Sabtu, Maret 03, 2012

Rumah Tangga Sakinah Bagi Seorang Wanita

Cahaya islam
Bagi seorang wanita mukminah, pernikahan adalah salah satu perwujudan Sunnah Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam dan sarana untuk mencapai keridhaan-Nya. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Nikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang tidak
mengamalkan sunnahku maka bukanlah termasuk golonganku. Menikahlah, karena aku
akan bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat lain di hari kiamat.
Barangsiapa yang telah memiliki modal, hendaklah ia menikah. Dan barangsiapa yang
tidak mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu penekan hawa nafsunya” (HR.
Ibnu Majah).
Jika seseorang meniatkan di awal pernikahannya sebagai satu niat untuk beribadah
kepada-Nya, meninggalkan zina, dan mendekatkan diri kepada-Nya; maka dia akan
memperoleh pahala sesuai dengan apa yang ia niatkan itu. Sebaliknya, jika ia
mempunyai niat di awal pernikahannya hanya sekedar untuk mencari harta, pangkat,
kedudukan, atau popularitas; maka ia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang
dia niatkan. Bahkan dosa jika yang ia niatkan tersebut merupakan maksiat. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung
pada niat dan seseorang hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang
niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tanggung Jawab Istri pada Diri Sendiri
Diantara tanggung jawab istri kepada diri sendiri diantaranya adalah :
1. Menuntut ilmu syar’i
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi
setiap muslim” (HR. Ibnu Majah)
Yaitu :
- Ilmu tentang prinsip-prinsip ‘aqidah dan keimanan (Rukun Iman)
- Ilmu tentang apa-apa yang diwajibkan dalam rukun Islam, seperti syahadat, sholat,
zakat, puasa, dan haji.
- Ilmu-ilmu penunjang yang bermanfaat lainnya.
Seorang ibu rumah tangga wajib mengetahui tentang pembatal-pembatal syahadat,
wajib mengetahui bagaimana cara thaharah dan sholat yang benar, dan yang lain
sebagainya. Tidak boleh terjadi pada seorang ibu bahwa ia tidak mengetahui tentang
hukum-hukum haidh, padahal haidh adalah sesuatu yang rutin mendatanginya.
Bagaimana seorang ibu rumah tanga bisa menuntut ilmu di sela-sela kesibukannya
mengurus rumah tangga ? Hal yang pertama bahwa ia harus menumbuhkan perasaan
butuh dan cinta kepada ilmu. Jika seseorang telah mampu menumbuhkan perasaan itu
pada dirinya, maka ia akan memanfaatkan semua kesempatan dimana ia bisa
memperoleh ilmu, baik dalam majelis-majelis ilmu atau membaca buku-buku. Dalam
seminggu, usahakanlah untuk dapat bermajelis ilmu minimal satu kali. Bisa ia
menghadiri majelis-majelis ilmu secara khusus, atau bermajelis dengan suaminya untuk
saling membacakan satu pembahasan dalam buku agama. Selain itu, ia bisa
memanfaatkan beberapa waktu luang dengan membaca buku agama saat kesibukan
belum menderanya, misalnya 15 – 20 menit sebelum sholat shubuh;atau 15 – 20 menit
setelah ‘isya’ di saat anak-anak telah tidur di pembaringannya.
2. Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh.
Adalah menjadi hal yang mutlak lagi wajib untuk mengamalkan ilmu. Amal adalah buah
ilmu. Barangsiapa yang berilmu namun tidak beramal, ia laksana tumbuhan yang tidak
memberikan manfaat bagi makhluk hidup di sekitarnya. Ilmu bisa menjadi pembela atau
malah jadi bencana bagi diri kita sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam :
“Al-Qur’an itu bisa menjadi pembela bagimu atau menjadi bencana bagimu” (HR.
Muslim)
Contoh mudah yang bisa kita lakukan adalah ketika kita tahu bagaiamana cara wudhu
yang benar dari penjelasan Ustadz atau hasil membaca buku; maka dengan tidak
menunda-nunda kita praktekkan pada diri kita jikalau mau melaksanakan sholat. Jika kita
tahu tentang bahaya syirik, maka dengan segera kita bersihkan diri dan rumah tangga
kita dari hal-hal yang berbau syirik seperti membuang segala macam jimat, rajah,
gambar makhluk hidup, atau benda pusaka keramat peninggalan leluhur (yang tentunya
harus dikomunikasikan secara bijaksana dengan suami). Dan yang lain sebagainya.
Tanggung Jawab Istri pada Suami
Tanggung jawab istri kepada suami terkait erat dengan pemenuhan hak-hak suami oleh
istri. Harus menjadi satu pemahaman bahwa seorang laki-laki adalah pemimpin bagi
wanita. Seorang suami adalah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya di rumahnya. Allah
swt berfirman : “ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An-Nisaa’ : 34).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menggambarkan keagungan hak suami
yang harus dipenuhi oleh istrinya dengan sabdanya : “Gambaran hak suami yang harus
dipenuhi oleh istrinya adalah seandainya pada kulit suaminya itu ada borok (luka), lalu
dia (istri) menjilatinya, maka dia belum benar-benar memenuhi hak suaminya” (HR. Ibnu
Abi Syaibah 4/2/303 no. 17407; hasan ).
“Seandainya aku boleh menyuruh seorang manusia untuk bersujud kepada manusia
lainnya, niscaya akan aku suruh seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya” (HR.
At-Tirmidzi).
Ketaatan istri kepada suaminya merupakan salah satu faktor yang akan membawanya
masuk surga. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jika seorang wanita
mengerjakan sholat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya,
dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya : ‘Masuklah ke dalam surga
melalui pintu mana saja yang engkau sukai” (HR. Ibnu Hibban , shahih).
Beberapa kewajiban istri yang harus dipenuhi kepada suaminya antara lain adalah :
1. Patuh kepada perintah suami
Hushain bin Mihshan mengkisahkan : Bahwasannya bibinya pernah mendatangi Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasalam untuk satu keperluan. Setelah menyelesaikan keperluannya,
maka Nabi berkata kepadanya : ‘Apakah engkau bersuami ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau
melanjutkan : ‘Bagaimana sikapmu terhadapnya ?’. Aku menjawab : ‘Aku tidak pernah
membantahnya/menolaknya kecuali pada perkara yang tidak sanggup aku lakukan’.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Maka perhatikanlah sikapmu
terhadapnya, karena sesungguhnya dia (suamimu) adalah surga dan nerakamu” (HR.
Ahmad).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang model wanita yang
paling baik, maka beliau menjawab : “Dia dalah seorang wanita yang patuh saat
suaminya menyuruhnya, menarik saat suaminya memandangnya, menjaga kemuliaan
suami dengan memelihara kehormatannya sendiri, dan mengurus harta suami” (HR. An-
Nasa’i ,shahih).
Catatan : Taat ini dengan syarat : Hanya dalam hal yang ma’ruf bukan dalam
kemaksiatan.
“Tidak ada ketaatan dalam perbuatan maksiat kepada Allah. Ketaatan hanya boleh
dilakukan dalam kebaikan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, seorang istri tidak boleh taat kepada suaminya jika ia menyuruh untuk membuka
jilbab, menemani seorang laki-laki yang bukan mahram tanpa ada suaminya, berbohong,
dan lain-lain. Namun bukan pula berarti ia membatalkan ketaatannya secara
keseluruhan. Ia tetap wajib taat pada hal-hal yang mubah dan yang disyari’atkan.
2. Tetap tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali setelah mendapat ijin
dari suami.
Allah berfirman : “Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu” (QS.
Al-Ahzab : 33).
Tinggal di dalam rumah adalah hukum asal bagi seorang wanita. Ia tidak boleh keluar
melainkan dengan sebab dan syarat. Sebabnya adalah karena hajat, dan syaratnya
adalah ijin dari suami, berpakaian syar’i, tidak memakai wangi-wangian, dan yang lainnya
(yang akan dijelaskan kemudian).
Untuk hal-hal yang sifatnya rutinitas dimana ia telah mendapatkan ijin dari suami secara
umum, maka ia boleh keluar tanpa seijin suaminya (walau meminta ijin tetap lebih baik).
Misalnya : keluar rumah untuk belanja di warung, menyapu halaman, dan lainnya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan salah satu sebab mengapa
wanita tinggal di dalam rumah : “Wanita itu adalah aurat. Apabila ia keluar rumah, maka
akan dibanggakan oleh syaithan” (HR. At-Tirmidzi).
Hingga dalam permasalahan ibadah (sholat di masjid), rumah tetap lebih baik bagi
seorang wanita, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasall am: “Janganlah
kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid; akan tetapi sholat di rumah adalah lebih
baik bagi mereka” (HR. Abu Dawud)
3. Menerima ajakan suami.
Ini hukumnya wajib. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seorang
suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun istrinya tersebut menolak (tanpa
udzur yang dibenarkan syari’at) maka para malaikat akan melaknatnya hingga waktu
shubuh tiba” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Tidak memasukkan seseorang ke dalam rumah kecuali dengan seijin suami.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya kalian (para suami) memiliki hak yang harus dipenuhi mereka (para istri),
agar mereka tidak mengijinkan seorangpun masuk ke pembaringanmu seseorang yang
tidak kamu sukai” (HR. Muslim).
“Dan janganlah seorang wanita mengijinkan seseorang masuk ke dalam rumah
suaminya sementara dia (suami) ada di sana, kecuali dengan ijin suaminya
tersebut” (HR. Muslim).
Larangan ini berlaku untuk orang-orang yang memang suaminya tidak meridhainya.
Namun bila orang tersebut termasuk orang-orang yang diridhai – semisal kaum kerabat
-, maka ia diperbolehkan menerimanya masuk ke rumahnya dengan tetap menjaga
kehormatan dirinya. Jika orang/tamu tersebut laki-laki bukan termasuk mahram
(semisal : teman kerja suami atau tetangga), maka ia diperbolehkan untuk menerima
dengan catatan aman dari fitnah dan menghindari khalwat (berdua-duaan). Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan
dengan wanita kecuali bersama mahramnya” (HR. Al-Bukhari  dan Muslim).
5. Tidak bersedekah dengan harta suami kecuali mendapat ijin darinya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah seorang wanita
menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali seijin suaminya tersebut” (HR. Abu
Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
6. Berterima kasih kepada suami dan tidak mengingkari kebaikannya, serta
memperlakukan suami dengan baik.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah tidak akan melihat kepada
wanita yang tidak berterima kasih kepada suaminya, padahal ia tidak mungkin lepas dari
ketergantungan padanya” (HR. Nasa’i)
Berterima kasih ini tidak hanya sebatas lisan, tapi terwujud pada penampakan rasa
bahagia dan nyaman selama mendampingi suami dan melayani kebutuhannya dan
kebutuhan anak-anaknya, tidak mengabaikannya, tidak mengeluh dengan segala kondisi
yang dialami bersamanya, dan yang lainnya.
7. Tidak mengungkit-ungkit kebaikannya kepada suami, jika kebetulan dia
menafkahi suami dan anak-anaknya.
Adakalanya seorang suami diberi cobaan berupa sakit, cacat, atau yang semisalnya
sehingga ia tidak bisa memberi nafkah sebagaimana mestinya; yang dengan itu istri
menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah. Haram hukumnya
mengungkit-ungkit kebaikannya itu. Allah telah berfirman: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-
nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al-Baqarah : 264).
8. Selalu menjaga keutuhan rumah tangga dan tidak menuntut cerai tanpa alasan
yang dibenarkan oleh syari’at.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wanita mana saja yang menuntut
cerai kepada suaminya tanpa ada masalah yang berarti (menurut kacamata syari’at),
maka diharamkan baginya wangi bau surga” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah ,
Ahmad).
Dan ingatlah wahai para wanita bahwa engkau telah Allah jadikan salah satu perhiasan
dunia. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia
adalah wanita shalihah” (HR. Muslim).
Tanggung Jawab Istri pada Anak
1. Menyusui anak hingga usia dua tahun.
Allah swt berfirman: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al-Baqarah : 233).
2. Mengasuh, memperhatikan, dan memelihara anak dengan nafkah yang
diberikan oleh suami.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan kepada Hindun
radliyallaahu ‘anhaa : “Ambillah dengan baik (dari harta suamimu) sebatas mencukupi
keperluanmu dan anakmu” (HR. Bukhari dan Muslim).
3. Mendidik anak dengan pendidikan yang baik dan Islami.
Hal utama yang harus diberikan dan diperhatikan adalah pendidikan agama, sebab
pendidikan ini merupakan dasar yang akan membentuk tingkah laku anak di kemudian
hari. Penanaman aqidah tauhid yang kuat adalah mutlak diberikan. Anak harus tahu
kewajiban dan tugas mengapa ia dilahirkan di muka bumi, yaitu untuk beribadah kepada
Allah semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Juga dengan
penanaman prinsip-prinsip keimanan dalam rukun iman. Kemudian diikuti dengan
penanaman kewajiban yang termasuk dalam rukun Islam yang lain seperti sholat, zakat,
puasa, dan haji. Dari konsep pembangunan anak yang beriman dan beramal shalih,
tentu saja harapan kita kelak ia menjadi sesuatu yang berharga yang dapat bermanfaat
bagi kita di akhirat. Dan itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam :“Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga
hal, yaitu : shadaqah jariyyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang
mendoakannya” (HR. Muslim).  Wallahu a’lam

Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar