Sekalipun ada sejumlah karya ilmiah dan kabar berita yang
menyatakan sebaliknya, banyak orang masih mempunyai anggapan keliru
bahwa Muslim tidaklah bisa toleran, hidup berdampingan, atau bekerja sama
dengan para penganut agama lain. Ini salah satunya karena para ekstremis
Muslim sendiri sering menyalahgunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk
membenarkan aksi-aksi kekerasan terhadap non-Muslim.
Tafsiran-tafsiran itu keliru. Nyatanya banyak ayat dalam al-Qur’an menyerukan
persahabatan, perlakuan adil dan kerja sama dengan non-Muslim. Namun ayat-
ayat ini diabaikan oleh mereka yang ingin menciptakan perpecahan untuk
menyulut bara dalam sekam.
Ayat-ayat al-Qur’an yang disalahgunakan itu misalnya: “Janganlah orang
beriman menjadikan orang kafir sebagai sekutu atau pelindung, melainkan
orang beriman” (3:28) dan “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah
kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai sekutumu; mereka
bersekutu satu sama lain. Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka
sekutu, sesungguhnya dia termasuk golongan mereka” (5:51).
Ayat-ayat ini haruslah dilihat sebagai ayat-ayat yang memberikan dukungan
yang diperlukan untuk mempertahankan dan menyatukan komunitas Muslim
awal—Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang hijrah ke Madinah—yang
masih belum kokoh dan berada di lingkungan yang tidak bersahabat.
Dengan kata lain, al-Qur’an saat itu tengah menasihati komunitas Muslim di
Arab abad ke-7 itu untuk berhati-hati dalam membuat aliansi politik. Dan
memang saat itu mereka dikhianati oleh beberapa dari sekutu Yahudi mereka.
Ayat-ayat ini diwahyukan terutama karena beberapa Muslim, demi keuntungan
pribadi, ingin membentuk atau mempertahankan aliansi dengan non-Muslim
meski dengan mengorbankan saudara seagama sendiri dan masyarakat yang
baru saja dibentuk. Karena itu ayat-ayat ini memerintahkan kaum Muslim awal
itu untuk mandiri dan tidak bergantung pada perlindungan orang lain demi
menciptakan sebuah komunitas yang kuat dan bisa bertahan lama.
Seperti ayat-ayat tadi, ayat-ayat yang lain juga dikutip keluar dari konteksnya,
sehingga dengan mudah menyesatkan para pembaca yang minim informasi dan
tidak memahami al-Qur’an dengan baik. Ayat seperti, “Dan bunuhlah mereka di
mana kamu temui mereka …” (2:191) sering dikutip oleh banyak ekstremis
Muslim dan juga non-Muslim untuk menunjukkan adanya kebencian Islam
terhadap non-Muslim.
Namun, ayat ini juga dipahami lepas dari konteksnya, karena ayat sebelum dan
sesudahnya justru menyatakan bahwa Muslim tidak seharusnya menjadi
agresor dan semestinya hanya melindungi diri dari penganiayaan. Konteksnya
kemudian menjadi jelas: ayat ini diwahyukan atas sebuah kejadian khusus
terkait dengan kaum musyrik Arab yang melanggar perdamaian dan
mengingkari gencatan senjata pada waktu itu. Dengan kata lain, perintah ini
hanya bisa berlaku untuk peristiwa khusus itu.
Syekh Yusuf al-Qaradawi, seorang cendekiawan muslim terkemuka dari Mesir,
menunjukkan bahwa ayat-ayat ini bukanlah tidak bersyarat, dan tentu tidak
bisa diterapkan ke setiap orang Yahudi, Kristen atau non-Muslim. Dengan
melepaskan ayat-ayat itu dari konteks spesifiknya yang berkaitan dengan
peristiwa sejarah Muslim di masa lalu, mereka sebenarnya melanggar perintah
lain dalam al-Qur’an yang menyerukan perbuatan baik kepada mereka yang
tidak menyakiti kaum Muslim.
Baik Muslim maupun non-Muslim harus membedakan ayat-ayat al-Qur’an yang
khusus terkait dengan konteks tertentu dari ayat-ayat yang universal dengan
juga membaca ayat-ayat yang membingkai ayat-ayat yang diperselisihkan itu.
Penting untuk mengingat bahwa pesan penghormatan bagi kebebasan beragama
juga tersebar di banyak tempat dalam al-Qur’an, di antaranya: “Tidak ada
paksaan dalam agama” (2:256); “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
(kepada yang diwahyukan kepadamu, Muhammad), dan orang-orang Yahudi,
Nasrani, serta Sabiin—siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhan mereka, dan
tak perlu ada rasa takut pada mereka, dan tidak perlu mereka bersedih” (2:62).
Bahkan hubungan ideal antara Muslim dan non-Muslim digambarkan secara
amat baik dalam dua ayat al-Qur’an (60:8-9). Ayat-ayat ini—yang menasihati
Muslim untuk memperlakukan penganut agama lain secara adil—menggunakan
sebuah kata yang berasal dari akar kata birr , yang merujuk pada jenis kebaikan
dan keadilan yang sudah mengakar. Al-Qur’an menganjurkan agar birr menjadi
dasar hubungan antara Muslim dan non-Muslim—perintah yang juga al-Qur’an
berikan menyangkut hubungan dengan orangtua kita.
Kini, ketika para ekstremis mengutip ayat-ayat tadi keluar dari konteksnya
untuk membenarkan terorisme, menjadi penting untuk memahami al-Qur’an
secara lebih seksama. Semua Muslim perlu memadukan pembacaan kitab suci
dengan pemahaman mendalam tentang perintah-perintahnya. Karena
mayoritas Muslim tidak bicara dalam bahasa Arab, yakni bahasa yang
digunakan al-Qur’an, mereka perlu merujuk pada sumber-sumber tafsir dan
terjemahan yang terpercaya dan tidak mengikuti tafsiran yang keliru dan tak
berdasar. Ini tentu dapat membuka jalan untuk memberantas kesalahpahaman
dan penyalahgunaan al-Qur’an untuk tujuan-tujuan kekerasan, dan alih-alih,
mendorong visi universal al-Qur’an: toleransi setulus hati dan keberdampingan
damai semua manusia.
###
* Dr. Maher Y. Abu-Munshar ialah dosen tamu di Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam, Universiti Malaya, Malaysia, dan penulis Islamic Jerusalem and
its Christians: A History of Tolerance and Tensions (IB Tauris, 2007). Artikel ini
adalah bagian dari seri mitos Islam sebagai agama kekerasan yang ditulis untuk
Kantor Berita Common Ground (CGNews).
Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 4 Desember 2009,
www.commongroundnews.org
Dipersilahkan untuk mengutip artikel ini dengan menyebutkan sumber.
Senin, Maret 19, 2012
Tentang “memusuhi orang kafir” dalam Islam
Published with Blogger-droid v2.0.4
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar