Senin, Maret 05, 2012

Mengendalikan Emosi Amarah


Marah atau Amarah adalah salah satu emosi alamiah yang muncul ketika suatu keinginan / kebutuhan tidak terpenuhi karena adanya suatu hambatan. Emosi ini diperlukan agar seseorang terdorong untuk melawan dan berjuang mengatasi hambatan yang merintangi terpenuhinya kebutuhan / keinginan tersebut. Tingkat kemarahan seseorang dapat diukur berdasarkan tingkat kebutuhan yang terhambat dan tujuannya dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Jika kemarahan itu terjadi pada saat adanya hambatan yang menghalangi tercapainya suatu tujuan utama kehidupan maka kemarahan tersebut adalah kemarahan yang mulia bahkan merupakan suatu keharusan.
 “ Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali ”.(QS.At-Tahriim(66):9).
 Kekerasan terhadap orang kafir maupun orang munafik disini timbul bukan karena tanpa sebab. Kaum Muslimin bersikap keras ( marah ) karena perlawanan dan permusuhan mereka terhadap Islam sehingga sulit bagi kaum Muslimin untuk menjalankan hukum Allah. Karena sesungguhnya kebenaran harus ditegakkan dan diperjuangkan. Sebaliknya kemarahan tidaklah harus dengan cara  menyakiti atau mencelakakan orang yang menyebabkan kemarahan tersebut. Rasulullah tidak pernah marah walau disakiti. Disaat beliau marah, bibirnya malah terkatup rapat  bukan mengeluarkan kata-kata yang meledak-ledak. Namun wajah beliau akan berubah menjadi merah padam bila melihat kemungkaran dan hak-hak Allah diinjak-injak dan dihina. Ali bin Abi Thalib RA berkata: “ Rasulullah tidak pernah marah untuk hal duniawi. Beliau marah karena kebenaran. Tidak seorangpun yang mengetahui kemarahannya. Kemarahannya terhadap sesuatu pasti mendatangkan kemenangan baginya.”
 Alkisah dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib RA hampir memenggal leher lawannya. Tiba-tiba lawannya itu meludahi mukanya. Ali sangat marah. Pada saat itu, ia justru memacu kudanya pergi menjauh dan menyarungkan pedangnya. Ia tidak ingin membunuh lawan karena nafsu amarah. Karena membunuh  dalam peperangan adalah dalam rangka menjalankan perintah Allah untuk menegakkan  keadilan bukan melampiaskan rasa amarah. Sedangkan  kemarahan yang tidak beralasan, yaitu kemarahan yang tidak disebabkan oleh adanya hambatan yang mengancam terpenuhinya kebutuhan yang mendasar adalah kemarahan yang tercela. 
 Dengan demikian emosi marah ( maupun emosi-emosi lain-lain seperti takut, sedih dan juga gembira ) sebetulnya sangat bermanfaat bagi kehidupan selama emosi itu seimbang dan muncul pada saat yang tepat. Al-Quran memerintahkan kita untuk menguasai segala macam bentuk emosi termasuk emosi marah. Emosi yang berlebihan akan mempercepat detak jantung seseorang. Hal ini disebabkan terjadinya kontraksi tekanan darah dalam organ tubuh  sehingga menyebabkan darah mengalir dengan lebih deras. Keadaan seperti ini bila dibiarkan terus-menerus, lama-kelamaan akan membahayakan jantung. Marah yang berlebihan juga dapat meningkatkan produksi hormon adrenalin yang  dapat menyebabkan timbulnya kekuatan yang besar. Kekuatan  inilah yang dikhawatirkan  dapat menyebabkan seseorang melakukan penyerangan fisik dan membahayakan orang yang membangkitkan amarahnya. Disamping itu seseorang pada saat mengalami emosi, produksi getah beningnya  akan berkurang drastis. Kondisi ini dapat mengakibatkan terganggunya proses pencernaan sehingga menyebabkan timbulnya berbagai penyakit lambung .
 “……dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.(QS.Ali-Imraan(3):134).       
 Rasulullah menganjurkan kepada para sahabat untuk menahan marah dan  saling memaafkan. Seseorang yang dapat menguasai rasa marah akan menemukan nilai kehidupan tertinggi. Nilai kehidupan ini sepadan dengan “ jihad spiritual ”. Maka siapapun yang berhasil dalam jihad ini maka ia akan mampu menguasai diri dari nafsu syahwat dan segala godaan dunia yang mengepungnya.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub, bahwa Rasulullah pernah bersabda :        “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim mendiamkan ( saling cemberut ) saudaranya lebih dari tiga hari. Jika mereka bertemu, mereka saling berpaling. Padahal sebaik-baik dari mereka ialah yang memulai perdamaian dengan mengucap salam”. ( HR. Bukhari & Muslim)
 Abu Dzaarr RA meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda :” Jika salah seorang diantara kalian marah dan ia dalam posisi berdiri, maka hendaknya ia segera duduk, maka kemarahannya akan hilang. Namun jika kemarahan itu tidak reda, maka hendaknya ia berbaring”.  Rasulullah juga menganjurkan para sahabat agar berwudhu’ untuk mengendalikan emosi kemarahan. Diriwayatkan  dari Urwah bin Muhammad as-Sa’di RA, Rasulullah bersabda : “ Marah itu berasal dari setan, setan itu diciptakan dari api. Adapun api dapat dipadamkan dengan air, maka jika seseorang diantara kalian marah, hendaknya segera berwudhu’.” Hadis ini menguatkan kebenaran ilmu kedokteran yang menyatakan bahwa air dingin dapat meredakan tekanan darah karena emosi, sebagaimana air dapat meredakan ketegangan otot dan syaraf. Oleh karena itu, mandi dapat dijadikan penawar untuk mengobati penyakit kejiwaan.   Disamping itu, Rasulullah juga terbiasa menganjurkan para sahabat yang sedang dikuasai rasa amarah untuk mengalihkan perhatian pada aktifitas lain yang memungkinkan seseorang lupa akan rasa amarahnya  ataupun merasa lelah sehingga ia tidak lagi memiliki tenaga untuk melampiaskan kemarahannya.
 Seseorang yang dalam kondisi marah ( dan semua emosi yang menekan ) akan mengakibatkan daya pikir menjadi melemah. Oleh karena itulah Rasulullah melarang orang  dalam kondisi seperti itu untuk memutuskan suatu perkara ( hukum ). Dari Abu Bakar RA, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda : Janganlah seseorang diantara kalian menentukan suatu hukum pada kedua pihak yang sedang berselisih dalam keadaan marah”.  Begitu pula emosi cinta, ia dapat menyebabkan lemahnya daya pikir seseorang. Dari Abu Darda RA : “Kecintaanmu terhadap sesuatu dapat menyebabkan kamu buta dan tuli”.
 Al-Quran mengajarkan manusia untuk memaafkan kesalahan saudaranya yang berbuat kesalahan. Allah SWT menyayangi orang-orang yang demikian dan menjanjikan pahala yang besar sebagai imbalan bagi mereka.
 “………maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.(QS.Al-Maidah(5):13).
 Namun bila seseorang bersikokoh ingin membalas, tidak diperkenankan membalas dengan yang lebih keras dari yang diterimanya dan Allah lebih menyayangi mereka yang menahan diri.
 “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.(QS.An-Nahl(16):126).
 Dan dengan memperbanyak berzikir mengingat Allah SWT hati akan menjadi tenang terlepas dari emosi amarah dan segala emosi yang tidak terkendali.
 “(yaitu)orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.(QS.Ar-Raad(13):28).
 Wallahu’alam.

Referensi :
 -  Psikologi dalam Perspektif Hadis dan  Jiwa Manusia dalam sorotan Al- Quran  oleh  DR.Muhammad ‘Utsman Najati.


Sumber http://vienmuhadi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar