Senin, Maret 19, 2012

Tentang “memusuhi orang kafir” dalam Islam

Sekalipun ada sejumlah karya ilmiah dan kabar berita yang

menyatakan sebaliknya, banyak orang masih mempunyai anggapan keliru

bahwa Muslim tidaklah bisa toleran, hidup berdampingan, atau bekerja sama

dengan para penganut agama lain. Ini salah satunya karena para ekstremis

Muslim sendiri sering menyalahgunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk

membenarkan aksi-aksi kekerasan terhadap non-Muslim.

Tafsiran-tafsiran itu keliru. Nyatanya banyak ayat dalam al-Qur’an menyerukan

persahabatan, perlakuan adil dan kerja sama dengan non-Muslim. Namun ayat-

ayat ini diabaikan oleh mereka yang ingin menciptakan perpecahan untuk

menyulut bara dalam sekam.

Ayat-ayat al-Qur’an yang disalahgunakan itu misalnya: “Janganlah orang

beriman menjadikan orang kafir sebagai sekutu atau pelindung, melainkan

orang beriman” (3:28) dan “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah

kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai sekutumu; mereka

bersekutu satu sama lain. Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka

sekutu, sesungguhnya dia termasuk golongan mereka” (5:51).

Ayat-ayat ini haruslah dilihat sebagai ayat-ayat yang memberikan dukungan

yang diperlukan untuk mempertahankan dan menyatukan komunitas Muslim

awal—Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang hijrah ke Madinah—yang

masih belum kokoh dan berada di lingkungan yang tidak bersahabat.

Dengan kata lain, al-Qur’an saat itu tengah menasihati komunitas Muslim di

Arab abad ke-7 itu untuk berhati-hati dalam membuat aliansi politik. Dan

memang saat itu mereka dikhianati oleh beberapa dari sekutu Yahudi mereka.

Ayat-ayat ini diwahyukan terutama karena beberapa Muslim, demi keuntungan

pribadi, ingin membentuk atau mempertahankan aliansi dengan non-Muslim

meski dengan mengorbankan saudara seagama sendiri dan masyarakat yang

baru saja dibentuk. Karena itu ayat-ayat ini memerintahkan kaum Muslim awal

itu untuk mandiri dan tidak bergantung pada perlindungan orang lain demi

menciptakan sebuah komunitas yang kuat dan bisa bertahan lama.

Seperti ayat-ayat tadi, ayat-ayat yang lain juga dikutip keluar dari konteksnya,

sehingga dengan mudah menyesatkan para pembaca yang minim informasi dan

tidak memahami al-Qur’an dengan baik. Ayat seperti, “Dan bunuhlah mereka di

mana kamu temui mereka …” (2:191) sering dikutip oleh banyak ekstremis

Muslim dan juga non-Muslim untuk menunjukkan adanya kebencian Islam

terhadap non-Muslim.

Namun, ayat ini juga dipahami lepas dari konteksnya, karena ayat sebelum dan

sesudahnya justru menyatakan bahwa Muslim tidak seharusnya menjadi

agresor dan semestinya hanya melindungi diri dari penganiayaan. Konteksnya

kemudian menjadi jelas: ayat ini diwahyukan atas sebuah kejadian khusus

terkait dengan kaum musyrik Arab yang melanggar perdamaian dan

mengingkari gencatan senjata pada waktu itu. Dengan kata lain, perintah ini

hanya bisa berlaku untuk peristiwa khusus itu.

Syekh Yusuf al-Qaradawi, seorang cendekiawan muslim terkemuka dari Mesir,

menunjukkan bahwa ayat-ayat ini bukanlah tidak bersyarat, dan tentu tidak

bisa diterapkan ke setiap orang Yahudi, Kristen atau non-Muslim. Dengan

melepaskan ayat-ayat itu dari konteks spesifiknya yang berkaitan dengan

peristiwa sejarah Muslim di masa lalu, mereka sebenarnya melanggar perintah

lain dalam al-Qur’an yang menyerukan perbuatan baik kepada mereka yang

tidak menyakiti kaum Muslim.

Baik Muslim maupun non-Muslim harus membedakan ayat-ayat al-Qur’an yang

khusus terkait dengan konteks tertentu dari ayat-ayat yang universal dengan

juga membaca ayat-ayat yang membingkai ayat-ayat yang diperselisihkan itu.

Penting untuk mengingat bahwa pesan penghormatan bagi kebebasan beragama

juga tersebar di banyak tempat dalam al-Qur’an, di antaranya: “Tidak ada

paksaan dalam agama” (2:256); “Sesungguhnya orang-orang yang beriman

(kepada yang diwahyukan kepadamu, Muhammad), dan orang-orang Yahudi,

Nasrani, serta Sabiin—siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir,

dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhan mereka, dan

tak perlu ada rasa takut pada mereka, dan tidak perlu mereka bersedih” (2:62).

Bahkan hubungan ideal antara Muslim dan non-Muslim digambarkan secara

amat baik dalam dua ayat al-Qur’an (60:8-9). Ayat-ayat ini—yang menasihati

Muslim untuk memperlakukan penganut agama lain secara adil—menggunakan

sebuah kata yang berasal dari akar kata birr , yang merujuk pada jenis kebaikan

dan keadilan yang sudah mengakar. Al-Qur’an menganjurkan agar birr menjadi

dasar hubungan antara Muslim dan non-Muslim—perintah yang juga al-Qur’an

berikan menyangkut hubungan dengan orangtua kita.

Kini, ketika para ekstremis mengutip ayat-ayat tadi keluar dari konteksnya

untuk membenarkan terorisme, menjadi penting untuk memahami al-Qur’an

secara lebih seksama. Semua Muslim perlu memadukan pembacaan kitab suci

dengan pemahaman mendalam tentang perintah-perintahnya. Karena

mayoritas Muslim tidak bicara dalam bahasa Arab, yakni bahasa yang

digunakan al-Qur’an, mereka perlu merujuk pada sumber-sumber tafsir dan

terjemahan yang terpercaya dan tidak mengikuti tafsiran yang keliru dan tak

berdasar. Ini tentu dapat membuka jalan untuk memberantas kesalahpahaman

dan penyalahgunaan al-Qur’an untuk tujuan-tujuan kekerasan, dan alih-alih,

mendorong visi universal al-Qur’an: toleransi setulus hati dan keberdampingan

damai semua manusia.

###

* Dr. Maher Y. Abu-Munshar ialah dosen tamu di Jurusan Sejarah dan

Peradaban Islam, Universiti Malaya, Malaysia, dan penulis Islamic Jerusalem and

its Christians: A History of Tolerance and Tensions (IB Tauris, 2007). Artikel ini

adalah bagian dari seri mitos Islam sebagai agama kekerasan yang ditulis untuk

Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 4 Desember 2009,

www.commongroundnews.org

Dipersilahkan untuk mengutip artikel ini dengan menyebutkan sumber.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar