Rabu, April 25, 2012

Cerita Cinta

CERITA CINTA SEORANG SUAMI

Aku membencinya, Itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami.

Meskipun menikahinya, Aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena

paksaan orangtua, Membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, Aku tak

pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, Setiap hari aku melayaninya

sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.

Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan

dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, Suamiku

adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, Aku menjadi istri yang

teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa.

Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya

karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah

menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua

keinginanku.

Di rumah kami, Akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja

masalah, Aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di

tempat tidur, Aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan

meninggalkan bekas lengket, Aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk

menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, Aku juga

marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, Aku marah kalau ia

menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, Tapi aku tak mau mengurus

anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan

keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia

membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, Dokterpun

menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung

sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan

tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena

aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak

terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Aku bangun paling akhir. Suami

dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, Dialah yang menyediakan sarapan

pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, Ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan

ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang

mengingatkan peristiwa tahun

sebelumnya, Saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu.

Yaah, Karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, Aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum

ke kantor, Biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, Ia juga

memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan

melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium

hingga beberapa kali di depan pintu Seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, Akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah

hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu

temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling

memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon. Namun betapa

terkejutnya aku, Ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku

hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa

yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan. Aku menelepon suamiku dan bertanya,

“Maaf sayang, Kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari

dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja

kerjaku.”

Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup

telepon tanpa

menunggunya selesai bicara.

Tak lama kemudian, Handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, Akupun mengangkatnya

dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, Aku pulang sekarang, Aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang

ada dimana?” tanya suamiku cepat , Kuatir Aku menutup telepon kembali.

Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, Aku kembali menutup telepon. Aku

berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si

empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa

membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.

Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi

untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera

sampai. Menit berlalu menjadi jam, Aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone

suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali

berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat

setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, Terdengar suara asing

menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu

memperkenalkan diri,

“Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?”

Kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, Ia memberitahu bahwa

suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.

Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok

dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai

salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah

bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga

hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang

gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya

untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib

terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan

karena kecelakaan itu sendiri, Serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.

Selesai mendengar kenyataan itu, Aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya

yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan

ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka

sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di

hadapannya, Aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap

wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah

dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan

kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku

menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.

Airmata merebak dimataku, Mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar

airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, Aku ingin mengingat semua bagian wajahnya

agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, Airmataku

semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi

pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, Tapi dadaku

sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur

makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang

harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen

mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku

tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia

sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant

dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, Karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant

karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku

sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku

hanya kalau bersisa. Ia pun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah.

Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak

mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, Aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang

bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur

besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku

dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya. Hari-

hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi

aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya.

Di hari-hari awal kepergiannya, Aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu

mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau

aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak

memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, Aku berjongkok menangis di dalam

kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa

melakukan sesuatu di

rumah, Membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku.

Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan

sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, Tapi

sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia

sering berantakan di kamar tidur kami, Tetapi

kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan

pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, Sekarang aku memandangi komputer,

Mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih

tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, Sekarang

bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa

disembunyikannya, Sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti

kehilangannya dengan kehilangan remote.

Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah

terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, Aku marah karena semua kelihatan

normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan

baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku

marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, Tak ada lagi yang mengingatkanku sholat

meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, Meminta maaf

pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, Meminta ampun karena telah

menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus

dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari

keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belakan, Hampir tak pernah

menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, Keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada

dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku

tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini

aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk

kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor

tempatnya bekerja, Aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku

terdiam tak menyangka, Ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak

pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh

uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal

itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji

terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di

mana ? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia

membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami

bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, Ia menyertai ibunya dalam surat

tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu. Maaf karena harus

membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu

cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-

anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, Aku ingin mendampingi

sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku

telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah

aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk

membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, Ya sayang. Jangan

menangis, Sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang

percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak

sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu

jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, Putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik

seperti Ibu.

Dan Farhan, Ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu

ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke!

Aku terisak membaca surat itu, Ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas

suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki

beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat

beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun

dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa

besar cintanya pada kami, Sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus

sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-

anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, Tak

satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikah dengan seorang

pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya,

“Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci,

gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata,

“Cinta sayang, cintailah suamimu, Cintailah pilihan hatimu, Cintailah apa yang ia miliki dan kau akan

mendapatkan segalanya. Karena cinta, Kau akan belajar menyenangkan hatinya, Akan belajar

menerima kekurangannya, Akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, Kalian akan

menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku,

“Aeperti cinta ibu untuk ayah ? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai

sekarang?”

Aku menggeleng,

“Bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, Seperti ayah mencintai kalian

berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku

menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, Tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa

hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, Tapi aku tak pernah bisa bebas dari

cintanya yang begitu tulus.

Penulis : Liliana Armandi.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar