Rabu, Juli 04, 2012

Definisi Tasawuf Dalam Ajaran Islam


Beberapa Pengertian Tasawuf Menurut Ahli Sufi
Ketika kita menelusuri berbagai literatur, maka akan banyak ditemukan banyak
pengertian atau definisi tasawuf yang diberikan oleh para pemerhati tasawuf secara sangat
bervariatif, bahkan mungkin kalau dihitung jumlahnya akan mecapai ratusan definisi. Nicholson
mencatat sebanyak 78 definisi. [1] Sementara al-Suhrawardi berpendapat bahwa definisi tasawuf
jumlahnya lebih dari seribu. [2] Banyaknya ragam definisi itu tentu saja bukan menunjukkan
kontradiksi antar pengertian tasawuf itu sendiri. Hal itu melainkan disebabkan tasawuf pada
hakikatnya merupakan pengalaman pribadi seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga
kecenderungan dan pengalaman spiritual individu tentu saja berbeda-beda sesuai dengan maqam
tasawufnya. Oleh karena itu, wajar apabila setiap orang dalam menjelaskan arti atau definisi
tasawuf dalam konteks pemikiran pengalaman keberagamaannya, berdasarkan intuisi masing-
masing individu. Dan setiap sufi pun memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan  kondisi
(pengalaman) yang dialaminya.
Berikut ini antara lain definisi-definisi tasawuf yang dituturkan oleh para sufi dan atau
para pakar tasawuf:
1. Al-Ghazali di dalam kitabnya, Al-Munqidh min al-Dalal, menulis bahwa para sufi adalah mereka
yang menempuh (salikin) jalan Allah, yang berakhlaq tinggi nan bersih, bahkan juga berjiwa
cemerlang lagi bijaksana.
2. Radim bin Ahmad al-Baghdadi berpendapat, tasawuf memiliki tiga elemen penting yaitu: faqr,
rela berkorban, dan meninggalkan kebatilan (ghurur). [3]
3. Al-Junaid mendefinisikan tasawuf adalah “An-Takuna ma’allah bi-la ‘alaqah”, hendaknya engkau
bersama- sama dengan Allah tanpa adanya hijab. [4]
4. Samnun[5] berpendirian bahwa tasawuf adalah “An-Tamlika shay’an wa la yamlika shay’un”,
hendaknya engkau merasa tidak memiliki sesuatu dan sesuatu itu pun tidak menguasaimu. [6]
5. Ma’ruf al-Karkhi, [7] mengemukakan tasawuf dengan kalimat: mengambil yang hakikat dengan
mengabaikan segala kenyataan yang ada pada selain Allah, dan barang siapa yang belum
mampu merealisasikan hidup miskin maka ia belum mampu dalam bertasawuf. [8]
6. Amin al-Kurdi, mengatakan bahwa tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang
kebaikan dan keburukan jiwa, bagaimana cara membersihkan sifat-sifat buruk dan
menggantinya dengan sifat-sifat terpuji, serta bagaimana jalan menuju keridaan Allah. [9]
7. Dzun Nun al-Misri, berpendapat bahwa sufi adalah orang yang didalam hidupnya tidak
disusahkan dengan permintaan dan tidak pula dicemaskan dengan terampasnya barang.
Selanjutnya al-Misri juga mengatakan bahwa mereka itu merupakan komonitas yang
mendahulukan Allah di atas segalanya, sehingga Allah pun mendahulukan mereka di atas
segalanya. [10]
8. Abu Yazid al-Bustami, menjelaskan tasawuf adalah Suatu kondisi dimana seseorang
mengencangkan ikat pinggangnya (karena menahan lapar) dan pengekangan terhadap syahwat
duniawi sesaat.[11] Al-Bustami juga menambahkan, yakni melemparkan interes pribadi kepada
Allah dengan mencurahkan secara totalitas kepadaNya.[12]
9. Ibnu Jala’ [13] berpandangan tasawuf adalah apa yang menjadi esensi, tidak ada suatu
formalitas apapun baginya. [14]
10. Abu al-Wafa’ al-Taftazani menjelaskan definisi tasawuf secara lebih substansi, yaitu tasawuf
adalah sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan mengembangkan moralitas jiwa
manusia yang dapat direalisasikan melalui latihan-latihan praktis tertentu yang mengakibatkan
larutnya perasaan dalam hakikat transidental. Pendekatan yang digunakan adalah dzauq (intuisi)
yang menghasilkan kebahagiaan spiritual. Pengalaman yang tak kuasa diekspresikan melalui
bahasa biasa karena bersifat emosional dan individual. [15]
Demikianlah beberapa sufi di atas sepintas berbeda pendapat dalam memberikan definisi
tasawuf, namun pada hakikatnya adalah mengarah ke satu titik yakni mencapai derajat sedekat-
dekatnya kepada Allah. Dalam hal ini Zaki Ibrahim menjelaskan, hakikat ibarat sebuah taman indah
yang didalamnya terdapat banyak pohon. Setiap sufi tersebut berteduh dibawah masing-masing
pohon di dalam taman itu, kemudian masing-masing sufi memberikan gambaran sifat pohon yang
ia berada dibawahnya. [16] Dalam konteks itu, secara esensi keragaman definisi di atas bersifat
saling melengkapi dan secara jelas tidak terdapat kontroversi antara satu dengan yang lainnya.
Selain itu, Ibrahim Basyuni [17] –sarjana muslim berkebangsaan Mesir- setelah
mengemukakan 40 definisi tasawuf termasuk beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas,
mengategorikan pengertian tasawuf pada tiga hal: Pertama, kategori al-bidayah yaitu pengertian
yang mencerminkan tasawuf pada tingkat permulaan. Kategori ini sebagaimana yang dikemukakan
al-Karkhi diatas, menekankan kecenderungan jiwa dan kerinduannya secara fitrah kepada Allah,
karena ia menyadari akan adanya suatu kekuatan Yang Maha Mutlak diluar dirinya sehingga ia
selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Kecenderungan jiwa semacam ini,
menurutnya dimiliki oleh setiap manusia. Dalam fitrah inilah manusia berbeda dengan binatang.
Kedua, kategori al-mujahadah, yakni pengertian yang membatasi tasawuf pada
pengamalan yang didasarkan atas kesungguhan. Pengertian semacam ini, muncul dalam definisi-
definisi yang diberikan oleh al-Ghazali, Amin al-Kurdi, Abu Yazid al-Bustami, Samnun, dan Radim
bin Ahmad al-Baghdadi, yang cenderung menonjolkan akhlak dan amal dalam mendekatkan diri
kepada Allah. Dalam hal ini, seorang sufi dituntut bersungguh-sungguh dan berjuang keras
dengan mencurahkan segenap tenaga yang ada dalam menempuh jalan sufi. Hal itu terjadi karena
di dalam dirinya telah muncul kesadaran akan adanya jarak rohani antara makhluk dengan Yang
Maha Mutlak. Dalam hal ini seorang sufi berusaha semaksimal mungkin untuk menghiasi dirinya
dengan akhlaq yang terpuji, baik menurut lingkungan (ma’ruf) maupun menurut norma-norma
agama (khair). Pada fase inilah yang disebut dengan tahap perjuangan dalam bertasawuf.
Ketiga, kategori al-mazaqah, yaitu pengertian yang cenderung membatasi tasawuf pada
pengalaman spiritual dan perasaan keberagamaan, terutama dalam mendekati dzat Yang Maha
Mutlak. Tatkala seorang sufi telah berhasil melampaui dua fase sebelumnya (al-bidayah dan al-
mujahadah), maka ia mampu berada sedekat mungkin dengan-Nya, yang pada gilirannya  akan
merasakan kelezatan spiritual yang didambakan. Pengertian seperti ini dapat dijumpai pada
definisi yang diungkapkan oleh Dzun Nun al-Misri, al-Junaid, dan Ibn Jala’, yang cenderung
memposisikan tasawuf sebagai pengalaman batin atau pengetahuan esoteris.
[1] Stace, W.T., Mysticism and Phylosophy, (London: MacMillan, 1961), 35.
[2] Al-Suhrawardi (Abu Hafs Shihab al-Din) , ‘Awarif  al-Ma’arif, (Kairo: tt), 57.
[3] Qomar Kaylani, Fi al-Tasawauf al-Islami: Mafhumuhu wa Tathawwuruhu wa A’lamuhu, (Beirut:
Mathabi’  Samya, 1962), 11.
[4] Al-Qushayri,  Al-Risalah al-Qushayriyah,  (Mesir: Bab al-Halaby, 1959), 552.
[5] Abu Hasan Samnun bin Hamzah al-Muhb (w. 297) kawan Surya al-Saqthi dan Muhammad al-
Qassab, termasuk sufi di Irak. Menamakan dirinya Samnun al-Kadhdhab, karena menyembunyikan
kesulitan buang air kecil tanpa menimbulkan bahaya. Lihat Al-Sulami (Abd. Rahman), Thabaqat al-
Sufiyah, (Kairo: tp, 1953), 195.
[6] Al-Qushayri, Al-Risalah,, 552.
[7] Abu Mahfudz Ma’ruf bin Fayruz al-Karkhi (w. 200 H) merupakan guru sufi dari al-Saqthi, mufti
terkemuka, masuk Islam di hadapan Imam Ali Musa al-Rida. Beliau meninggal dan dimakamkan di
Baghdad. Lihat Al-Sulami, Thabaqat, 83.
[8] Al-Qushayri, Al-Risalah, 552.
[9] Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ’Alam al-Ghuyub (tt), 406.
[10] Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi, Al-Luma’, (Mesir: Dar al- Kutub al-Hadithah, 1960), 45-46.
[11] Abd. Rahman al-Badawi, Shatahat al-Sufiyah, (Beirut: Dar al-Qalam, 1978), 83.
[12] Ibid., 138.
[13] Abu Abdullah Ahmad bin Yahya al-Jala’ al-Baghdadi al-Syami (w. 306), bermukim di Ramlah
dan meninggal di Damsyiq, kawan Abi Turab dan Dzun Nun al-Misri. Lihat Al-Sulami, Tabaqat, 176.
[14] Al-Hujwiri, Kashf al-Mahjub, 47.
[15] Abu al-Wafa al-Taftazani, Madkhal Ila al-Tasawuf al-Islami, (Kairo: Dar al-Thaqafah wa al-
Tiba’ah wa al-Nashr, 1976), 10.
[16] Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi: Menyucikan tasawuf dari noda-noda, Terj. Abdul
Syakur dkk. (Jakarta: Hikmah, 2002), 7.
[17] Yunasril Ali, Ensiklopedi Tematis: Dunia Islam, Jil. 4.,Taufik Abdullah dkk. (ed.), (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002), 140. Lihat juga Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung
Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta:Pustaka pelajar, 1999),

Sumber:

http://yanajanganpergi.blogspot.com/2011/01/definisi-tasawuf-dalam-ajaran-islam.html?m=1

Published with Blogger-droid v2.0.6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar