yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan
menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan
menimpamu. “
Beriman kepada Takdir
Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah Ta’ala , salah satu rukun iman yang
wajib diimani oleh setiap muslim adalah beriman kepada takdir baik maupun buruk.
Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan :
[1] Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya
seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah
sebelum dia melakukannya. [2] Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul
Mahfuzh. [3] Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi
adalah karena kehendak-Nya. [4] Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala
sesuatu. Allah adalah Pencipta satu-satunya dan selain-Nya adalah makhluk termasuk
juga amalan manusia.
Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas adalah firman Allah Ta’ala (yang
artinya),” Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam
sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi
Allah. ” (QS. Al Hajj [22] : 70). Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas adalah firman
Allah (yang artinya),” Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah , Tuhan semesta alam. ” (QS. At Takwir [81] : 29). Sedangkan
untuk tingkatan keempat, dalilnya adalah firman Allah (yang artinya),” Allah menciptakan
kamu dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37] : 96). Pada ayat ‘ Wa ma
ta’malun’ (dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan manusia
adalah ciptaan Allah.
Macam-macam Takdir
Takdir itu ada 2 macam :
[1] Takdir umum mencakup segala yang ada. Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh.
Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi
seluruh makhluk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Sesungguhnya yang
pertama kali diciptakan Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman kepada qalam
tersebut,“Tulislah”. Kemudian qalam berkata,“Wahai Rabbku, apa yang akan aku tulis?”
Allah berfirman,“Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat .” (HR. Abu
Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud ).
[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum. Takdir ini terdiri dari :
(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana
janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal :
(1) rizki, (2) ajal, (3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.
(b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai
kejadian dalam setahun. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),” Pada malam itu dijelaskan
segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44] : 4). Ibnu Abbas
mengatakan,”Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab segala kebaikan,
keburukan, rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun .” (Lihat Ma’alimut Tanzil , Tafsir Al
Baghowi) Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini.
Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman
kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari salah satu rukun iman yang wajib
diimani.
Salah dalam Menyikapi Takdir
Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu
berlebihan dalam menetapkannya.
Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah . Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi.
Kelompok pertama adalah yang paling ekstrim. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap
segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh.
Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah dan melarang, namun Allah tidak
mengetahui siapa yang ta’at dan berbuat maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak
didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan
tidak ada lagi. Kelompok kedua adalah yang menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan
masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan
hamba adalah makhluk yang berdiri sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula
menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah . Kebalikan dari Qodariyyah adalah
kelompok yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga hamba seolah-olah
dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka
mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh karena itu,
kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah .
Keyakinan dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan
dalam banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah (yang artinya),” (yaitu) bagi siapa di
antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. ” (QS. At
Takwir [81] : 28-29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua
kelompok di atas. Pada ayat,“ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh
jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah karena pada ayat ini Allah
menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan
mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat selanjutnya,” Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta
alam” merupakan bantahan untuk qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak
manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada
kehendak Allah. Ini perkataan yang salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan
kehendak hamba dengan kehendak-Nya.
Keyakinan yang Benar dalam Mengimani Takdir
Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan
kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua
perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan
hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih
untuk melakukannya.
As Safariny mengatakan, ”Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf)
dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan,
kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang
dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menjadikan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana
firman-Nya (yang artinya),” Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu)
kecuali apabila dikehendaki Allah ” (QS. At Takwir [81] : 29). Maka dalam ayat ini Allah
menetapkan kehendak hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak
terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh Ahlus
Sunnah.”
Jangan Hanya Bersandar pada Takdir Allah
Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka
bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab
sama sekali . Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari
untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk
kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan,”Saya pasrah, biarkan Allah yang akan
memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam memahami
takdir. Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di
samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita
bermalas-malasan. Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil
yang sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa dan bersedih karena hal ini sudah
menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,” Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah
pada Allah dan janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu
berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi
katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah
berbuat apa yang dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu)
setan. ” (HR. Muslim)
Buah dari Beriman kepada Takdir
Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati menjadi
tenang dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui
bahwa musibah itu adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan
tidak mungkin seseorang pun lari darinya. Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah
mengatakan pada anaknya, ”Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus
mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa
saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,” Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan
tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka .” ( Shohih. Lihat Silsilah Ash
Shohihah no. 2439)
Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi
segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak
beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa sedih dan
gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar
dalam menghadapi segala cobaan yang merupakan takdir Allah.
Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang
mendekatkan kami kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta
perkataan dan amalan yang dapat mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami
memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau tetapkan bagi kami adalah
baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat .
Sumber : http://www.rumaysho.com/
Dari Abu Abdirrohman, Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu’anhu, dia berkata: ”Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wasallam telah bersabda kepada kami dan beliau adalah orang yang
selalu benar dan dibenarkan: ’Sesungguhnya setiap orang diantara kamu dikumpulkan
kejadiannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah (air
mani), kemudian menjadi ‘alaqoh (segumpal darah) selama waktu itu juga (empat puluh
hari), kemudian menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama waktu itu juga, lalu
diutuslah seorang malaikat kepadanya, lalu malaikat itu meniupkan ruh padanya dan ia
diperintahkan menulis empat kalimat: Menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan nasib
celakanya atau keberuntungannya. Maka demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya,
sesungguhnya ada diantara kamu yang melakukan amalan penduduk surga dan amalan
itu mendekatkannya ke surga sehingga jarak antara dia dan surga kurang satu hasta,
namun karena taqdir yang telah ditetapkan atas dirinya, lalu dia melakukan amalan
penduduk neraka sehingga dia masuk ke dalamnya. Dan sesungguhnya ada seseorang
diantara kamu yang melakukan amalan penduduk neraka dan amal itu mendekatkannya
ke neraka sehingga jarak antara dia dan neraka hanya kurang satu hasta, namun karena
taqdir yang telah ditetapkan atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk surga
sehingga dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Kedudukan Hadits Hadits ini merupakan pangkal dalam bab taqdir, yaitu tatkala hadits
tersebut menyebutkan bahwa taqdir janin meliputi 4 hal: rizqinya, ajalnya, amalnya, dan
bahagia atau celakanya.
Perkembangan Janin Janin sebelum sempurna menjadi janin melalui 3 fase, yaitu: air
mani, segumpal darah, kemudian segumpal daging. Masing-masing lamanya 40 hari.
Janin sebelum berbentuk manusia sempurna juga mengalami 3 fase, yaitu:
1. Taswir, yaitu digambar dalam bentuk garis-garis, waktunya setelah 42 hari.
2. Al-Khalq, yaitu dibuat bagian-bagian tubuhnya.
3. Al-Barú, yaitu penyempurnaan.
Allah berfirman dalam Surat Al-Hasyr: 24, mengisyaratkan ketiga proses tersebut.
Hubungan Ruh dengan Jasad Ruh dengan jasad memiliki keterkaitan yang
berbeda sesuai dengan keadaan dan waktunya dalam 4 bentuk hubungan:
1. Tatkala di rahim. Hubungan keduanya lemah. Kehidupan ketika itu dominasinya
ada pada jasad.
2. Tatkala di alam dunia. Kehidupan ketika itu dominasinya ada pada jasad.
Sementara hubungan keduanya sesuai dengan kebutuhan kehidupan jasad.
3. Tatkala di alam barzah. Kehidupan ketika itu dominasinya ada pada ruh.
4. Tatkala di alam akhirat. Kehidupan ketika itu sempurna pada keduanya. Pada
masa inilah hubungan keduanya sangat kuat.
Macam-macam Penulisan Taqdir Allah menulis taqdir dalam 4 bentuk, yaitu:
1. Taqdir Saabiq, yaitu penulisan taqdir bagi seluruh makhluk di lauh mahfudz 50
ribu tahun sebelum penciptaan bumi dan langit.
2. Taqdir Umri, yaitu penulisan taqdir bagi janin ketika berusia 4 bulan.
3. Taqdir Sanawi, yaitu penulisan taqdir bagi seluruh makhluk setiap tahunnya pada
malam lailatul qodr.
4. Taqdir Yaumi, yaitu penulisan terhadap setiap kejadian setiap harinya. Keempat
macam penulisan taqdir tersebut memungkinkan terjadinya perubahan kecuali
pada taqdir sabiq. Sebagaimana firman Allah: (Surat Ar-Ra’d: 39).
Taqdir Allah sama sekali bukan sebagai pemaksaan, Allah lebih tahu terhadap hambanya
yang pantas mendapatkan kebaikan dan yang tidak.
Buah Iman kepada Taqdir Beriman kepada taqdir akan menghasilkan rasa takut yang
mendalam akan nasib akhir hidupnya dan menumbuhkan semangat yang tinggi untuk
beramal dan istiqomah dalam ketaatan demi mengharap khusnul khatimah. Beriman
kepada taqdir bukanlah alasan untuk bermaksiat dan bermalas-malasan. Hati orang-
orang yang shalih diantara 2 keadaan, yaitu khawatir tentang apa yang telah ditulis
baginya atau khawatir tentang apa yang akan terjadi pada akhir hidupnya. Keadaan
pertama hatinya para sabiqin dan keadaan ke-2 hatinya para abrar.
Rahasia Khusnul Khatimah dan Suúl Khatimah Termasuk diantara kesempurnaan Allah
yaitu menciptakan hamba dengan berbagai macam keadaan. Diantara hambanya ada
yang khusnul khatimah sebagai anugrah semata setelah mengisi lembaran hidupnya
penuh dengan kejahatan dan diantara hambanya ada yang suúl khatimah sebagai
keadilan semata setelah mengisi lembaran hidupnya penuh dengan ketaatan. Hamba
pada jenis yang terakhir ini bisa jadi pada hakikatnya tersimpan dalam hatinya kejahatan
yang kemudian muncul secara lahir pada akhir hayatnya. Karena dalam suatu riwayat
Rasulullah menyatakan bahwa amalan baik tersebut sekedar yang tampak pada
manusia.
Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi – Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh -
http://muslim.or.id/
Artikel tambahan dari : Zulhendri zk is
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS Al Hadiid: 22)
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-
Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri. (QS Al Hadiid: 23)
Ayat ini jelas sekali menggambarkan kepada kita bahwa apapun yang bakal terjadi filenya
telah di tangan Allah, apakah besok kita meninggal karena ditabrak mobil, serangan
jantung atau apapun penyebabnya telah diketahui oleh Allah, apakah kita masuk surga
atau neraka Allah pun sudah tahu.
Sahabat ketika mendengar ayat ini mengajukan pertanyaan kepada rasulullah, kalau
begitu ya rasul saya duduk-duduk saja karena masuk surga atau tidak, sudah dalam
catatan Allah, tidak apa-apa kata rasul kalau kamu duduk-duduk berarti kamu ahli
neraka tapi kalau kamu beribadah berarti kamu ahli surga.
Jadi memang posisi kita telah diketahui oleh Allah, sekali lagi telah diketahui bukan
ditentukan, Allah tidak menentukan kita masuk surga atau neraka yang menentukan
adalah perbuatan kita.
Mudah-mudahan dengan memahami ayat ini tidak ada lagi kesedihan dan tidak adalagi
kesombongan. Karena taqdir Allah memang diperuntukkan untuk itu agar jangan
bersedih dengan sesuatu yang tidak kita inginkan karena itu taqdir Allah dan jangan
bangga dengan sesuatu yang mengembirakan karena itu bukan karena kehebatan kita
tapi karena taqdir Allah.
Orang beriman itu sehat karena apapun perkara yang menimpanya tidak membuat dia
terguncang, didatangi musibah dia mampu besabar, didatangi kemudahan dia mampu
bersyukur, dia yakin setiap kejadian yang menghampiri dirinya tidak lain adalah ujian dari
Allah apakah dia bisa menjadi hamba yang bersyukur atau hamba yang kufur, dia punya
cita-cita dan dia berusaha maksimal untuk menggapai cita-citanya, kalau cita-citanya
tercapai dia bersyukur. Kalau tidak dia mampu bersabar. Karena dia mempercayai
qadar Allah, tugas dia berupa ikhtiar telah dilakukannya dan hasil yang merupakan
wilayah Allah diserahkan sepenuhnya kepada Allah, ikhtiar dan doa kerja kita, takdir kerja
Allah.
Semoga kita mampu menyikapi dengan benar setiap peristiwa yang menimpa kita Aamiin.
Published with Blogger-droid v2.0.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar