad ‘Alauddin , seorang tokoh yang cukup
populer dalam madzhab Hanafi pernah berkata:
ُﺔَﻨْﻌَﻠَﻓ ﺎَﻨِّﺑَﺭ ٍﻞْﻣَﺭ َﺩﺍَﺪْﻋَﺃ ﻰَﻠَﻋ َّﺩَﺭ ْﻦَﻣ َﻝْﻮَﻗ َﺔَﻔْﻴِﻨَﺣ ْﻲِﺑَﺃ
La’nat Rabb kami sejumlah bilangan pasir
Terhadap orang yang menolak perkataan Abu Hanifah . (Ad-Durrul Mukhtar 1/48-49).
Abul Hasan Al-Karkhiy Al-Hanafi juga mengatakan: “Setiap ayat dan hadits yang
menyelisihi penganut madzhab kami (Hanafiyyah), maka dia harus dita’wil (diselewengkan
artinya) atau mansukh (dihapus hukumnya)”. (Lihat Ma Laa Yajuzu Al-Khilaf Bainal Muslimin
hal. 95).
Dalam madzhab Malikiyyah , mayoritas para penganutnya mempunyai sebuah
peribahasa lucu:
ْﻮَﻟ ْﻢَﻟ ًﺎﻜِﻟﺎَﻣ ْﻦُﻜَﻳ ﺎًﻜِﻟﺎَﻫ ُﻦْﻳِّﺪﻟﺍ َﻥﺎَﻜَﻟ
Seandainya bukan karena Malik, maka agama ini akan hancur.
Dalam madzhab Syafi’iyyah , imam Al-Juwaini As-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Menurut kami, setiap orang berakal dan seluruh kaum muslimin, baik di timur maupun
barat, jarak dekat maupun jauh wajib mengikuti madzhab Syafi’i. Bagi orang yang
masih awam dan jahil, mereka harus mengikuti madzhab Syafi’i dan tidak mencari
pengganti lainnya”. (Lihat Mughitsul Al-Khalq hal. 15-16)
Dalam madzhab Hanabilah, seorang diantara mereka pernah mengungkapkan:
ﺎَﻧَﺃ ﺎَﻣ ٌّﻲِﻠَﺒْﻨَﺣ ُﺖْﻴَﻴَﺣ ْﻥِﺇَﻭ ْﻲِﺘَّﻴِﺻَﻮَﻓ ْﺖُﻣَﺃ ْﻥَﺃ ِﺱﺎَّﻨﻠِﻟ ﺍْﻮُﻠَﺒْﻨَﺤَﺘَﻳ
Saya seorang (bermazdhab) hanbali selama hidup dan matiku
Wasiat saya kepada manusia agar mereka bermadzhab Hanbali . (Lihat Irwa’ul Ghalil 1/22-23
karya Al-Albani)
Ucapan-ucapan serupa seringkali kita jumpai dari kalangan ahli fanatik madzhab, bahkan
diantara mereka sangat keterlaluan dalam menjunjung tinggi imamnya, memperjuangkan
madzhabnya, berkoar agar manusia hanya mengikutinya, mencoreng habis madzhab selainnya
serta berusaha sekuat tenaga menjatuhkan kedudukan lawannya.
Tragisnya, sebagian mereka mengangkat kedudukan imam madzhabnya pada derajat
yang belum pernah dijangkau oleh seorang pun dari sahabat Nab i.
Perhatikanlah ungkapan ‘Alauddin Al-Haskafiy Al-Hanafiy ketika memuji imam Abu Hanifah
rahimahullah :
“Kesimpulanya, imam Abu Hanifah merupakan mu’jizat Nabi yang paling besar setelah Al-
Qur’an . Cukuplah sebagai keutamaan beliau adalah tersohornya madzhab beliau. Tidak
pernah dia mengeluarkan suatu pendapat melainkan ada dari imam kaum muslimin yang
mengambilnya. Sejak zaman beliau hingga hari ini, Allah selalu menguatkan madzhabnya
bagi para penganutnya hingga Isa bin Maryam kelak akan berhukum dengan
madzhabnya…”.
(Lihat Ad-Durrul Mukhtar 1/55-58 diringkas dari Zawabi’ fi Wajhi Sunnah hal. 223 oleh Syaikh
Sholah Maqbul Ahmad dan Kutub Hadzara Minha Ulama’ (1/158-167) oleh Syaikh Masyhur
Hasan Salman).
Wajibkah Bermadzhab dengan salah satu empat madzhab?
Banyak kaum muslimin berkeyakinan, baik yang masih awam maupun kyainya bahwa
seorang muslim wajib mengikuti salah satu madzhab dari empat madzhab. Sungguh ini
merupakan anggapan yang salah fatal dan kejahilan yang mendalam. (Lihat Halil Muslim
Mulzam bi Ittib’ Madzhab Mu’ayyan hal. 5 oleh Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi
rahimahullah ).
Apa yang disindir oleh Syaikh Al-Ma’shumi rahimahullah di atas bukan hanya omong
kosong tetapi fakta dan nyata. Banyak para penulis dan penceramah memprogandakan
wajibnya bermadzhab. Simaklah apa yang dikatakan Ahmad As-Shawi rahimahullah , salah
seorang shufi bermadzhab Maliki dan beraqidah Asya’irah (wafat th. 1241 H) dalam
Hasyiyah Al-Jalalain (3/10): “Tidak boleh taklid selain kepada empat madzhab walaupun
sesuai dengan perkataan sahabat, hadits maupun ayat. Orang yang diluar empat madzhab
adalah sesat dan menyesatkan, bahkan dapat menjebloskannya ke lubang kekufuran, sebab
mengambil tekstual Al-Qur’an dan hadits termasuk sumber kekufuran !!!”.
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah mengomentari ucapan ini: “Ucapan As-Shawi
di atas merupakan ucapan yang paling kotor. Seandainya seseorang mencari ucapan yang
lebih kotor darinya, mungkin dia tak menemukannya. Hal itu mempengaruhi dirinya dalam
menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan akal dan fanatik madzhab. Kita memohon kepada Allah
keselamatan”. ( Ar-Radd Ala Rifa’i wal Buthi hal.47)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Minhaj Sunnah (3/412): “Tidak
ada seorangpun dari kalangan ahli sunnah yang mengatakan: “kesepakatan imam empat
adalah hujjah yang ma’shum ”, “Kebenaran hanya pada imam empat saja” atau “Siapa yang
tidak mengikutinya berarti salah”. Bahkan, apabila ada seorang yang di luar penganut
madzhab empat -seperti Sufyan Tsauri rahimahullah , Al-Auza’i rahimahullah , Laits bin
Sa’ad rahimahullah dan ulama’ lainnya- suatu perkataan yang bertentangan dengan
pendapat madzhab empat, maka harus ditimbang dengan Al-Qur’an dan sunnah. Pendapat
yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, itulah yang lebih kuat”.
Dalil-Dalil Tercelanya Fanatik
Dalil Pertama:
َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ِﺭَﺬْﺤَﻴْﻠَﻓ ْﻦَﻋ َﻥﻮُﻔِﻟﺎَﺨُﻳ ِﻩِﺮْﻣَﺃ ْﻢُﻬَﺒﻴِﺼُﺗ ﻥَﺃ ٌﺔَﻨْﺘِﻓ ْﻭَﺃ ٌﺏﺍَﺬَﻋ ْﻢُﻬَﺒﻴِﺼُﻳ ٌﻢﻴِﻟَﺃ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih.
(QS. An-Nur: 63).
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Saya heran dengan suatu kaum yang telah
mengenal sanad hadits dan keabsahannya kemudian mereka berpegang dengan
pendapat Sufyan (Ats-Tsauri) padahal Allah berfirman (beliau membawakan ayat di
atas) lalu berkata: Tahukah engkau apa itu fitnah? Fitnah adalah syirik. Bisa jadi jikalau
dia menolak sebagian sunnah Nabi, maka akan bercokol dalam hatinya suatu
penyimpangan hingga dia hancur binasa”.
Semoga Allah merahmati Imam Ahmad . Kalau demikian kecaman keras beliau terhadap orang
yang menentang sunnah Nabi dengan pendapat imam Sufyan Tsauri rahimahullah padahal
beliau adalah salah satu ulama besar, lantas bagaimana kalau seandainya beliau melihat
manusia zaman sekarang yang bukan hanya menolak sunnah dengan perkataan alim ulama,
tetapi mereka menentang sunnah dengan pendapat para tokoh agama (kyai) yang
juhala’ (bodoh), rasionalis, politikus bahkan para artis dan pelawak yang miskin ilmu. Hanya
kepada Allah-lah kita mengadu semua ini.
Dalil Kedua:
َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﺃَّﺮَﺒَﺗ ْﺫِﺇ ﺍﻮُﻌِﺒُّﺗﺍ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﻦِﻣ ﺍُﻭَﺃَﺭَﻭ ﺍﻮُﻌَﺒَّﺗﺍ َﺏﺍَﺬَﻌْﻟﺍ ْﺖَﻌَّﻄَﻘَﺗَﻭ ُﺏﺎَﺒْﺳَﻷْﺍ ُﻢِﻬِﺑ
(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya,
dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.
(QS. Al-Baqarah: 166).
Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi rahimahullah berkata dalam risalahnya “Halil
Muslim Mulzam…” hal. 31: “Ketahuilah bahwa ayat ini adalah halilintar keras bagi para para
ahli taklid karena sikap membeonya mereka terhadap ucapan dan pendapat manusia dalam
masalah agama, baik mereka masih hidup atau sudah meninggal dunia! Taklid dalam
masalah aqidah dan ibadah! Masalah halal dan haram! Karena semua masalah ini harus
bersumber dari Allah dan rasul-Nya, bukan diambil dari pendapat dan pemikiran seorang,
lebih-lebih dari para tokoh penyesat agama”.
Dalil Ketiga:
ﺎَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺎَﻬُّﻳَﺃ ﺍﻮُﻨَﻣَﺁ ﺎَﻟ ﺍﻮُﻌَﻓْﺮَﺗ ْﻢُﻜَﺗﺍَﻮْﺻَﺃ ِﺕْﻮَﺻ َﻕْﻮَﻓ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﺎَﻟَﻭ ﺍﻭُﺮَﻬْﺠَﺗ ُﻪَﻟ ِﻝْﻮَﻘْﻟﺎِﺑ ِﺮْﻬَﺠَﻛ ْﻢُﻜِﻀْﻌَﺑ ٍﺾْﻌَﺒِﻟ َﻂَﺒْﺤَﺗ ْﻥَﺃ
ْﻢُﺘْﻧَﺃَﻭ ْﻢُﻜُﻟﺎَﻤْﻋَﺃ ﺎَﻟ َﻥﻭُﺮُﻌْﺸَﺗ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi,
dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya
suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu,
sedangkan kamu tidak menyadari.
(QS. Al-Hujurat: 2).
Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah dalam I’lamul Muwaqqiin (1/60) berkomentar: “Apabila
mengeraskan suara mereka di atas suara rasul saja dapat menyebabkan gugurnya amalan
mereka, lantas bagaimana kiranya dengan mendahulukan dan mengedepankan pendapat, akal,
perasaan, politik dan pengetahuan di atas ajaran rasul? Bukankah ini lebih layak untuk sebagai
faktor penggugur amalan mereka?”
Dalil Keempat:
َﻝﺎَﻗ ْﻱِﺬَّﻟﺍَﻭ“ :ُّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ ُﺲْﻔَﻧ ِﻩِﺪَﻴِﺑ ﺍَﺪَﺑ ْﻮَﻟ ْﻢُﻜَﻟ ﻰَﺳْﻮُﻣ ُﻩْﻮُﻤُﺘْﻌَﺒَّﺗﺍ َّﻢُﺛ ِﺀﺍَﻮَﺳ ْﻦَﻋ ْﻢُﺘْﻠَﻠَﻀَﻟ ْﻲِﻧْﻮُﻤُﺘْﻛَﺮَﺗَﻭ
ِﻞْﻴِﺒَّﺴﻟﺍ ْﻮَﻟَﻭ ﺎًّﻴَﺣ َﻥﺎَﻛ ْﻲِﺗَّﻮُﺒُﻧ َﻙَﺭْﺩَﺃَﻭ ْﻲِﻨَﻌَﺒَّﺗَﻻ ”.
Rasulullah bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa hadir
di tengah kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka sungguh kalian telah
tersesat dari jalan yang lurus. Kiranya Musa hidup dan menjumpai kenabianku, dia pasti
mengikutiku.
(Hasan. riwayat Ad-Darimi dalam Sunannya (441) dan Ahmad (3/471, 4/466) Lihat Al-
Misykah (177) oleh Al-Albani).
Maksudnya apabila kita meninggalkan sunnah Nabi dan mengikuti Musa, seorang nabi mulia
yang pernah diajak bicara oleh Allah, maka kita akan tersesat dari jalan yang lurus. Lantas
bagaimana pendapatmu apabila kita meninggalakan sunnah Nabi dan mengikuti para kyai,
tokoh agama, ustadz, mubaligh, cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila
dibandingkan dengan Nabi Musa?. Pikirkanlah!
(Lihat Muqaddimah Bidayatus Suul hal. 6 oleh Syaikh Al-Albani ).
Dalil Kelima:
ُﻦْﺑﺍ َﻝﺎَﻗ :ٍﺱﺎَّﺒَﻋ ْﻥَﺃ ُﻚِﺷْﻮُﻳ“ ٌﺓَﺭﺎَﺠِﺣْ ﻢُْﻜﻴَﻠَﻋ َﻝِﺰْﻨَﺗ َﻦِﻣ ,ِﺀﺎَﻤَّﺴﻟﺍ :ُﻝْﻮُﻗَﺃ َﻝﺎَﻗ ِﻪﻠﻟﺍ ُﻝْﻮُﺳَﺭ :َﻥْﻮُﻟْﻮُﻘَﺗَﻭ ٍﺮْﻜَﺑ ْﻮُﺑَﺃ َﻝﺎَﻗ
؟ُﺮَﻤُﻋَﻭ!”
Ibnu Abbas berkata: “Hampir saja kalian akan dihujani batu dari langit. Aku katakan:
Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantahnya: Tapi Abu Bakar dan Umar
berkata demikian?!” (Shahih. Riwayat Ahmad 1/337 dan Al-Khatib dalam Al-Faqih wal
Mutafaqqih 1/145).
Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu Syaikh rahimahullah berkata dalam kitabnya Taisir Aziz
Al-Hamid hal. 483:
“Jikalau perkataan yang muncul dari Ibnu Abbas ini diperuntukkan pada orang yang
menentang sunnah dengan pendapat Abu Bakar dan Umar yang telah diketahui bersama
kedudukan mereka berdua, lantas bagaimana kiranya apa yang akan beliau katakan terhadap
orang yang menetang sunnah nabi dengan dengan tokoh dan imam madzhab yang
dianutnya? Lalu menjadikan pendapat orang tersebut sebagai tolok ukur Al-Qur’an dan
sunnah, bila keduanya sesuai dengan pendapat tokohnya maka diterima dan bila
bertentangan dengan pendapat tokohnya maka ditolak atau ditakwil. Kepada Allah kita
memohon pertolongan”
(Lihat pula Al-Qaulul Mufid (2/152) oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah cet. Dar Ibnu
Jauzi).
Dampak Negatif Fanatik
Fanatisme memunculkan berbagai dampak negatif yang sangat berbahaya bagi pribadi secara
khusus dan masyarakat secara umum. Demi kewaspadaan kita semua agar tidak terjerat
dalam belenggunya, akan kami paparkan beberapa dampak tersebut:
1. Memejamkan mata dari argumen yang kuat dan berpegang dengan argumen yang
rapuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menandaskan:
“Mayoritas orang-orang fanatik mazdhab tidak mendalami Al-Qur’an dan sunnah kecuali
segelintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadits-hadits lemah, pendapat-pendapat
rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama’ yang bisa jadi benar dan bisa jadi
bohong”. (Majmu’ Fatawa 22/254).
2. Mementahkan dalil shahih karena bertentangan dengan madzhab.
Bahkan seringkali mereka mementahkan dalil shahih dengan uslub yang kasar . Sebagai
contoh, KH. Sirajuddin Abbas dalam bukunya “40 Masalah Agama” Juz 1 hal. 186 -cet.
Kedua puluh sembilan- tatkala mengomentari hadits Abu Malik Al-Asyja’iy tentang bid’ahnya
qunut shubuh terus-menerus sebagaimana dilakukan mayoritas kaum muslimin di
Indonesia: “Nampaknya Thariq ini tidak dapat dipercayai omongannya dan mungkin ini
bukan perkataan Thariq, tetapi disebut-sebut oleh orang lain dan dikatakan ucapan
Tahriq!!!”.
3. Menyulut api perselisihan dan permusuhan
Persatuan dan kedamaian terasa mustahil terwujudkan bila penyakit fanatik madzhab masih
bercokol di dada kaum muslimin. Bahkan api kebencian, percekcokan dan perpecahan
bertambah menyala-nyala dalam kehidupan. Imam Dzahabi rahimahullah menceritakan
dalam Mizanul I’tidal (4/51) bahwa Muhammad bin Musa Al-Balasaghuniy rahimahullah
pernah berkata: “Seandainya aku menjadi pemimpin, niscaya aku akan mengambil pajak dari
penganut madzhab Syafi’i”.
Dalam muqaddimah buku “Halil Muslim Mulzam bi Ittiba’ Madzhabin Mu’ayyan” oleh
Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi rahimahullah diceritakan begini:
“Rombongan Jepang pernah berkeinginan masuk agama Islam. Untuk melaporkan
keperluannya, mereka pergi ke sebuah lembaga Islam di kota Tokyo. Ternyata para
pengurusnya dari berbagai madzhab. Orang India mengatakan: “Rombongan ini wajib
mengikuti madzhab Abu Hanifah karena beliau adalah pelita umat sedangkan orang
Indonesia “Jawa” menyahut: “Madzhab Syafi’i lebih utama untuk dianut” . Mendengar
keributan para pengurus tersebut, rombongan Jepang terheran-heran dan merasa
kebingungan sehingga akhirnya mereka tidak jadi masuk Islam”.
Nyarisnya, sumber permusuhan itu biasanya berinduk pada masalah fiqih belaka.
Imam Dzahabi rahimahullah menceritakan dalam Siyar A’lam Nubala’ (17/477) bahwa
Abu Abdillah Muhammad bin Fadhl Al-Farra’ pernah menjadi imam shalat di masjid
Abdullah selama enam puluh tahun lamanya, beliau bermadzhab Syafi’i dan melakukan
qunut (shubuh). Setelah itu, imam shalat diambil alih oleh seorang yang bermadzhab
Maliki, beliau tidak qunut (shubuh). Karena hal ini menyelisihi tradisi masyarakat,
akhirnya mereka bubar meninggalkannya seraya berkomentar: “Shalatnya gak
pecus!!!”.
4. Menolak kebenaran sekalipun sudah jelas hujjahnya
Imam Ibnul Jauzy rahimahullah mengatakan:
“Termasuk tipu daya Iblis terhadap para fuqaha’ yaitu tatkala jelas kebenaran berada di
tangan lawannya, dia akan tetap bersikukuh mempertahankan pendapatnya dan merasa
sesak dada untuk menerima kebenaran dari lawannya, bahkan dia akan berusaha
menggulingkan lawan padahal sudah jelas dia yang benar. Hal seperti ini sangat nista sekali,
karena fungsi dialog adalah mencari kebenaran sebagaimana dikatakan oleh Syafi’i: “Tidak
pernah saya berdialog dengan seseorang yang menolak kebenaran kecuali dia hina di
hadapanku dan tidak pernah saya berdialog dengan seseorang yang menerima kebenaran
kecuali dia berwibawa dalam pandanganku. Tidak pernah saya berdialog dengan seseorang
kecuali saya akan mengikuti kebenaran, bila kebenaran memang bersamanya saya akan
mengikutinya dan bila kebenaran bersamaku dia mengikutiku”(Talbis Iblis hal.120).
5. Mempermainkan dalil demi membela madzhabnya.
Contohnya banyak sekali, saya akan tampilkan satu contoh saja:
Ahmad As-Shawi rahimahullah berkata dalam Hasyiyah Jalalain (3/307-308) ketika
menafsirkan surat Fathir:
ﻦَﻤَﻓَﺃ َﻦِّﻳُﺯ ُﻪَﻟ ُﺀﻮُﺳ ِﻪِﻠَﻤَﻋ ﺎًﻨَﺴَﺣ ُﻩﺍَﺀَﺮَﻓ
Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu
dia meyakini pekerjaan itu baik.
(QS. Fathir: 8).
Katanya:
“Ayat ini turun kepada kelompok Khawarij yang merubah makna Al-Qur’an hadits dan
menghalalkan darah dan harta kaum muslimin sebagaimana dapat kita saksikan sekarang
pada cikal bakalnya yang berada di Hijaz yaitu Wahhabiyyah! Mereka menyangka bahwa
kelompoknya di atas hujjah padahal tidak sama sekali. Ketahuilah mereka adalah manusia
pendusta. Syetan telah menjangkiti mereka sehingga membuat mereka lupa dari mengingat
Allah. Merekalah bala tentara Syetan. Ketahuilah bahwa bala tentara Syetan pasti merugi.
Kita memohon kepada Allah agar meluluhlantahkan kekuatan mereka”.
Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana fanatik madzhab membuat buta para pemeluknya
sehingga mengeluarkan kata yang tak terkontrol oleh akal warasnya. Saya di sini bukan untuk
membantah kedustaan ini sebab sebagaimana kata seorang penyair:
ُﺔَّﻤِﺋ ٍّﻖَﺣ ِﺵْﻮُﻤُّﺸﻟﺎَﻛ ْﻢُﻫُﺭﺎَﻬِﺘْﺷﺍ ﺍْﻮُﺴَﻤَﻄْﻧﺍﺎَﻤَﻓ َّﻻِﺇ ِﻪِﺑ ْﻦَﻣ ﻰَﻤُﻋ
Para Imam Kebenaran, Popularitas mereka seperti matahari
Tidak ada yang mencela mereka kecuali orang yang buta.
6. Merubah nash demi kepentingan madzhab.
Contohnya banyak sekali, saya akan tampilkan satu contoh saja:
Atsar tentang qunut shubuh yang diriwayatkan oleh imam Ahmad (3/472), Ibnu Majah (1241),
Tirmidzi (2/252) dan beliau menshahihkannya:
ْﻦَﻋ ٍﻚِﻟَﺎﻣ ِّﻲِﻌَﺠْﺷَﻷﺍ َﻝﺎَﻗ : ُﺖْﻠُﻗ :ْﻲِﺑَﻷ ﺎَﻳ !ِﺖَﺑَﺃ َﻚَّﻧِﺇ َﺖْﻴَّﻠَﺻ َﺀﺍَﺭَﻭ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ َﺮَﻤُﻋَﻭ ٍﺮْﻜَﺑ ْﻲِﺑَﺃَﻭ َﻥﺎَﻤْﺜُﻋَﻭ ٍّﻲِﻠَﻋَﻭ ﺎَﻨُﻫ ﺎَﻫ
ﺍْﻮُﻧﺎَﻛَﺃ ,ِﺔَﻓْﻮُﻜْﻟﺍﺎِﺑ َﻥْﻮُﺘُﻨْﻘَﻳ ؟ِﺮْﺠَﻔْﻟﺍ ْﻲِﻓ َﻝﺎَﻗ : ٌﺙَﺪْﺤُﻣ َّﻲَﻨُﺑ ْﻱَﺃ
Dari Malik Asyja’iy berkata: “Saya pernah bertanya kepada ayahku: “Wahai ayahku! Engkau
pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di Kufah sini selama
lima tahun lamanya, apakah mereka melakukan qunut shubuh? Jawab beliau: ‘Wahai anakku,
Itu merupakan perkara baru”!!
Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (3/484) karya imam Nawawi, cetakan yang ditahqiq
oleh Syaikh Muhammad Najib Al-Muti’iy, seorang tokoh mazdhab Syafi’i di Mesir sekarang
tertulis begini:
ْﺙِّﺪَﺤَﻓ َّﻲَﻨُﺑ ْﻱَﺃ
Wahai anakku, ceritakanlah!!
Hal ini tidak lain kecuali karena dampak fanatik madzhab yang mengakar kuat pada dirinya.
Dalam kitabnya An-Nafilah fil Ahaditsil Bathilah (1/47), Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini
rahimahullah , salah seorang ulama’ ahli hadits Mesir murid Syaikh Al-Albani menceritakan
bahwa beliau pernah mendengar Syaikh Muhammad Najib Al-Muti’iy rahimahullah
mengatakan: “Shalatnya orang yang meninggalkan qunut shubuh secara sengaja hukumnya
batal tidak sah”!
Sungguh alangkah indahnya apa yang pernah saya baca dalam Silsilah Ahadits Dha’ifah (3/388)
karya Al-Muhaddits Al-Alban i rahimahullah, kata beliau:
“Dalam biografi Abul Hasan Al-Kurjiy As-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 532 H) diceritakan
bahwa beliau tidak melakukan qunut shubuh seraya berkata: “Tidak ada hadits shahih
tentang hal itu ”. Syaikh Al-Albani rahimahullah mengomentari:
“ Ini menunjukkan akan kedalaman ilmu dan inshafnya (keadilan), semoga Allah
merahmatinya. Beliau termasuk orang yang diselamatkan Allah dari belenggu fanatik
madzhab. Kita memohon kepada Allah agar termasuk mereka”.
7. Memalsukan hadits demi menjunjung madzhab.
Fanatik madzhab mempunyai andil yang cukup besar dalam pemalsuan hadits demi membela
madzhab. Contohnya, hadits palsu bikinan orang-orang fanatik madzhab Abu Hanifah
rahimahullah sebagai berikut:
ْﻲِﺗْﺄَﻴَﺳ ٌﻞُﺟَﺭ ْﻱِﺪْﻌَﺑ ْﻦِﻣ ُﻪَﻟ ُﻝﺎَﻘُﻳ َﻥﺎَﻤْﻌُّﻨﻟﺍ َﻦْﺑ ٍﺖِﺑﺎَﺛ َﺔَﻔْﻴِﻨَﺣ ﺎَﺑَﺃ ﻰَﻨْﻜُﻳَﻭ َﻦْﻳِﺩ َّﻦَﻴِﻴْﺤُﻴَﻟ ِﻪﻠﻟﺍ ْﻲِﺘَّﻨُﺳَﻭ ِﻪْﻳَﺪَﻳ ﻰَﻠَﻋ
Akan datang setelahku seorang yang bernama Nu’man bin Tsabit dan kunyah-nya Abu
Hanifah, sungguh dia akan menghidupkan agama Allah dan sunnahku.
(Lihat Tanzih Syari’ah 2/30 karya Ibnu ‘Arraq dan Tarikh Baghdad 2/289 karya Al-Khatib Al-
Bahgdadi).
Lebih ngeri lagi pernah dikatakan kepada Ma’mun bin Ahmad Al-Haraw i rahimahullah :
“Bagaimana pendapatmu tentang Syafi’i dan para pengikutnya di Khurasan?” Dia menjawab:
“Menceritakanku Ahmad bin Abdillah bin Mi’dan rahimahullah dari Anas secara marfu’:
ًُﻥْﻮُﻜَﻳ ْﻲِﻓ ٌﻞُﺟَﺭ ْﻲِﺘَّﻣُﺃ ُﻪَﻟ ُﻝﺎَﻘُﻳ َﺪَّﻤَﺤُﻣ َﻦْﺑ َﺲْﻳِﺭْﺩِﺇ َﺮَّّﺿَﺃ ﻰَﻠَﻋ ْﻦِﻣ ْﻲِﺘَّﻣُﺃ َﺲْﻴِﻠْﺑِﺇ ُﻥْﻮُﻜَﻳَﻭ ْﻲِﻓ ٌﻞُﺟَﺭ ْﻲِﺘَّﻣُﺃ ُﻝﺎَﻘُﻳ ﺎَﺑَﺃ ُﻪَﻟ
َﺔَﻔْﻴِﻨَﺣ َﻮُﻫ ُﺝﺍَﺮِﺳ ْﻲِﺘَّﻣُﺃ
Akan datang pada umatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris (nama imam Syafi’i),
dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan datang pada umatku seorang
bernama Abu Hanifah, dia adalah pelita umatku.
(Lihat Lisanul Mizan (5/7-8) karya Ibnu Hajar dan Tadrib Rawi (1/277) karya As-Suyuthi).
Hadits ini disamping maudhu’ (palsu), juga bertentangan dengan ketegasan Al-Qur’an yang
menyatakan bahwa pelita umat adalah Nabi Muhammad sebagaimana dalam surat Al-Ahzab:
46.
8. Mewajibkan taklid kepada seorang imam madzhab.
Para fanatisme madzhab akan menyerukan kepada kaumnya tentang kewajiban taklid yaitu
mengambil pendapat seorang tanpa mengetahui dalilnya. Bahkan, untuk mencapai tujuan ini,
mereka membuat hadits dusta yaitu:
ﺎًﻤِﻟﺎَﻋ َﺪَّﻠَﻗ ْﻦَﻣ َﻪﻠﻟﺍ َﻲِﻘَﻟ ﺎًﻤِﻟﺎَﺳ
Barangsiapa yang taklid kepada seorang alim, maka dia akan berjumpa Allah dengan selamat.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah pernah ditanya tentang hadits ini dalam
Majalah Al-Manar (34/759) lalu beliau menjawab : “Itu bukan hadits”. Hal ini disetujui oleh
Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani rahimahullah dalam Silislah Ahadits Ad-Dha’ifah
(551).
Berikut ucapan para propagandis taklid beserta sedikit sanggahannya:
a. Al-Baijury dalam “Jauharah Tauhidnya” pernah mengungkapkan:
ٌﺐِﺟﺍَﻮَﻓ ْﻢُﻬْﻨِﻣ ٍﺮْﺒَﺣ ُﺪْﻴِﻠْﻘَﺗ ﺍَﺬَﻛ ﻰَﻜَﺣ ٍﻆْﻔَﻠِﺑ ُﻡْﻮَﻘْﻟﺍ ُﻢَﻬْﻔُﻳ
Sewajibnya untuk taklid kepada seorang alim diantara mereka
Demikianlah diceritakan oleh suatu kaum d engan lafadz yang mudah difahami.
Syaikh Muhammad Ahmad Al-Adawi rahimahullah berkata dalam Al-Jadid ‘ala
Jauharah Tauhid hal. 111 mengomentari bait di atas: “Kami belum mendapati
pendahulu bagi penulis yang mewajibkan taklid”.
b. KH. Ahmad Masduqi, wakil Ro’is PWNU Jatim berkata dalam bukunya “Konsep Dasar
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” hal. 60 cet. Pelita Dunia Surabaya: “Apabila sejak
ratusan tahun yang lalu sampai sekarang sebagian besar umat Islam di seluruh dunia yang
termasuk dalam golongan Ahlus sunnah wal Jam’ah (ala mereka -pent-) membanarkan adanya
kewajiban taklid bagi orang yang tidak mencukupi syarat-syarat untuk berijtihad…”.
Ini adalah ucapan batil dari akarnya dan kebohongan nyata!. Tidak pernah ada kewajiban
seperti ini dari Allah, Rasulullah hatta imam madzhab sekalipun, karena pendapat mereka itu
kadang benar dan kadang juga salah. Seringkali para imam imam madzhab berpendapat suatu
pendapat lalu setelah jelas baginya dalil, dia ruju’ (kembali) kepada dalil. Para imam sendiri
telah mengucapkan perkataan-perkataan berharga tentang haramnya taklid kepada mereka.
Imam Syafi’i sendiri pernah berkata:
ُّﻞُﻛ ﺎَﻣ ُﺖْﻠُﻗ ِﻦَﻋ َﻥﺎَﻛَﻭ ُﻑَﻼِﺧ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ْﻲِﻟْﻮَﻗ ﺎَّﻤِﻣ ُّﺢِﺼَﻳ ُﺚْﻳِﺪَﺤَﻓ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰَﻟْﻭَﺃ َﻻَﻭ ْﻲِﻧْﻭُﺪِّﻠَﻘُﺗ
Setiap ucapan saya yang bertentangan dengan hadits shahih, maka hadits Nabi lebih utama
dan janganlah kalian taklid kepadaku . (Adab Syafi’i wa Manaqibuhu (1/66) oleh Ibnu Abi
Hatim).
Tentang haramnya taklid dan bahayanya, para ulama sudah membahas secara tuntas seperti
imam:
1. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam I’lam Muwaqqi’in ,
2. Syaikh Shalih Al-Fulani dalam Iqhadhul Himami Ulil Abshar ,
3. Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi Al-Hujandi dalam Halil Muslim Mulzam bi
Ittiba’i Madzhabin Mu’ayyanin ,
4. Syaikh Muhammad ‘Ied Al-Abbasi dalam Bid’ah Ta’ashub Madzhabi,
5. Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam muqaddimah Sifat Shalat Nab i dan masih
banyak lainnya lagi.
10. Menutup pintu ijtihad.
KH. Ahmad Masduqi berkata dalam bukunya yang berjudul Konsep Dasar Ahlus Sunnah wal
Jama’ah , hal. 60:
“Atau dengan lain perkataan, belum pernah ada orang yang mampu memasuki “Pintu Ijthad
Yang Mutlaq” semenjak dahulu sampai sekarang, meskipun pintu tersebut tidak pernah
ditutup. Dan apabila di sana-sini banyak kita jumpai orang-orang yang berlagak pilon
mengaku sebagai mujtahid, artinya menggali sendiri dari Al-Qur’an dan Al-hadits dalam
menjalankan syari’at Islam dan tidak mau mengikuti pendapat imam madzhab, maka
sebenarnya mereka tidak lebih dari orang-orang yang membebek kepada guru-guru mereka
yang masih belum memahami benar-benar arti ijtihad, apalagi memenuhi syarat-syarat
untuk berijtihad”.
Ucapan di atas salah fatal, tipu daya tak samar, kesesatan nyata dan ajaran baru yang
diusung oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sehingga berdampak negatif yaitu
sikap kolot terhadap pendapat madzhab.

Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar