Jumat, Maret 09, 2012

Memahami Takdir

” Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir

yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan

menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan

menimpamu. “

Beriman kepada Takdir

Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah Ta’ala , salah satu rukun iman yang

wajib diimani oleh setiap muslim adalah beriman kepada takdir baik maupun buruk.

Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan :

[1] Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya

seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah

sebelum dia melakukannya. [2] Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul

Mahfuzh. [3] Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi

adalah karena kehendak-Nya. [4] Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala

sesuatu. Allah adalah Pencipta satu-satunya dan selain-Nya adalah makhluk termasuk

juga amalan manusia.

Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas adalah firman Allah Ta’ala (yang

artinya),” Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa

saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam

sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi

Allah. ” (QS. Al Hajj [22] : 70). Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas adalah firman

Allah (yang artinya),” Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali

apabila dikehendaki Allah , Tuhan semesta alam. ” (QS. At Takwir [81] : 29). Sedangkan

untuk tingkatan keempat, dalilnya adalah firman Allah (yang artinya),” Allah menciptakan

kamu dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37] : 96). Pada ayat ‘ Wa ma

ta’malun’ (dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan manusia

adalah ciptaan Allah.

Macam-macam Takdir

Takdir itu ada 2 macam :

[1] Takdir umum mencakup segala yang ada. Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh.

Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi

seluruh makhluk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Sesungguhnya yang

pertama kali diciptakan Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman kepada qalam

tersebut,“Tulislah”. Kemudian qalam berkata,“Wahai Rabbku, apa yang akan aku tulis?”

Allah berfirman,“Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat .” (HR. Abu

Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud ).

[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum. Takdir ini terdiri dari :

(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana

janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal :

(1) rizki, (2) ajal, (3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.

(b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai

kejadian dalam setahun. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),” Pada malam itu dijelaskan

segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44] : 4). Ibnu Abbas

mengatakan,”Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab segala kebaikan,

keburukan, rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun .” (Lihat Ma’alimut Tanzil , Tafsir Al

Baghowi) Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini.

Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman

kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari salah satu rukun iman yang wajib

diimani.

Salah dalam Menyikapi Takdir

Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu

berlebihan dalam menetapkannya.

Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah . Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi.

Kelompok pertama adalah yang paling ekstrim. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap

segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh.

Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah dan melarang, namun Allah tidak

mengetahui siapa yang ta’at dan berbuat maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak

didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan

tidak ada lagi. Kelompok kedua adalah yang menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan

masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan

hamba adalah makhluk yang berdiri sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula

menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah . Kebalikan dari Qodariyyah adalah

kelompok yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga hamba seolah-olah

dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka

mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh karena itu,

kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah .

Keyakinan dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan

dalam banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah (yang artinya),” (yaitu) bagi siapa di

antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki

(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. ” (QS. At

Takwir [81] : 28-29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua

kelompok di atas. Pada ayat,“ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh

jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah karena pada ayat ini Allah

menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan

mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat selanjutnya,” Dan kamu tidak dapat

menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta

alam” merupakan bantahan untuk qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak

manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada

kehendak Allah. Ini perkataan yang salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan

kehendak hamba dengan kehendak-Nya.

Keyakinan yang Benar dalam Mengimani Takdir

Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan

kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua

perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan

hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih

untuk melakukannya.

As Safariny mengatakan, ”Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf)

dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan,

kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang

dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menjadikan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana

firman-Nya (yang artinya),” Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu)

kecuali apabila dikehendaki Allah ” (QS. At Takwir [81] : 29). Maka dalam ayat ini Allah

menetapkan kehendak hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak

terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh Ahlus

Sunnah.”

Jangan Hanya Bersandar pada Takdir Allah

Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka

bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab

sama sekali . Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari

untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk

kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan,”Saya pasrah, biarkan Allah yang akan

memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam memahami

takdir. Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di

samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita

bermalas-malasan. Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil

yang sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa dan bersedih karena hal ini sudah

menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda,” Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah

pada Allah dan janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu

berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi

katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah

berbuat apa yang dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu)

setan. ” (HR. Muslim)

Buah dari Beriman kepada Takdir

Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati menjadi

tenang dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui

bahwa musibah itu adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan

tidak mungkin seseorang pun lari darinya. Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah

mengatakan pada anaknya, ”Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga

engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus

mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa

saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda,” Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan

tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka .” ( Shohih. Lihat Silsilah Ash

Shohihah no. 2439)

Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi

segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak

beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa sedih dan

gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar

dalam menghadapi segala cobaan yang merupakan takdir Allah.

Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang

mendekatkan kami kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta

perkataan dan amalan yang dapat mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami

memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau tetapkan bagi kami adalah

baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat .

Sumber : http://www.rumaysho.com/

Dari Abu Abdirrohman, Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu’anhu, dia berkata: ”Rosululloh

shollallohu ‘alaihi wasallam telah bersabda kepada kami dan beliau adalah orang yang

selalu benar dan dibenarkan: ’Sesungguhnya setiap orang diantara kamu dikumpulkan

kejadiannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah (air

mani), kemudian menjadi ‘alaqoh (segumpal darah) selama waktu itu juga (empat puluh

hari), kemudian menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama waktu itu juga, lalu

diutuslah seorang malaikat kepadanya, lalu malaikat itu meniupkan ruh padanya dan ia

diperintahkan menulis empat kalimat: Menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan nasib

celakanya atau keberuntungannya. Maka demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya,

sesungguhnya ada diantara kamu yang melakukan amalan penduduk surga dan amalan

itu mendekatkannya ke surga sehingga jarak antara dia dan surga kurang satu hasta,

namun karena taqdir yang telah ditetapkan atas dirinya, lalu dia melakukan amalan

penduduk neraka sehingga dia masuk ke dalamnya. Dan sesungguhnya ada seseorang

diantara kamu yang melakukan amalan penduduk neraka dan amal itu mendekatkannya

ke neraka sehingga jarak antara dia dan neraka hanya kurang satu hasta, namun karena

taqdir yang telah ditetapkan atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk surga

sehingga dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Kedudukan Hadits Hadits ini merupakan pangkal dalam bab taqdir, yaitu tatkala hadits

tersebut menyebutkan bahwa taqdir janin meliputi 4 hal: rizqinya, ajalnya, amalnya, dan

bahagia atau celakanya.

Perkembangan Janin Janin sebelum sempurna menjadi janin melalui 3 fase, yaitu: air

mani, segumpal darah, kemudian segumpal daging. Masing-masing lamanya 40 hari.

Janin sebelum berbentuk manusia sempurna juga mengalami 3 fase, yaitu:

1. Taswir, yaitu digambar dalam bentuk garis-garis, waktunya setelah 42 hari.

2. Al-Khalq, yaitu dibuat bagian-bagian tubuhnya.

3. Al-Barú, yaitu penyempurnaan.

Allah berfirman dalam Surat Al-Hasyr: 24, mengisyaratkan ketiga proses tersebut.

Hubungan Ruh dengan Jasad Ruh dengan jasad memiliki keterkaitan yang

berbeda sesuai dengan keadaan dan waktunya dalam 4 bentuk hubungan:

1. Tatkala di rahim. Hubungan keduanya lemah. Kehidupan ketika itu dominasinya

ada pada jasad.

2. Tatkala di alam dunia. Kehidupan ketika itu dominasinya ada pada jasad.

Sementara hubungan keduanya sesuai dengan kebutuhan kehidupan jasad.

3. Tatkala di alam barzah. Kehidupan ketika itu dominasinya ada pada ruh.

4. Tatkala di alam akhirat. Kehidupan ketika itu sempurna pada keduanya. Pada

masa inilah hubungan keduanya sangat kuat.

Macam-macam Penulisan Taqdir Allah menulis taqdir dalam 4 bentuk, yaitu:

1. Taqdir Saabiq, yaitu penulisan taqdir bagi seluruh makhluk di lauh mahfudz 50

ribu tahun sebelum penciptaan bumi dan langit.

2. Taqdir Umri, yaitu penulisan taqdir bagi janin ketika berusia 4 bulan.

3. Taqdir Sanawi, yaitu penulisan taqdir bagi seluruh makhluk setiap tahunnya pada

malam lailatul qodr.

4. Taqdir Yaumi, yaitu penulisan terhadap setiap kejadian setiap harinya. Keempat

macam penulisan taqdir tersebut memungkinkan terjadinya perubahan kecuali

pada taqdir sabiq. Sebagaimana firman Allah: (Surat Ar-Ra’d: 39).

Taqdir Allah sama sekali bukan sebagai pemaksaan, Allah lebih tahu terhadap hambanya

yang pantas mendapatkan kebaikan dan yang tidak.

Buah Iman kepada Taqdir Beriman kepada taqdir akan menghasilkan rasa takut yang

mendalam akan nasib akhir hidupnya dan menumbuhkan semangat yang tinggi untuk

beramal dan istiqomah dalam ketaatan demi mengharap khusnul khatimah. Beriman

kepada taqdir bukanlah alasan untuk bermaksiat dan bermalas-malasan. Hati orang-

orang yang shalih diantara 2 keadaan, yaitu khawatir tentang apa yang telah ditulis

baginya atau khawatir tentang apa yang akan terjadi pada akhir hidupnya. Keadaan

pertama hatinya para sabiqin dan keadaan ke-2 hatinya para abrar.

Rahasia Khusnul Khatimah dan Suúl Khatimah Termasuk diantara kesempurnaan Allah

yaitu menciptakan hamba dengan berbagai macam keadaan. Diantara hambanya ada

yang khusnul khatimah sebagai anugrah semata setelah mengisi lembaran hidupnya

penuh dengan kejahatan dan diantara hambanya ada yang suúl khatimah sebagai

keadilan semata setelah mengisi lembaran hidupnya penuh dengan ketaatan. Hamba

pada jenis yang terakhir ini bisa jadi pada hakikatnya tersimpan dalam hatinya kejahatan

yang kemudian muncul secara lahir pada akhir hayatnya. Karena dalam suatu riwayat

Rasulullah menyatakan bahwa amalan baik tersebut sekedar yang tampak pada

manusia.

Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi – Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh -

http://muslim.or.id/

Artikel tambahan dari : Zulhendri zk is

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri

melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.

Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS Al Hadiid: 22)

(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang

luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-

Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi

membanggakan diri. (QS Al Hadiid: 23)

Ayat ini jelas sekali menggambarkan kepada kita bahwa apapun yang bakal terjadi filenya

telah di tangan Allah, apakah besok kita meninggal karena ditabrak mobil, serangan

jantung atau apapun penyebabnya telah diketahui oleh Allah, apakah kita masuk surga

atau neraka Allah pun sudah tahu.

Sahabat ketika mendengar ayat ini mengajukan pertanyaan kepada rasulullah, kalau

begitu ya rasul saya duduk-duduk saja karena masuk surga atau tidak, sudah dalam

catatan Allah, tidak apa-apa kata rasul kalau kamu duduk-duduk berarti kamu ahli

neraka tapi kalau kamu beribadah berarti kamu ahli surga.

Jadi memang posisi kita telah diketahui oleh Allah, sekali lagi telah diketahui bukan

ditentukan, Allah tidak menentukan kita masuk surga atau neraka yang menentukan

adalah perbuatan kita.

Mudah-mudahan dengan memahami ayat ini tidak ada lagi kesedihan dan tidak adalagi

kesombongan. Karena taqdir Allah memang diperuntukkan untuk itu agar jangan

bersedih dengan sesuatu yang tidak kita inginkan karena itu taqdir Allah dan jangan

bangga dengan sesuatu yang mengembirakan karena itu bukan karena kehebatan kita

tapi karena taqdir Allah.

Orang beriman itu sehat karena apapun perkara yang menimpanya tidak membuat dia

terguncang, didatangi musibah dia mampu besabar, didatangi kemudahan dia mampu

bersyukur, dia yakin setiap kejadian yang menghampiri dirinya tidak lain adalah ujian dari

Allah apakah dia bisa menjadi hamba yang bersyukur atau hamba yang kufur, dia punya

cita-cita dan dia berusaha maksimal untuk menggapai cita-citanya, kalau cita-citanya

tercapai dia bersyukur. Kalau tidak dia mampu bersabar. Karena dia mempercayai

qadar Allah, tugas dia berupa ikhtiar telah dilakukannya dan hasil yang merupakan

wilayah Allah diserahkan sepenuhnya kepada Allah, ikhtiar dan doa kerja kita, takdir kerja

Allah.

Semoga kita mampu menyikapi dengan benar setiap peristiwa yang menimpa kita Aamiin.

Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar